Saturnight

Selama 5 tahun wajahnya semu. Masih sembunyi bersama kabut malam itu. Setiap sabtu malam kuterima sekotak coklat. Kadang-kadang bunga, gelang, atau selembar puisi. Tidak jarang juga daun kering, sayap burung, bahkan remahan biskuit sisa gigitannya.

"Manis. Eh bukan! Kamu belahan jiwaku. Eh salah! Kamulah calon ibu dari anak-anakku. Maaf maaf, maksudku lebih dari itu. Kamu adalah hidup dan matiku." Jelasnya melalui telepon genggamku yang jadul.

Selalu ada hal sederhana yang membuat perasaanku campur aduk. Kesal, bingung, dan tersipu malu sering jadi satu. Kesal saat lawakannya tidak sampai nalarku. Apalagi saat dia pamer wanita lain yang memperebutkannya. Cemburu? Ya tentu. Bingung, alasan mengapa setiap sabtu malam kuterima kotak. Kotak yang isinya selalu diluar ekspektasi. Tersipu malu, saat pujian dan rayuan hampir meruntuhkan jantungku. Tidak peduli apakah hati dan ucapannya sejalan. Sebab ialah pelepas sepi meski masih jadi misteri.

"Surat ini untuk sketsa wajah yang ada di dinding kamarku. Sejujurnya, aku bukan seorang yang romantis. Tidak manis dan tidak punya apa-apa selain rasa takut. Takut kehilanganmu."

Sebotol formalin bersama bunga mawar. Menjadi hadiah terakhir yang aku terima. Untuk kesekian kalinya aku dibuat bertanya dan memohon.

"Wahai pencipta langit yang maha tinggi. Tunjukan wajah semu yang selalu membuatku halu. Apapun wujudnya, aku siap! Bagaimanapun cerita akhirnya, aku terima! Sebab hati ini terlanjur jatuh kepadanya."

Sabtu malam pada minggu berikutnya kuterima sebuah kertas. Tergeletak diantara kelopak mawar di samping teras dekat kamarku. "Pergi dan bawalah semua benda pemberianku ke tempat dimana kamu merasa tenang sayang." Aku pergi ke taman dekat sekolah. Kertas selanjutnya tertulis "Ke arah selatan dan melangkahlah sesuai jumlah kelopak bunga mawar terakhir yang kuberikan." 13 langkah menuju selatan. Tertulis kertas yang menempel pada pohon kelapa. "Makanlah apapun yang bisa kamu makan dari pemberianku sayang, setelah itu carilah sungai!"

Dia paham betul perjalanan yang melelahkan membuat perutku keroncongan. Dia memang yang paling paham. Lebih dari Ayahku sendiri. Selesai melahap coklat dan biskuit, lekas kulanjutkan langkah menuju sungai.

Sesampainya di sungai, terlihat seorang pria dewasa berdiri dengan gagahnya. Memakai jaket hitam, sepatu kulit, sambil memegang sebuah kotak. Perlahan wajahnya berbalik. Dia sangat tampan. Berkulit putih bersih, berkumis tipis, bola matanya yang coklat terpancar indah. Jemarinya yang panjang menggapai lenganku. Wajahnya mendekat. Bola matanya yang indah menatap tajam. Kuperhatikan dengan saksama. Kugenggam erat tangannya. Ia tersenyum manis.

Pada akhirnya aku sadar, ialah anak laki-laki yang merenggut nyawa Ibu. Sabtu malam, 17 tahun yang lalu. Ketika Ayah tertimpa kasus korupsi. Memperebutkan harta dan tahta hingga pertumpahan darah pun terjadi.

"Terima kasih telah sukarela menjadi hidup dan mati untukku." Ucapnya setelah mengecup bibirku. Lalu, tanpa ampun Dia hujamkam sebilah pisau dari kotak menuju tepat ke arah jantungku.

Saturnight.

10 April 2021

5 disukai 1 komentar 5.8K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
The real sekopet
Saran Flash Fiction