Disukai
1
Dilihat
1000
Untukmu, Muara Rinduku
Romantis

Mungkin hatiku tak akan terus tertambat seperti ini, jika saja di saat itu kau tak spontan mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan bagiku. Namun, apakah untaian aksara yang terlontar dari mulutmu di kala bocah, bukan sesuatu yang tanpa makna? Ataukah hanyalah ucapan seorang lelaki cilik yang tiada arti? 

Pertanyaan itu, pun kilasan peristiwa di masa lalu tentang kamu, terus saja berlompatan di relung otakku. Hingga memenuhi isi kepala. Menari-nari di pelupuk mata, membayang di hadapan. Bak slide film yang diputar ulang.

Haruskah kulupakan saja? Sedang hati kecilku masih saja menginginkannya tetap ada. Tentang cinta. Cinta yang sama, dan masih saja sama. Tentang rindu. Rindu-rindu yang terus bertunas. 

"Jangan lari. Yang lari, besar nanti akan jadi istriku!" teriakmu saat itu. Ketika aku tak kunjung mau mengembalikan topi biru dengan karakter doraemon. 

Kalimat mengejutkan yang tak kukira akan keluar dari bocah kelas lima sekolah dasar, tatkala aku tak kunjung memberikan topi biru yang kurebut dari kepalamu, sebab kau tak mengakui telah bermain curang.

Topi berkarakter doraemon itu, topi yang selalu kau banggakan seminggu belakangan, "Hadiah dari ayah karna aku juara satu lagi," pamermu.

Aku yang tak ingin kau tahu akan perasaanku, terpaksa menghentikan lari, dan spontan melempar penutup kepala kebanggaanmu itu. Pura-pura tak suka mendengar kalimat yang kau ucapkan. Padahal hatiku kembang-kempis saat itu. Berbunga-bunga tiada tara.

Namun, sikapmu berubah setelah itu. Esoknya saat bertemu, kau tak asyik lagi seperti biasa. Dingin, kaku, seolah ... entahlah. Sulit kumaknai. Pun seterusnya, kau seperti membangun dinding pemisah di antara kita. 

Aku yang waktu itu--bahkan hingga kini--tak mengerti apa yang terjadi, membalas sikapmu dengan acuh tak acuh. Kadang aku bertanya pada hatiku, mungkinkah kau menyesal telah berujar demikian? Karena itukah kau akhirnya menghindariku? Apakah kau menjadi ilfeel padaku?

Hingga akhirnya kesibukan sekolah memisahkan kita. Meski satu tempat saat di sekolah menengah pertama, tapi perbedaan kelas membuat kita jarang bertemu. Juga di kompleks perumahan, aktivitas pelajar yang cukup padat membuat kita tak lagi sering bermain di halaman seperti di kala sekolah dasar.

Hari-hari berlalu, aku mengenal seorang kakak kelas baik hati yang sangat perhatian padaku. Dia ramah, dan langganan juara kelas. Kalau bicara, hanya kata-kata bijak dan keoptimisan yang ia ucapkan. Sikapnya sangat dewasa. Ia juga aktif berorganisasi. Di Osis, ia menjabat sebagai ketua. Aku jatuh cinta padanya. 

Belakangan ku ketahui, ia baik dan ramah bukan saja padaku, tapi begitulah sikapnya pada semua orang. Perhatian yang ia berikan padaku, tak lebih dari seorang kakak pada adiknya. 

Namun, aku kadung mencintainya, dan itu tak berubah meski kutahu aku tak istimewa baginya. Setidaknya begitulah yang kupikir saat itu. Perasaan cinta yang telah menggeser posisimu di hatiku. Begitu mudahnya aku melupakanmu. Yaa, tentu saja, sebab kau hanyalah cinta monyet bagiku. Sedangkan dia adalah cinta pertama. Lagi-lagi kupikir begitu. Kala itu.

Belakangan kusadari, kau bukanlah sekedar cinta monyet, tapi kaulah cinta pertama itu. Pantas saja, di saat kurasa hatiku telah lupa padamu, sebab telah ada cinta yang lain, tapi tiap kali kita bertemu, aku selalu merasa dada ini seolah ada yang menekan. Tertahan. Terhimpit. Dulu kukira itu tak berarti apa-apa. 

Namun telat kusadari, kau tak pernah hilang dari hati ini. Rasaku padamu hanya bersembunyi di balik rasa lain yang ada. 

Mungkin saja rasa yang ada pada kakak senior adalah euforia atas kebaikan dan perhatiannya padaku. Bisa jadi hanyalah fatamorgana dari rasa kagumku padanya, yang telah salah kumaknai sebagai cinta. 

Ataukah benar adalah cinta, tapi di kala kuberhasil melupakannya, menyebabkan rasaku padamu kembali ke permukaan? Entahlah. Namun, yang pasti di saat kupinta pada Tuhan agar membuatku melupakan cintaku padanya, aku begitu yakin dan benar-benar ingin rasaku padanya kembali biasa. Akan tetapi, tidak padamu. Itu tak berlaku. Aku ... ingin kau tetap ada di sini, di hatiku. Walau sikapmu seolah menjauh, tak menginginkanku.

Benar, terkadang aku tersiksa dengan rasa ini. Rindu-rindu terus saja ada. Rindu yang sama, dan masih saja sama.

Haruskah aku meminta pada Tuhan untuk membuatku lupa akan cintaku padamu? Sedang hati kecilku berkata, "Aku menginginkan kau tetap ada. Di sini, di hatiku."

Aku pernah melihatmu melakukan sesuatu yang tak kuinginkan ada pada jodohku nanti. Anehnya, tak menimbulkan efek apa-apa akan rasaku padamu. Cinta yang ada tetap sama, tak berkurang sedikitpun. Tak berpengaruh.

Orang-orang bilang itulah sebenarnya cinta. Cinta tanpa syarat. Bahkan hingga kini pun tak kutemukan satu pun alasan kenapa aku jatuh cinta padamu.

Cinta, aku rindu. Sungguh aku rindu. Rindu yang sama, dan masih saja sama.

Lalu, kupejamkan mata. Kulihat bayangmu di sana. Sedang tersenyum. 

Lantas, bagaimana kubisa lupa?

Ahh, satu lagi. Hampir saja aku tak ingat. Kejadian saat di SMA, tentu saja ketika aku belum menyadari bahwa kau masih ada di hatiku, dan masih tertanam kuat di dasar hati. 

Kala itu, aku naksir kakak kelas. Dia adalah seorang bintang yang dikagumi para siswi. Karena kecerobohanku, perihal diriku yang naksir si dia tersebar seantero kelasku, bahkan hingga ke kelas dia.

Lagi-lagi, aku yang gengsian tak berani mengakui kebenaran itu. Aku menghindar, bersikap seolah kabar tersebut tidak benar. Terlebih saat kutahu ia teman sekelasmu. Bukan hanya sebangku, tapi lebih dari itu, kalian adalah sahabat karib.

Aneh memang, mengapa aku gengsi mengakuinya, terlebih padamu? Padahal kala itu aku tak ada rasa apa pun lagi padamu. Begitu pikirku. Namun, tentu saja itu terjadi sebelum ku menyadari kebenaran yang ada. Seperti yang kukatakan tadi, belakangan baru kusadari bahwa kau tak pernah pergi dari hati ini. Kau ada, bahkan selalu ada. Kau hanya bersembunyi di balik rasa lain yang muncul.

***

Puluhan purnama telah berlalu. Saat yang kutunggu-tunggu datang juga. Hari bersejarah. Kenangan yang tak kan terlupakan seumur hidupku.

"Aku terima nikah dan kawinnya Shafirah Aulia binti Zulkifli Hasan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana saksi, sah ... sah?" Pak Penghulu menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Sah."

"Saaahhh!" Serentak para tamu undangan yang memenuhi masjid, berseru.

Bulir bening menggenang di pelupuk mata tanpa diminta. Tiba-tiba, bersamaan dengan rasa membuncah di dada. Prosesi akad nikah usai sudah. 

Orang tua, keluarga, para tamu satu-persatu mengucapkan selamat dan mendoakan. Termasuk ... dirimu.

"Rah, selamat ya," ucapmu bergetar. Ada senyum tipis di wajahmu yang tampak sendu.

Lagi-lagi, dadaku terasa ada yang menekan. Tertahan. Sesak. 

Inikah akhirnya, akhir dari rinduku padamu? Rindu yang selalu ada. Rindu yang sama, dan masih saja sama.

***

Tuhan, aku memutuskan untuk mengakhiri cinta ini. Rindu itu terus saja bercabang, dan mungkin satu-satunya cara untuk membuatnya berhenti tumbuh adalah melupakannya.

Untuk saat ini, biarkan aku menangis. Menangis dalam diam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi