Krida mengusap kening sembari menutup pintu kelas. Ia menghela nafas panjang. Hari ketujuh ia praktik mengajar (PPL) di SMP 7 Nusa Bangsa sungguh menguras tenaga. Bukan itu yang membuat ia berpeluh. Namun, mengakui bahwa dia adalah seorang guru yang harus memberi teladan, yang setiap pagi merasakan tulus kecupan dari murid-muridnya.
Usai mengajar, Krida merapikan meja kerja, meja khusus untuk mahasiswa PPL. Sambil menunggu sahabatnya selesai mengajar, perempuan berambut panjang itu iseng-iseng melihat hasil gambar murid-muridnya. Karena jenuh mengajarkan teori, siang ini Krida mengajarkan membuat poster. Ada tiga puluh poster dengan arsiran pensil. Cukup menarik. Ada beberapa yang membuatnya tersenyum sendiri.
“Kenapa, Da?” sedikit mengagetkan. Suara Ena muncul dari belakang Krida.
“Tidak, ayo pulang ah.”
Krida dan Ena adalah dua orang yang paling tidak betah di sekolahan. Bagi mereka, membuat puisi dan membaca sepuluh buku lebih menarik daripada berada di dalam kantor guru yang penuh basa-basi. Dengan alasan urusan kampus, Krida dan Ena sering mendapat izin pulang lebih cepat dari yang lain.
Beruntung siang ini, alasan bukan alibi semata. Krida dan Ena memiliki janji untuk datang ke pameran lukisan milik sahabat mereka di kampus. Krida dan Ena yang dikenal sebagai deklamator berbakat memang selalu kompak. Keduanya hampir memiliki sifat yang sama. Mungkin hanya pada postur tubuh. Krida kecil dan pendek, sementara Ena tinggi dan kurus. Juga pada bakat mereka, meski sama-sama seniman kata-kata, tapi Ena lebih pada cerpen sementara Krida pada puisi.
Di tempat pameran, Krida dan Ena disambut hangat oleh teman-teman perupa mereka. Musik-musik klasik yang mengalun di tempat pameran seketika dipelankan, kemudian beberapa dari mereka keluar untuk menyambut Krida dan Ena. Ruangan menjadi ramai dan ucapan-ucapan rindu menggema.
“Hei si kecil dan si jangkung!” begitu mendengar sahutan itu, Krida dan Ena berteriak histeris. Mereka kemudian merangkul seorang laki-laki berambut ikal panjang yang sedang memegang puntung rokok. Laki-laki itu bernama Jonat. Wajah Krida berseri-seri, sudah tiga bulan tidak melihat Jonat, laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakak.
“Bagi dong!” dengan wajah seperti anak kecil, Krida menengadahkan tangan pada Jonat. Laki-laki itu meletakkan sepuntung rokok pada adik kecilnya, lantas mengisap rokok bersama-sama. Diiringi tawa yang masih kalem, Krida dan Jonat membuang asap bersama. Sementara Ena yang tidak suka merokok, berkeliling ruangan menikmati lukisan demi lukisan. Bersama kepulan asap rokok, Krida kembali senyum-senyum sendiri. Geli rasanya jika mengingat poster yang dia lihat tadi: Merokok Membunuhmu!.