Terancam

Krek...

Kubuka jendela kayu di kamarku. Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang berkabut. Tubuhku sedikit kaku dan terasa berat pagi ini.

"Segala puji bagi Sang Penguasa Alam atas terbukanya mataku di pagi hari ini,"

Seperti biasa, rutinitasku di pagi hari sebelum pergi bekerja adalah belanja di pasar bersama ibu. Tapi pagi ini, aku belum melihat ibu, begitu pula ayah. Kucari di kamar ayah dan ibu, ternyata kosong. Mungkin mereka belum pulang dari surau. Maklum saja, bakda subuh, ayah dan ibu mengajar diniyah di Pesantren As-Salam milik Kiai Hasan sampai jam 6 pagi.

Kiai Hasan memiliki putra bernama Razan. Dulu, Razan adalah teman sekelas di Madrasah, dan sekarang, dia adalah rekan kerjaku.

Sudah jam 6 pagi, tapi ayah dan ibu belum pulang. Kuputuskan untuk pergi ke pasar seorang diri.

Kulihat hari ini kampungku terlihat sangat sepi. Tak ada satu pun orang yang berada di luar rumah.

"Kok sepi? Apa orang-orang masih tidur? Atau aku yang kesiangan bangun?"

Kulihat pintu-pintu rumah mereka. Ada sebuah tanda merah di sana. Tanda apa itu?

Tiba-tiba aku merinding dan mempercepat langkahku ke pasar. Sampai di pasar, sepi. Tak ada kehidupan di sana. Ke mana semua orang?

Sebuah langkah kaki terdengar semakin mendekat. Jantungku berdebar cepat. Kulepas bross di kerudung sebagai senjata jika aku diserang. Aku berbalik.

Plak...

Kuhantamkan brosku pada wajahnya. Razan?

"Kamu masih selamat, Aira? Syukurlah, ayo ikut aku," Razan menarik tanganku sambil mengusap darah yang keluar dari pipinya. Tunggu, kedua lengan tangannya lebam-lebam. Apa yang telah terjadi?

"Sebenarnya ada apa, Razan?"

Razan mengajakku berlari menuju rumahku. Kulihat lagi tanda merah di rumah para tetangga. Merah? Apa itu artinya darah?

"Razan, apa tanda merah di rumah tetangga artinya adalah darah? Apakah ada teror di desa kita? " Razan tak menjawab.

Tepat di depan pintu rumahku. Ada tanda merah. Itu sungguh darah! Razan mendekap tubuhku yang lunglai. Aku terpikir ayah dan ibu. Di mana mereka?

" Setiap ada tanda merah di pintu rumah seseorang di pagi hari, berarti orang yang ada di dalam rumah itu telah dibunuh oleh para ninja di malam harinya, "

"Jadi para ninja itu beneran ada? Dan orang yang kulukai karena telah menyerangku tadi malam sepulang kerja adalah ninja? Lalu mereka balas dendam ke orang kampung? Berarti ini adalah salahku,"

"Tidak Aira, ini bukan karena balas dendam. Para ninja telah memilih para korbannya, yaitu para tokoh agama dan masyarakat, termasuk orang tuaku dan orang tamu, dan warga kampung jadi pemuas hasrat membunuh mereka ketika mereka berpatroli mengamankan desa, "

"Gusti, semoga mereka tenang di sisi-Mu. Amin. Lalu, kenapa mereka tidak membunuh kita?" Razan menggenggam erat tanganku dan matanya memendam luka.

Yang tersisa dari kampung kami hanya kami berdua, jasad orang tua kami dan warga lainnya belum diketemukan.

" Razan, kamu tahu persembunyian para ninja? "

" Tahu,"

" Nanti malam kita berangkat ke sana, luka di balas luka, mati dibalas mati,"

Kami berdua larut dalam semedi, memasrahkan diri sepenuhnya pada Sang Penguasa Alam.

5 disukai 2 komentar 7.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@hanantodamardanto hehe begitulah kak, makasih komentarnya kak 🙏😁
Menarik menjelang ending
Saran Flash Fiction