Kesaksian Langit

Serangan dari gerombolan mafia kembali menyerang kota di markas militer negara. Edward selaku agen rahasia yang ditugaskan oleh BIN segera melacak keberadaan mereka.

"Jangan buang-buang waktu. Sudahi permainan ini. Apa perlu aku yang turun tangan?!" ucap pria berkumis pada anak angkatnya, Leon.

"Ayah tidak perlu mengotori tangan itu. Aku hanya menunggu tamu kita," jawab Leon sembari menikmati cokelat hangatnya.

Leon penerus dari anggota mafia yang paling berbahaya. Kelihaiannya dalam mengeksekusi membuat pihak kepolisian sulit menjeratnya.

***

Menjelang malam perburuan Leon dimulai. Ia lebih menyukai menghabisi lawannya tanpa senjata. Sejak kecil ia dilatih belajar karate. Dalam hidupnya hanya bergulat dengan pertarungan.

Duarrr!

Ledakan demi ledakan menghancurkan bangunan. Tidak hanya itu, sekarang terjadi baku tembak. Demi menyelamatkan diri, penduduk lebih memilih berdiam diri di rumah. Kini kota ini telah menjadi kota mati, sepi tanpa suara. Entah berapa nyawa yang berjatuhan.

Di lorong bangunan pencakar langit, Edward dan Leon bersitatap penuh ketegangan.

"Aku pastikan, kali ini kau tidak akan bisa lolos," ucap Edward.

"Justru aku menantikan hari bersejarah ini. Kalian yang memulainya dan aku yang akan mengakhirinya," balas Leon dengan sorot tajam.

Tanpa ada jeda, mereka saling baku hantam. Darah segar mengucur dari kening Edward. Begitu pula wajah Leon penuh memar serta menetes darah dari bibirnya.

Di saat pergulatan itu, muncul pria berkacamata hitam mendekati mereka seraya memainkan pistol yang ada di tangannya.

"Ini memang hari yang paling bersejarah. Dendamku terbayar melihat dua saudara saling membenci. Sayang, orangtua kalian tak melihatnya."

"Apa maksud ucapan, Ayah?" tanya Leon.

"Kau pikir, selama ini aku merawatmu dengan sukarela, hah?! Karena ayahmu telah membuatku seperti ini."

James, tak lain Ayah angkat Leon membuka sebelah penutup matanya yang tersembunyi di balik kacamata. Ternyata mata kanan itu buta akibat perkelahian dengan Ayah mereka. Lalu ia menculik Leon sewaktu di rumah sakit. James mengadu domba, menghasut kalau polisi telah membunuh keluarga mereka. Pertarungan sengit tak terelakkan, Edward dan Leon bersatu menyerang James.

Dorrr!

Peluru yang dilepas oleh James melesat mengenai dada Leon. Edward memburu James dan mengambil pistolnya yang tergeletak di sudut bangunan. Seketika James terkapar dengan tembakan itu.

"Kenapa kita dipertemukan seperti ini? Aku akan merasa bersalah tidak bisa menyelamatkanmu," lirih Edward.

"Justru aku yang berdosa karena melukai keluargaku. Bagaimana kita tahu caranya untuk memilih takdir? Sayangnya, seringkali takdir yang mendatangi hidup tanpa permisi. Maafkan aku," tutur Leon dengan lemah.

Tubuh Leon bergeming, tidak ada napas dan detak jantungnya berhenti.

Adiknya telah tiada. Malam hanya menyisakan duka. Edward sesenggukan ditemani lampu temaram yang menjadi saksi kebisuan dalam bangunan ini. Rembulan menyembunyikan cahayanya di langit makin menambah kebekuan.

***

1 disukai 3.9K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction