Sepasang Mata Teduh

Sepasang Mata Teduh

 

Selatan Jakarta, 2015.

Seperti biasa aku bersama teman-teman kampusku nongkrong di sebuah warung yang tidak jauh dari sebuah parkiran. Sekadar hanya untuk menikmati kopi hangat serta menghisap beberapa batang tembakau seusai perkuliahan. Hari ini cuaca tidak begitu cerah, langit sedikit gelap diiringi semilir angin membawa suasana menjadi begitu dingin. Candaan dan obrolan yang datang silih berganti dari tiap gerak bibir kami sedikit menambah kehangatan. Kami biasa nongkrong menghabiskan waktu hingga senja menyapa. Membicarakan tentang segala hal, cinta, musik, bola, dan apapun itu. Namun berbeda denganku, aku lebih banyak menyimak pembicaraan mereka, kadang juga tertawa jika memang lucu. Bukan pada obrolannya, melainkan pada tiap ekspresi wajahnya. Mereka memang tak kehabisan akal menghidupkan suasana, ada saja bahan candaan. Tampaknya kata bosan tidak ada di kamus kami.

 

Di sela-sela obrolan tiba-tiba kawanku menyeletuk keras.

 

“Rokok bae, kagak ngopi2.” Ucap Togar dengan gaya becandanya yang khas.

“Tauuu nihh, mana seret banget lagi tenggorokaan. Radang dah inimah.” Sahut Ujang menimpalinya.

“ GOPE (Goceng Pertama).” Sahutku menimpali obrolan mereka.

“Yahh elu, masa goceng!” Sahut Rey menimpaliku dengan keras.

“Yaudah lu aja yang lebihan patungannya, lu kan Bos roti.” Balasku tegas.

“Iyaa nih, gimana sih bos roti?” Sahut Randi menimpali.

“Udah cepet buru pesen! Gue es jeruk satu.” Togar menimpali

“Lahh elu gimana? Minta kopi tapi es yang dipesen.”  Jawabku dengan ketus

“Formalitas kawan, kan biasanya gitu kalo nongkrong basa basinya ngajakin ngopi.” Timpal Togar berdalih.

 

Bersamaan dengan perdebatan yang tiada ujung, datanglah beberapa wajah datang ke warung ini. Seketika diriku memperhatikan mereka. Tampak wajah lesu dan sedikit kusam menandakan bahwa mereka kehausan. Dua di antara tiga mereka adalah wanita, sedang yang satu pria. Mereka begitu akrab, tak jarang saling jitak terjadi di antara mereka. Diriku menerka-nerka sampai timbul sejumlah mengapa disetiap karena. Sedikit tidak adil melihat tingkah mereka. Bagaimana mungkin dua wanita dengan satu pria begitu dekat? Apakah di antaranya tidak timbul suatu perasaan?

Ahh ... sudahlah. Mungkin memang sudah terbiasa mereka seperti itu. Mereka duduk tidak jauh dari tempat kami, tak jarang obrolan mereka terdengar hingga sini. Timbul suatu penasaran, seketika diriku memandang mereka. Satu wajah nan mungil dengan mata yang teduh berhasil membuatku terpusat pada dirinya. Ia jarang bicara, namun ditiap gerak bibirnya berhasil membuat diri ini seolah terperangkap. Begitu nyaman aku memperhatikannya. Tak lama kemudian satu dua rintik air membasahi, datang saling susul menyusul hingga seketika beriringan menjadikannya sebagai hujan. Sekelompok yang berjumlah tiga orang bergeser dari tempat yang sebelumnya. Kini mereka duduk beriringan bersama kami. Bukan karena apa-apa, tapi memang tempat yang aman dari derasnya hujan memang di sini adanya.

 

“Ehh gabung sini, santai saja kita-kita kalem kok.” Ucap Togar sok akrab.

“ Iya numpang yaa, maaf ganggu nih jadinya.” Ucap teman wanita itu menyahuti Togar dengan kalem.

“ Iya santai saja.” Ucapku singkat.

“Gaya lu Ron, santai- santai saja.” Ucap Randi sedikit usil.

“Biar sama-sama akrab Ran. Hehehe.” Roni berdalih. 

“Ehh ngomong-ngomong kalian dari kelas mana?”  Ucap Rey mulai bertanya.

“Kelas Z.” Ucap wanita itu lugas.

Singkat sekali jawabannya, padahal suaranya lembut. Padahal kan aku ingin berlama-lama memandang tiap gerak bibirnya.

Di momen ini bagiku tiap detiknya sangatlah berharga. Bagaimana tidak? Ia berhasil membuatku terpana.

Selang kemudian tiba-tiba wanita itu menampakkan kegelisahan pada wajahnya, seperti ada hal penting pada dirinya. Lalu ia pun bicara pada siapa saja.

“Eh, handphone-ku kehabisan pulsa. Aku mau kasih kabar sama mamahku di kampung. Ada yang jual pulsa gak?” Ucapnya dengan sedikit harap.

“Ada nih, teman gue jualan, isi yang berapa?”  Sahutku sedikit membantu.

“ Nahh kebetulan banget, masa iya harus tunggu hujan reda agar bisa pergi ke konter” Sahutnya dengan penuh antusias.

“yaudah sini nomornya gue catetin.” Jawabku

“Oke sebentar.” Sahutnya membalas

Sembari ia menyebutkan kombinasi angka yang berjumlah 12, tak habis akal diriku menyimpannya di kontak baru handphone-ku. ‘MATA TEDUH’ adalah nama yang tertulis di handphone-ku.

Senja pun tiba, hujan yang sedari tadi mengiringi kini mulai memberi tanda untuk usai. Hanya ada satu dua rintik yang bergerak perlahan turun beriringan. Tak lama berselang kawanan yang tadi segera pamit meninggalkan kami. Ku hanya memperhatikan dirinya tiada peduli dengan kawannya yang lain.

 

“udah sore ini, yuk pulang!” Ucapnya mengajak siapapun yang ada.

“Masih ujan Neng, ntar sakit lohh.” Sambut Togar dengan sedikit becanda.

“Nggak Bang ini sudah reda kok, lagipula aku bawa sweater lumayan buat nutupin kepala.” Balasnya dengan penuh keyakinan.

“Emang pulangnya ke arah mana?” Sahut Rey

“Deket kok tinggal nyebrang. Yaudah aku pamit dulu, besok-besok kalo selesai ngampusnya bareng kita nongkrong lagi.” Jawabnya mengakhiri dengan sebuah janji.

Ia pun bersama kedua temannya pamit meninggalkan kami, berjalan sambil melambaikan tangannya. Berjalan menjauh perlahan meninggalkan kami dengan langkah yang tegas pertanda dirinya ingin segera sampai yang dituju.

 Tak berapa lama ia luput dari pandangan, tetiba diriku melamunkan dirinya. Mengingat-ingat obrolan singkat tentang dirinya yang kehabisan pulsa. Diriku kini pun bertanya-tanya dalam hati.

 “Bukankah tadi ia bilang ingin kabari Ibunya yang di kampung? Hmm.. sepertinya ia di sini sebagai perantau.” Lamunku.

 Tidak masalah dari mana ia berasal, namun yang utama ia datang dengan pandang yang berbeda. Sepasang matanya membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Mata yang teduh yang membuatku terpesona. Ia lah pemilik mata yang begitu teduh. Sepasang mata teduh dengan tatapan yang utuh, membawaku pada rindu yang menyeluruh.

4 disukai 2 komentar 5.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Terima kasih kak. 😊
Nice👍
Saran Flash Fiction