"Aku akan pergi merantau ke kota dan pulang membawa banyak uang untukmu," ucap sang suami, "Akan kubelikan kalung dan gelang serta kubangunkan rumah yang megah untuk keluarga kecil kita."
~~~
Raminten yakin suaminya pasti akan menepati janji yang sudah dibuat. Dia akan menjadi istri yang setia, menunggu dengan sabar tanpa banyak mengeluh.
Namun, setelah empat bulan berlalu sejak kepergian sang suami, tidak ada satu pun surat yang dikirim.
Hamdi bukanlah tipe lelaki yang tidak memberi kabar, dia juga bukan lelaki yang suka ingkar janji. Tapi mengapa sekarang suaminya menghilang tanpa kabar?
Bayangan Hamdi dalam pelukan wanita lain berkelebat di kepala Raminten.
Tidak, tidak, itu tidak mungkin terjadi!
Selama ini lelaki itu hanya mencintainya dan akan selalu mencintainya! Raminten sangat yakin akan hal itu. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, dulu ketika pulang sekolah rantai sepeda Raminten putus, Hamdi yang bersepeda di belakangnya segera turun dan membantu memperbaiki sepedanya.
Pernah saat Raminten nyaris mati tenggelam karena terjatuh dari perahu yang ditumpanginya bersama teman-teman sekelas, di saat teman-temannya hanya diam membeku, tanpa pikir panjang lelaki berambut ikal itu segera menceburkan diri untuk menolongnya.
Atau saat dia dan Hamdi menikah tanpa restu orang tua, ketika semua orang mencaci dan mencemooh mereka, lelaki itu selalu menguatkannya.
Hamdi selalu terlihat kuat dan tak pernah menunjukkan kesedihannya, tapi suatu malam di penghujung bulan Januari, ketika Raminten terbangun tengah malam karena ingin kencing, dia melihat bahu suaminya yang tengah duduk di ruang tengah itu bergetar dan di detik berikutnya Raminten bersumpah mendengar suara isak lirih sang suami.
Wanita itu menghentikan langkah, memilih kembali ke kamar dan menahan kencing hingga pagi tiba. Dia tidak ingin sang suami menyadari keberadaannya. Raminten tahu, Hamdi orang yang baik, tapi sisi lain lelaki itu punya ego yang tinggi.
Sebulan sebelum Hamdi pergi ke kota, Raminten pernah bertanya, Apakah Hamdi menyesal menikahinya? Lelaki itu secepat kilat menggelengkan kepala sembari berkata, Menikahimu adalah pilihan terbaikku.
Lalu mengapa sekarang suaminya itu menghilang tanpa kabar?
Wanita enam belas tahun itu pun mulai gelisah, suami yang dia cinta tak kunjung pulang, uang tabungannya pun semakin menipis sedangkan kandungannya semakin membesar, tinggal hitungan minggu dia akan melahirkan.
Bagaimana dia bisa menyambung hidup? Mana cukup uang itu untuknya dan sang bayi! Apa yang harus dia lakukan?
Tidak mungkin Raminten minta uang pada orang tuanya, sejak dia dan Hamdi memaksa kawin, mereka sudah dianggap mati.
Bapaknya tak lagi mengakuinya sebagai anak karena lebih memilih kawin dengan anak tukang becak dibanding juragan penggilingan padi yang berlimpah harta.
Ketika Bapak mengharamkan Raminten untuk menginjak rumah mereka, ibunya menangis tersedu dan memanggil nama Raminten berulang kali. Namun, gadis itu mengabaikannya dan mengajak Hamdi pergi setelah lamaran kekasihnya itu ditolak mentah-mentah.
Kau tak akan bahagia, Nduk. Kau tak akan sanggup menahan pedihnya kemiskinan jika kawin dengan pemuda itu, Nduk, jerit sang ibu di sela tangisnya dulu.
Raminten menghela napas gusar, tidak mungkin pula wanita berparas cantik itu minta uang pada bapak dan ibu Hamdi. Selama ini mertuanya hidup dalam kemelaratan yang tak berkesudahan. Bapak mertuanya tiga bulan lalu jatuh dari becak, kakinya patah hingga tak bisa lagi mengayuh becak. Saat ini adik iparnya-lah yang menggantikan sang bapak mencari pelanggan. Wanita itu tak ingin menambah beban keluarga suaminya.
Beberapa kali Raminten mencoba mencari kerja, tapi tak ada orang yang mau memperkerjakan wanita bunting sepertinya. Dia juga tak memiliki keahlian apa pun, masa mudanya bergelimang harta dan selalu dimanja. Apa-apa selalu ada, semuanya dibantu pelayan. Tapi kini hidupnya berputar 360 derajat, setiap hari bisa makan dua kali adalah sebuah anugerah. Jika Raminten lapar tengah malam, dia akan mengisi perutnya dengan air satu kendi.
"Kapan kamu pulang, Mas?" gumam Raminten di suatu sore.
Wanita itu duduk di kursi depan rumah yang menghadap langsung ke Sungai Bengawan Solo.
Tiga hari berlalu sejak pembantaian orang-orang yang (diduga) termasuk dalam anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ratusan tubuh tanpa nyawa hanyut terbawa arus, seakan tidak ada habisnya.
Aroma bangkai memenuhi atmosfer pemukiman pinggiran sungai, jasad-jasad yang tak lagi utuh menjadi tontonan anak-anak yang belum mengerti apa-apa. Entah apa yang ada dalam pikiran anak-anak itu, suatu waktu mereka menunjuk-nunjuk mayat yang tersangkut di bawah jembatan dengan sorot penasaran. Di lain waktu anak-anak itu menjerit ketika melihat jasad yang lehernya tergorok, kepalanya nyaris putus.
Tiba-tiba Raminten bangkit, berjalan perlahan menuju kamar mandi dan memuntahkan nasi jagung dan ikan asin yang menjadi menu makan siangnya kali ini. Kepalanya pusing dan hampir hilang keseimbangan, jika tangan Raminten tidak cepat meraih pegangan pintu kamar mandi yang terbuat dari bambu itu mungkin saat ini tubuhnya sudah mendarat di lantai kamar mandi yang keras dan dingin.
"Maafkan ibumu ini, Nak." Raminten mengelus perutnya bergerak-gerak, mungkin sang jabang bayi ikut merasakan keresahan ibunya.
Suara ketukan pintu begitu keras, disusul suara wanita memanggil Raminten.
"Raminten," panggil Warti, tetangga samping rumah.
Wanita dua puluh lima tahun itu masuk begitu saja lewat pintu yang terbuka lebar.
"Iya, ada apa, Ti?"
Tanpa menjawab pertanyaan Raminten, Warti langsung menarik pergelan tangan wanita itu.
Raminten bersusah payah mengikuti langkah cepat Warti, semenjak kandungannya memasuki tri mestes akhir Raminten merasa geraknya lebih lambat dan mudah lelah, beberapa kali kakinya tensandung kerikil-kerikil lancip hingga mengeluarkan cairan merah.
"Di sini, cepat kemari!" teriak Parjo, suami Warti, di antara kerumunan warga.
Suasana yang semula ramai tiba-tiba menjadi hening. Beberapa orang bergumam tak jelas, sebagian lagi saling berbisik dan sisanya hanya diam memandang kedatangan Warti dan Raminten dengan tatapan yang sulit diartikan.
Kerumunan warga yang sebelumnya melingkar kini bergerak membuka jalan untuk kedua wanita itu.
Di tengah kerumunan, ada sebuah mayat lelaki yang mulai membiru. Kulitnya penuh luka bahkan sebagian daging muka dan hidung nya hilang, mungkin sudah di makan ikan. Mayat itu mengenakan kaos dan celana bahan yang Raminten kenal.
Wanita bunting itu terbelalak kemudian terduduk lemah di samping mayat, air matanya jatuh bersamaan air ketuban yang merembes dari sela paha. Di bawah langit senja yang semerah darah, wanita itu meraung pilu karena dipaksa menerima kenyataan, suami yang selalu dinanti kepulangannya menjadi korban pembantaian berdarah. Mayatnya jadi santapan ikan hingga sulit dikenal dan berakhir tersangkut di bibir bengawan.
Kenapa takdir begitu kejam? Bagaimana nasibnya kelak? Tak mungkin dia kembali ke rumah orangtuanya, bapak pasti akan menyuruh untuk membuang bayinya. Tak mungkin pula Raminten menjadi beban mertuanya.
Sambil menahan sakit perempuan itu membungkuk dan mencium kening jasad Hamdi. Raminten mendekatkan bibir pucatnya di telinga sang suami dan berbisik, "Kenapa kau meninggalkanku, Mas?"
Tamat.