Disukai
1
Dilihat
832
Naive
Romantis

Darla menghembuskan hawa panas, menimbulkan jejak-jejak asap dingin di udara, New York telah memasuki bulan Desember, namun, Darla harus menerima kenyataan bahwa ia 'dipecat' lagi. Iris hazel berkabut Darla bergulir, tiap langkahnya meninggalkan bekas sepatu di tanah bersalju, mengantungi kedua tangan di saku jaket, Darla mencari kehangatan di sana. Setiap hari, Darla selalu menghadapi persoalan mengenai uang, ia mencari kesana-kemari demi pekerjaan, sejurus kemudian, beberapa bulan setelahnya, ia akan dipecat, hari berganti, waktu terus berputar, dengan siklus yang selalu terulang sama, pekerjaan-dipecat, pekerjaan-dipecat.

Darla memang sudah jatuh terperosok ke dalam keterpurukkan, hidupnya melelahkan seperti tiada tujuan yang harus ia capai, terlebih ia hanyalah gadis yatim-piatu miskin, sekolahnya hanya tamat sampai SMA, Darla tidak sanggup melanjut ke jenjang lebih tinggi, seperti perguruan negeri, kala tahu bahwa gadis itu, tidak sanggup akan biaya yang harus ia bayar, jangankan biaya per semester, pakaian yang Darla kenakan saja merupakan pakaian 3 tahun lalu, usang, butut, dan seperti pengemis jalanan, bahkan mirip kain lap lantai. Mau bagaimana lagi, yang bisa Darla pikirkan hanyalah kebutuhan pokok seperti makan apakah ia hari ini, masih bisakah ia menahan kelaparan lagi, atau seperti itulah.

Pintu kayu berderit, Darla memutar knop setelah memasukkan kunci, rambutnya terhiasi butiran-butiran salju, ia melepas alas kaki, tanpa menaruh ke rak, karena ia tidak memilikinya, kemudian menengadah kala sadar bayangan seorang pria menutupi pandangannya. Mata cokelat amber yang sama. Darla masih belum bisa terbiasa akan hal ini. Namun, kendati demikian, sang gadis tetap menunjukkan ekspresi tanpa riak seperti halnya sang pria pucat, atau, sebut saja pria bernama Marvel (Darla yang menamainya).

"Aku lapar."

Dua kata, satu kalimat.

Darla melepas jaket terhias lubang yang sudah ia tambal, menggantungnya agar bisa ia pakai esok (menghemat cucian, agar tidak perlu membayar tagihan listrik mahal-mahal), kini, terpampanglah seorang gadis berambut gelap, dengan kaus legam berlengan panjang.

Ekspresi Darla sama sekali tidak berubah, ia merentangkan tangan di udara memberi isyarat pada Marvel seperti yang sudah gadis itu ajarkan, yah, karena pria asing berkebangsaan Non Asia itu menumpang di rumahnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah, Darla tersenyum tipis, rentangan tangan Darla dibalas pelukan hangat Marvel, Darla mengeratkan pelukan dengan rakus. Seandainya saja ada kekuatan yang dapat menghentikan waktu, Darla teramat menginginkan kekuatan seperti itu sekarang. Sang gadis menutup mata sejenak.

Beberapa menit berlalu, Darla mulai menengadah. "Apa kau mengingat siapa dirimu?" Pertanyaan sama yang selalu diajukan berulang kali. Marvel adalah pria asing yang Darla temukan dengan luka parah di seluruh tubuh, terutama bagian kepala. Setelah pergi menuju rumah sakit, dokter mengatakan bahwa ingatan Marvel telah hilang, ia mengalami amnesia, akibat benturan teramat keras. Darla yang bingung harus seperti apa ia bersikap, tidak tega bila mana meninggalkanya sendirian, tidak tahu harus melakukan apa, selain membawa pria asing tersebut di gubuknya, rumah minimalis kayu miliknya.

Dan lihatlah sekarang, Darla menjelaskan 'sedikit' kebohongan pada Marvel, menamainya Marvel karena Darla menyukai film superhero yang tengah naik daun. Pria itu tidak pernah memproteskan diri, ia hanya menuruti apa yang dikatakan Darla, tanpa terlihat peduli sama sekali, hal itu merupakan pertanda bagus, Darla bisa menerapkan hubungan mutualisme, seperti Darla yang menginginkan pelukan hangat setiap hari (singkatnya sebuah kasih sayang sederhana), pula, Marvel yang bisa menumpang sebentar padanya sampai ingatan pria itu pulih.

Marvel menggeleng cuek, "Aku lapar." ulangnya tanpa menyadari bagaimana ekspresi bahagia Darla, saat mengetahui bahwa Marvel belum mengingat kenangan masa lalunya.

Perlu diingatkan sekali lagi, Darla berasal dari Panti Asuhan, ia terlahir yatim-piatu, di temukan di tempat pembuangan sampah oleh pengasuh gereja. Maka dari itu, kala Darla tumbuh dewasa dan memutuskan hidup sendiri agar tidak perlu merepotkan Panti, ia membutuhkan kasih sayang seperti orang-orang kebanyakan. Darla hidup di lingkungan anak-anak beruntung yang masih memiliki kedua orang tua lengkap, ketika pengambilan nilai, atau acara penting seperti kelulusan dan lainnya, hanya Darla saja yang tertinggal sendirian, tanpa adanya wajah bahagia dari mereka melihat keberhasilan seorang Darla.

Sedikit memanfaatkan 'kecelakaan' ketidaksengajaan menemukan Marvel, Darla memberi syarat-syarat remeh, syarat-syarat sederhana yang mudah dilakukan siapa saja, mengambil keuntungan, meski, ia harus membayar resiko besar nanti, resiko perasaannya nanti.

Seperti halnya labirin, Darla memilih terjebak di jalan buntu, melupakan keinginan untuk bengkit berdiri mencari jalan keluar, selama di tempat jalan buntu tersebut, merupakan tempat terlimpahnya sebuah kasih sayang yang telah lama dibutuhkan Darla seorang, selamanya, Darla pasti akan baik-baik saja di sana.

"Saat nanti ingatanmu pulih, kau harus memberitahuku." Darla berujar, mulutnya masih berisi nasi goreng yang belum tuntas betul tertelan. Mereka sedang berada di atas karpet, sebab, Darla tidak mempunyai ruang makan seperti meja dan kursi. Sebelumnya si gadis, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit memasak, dengan mudah, dua piring nasi goreng telah tersedia seperti sihir.

Marvel terdengar merengut, ia berucap tidak sabar. "Kenapa kau tidak memberi telur?" Ia bertanya akan nasi goreng Darla yang hanya diisi sayuran wortel, jujur saja, sayuran apa pun tidak pernah terasa enak di mulut laki-laki bermata amber itu.

"Aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli telur tadi." Darla berdecak, ia melanjutkan suapan keempat. "Hei!" Si gadis begitu saja berubah menjadi sesosok pemarah-cerewet.

Marvel menyuapkan nasi goreng buatan Darla ke dalam mulut, seperti biasa, meski Darla miskin, kemampuan masaknya tidak perlu diragukan. Marvel mendengus sinis. "Kau ingin mengusirku?"

Darla tertawa, beruntungnya mulutnya sudah tidak terpenuhi nasi goreng, sangat tidak menyenangkan jika Darla tertawa kemudian tersedak nanti. Tawa Darla yang kering menghiasi ruangan tak kedap suara itu. Darla mengerjap, sedetik setelahnya, menunjukkan ekspresi jenaka. "Lebih tepatnya adalah bukan kau yang pergi, tapi, aku yang pergi."

Dentingan sendok tak lagi terdengar, Marvel menyorot lurus, membiarkan atensinya hanya berpusat pada Darla seorang.

Darla tersenyum lebar, senyum yang biasa Darla tunjukkan kala teman-temannya bertanya akan di mana orang tua Darla, senyum yang biasa Darla tunjukkan kala pengasuh Panti bertanya apakah ia baik-baik saja. "Aku akan pergi, ke tempat di mana aku tidak bisa melihatmu lagi." balas sang gadis menggunakan nada main-main, lalu, tertawa setelahnya.

Tujuh puluh dua hari. Mereka menghabiskan waktu bersama selama dua bulan, satu minggu, lima hari, Darla menyukai bagaimana sesosok Marvel berada di sisinya, memiliki seseorang yang menggantungkan diri padanya, hingga Darla merasa dibutuhkan kehadirannya. Darla adalah kegelapan, tiap pintu hatinya terisi kekosongan, ia merasa sepi, sebab tidak memiliki orang tua seperti orang-orang pada umumnya. Tak tahu arti keluarga, kecuali, 'balas budi' terhadap pengasuh panti, untuk itu, Darla memilih menjauhkan diri, merasa tidak pantas, setelah menyadari kelahirannya entah berasal dari wanita yang mana, apakah merupakan wanita baik-baik, atau bahkan sebalikanya?

Marvel merupakan pengecualian, ia penyejuk di antara tandusnya musim kemarau gurun pasir, setitik cahaya redup di tengah kehampaan hati seorang Darla, sang gadis merasa terisi, senang memiliki teman, tersenyum menerima pelukan, lalu kemudian hadirlah sebuah perasaan penuh keegoisan.

Pernah mendengar nasihat, jangan pernah berbicara sesuatu hal buruk sembarangan? Sesuatu yang tidak boleh diucapkan, karena masa depan nanti, kala ucapan tersebut benar terjadi adanya, Darla sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

...seperti saat ini....

"Hei," Suara feminim itu mengalun, Darla mengerjap. "Kau baik-baik saja?" Dia berbicara dengan bibir merah merekah alami yang sejujurnya begitu Darla iri-kan. "Maaf jika ini terlihat tidak sopan, aku bertanya sekali lagi," Sang gadis asing menunjukkan sebuah foto usang, ia menatap Darla lekat meminta kejujuran. "...apa kau pernah melihat lelaki ini?"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Yeah, cliffhanger🙄☝️
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi