Disukai
3
Dilihat
940
Takdir Cinta
Romantis

"Berulang kali ku kirim surat untukmu, tapi tak satu pun kau membalasnya." Syams tersenyum getir kepada gadis bermata cemerlang di depannya.

"Apa kau tak pernah mencintaiku?"

Gadis itu terdiam, tidak mampu membalas tatapan Syams yang sarat kesedihan. Sesekali dia mengerjap, berusaha menahan air mata agar tidak mengalir menciptakan sungai kesedihan.

"Aku tahu sekarang, diammu telah menjawab semua pertanyaanku."

Pemuda itu tersenyum lalu menengadah menatap langit malam yang tertutup mendung. Syams mencoba mengumpulkan keberanian, kembali memandang paras ayu Mala.

"Aku antar pulang," ajak Syams memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua. "Tidak, Mas. Kumohon dengarkan aku dulu. Satu pun tidak pernah kuterima surat darimu, Mas."

"Bohong!"

"Demi Tuhan, percayalah Mas."

Syams menatap lekat Mala, tidak ada kebohongan di mata gadis itu. Lidah sang pemuda kelu, tidak mampu berkata-kata. Digenggamnya tangan Mala erat-erat seakan sampai kapan pun tidak mau melepaskan pujaan hatinya.

Pemuda berambut ikal itu mengecup jemari Mala dengan lembut, terhitung tujuh buah kecupan basah dihadiahkan pemuda itu pada jemari putih sang gadis. Senyum Syams merekah, tapi ada yang ingin pemuda itu pastikan.

"Bagaimana dengan surat-surat yang telah ku kirim untukmu? Setiap kali aku mengirim surat tak sekali pun kau membalasnya. Bagaimana aku bisa percaya bahwa kau juga mencintaiku?"

"Surat yang mana, Mas? Aku tidak pernah menerima surat-suratmu. Aku tidak tahu bagaimana cara membuatmu percaya, tapi aku tidak bohong tentang perasaanku kepadamu, Mas."

"Mala ... ."

Syams tidak tahu harus berkata apa, dia begitu terkejut mendengar penuturan Mala. Fakta bahwa gadis yang selama ini dia cintai juga mencintainya membuat pemuda itu sangat bahagia. Betapa bodoh dirinya yang tidak mengetahui kesedihan Mala dalam penantian, tapi bagaimana dengan surat-surat yang dia kirim untuk Mala dulu? Jika Mala tidak menerimanya lalu ke mana surat-surat itu?

"Mas, mengapa cinta ini begitu menyiksa hingga membuat kita berdua terluka dan tidak saling percaya?" Air mata Mala jatuh bersama dengan tetesan hujan yang mulai membasahi bumi.

"Aku akan memperbaiki semuanya. Maukah kau memulai lagi bersamaku?"

"Semua sudah terlambat, Mas. Terlambat! Aku sudah dijodohkan."

Syams terbelalak tidak percaya, berharap apa yang dia dengar adalah kebohongan belaka. Iya, kebohongan yang diucapkan Mala untuk menguji cintanya. Namun, ketika dipandanginya mata indah Mala tidak ada kebohongan di sana. Syams tahu dia telah kalah, bahkan sebelum berjuang.

Tidak, ini tidak boleh dibiarkan! Kalaupun Mala menikah, maka akulah yang akan menjadi suaminya.

Terlintas ide gila dalam otaknya. Dengan keyakinan yang entah datang dari mana pemuda itu berkata, "Ikutlah denganku. Kita kawin lari!"

***

Kuncoro bingung melihat tingkah anak semata wayangnya. Setelah semalam pulang dalam keadaan basah kuyup, pagi ini Mala mengunci diri di kamar—tidak membiarkan siapapun masuk—dan melewatkan waktu sarapan. Seharusnya itu hari Minggu yang tenang sama seperti yang sudah-sudah, ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi sebagaimana rutinitas yang telah berlangsung bertahun-tahun, Kuncoro menikmati waktu dengan minum teh buatan istrinya ditemani sepiring pisang goreng. Hingga perhatian lelaki yang telah mencapai usia setengah abad itu teralihkan oleh suara pintu terbuka yang berasal dari kamar Mala, menampilkan kondisi sang pemilik kamar yang menyedihkan. Mata gadis itu bengkak, hidung mancungnya berubah merah dan air mukanya mengundang rasa iba.

Kuncoro memanggil Mala, menyuruh gadis itu duduk di sampingnya dan menanyakan apa yang sudah Kuncoro lewatkan. Mala meyakinkan sang ayah bahwa dia baik-baik saja, tapi itu tidak pernah berhasil, karena Kuncoro memiliki kepekaan yang tinggi—bahkan karena kepekaan inilah dia berhasil mendapatkan cinta Nurma, istrinya.

Tiga hari berlalu sejak insiden malam yang basah, tiba-tiba Kurcoro dan Nurma yang saat itu sedang berbincang di ruang tengah rumah mereka dikejutkan dengan Mala yang telah berpenampilan rapi.

"Mau ke mana, Nak?" tanya Nurma menghampiri sang putri.

"Mau cari udara segar."

"Ayah antar, ya," tawar Kuncoro.

"Tidak perlu Yah, Mala bisa pergi sendiri." Gadis itu melenggang pergi menaiki motor butut milik ayahnya menuju arah pantai.

Kuncoro dan Nurma saling berpandangan, "Ada apa dengan anak itu?" tanya Nurma lirih.

"Tingkahnya seperti orang patah hati," terka Kuncoro.

"Batalkan saja perjodohannya, Yah. Kasihan dia."

"Aku sudah berjanji pada seseorang, jika aku yang membatalkannya mau ditaruh mana mukaku?!"

Mala yang malang, bahkan ayahnya lebih mementingkan harga dirinya daripada kebahagian putrinya sendiri.

***

Ketika Mala telah menginjakkan kakinya di bibir pantai, tidak banyak orang ada di sana—hanya ada delapan orang termasuk Mala yang menikmati keindahan pantai. Gadis itu duduk di atas pasir tanpa alas apa pun. Dibukanya tas selempang rajut miliknya, mengeluarkan tiga buah lembar surat dari Syams yang dia temukan di laci Kuncoro. Jika Syams tidak mengatakan sesuatu tentang surat-surat yang dia kirim mungkin Mala tidak akan pernah tahu. Sehari setelah pertemuannya dengan Syams, Mala mencari surat itu di ruang kerja ayahnya, tempat penyimpanan dokumen dan surat-surat lainnya. Selagi ayahnya keluar mengantarkan sang ibu pergi ke rumah saudara yang sedang menggelar hajatan, Mala segera menggeledah tempat itu dan menemukan surat-surat Syams di dalam laci bagian paling bawah.

Kenapa surat itu tidak sampai padaku? Apakah ayah dan ibu sengaja menyembunyikannya dariku? Tapi ... kenapa? Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dan memenuhi kepala Mala.

Angin pantai menerbangkan helai rambutnya, sesekali ombak yang datang membasahi kaki putihnya, tapi Mala tidak menghiraukan itu semua. Gadis itu lebih tertarik dengan surat yang ada dalam genggamannya. Pilihan pertama Mala jatuh pada surat yang memiliki tanggal paling lama.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lamongan, 08 Agustus 1976.

Apa kabar, Adinda Mala?

Semoga kau selalu baik-baik saja, aku di sini selalu mendoakan semoga engkau selalu dalam lindungan Sang Maha Cinta.

Jangan tanya kabarku, karena aku tanpamu tak akan pernah baik. Bagaimana bisa baik jika rindu selalu melilit hatiku, tak membiarkanku untuk beristirahat barang sekejap saja.

Adinda Mala, apakah kau ingat awal pertemuan kita?

Kala itu tahun baru, kita berada di dalam bus yang penuh sesak. Dari jauh aku melihatmu berdiri berdesak-desakan di antara lautan penumpang. Saat itu hatiku tergerak untuk menawarimu tempat duduk. Jangan salah sangka karena tak ada niat buruk, modus, gombal atau apa pun itu namanya. Karena setelah itu meski kau duduk di sampingku dan aku berdiri di sebelahmu, tak ada kata yang terucap di antara kita. Namun, aku tak tahu jika hari itu hatiku telah dicuri oleh gadis asing bermata cemerlang.

Adinda Mala, selang beberapa tahun akhirnya Tuhan mempertemukan kita kembali, dan apakah kau tahu? Rasa itu tetap ada. Rasa yang tumbuh subur itu akhirnya ku tahu bernama cinta. Ya, aku mencintaimu.

Mungkin surat ini akan membuatmu terkejut. Namun, percayalah aku hanya ingin mengutarakan rasa ini sebelum aku menyesal karena terlambat.

Dari pengagummu,

Syams

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mala tersentuh dengan pernyataan jujur Syams, tanpa sadar dia tersenyum setelah membaca surat itu. Gadis itu kembali membaca suratnya yang kedua, surat itu dikirim satu bulan setelah yang pertama.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lamongan, 9 September 1976.

Apa kabar, Adinda Mala?

Semoga hari-harimu selalu menyenangkan. Jangan tanya kabarku karena akan selalu sama, tanpamu aku tak akan pernah baik.

Adinda Mala, pagi itu aku kembali bertemu denganmu, di persimpangan jalan ketika kau mengantar ibumu ke pasar. Dari kejauhan aku memperhatikan paras ayumu, kau tersenyum kepada setiap orang yang menyapa kalian (kau dan ibumu). Sayangnya aku tidak pernah berani menyapamu, seakan ada rantai tak kasat mata yang membelenggu kakiku, mencegahku menghampirimu. Lidahku kelu sebelum aku menyebut namamu, tapi seakan ada jutaan kupu-kupu yang menari dalam perutku. Seandainya waktu itu aku memberanikan diri pasti rasa sesal ini tak akan menghantui malam-malamku.

Adinda Mala, aku tak tahu salah apa aku padamu? Kenapa suratku tak pernah kau balas? Atau mungkin kau tak menerima surat itu? Kuharap surat ini tak bernasib sama dengan suratku yang pertama. Balaslah surat ini, jika kau merasa terganggu dengan semua ini maka aku akan menyudahinya. Pergi sejauh mungkin dengan membawa rasa cinta ini.

Dari seseorang yang mengharapkan balasanmu,

Syams

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surat kedua membuat Mala gemetar seakan ikut merasakan perasaan Syams waktu itu. Tidak membuang waktu gadis itu segera membuka surat yang terakhir.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lamongan, 31 Desember 1976.

Adinda Mala, minggu depan aku akan pergi ke ibu kota, mungkin dua atau tiga tahun aku akan menetap di sana. Sejujurnya hatiku sangat berat meninggalkan kota tempatmu berada. Di hari keberangkatan aku akan menunggumu. Namun, jika kau tak datang percayalah aku tak akan mengganggumu (mengirimimu surat) lagi.

Dari orang bodoh,

Syams

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surat ketiga begitu singkat, mungkin saat itu Syams telah putus asa. Namun, Mala tidak berbohong, dia tidak pernah tahu tentang surat-surat itu. Seandainya ... ya, seandainya saja waktu itu dia menerimanya pasti Mala akan datang ke stasiun menemui Syams. Mengatakan bahwa dia juga mencintai Syams, menghapus kesedihan pemuda itu bahkan dia akan meminta Syams untuk membatalkan kepergiannya. Pada akhirnya Mala tidak bisa menahan tangisnya, gadis itu begitu terpukul atas kejamnya takdir cinta. Seorang diri menangis di bibir pantai dan menjadi tontonan orang-orang yang ada di sana.

***

Beberapa Minggu kemudian.

Aku tidak bisa tidur. Ditemani alunan merdu suara Chrisye yang memenuhi kamarku. Kini pikiranku penuh tentangmu.

Sejak awal, aku meragukan keputusan ini. Namun, sekarang aku yakin. Jadi, ku tuliskan surat ini untukmu. Tolong sampaikan kepada Ibu dan bapakmu, serta bapakku. Tidak perlu kausampaikan kepada ibuku sebab dia tahu kepergianku.

Kau lelaki pilihan Bapak ...

Bukan karena kau tidak baik. Bukan pula karena aku ragu kepadamu, pilihan bapakku. Ini soal aku yang memilih memelihara hati untuk orang yang ku cinta dari dulu.

Barangkali Bapak tidak menyetujui lelaki yang aku suka karena surat-surat darinya disimpan sendiri. Aku tidak tahu menahu dan Bapak tidak tahu pula jika aku rajin menuliskan tentang lelaki itu di buku harianku. Sampai beberapa minggu lalu aku bertemu dengan Syams, laki-laki yang ku cinta. Sepulang dari pertemuan itu, aku memikirkanmu. Sungguh.

Maaf jika ini memalukan dan mengecewakan. Namun, tidak bisa ku bayangkan hidup bersamamu penuh dengan kepura-puraan. Aku yakin kau akan marah dan kecewa setelah tahu hatiku bukan untukmu.

Maka dari itu, ku putuskan untuk menyudahi rencana pernikahan ini. Sepihak ku putuskan, sebab keluargaku dan keluargamu tentu tidak akan setuju.

Aku akan pergi. Ke tempat yang ibu, bapak, kerabat, dan kau tidak tahu. Akan kutinggalkan jurnalku yang berisi tentang rasaku untuk Syams dan untukmu di rumah ini. Supaya Bapak dan Ibu tahu, agar tidak perlu mencariku. Supaya kau bisa membacanya—jika kau ingin.

Aku pergi ke suatu tempat, di mana hanya aku, Syams dan Tuhan yang tahu.

Aku tidak memintamu memaafkanku karena aku tidak pantas menerimanya. Segera lupakan aku. Semoga lekas kau temukan perempuan yang tepat untukmu.

Calon istri pilihan orang tuamu,

Mala.

Tamat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Terima kasih banyak, Kak.
Keren cerpennya👍❤️
Rekomendasi