Disukai
1
Dilihat
991
Tarian diatas Kanvas
Drama

Hampir tiga jam Radha di depan kanvas dan cait airnya. Masih dengan keabstrakan dalam pikirnya. Bagaimana tidak, ia yang harus dipaksa untuk jatuh cinta dengan lukisan. Radha yang hanya mencintai lenggok tubuhnya. Ia merasa dengan itu bisa menghempaskan segala emosional dalam dirinya. Sejak kecil Radha mengikuti seni tari, dari tradisional Nusantara sendiri hingga tradisional negara tetangga. Dunia Radha seakan hidup bersama tari. Namun semua itu tak pernah sebanding dengan harapan Ibu dan Bapaknya. Sebut saja mereka seniman. “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, Radha selalu bertanya akan peribahasa itu.

“Jangankan melukis. Menyelaraskan paduan warna saja aku tak paham. Sungguh, aku ini anak Ibu Bapak atau bukan?” ucap Radha di depas kanvas putih.

Selama tubuh Radha menari, Ibu dan Bapak selalu tidak suka. Terkadang itu yang membuat Radha terus menerus bingung. Seniman itu bebas untuk mengkespresikan emosionalnya, tetapi tidak dengan Radha. Setiap Sabtu, ia harus datang ke tempat les melukis atas perintah Bapak dan Ibunya. Hasil lukisan Radha selalu tak berbentuk, abstrak.

“Tubuhku sangat indah saat menari. Setiap tulangku turut mencium lenggak-lenggok tarian. Hingga semua meriah-riah. Tapi tidak dengan keasbtrakanku di atas kanvas”.

Selama menari Radha diam-diam, Ibu dan Bapak tidak mengetahui. Radha tidak bisa meninggalkan dunia tarinya demi keegoisan Ibu dan Bapaknya. Mereka selalu memaksakan Radha untuk jatuh cinta dengan kanvas.

           Hingga suatu hari Ibu menemukan selendang di dalam lemari Radha. Selepas Radha pulang dari tempat les melukis, ia terkejut. Asap api mengepul di halaman rumahnya.

“Asap apa ini? Tidak biasanya ibu membakar seperti ini di depan rumah”. Ujar Radha sambil kebingungan.

“Itu asap dari api yang sedang diam-diam membakar kepercayaan orang tuanya sendiri” sahut Ibu tiba-tiba di depan pintu.

           “maksud ibu?” dengan raut wajah bingung

“Ibu cukup kecewa nak. Ibu malu. Jika Bapakmu tau ini semua, ibu tidak bisa membela. Kau akan seperti kura dalam tempurung”.

           “Apa yang ibu maksud.........”

Dengan sekejap Radha menyadari dan langsung lari menuju kamarnya. Selendang yang membawanya terbang bebas kini hangus di depan matanya sendiri.

“Ini tak adil, bahkan hakku diatur. Hidup macam apa ini. Harus mengikuti kemauan dalang, aku bukan wayang”,

Air mata mengucur dan terseungguk-sengguk menatap selendang tarinya.

           Sejak itu, Radha tidak berbicara sama sekali kepada Bapak dan Ibunya. Ia benar-benar menjadi wayang yang hanya mengikuti alur tak sejalan dengan hak hidupnya. Hingga pada suatu hari, saat hendak pulang, Radha melihat poster di area tempat les “Nusa Dua Fiesta” yang merupakan Festival Budaya Terkeren di Bali.

“Sungguh, ini serius?, aku tak bisa membiarkan ini, aku harus turut hadir dalam Festival ini. Tapi, bagiaman dengan Bapak Ibu?” tercengan Radha memikirkannya.

Sesampai Radha di rumah, ia terus memikirkan bagaimana ia bisa ke Pulau Dewata untuk menyaksikan Festival itu. Dia tidak memiliki keberanian untuk berbicara pada Bapak Ibunya.

“tok..tok...Radha, mari makan malam”,

“Baik Bu, Radha menyusul”  

Radha bergegas menuju ruang makan. Selama ia makan, ia hanya diam dan masih kepikiran mengenai Festival itu.

“Bagaimana perkembangan lukisan kamu” tanya Bapak pada Radha

“Ibu rasa, Radha sudah mulai cukup baik melukisnya. Kemarin Ibu sempat bertemu dengan Mbak Sari, guru pelukisnya. Mungkin masih sedikit kurang memadukan warna saja, pak.”

“Syukur jika begitu, bapak tidak ragu untuk bilang pada rekan-rekan Bapak saat acara pameran seni lukis yang di gelar di Jogja Gallery pekan depan”.

Radha hanya diam tanpa menyahuti apapun. Ia mulai berpikir dan merencanakan sesuatu.

           Fajar menyambut dengan hangat di kelopak mata. Tak sengaja Radha bertemu Mbak Sari di tokoh bunga.

“Radha......”

Menoleh ke samping, “Mbak.....Sari” sambil tersenyum tipis

Obrolan singkat dan hangat dilanjutkan di sebuah kedai kopi, dekat tokoh bunga.

           “Minum dulu tehnya” sahut Mbak Sari

Dengan sembab mata Radha yang telah menceritakan borgol kehidupaanya selama ini.

“Ini jalan yang penuh siksa batin, Radha. Kenapa tak bercerita saja kepadaku? Kau tau sejak awal Mbak Sari sudah bilang, dalam memelihara sebuah seni tak ada paksaan, semua harus berasal dari nurani. Dan sejak awal Mbak Sari sudah berasa, bahwa kau dan hasil lukisan kau selalu menampilkan kesedihan dan tak ada ruang kebebasan”

Radha hanya terdiam dengan memejamkan mata dan menghembuskan nafas yang begitu berat.

“Aku bisa apa Mbak Sar, Bapak dan Ibu adalah dua manusia namun isi kepalanya satu. Batu. Dan Egois. Aku adalah anak yang menjadi wayang mereka. Berseni, tapi tak menerapkan itu pada jiwaku”.

“Berangkatlah. Tiket Festival itu tidak banyak. Aku yang akan berbicara pada Bapak Ibumu”.

“Apa mbak tidak waras? Ini bukan lelucon. Bapak dan Ibu sangat tidak suka dengan tarian........”

“Percayalah, Radha. Semua akan baik-baik saja”.

Tidak ada yang bisa membebaskan jiwa, selain diri sendiri dari cengkaraman yang berkepanjangan. Sekalipun orang terdekat dan terkasih menguncinya, sejatinya hati nuranilah yang paling utama dan yang akan menang.

           Hari itu, menjadi langkah awal Radha dalam membebaskan dirinya dari segala cengkraman Ibu Bapak, dan mbak Sari akan menjadi saksi dalam pembebasan itu. Radha nekat berangkat seorang diri ke Pulau Dewata.

“Baru pertama kali aku bernapas sejauh dan sedalam ini”,

memandang langit yang biru dan gelombang air pada bebatuan karang. Radha melanjutkan perjalanan menuju tempat Festival itu yang akan digelar besok sore. Saat di perjalanan, mata kakinya berhenti sejenak.

           “Tarian Bali memang tak pernah lelah, selalu menyambut manusia dengan hangat”.

Usai Radha menikmati tarian tersebut, tidak jauh dari sanggar ia melihat seorang perempuan menangis.

           “Maaf, apa ada yang terluka. Bisa saya bantu?”

Perempuan itu hanya terkejut dan menyapu air matanya. Ia terdiam dan membelakangi tubuh Radha. Radha tidak mengambil pusing, ia mengira mungkin terlalu lancang untuk bertanya sebab dirinya hanyalah pendatang. Saat Radha hendak masuk menuju sanggar, perempuan itu menyahutinya

           “Batin dan Hakku yang terluka. Terima kasih sudah bertanya dan peduli”.

Radha menoleh dan tercengang. Ia tak sempat membalasnya.

           Radha sempat turut menari dalam sanggar bersama kawanan tari lain. Seorang Ibu tidak terlalu tua menyanjung lenggok tarian Radha

           “Sungguh, indah sekali”, Radha berhenti dan tercengang,

           “Silahkan lanjutkan, sayang jika tubuh cantikmu tidak menari”

Usai itu, saat Radha hendak meninggalkan sanggar, tetiba Ibu yang memuji Radha memanggilnya dan meminta Radha untuk mampir sebentar ke kediamannya. Saat di perjalanan menuju rumah Ibu Laksmi, Radha bercerita banyak sekali tentang tarian. Sesampai dirumahnya, Radha dikejutkan dengan perempuan yang ia lihat di sanggar menangis tadi.

           “Kamu........”

           “Loh nak Radha sudah kenal dengan anak saya?”

           “Jadi dia anak ibu Laksmi”

Perbincangan hangat terus berlanjut, mulai dari alasan Radha datang ke bali demi mengikuti Festival hingga bercerita tentang kehidupan yang tak pernah ia menangkan.

“Saya jatuh cinta dengan sebuah tarian, tetapi Bapak Ibu saya malah memaksa saya untuk kawin dengan lukisan, yang sudah jelas itu bukan dunia saya. Saya bingung bu Laksmi, kedua orang tua saya ialah seniman yang artinya membesakan setiap ekspresi dalam jiwa terutama nurani. Tetapi, saya tidak mendapatkan hak itu.”

Suasana begitu hening di bawah langit Bali dan tiupan angin kencang pantai. Bu Laksmi langsung memeluk Radha.

“Terima kasih Radha, kamu telah menyadarkan saya. Apa yang kau alami pun sama seperti Ratih, anakku. Aku memaksanya untuk jatuh cinta dengan tarian, padahal ia tak mampu melakukannya. Setiap hari Ibu paksa dia untuk datang ke sanggar, sebab Ibu berpikir bahwa Ibu adalah seorang penari maka anak tidak jauh beda dengan ibunya. Ratih jatuh cinta dengan dunia lukisan, tetapi Ibu tidak pernah mengahargainya. Dan tadi siang, Ibu sempat memarahinya yang seharusnya tak pantas untuk diiucapkan seorang Ibu kepada anaknya”.

Seketika rada tercengang dan menatap Bu Laksmi. Tak berkepanjangan, Radha langsung menemui Ratih.

“Hidup berasal dari dharma dan nurani. Jika jiwa sendiri yang tidak membebaskannya, siapa lagi Ratih. Hak harus dimenangkan. Hidupmu tak jauh beda dari Aku. Kau tau Ratih, tujuanku datang ke Bali untuk apa? Ya..., memenangkan hakku. Aku sangat jatuh cinta dengan tari, namun Ibu Bapaku malah menkawinkan aku dengan sebuah cat dan kanvas. Setiap akhir pekan aku harus bertemu dengannya. Aku tidak paham bahasa warna. Aku kabur dari rumah demi turut menyaksikan Festival Nusa Dua Fiesta.”

Tetiba Bu Laksmi masuk dan memeluk Ratih serat-eratnya.

           “Maaf nak, Ibu terlalu egois yang tak pernah paham akan bahasa kanvasmu”.

Terus berdialog tanpa henti hingga Ratih dan Bu Laksmi berdamai satu sama lain, lalu Radha dengan hangat menyaksikan mereka berdua. Keesokannya, Radha dipinta Bu Laksmi turut menari bersama kawanan sanggar untuk Festival. Betapa bahagianya Radha.

           Saat acara Festival berlangsung, Ratih turut juga menari diatas kanvasnya. Ratih melukis Radha yang sedang menari bersama kawanan sanggar. Dengan mengenakan pakaian tari khas Bali, Radha semakin anggun dan menawan. Semua bersorak ria dan bertepuk tangan. Tarian Radha begitu sangat berkelok-kelok dan indah. Hingga Radha dikagetkan usai Festival itu berakhir.

           “Radha, putri Ibu........”

Radha menoleh ke belakang dan tercengang. Ibu Radha langsung memeluknya dengan erat. Bapak yang hanya diam dan sedikit berkaca-kaca.

           “Ibu.....Bapak. Bagaimana........kalian.........”

“Mbak Sari telah menceritakan semuanya. Jujur Bapak memang kecewa dengan kau pergi tanpa pamit. Tapi Bapak dan Ibu lebih kecewa apabila kau tidak mampu memenangkan hakmu sendiri seperti saat ini, nak. Selamat. Maaf, Bapak dan Ibu yang egois, yang tidak bisa memahami seni secara nurani”.

Memeluk erat hingga suasana turut hangat. Mata Bapak Radha tetiba menyoroti sebuah lukisan yang berada di sebelah Ratih,

“Sungguh, indah dan penuh makna sekali lukisan ini. Siapa yang bermain dengan lukisan ini?” Tanya Bapak

“Itu lukisan Ratih pak. Tangannya begitu ajaib, membahasakan suasana di atas kanvas”.

“Jika begitu, bersediakah lukisanmu ini ku bawa ke Joga Galerry sebagai pameran?”

“Benarkah, pak? Dengan senang, silahkan. Itu suatu kehormatan sekali bagi saya” sahut Ratih dengan wajah sumringah

Usai sudah. Langit Bali menjadi saksi atas dua kemenangan manusia akan haknya. Orang tau Radha kini membiarkan Radha liar memupuk seni dalam hidupnya. Begitupun dengan Ibu Laksmi, yang memerdekakan Ratih atas bahasa kanvas dan catnya. Suasana begitu hangat. Bulan bersinar nampak keemasan turut bahagia menyaksikan kemenangan ini. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi