Kalau saja bukan karena Yasmin, aku takkan mau melakukan semua ini.
Beberapa orang mengubek-ubek wajahku, memolesnya dengan berbagai riasan yang menurut mereka akan membuatku terlihat mirip seperti sosok Frankenstein.
Tentu saja, kulakukan ini demi Yasmin, gadis pujaanku. Akan lebih baik jika ia mengikuti kelas menari atau piano, tapi ia malah lebih memilih kelas teater . Sampai akhirnya akupun dengan rela hati mengikutinya sampai ke sini hanya untuk bisa bertemu dengannya setiap hari.
Cukup lama aku terdiam hingga akhirnya seseorang menepuk bahuku. Riasan telah selesai, satu per satu mereka -kelompok perias kami- meninggalkan ruangan untuk menyelesaikan pekerjaan lainnya.
Kutatap cermin di depanku. Wajah tampanku berubah 180 derajat menjadi sangat mengerikan kini. Namun semakin lama aku menatapnya, wajah dalam cermin itu perlahan berubah menjadi sangat aneh. Tiba-tiba seringaian aneh muncul menghiasi wajah itu, matanya yang hitam menatap tajam ke arahku. Aku hampir saja berlari saking takutnya saat cermin itu mulai berderak-derak mengerikan..
Frankenstein keluar dari dalam cermin itu. Darah segar mengalir dari jahitan di kepalanya, tangannya terjulur hingga mencapai kerah bajuku.
Ia hampir saja mencekikku.
Aku ingin berlari tapi tubuhku serasa membeku. Semakin ia mendekat, semakin aku berteriak-teriak panik.
"Ergi! Kamu kenapa?!"
Hah? Suara Yasmin?
Wajah Frankenstein berubah panik, sementara kedua bola matanya membulat polos.
"Ergi!"
Suara Yasmin lagi. Kali ini ia mengguncang-guncangkan kedua bahuku. Wajah Frankenstein tadi telah menghilang, cermin itu juga masih berada di tempatnya. Orang-orang dalam ruangan mulai menatapku aneh, beberapa bahkan tak sungkan lagi tertawa keras.
"Kamu melamun ya? Buruan! Bentar lagi gikiran kita tampil!"
"I ... Iya, bentar Yas." Setengah panik aku bergegas mengikutinya sambil menutup wajah mengingat tingkah memalukanku tadi. Kebiasaanku melamun rupanya harus dihilangkan!
Sekilas kutatap lagi cermin di depanku. Ya Tuhan, wajah itu memang sungguh menyeramkan!