Aku hanya tidak bisa tertinggal sendirian, marah mengetahui fakta bahwa Rinama, lebih beruntung kehidupannya dibanding aku, padahal kami sama-sama berasal dari Panti Asuhan, tetapi, layaknya langit dan bumi, aku seperti sampah dengan kehidupan miskin tidak terurus, sedangkan Rinama berkehidupan kaya-raya bersama suami dan anak perempuannya. Rasa iri terus berlanjut, tumbuh berkembang menjadi kedengkian luar biasa, aku menutup mata-telinga, tanpa memedulikan perbuatanku telah terlampau keterlaluan.
Mereka menyebutnya, Plasmodium Protista Eukariotik, penyebab utama penyakit Malaria, parasit yang bersembunyi, lalu diam-diam berkembang biak di dalam hati (liver), menginfeksi sel darah merah, sejurus kemudian membunuh sedikit demi sedikit inangnya (tempat ia dapat bertumbuh pesat). Rupa-rupanya kami memang serupa, tidak peduli karena 'siapa' aku 'tumbuh', yang kuinginkan ialah semua kebahagiaan itu, tanpa menyisakan Rinama sama sekali.
...tik....
...tik....
...tik....
Aku membuka mata lebar, tubuh kaku, menatap atap kamar berwarna putih menggunakan sorot tajam kelelahan, kantung mataku menghitam, kelopak bengkak membesar, wajah memucat, disertai rambut kusut berantakan. Napasku tersengal letih, seakan habis berlari mengelilingi penjuru kota, aku melirik ke arah tumpukan Bunga-bunga Tulip di laci dekat ranjang, beserta semangkuk bubur dan segelas air putih di atas nampan, bunyi tiap detik yang dihasilkan jam dinding memenuhi ruangan penuh kepengapan, seberkas cahaya silau memancar pudar.
Tertinggal di antara kenyataan dan halusinasi, jemariku bergerak gelisah, mencoba menggapai Bunga Tulip secara murka, aku yang terlalu memaksakan diri, berakhir jatuh bersimpuh ke lantai yang otomatis membuat selimut ranjang mengikuti pergerakanku. Tidak bisa menyorot fokus ke satu arah, tanpa disadari aku melempar mangkuk dan gelas bersama kelopak Tulip berhamburan di udara, pecahan beling terdengar memekakkan, tertampaknya serpihan berserakan menambah gejolak ketidaktenangan untukku, terutama ketika, aku terbelalak memandang satu objek pasti yang tidak tertutupi dengan benar oleh selimut, otakku kosong tak dapat berpikir jernih, hilang antah berantah jauh ke dalam palung samudera.
....di mana?
....seharusnya aku memilikinya....
Aku mengamuk hebat, merubuhkan semua yang bisa kedua tanganku gapai, beberapa orang berpakaian putih mulai menghampiriku tergesa, perempuan dan laki-laki, mereka menahan tubuhku agar aku tidak bisa melukai siapa pun, aku menggigit salah satu tangan yang memegang pergelangan, terdengar desisan kesakitan dari bibirnya tertahan, namun, tak mengurangi kuatnya pegangannya pada tubuhku, pupilku membesar kala jarum suntik menusuk menembus kulitku yang menggigil terserang serangan panik, netra coklatku bergulir bergetar, menemukan Tasya berdiri di ujung pintu terbuka bertuliskan deretan angka 43, nomor ruang inapku dirawat, menatap diriku penuh keprihatinan, seraya memeluk sebungkus Bunga Tulip dalam genggaman. Sayup-sayup aku mendengar bisikan Tasya bergaung bagai senandung syahdu penghantar mimpi buruk.
"Tuhan tidak pernah tidur, Tante Felisia. Tante sudah mendapatkan ganjaran karena telah merusak hubungan rumah tangga Mama."
Kalian pernah mendengar legenda cerita rakyat tentang Keong Mas? Barangkali memang benar, seberapa kerasnya Dewi Galuh meminta penyihir untuk menjauhkan Candra Kirana dari Kerajaan, mengubahnya menjadi sesuatu hal menjijikkan (keong mas), pula membuangnya jauh ke aliran sungai, tetap saja, takdir menyelamatkan Candra Kirana dan mempertemukannya dengan Raden Inu Kertapati, agaknya, cerita rakyat tersebut ingin menjelaskan bahwa sesuatu hal yang baik tidak akan pernah kalah oleh kejahatan, ibarat aku menerjang segalanya demi satu-dua kepuasan penuh keserakahan, resiko yang harus kudapat ialah berkali-kali lipatnya penderitaan.