Disukai
2
Dilihat
1231
Sepatu Kiri Naima
Drama

"Ya, betul! Ini memang pasangannya!" Aku terlonjak gembira ketika Pak Tirta mengeluarkan sepatu yang hanya sebelah. Lalu sepatu kiri itu kusandingkan dengan sepatu kanan yang kubawa. Rasanya seperti menemukan belahan jiwa!

Ya, sepatu berukuran kecil yang hanya sebelah kiri itu sangat berharga dan berarti bagiku. Sepatu mungil merah berpita emas, nomor 26. Sudah dua puluh dua tahun aku mencari pasangannya yang hilang. Kenapa sepatu jelek dan usang itu mesti dicari? Kenapa tak kubuang saja karena tak berguna lagi? Kupikir orang tak waras pun akan berpikir begitu. Namun bukan itu, ada sejarah yang menorehkan kisah di balik telapak sepatu mungil itu. Dia juga merupakan kunci dari sebuah misteri yang akan menguak siapa sebetulnya diri ini.

***

Dua puluh dua tahun yang lalu.

Hanya sedikit yang kuingat pada saat itu karena usiaku masih 3 atau 4 tahunan. Tak banyak tahu apa yang terjadi antara mama dan papaku. Bahkan aku tak bisa mengingat persis wajah mama. Yang kuingat hanya saat-saat terakhir ketika aku diperebutkan oleh dua orang dewasa itu. Saat itu aku sedang bermain sendirian di teras rumah. Tiba-tiba mama datang tergopoh-gopoh, lalu merangkulku erat. Mama seakan tak mau aku terlepas dalam pelukannya. Beberapa detik kemudian, mama berteriak-teriak ketika seorang lelaki tak kukenal menarik tubuh mungilku ke tubuh kekarnya. Aku meronta ingin kembali ke pelukan mama. Namun tubuh tegap itu terlalu kuat mendekapku. Hingga aku terlepas dari pelukan mama yang terus berusaha mengejarku. Saat itu hanya sepatu sebelah kananku yang terjangkau tangan mama hingga terlepas dari kaki mungilku. Setelah itu aku tak pernah melihatnya lagi. Hanya namanya yang diingat karena seringnya kupanggil, Mama Anna. 

Tiba di rumah besar, aku tak henti menangis, menjerit-jerit dan mengamuk. Aku ingin Mama. Hanya Mama yang boleh memelukku. Dan sepatu tinggal sebelah yang masih melekat di kaki kiriku saat itu, tak mau kulepas dalam genggaman. Meskipun mereka yang menyebut dirinya Oma, Opa, bahkan Papa yang menculikku itu, memaksa ingin membuangnya. Sejak itu aku hanya akan makan dan tidur jika sepatu kiri itu kupegang. 

Mereka semua menyayangiku, apalagi Papa. Namun ada satu orang yang tak menyukai kehadiranku, yaitu Mama Sheila, istri papaku. Meski begitu, aku selalu dibela Oma dan Opa. Belakangan selalu kudengar Oma bicara kepada Mama Sheila karena tak bisa memberinya cucu. Untuk itulah Oma menyuruh Papa mengambilku dari Mama. Meski saat itu aku tak mengerti, kenapa hanya aku yang diambilnya. Kenapa tak bersama Mama Anna sekalian?

 Kemudian ketika usiaku menginjak tujuh tahun, Papa dikaruniai dua anak, satu perempuan, dan dua tahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Aku menyayangi mereka layaknya adik kandungku. Namun Mama Sheila seolah menjaga jarak hubungan kami. 

Untung saja mereka pindah ke rumah baru. Sehingga aku tak terlalu makan hati karena merasa dianaktirikan. Lama-lama kenangan masa kecilku bersama Mama Anna mulai memudar. Kecuali sepatu kiri mungil itu. Dia sengaja disimpan dalam kotak kayu di lemari pakaianku. Usang, banyak robekan bekas gigitan gigi susuku, namun tetap kurawat dan terlihat bersih. Aku tak mau jika kenangan tentang Mama Anna sirna semuanya.

Selama dalam pengasuhan Oma dan Opa, tak ada masalah dengan kehidupan serta pendidikanku. Mereka keluarga kaya-raya, dan Papa adalah pewaris tunggalnya. Bahkan aku juga telah diwarisi mereka salah satu perusahaannya. Setelah bersekolah, temanku banyak. Akan tetapi, aku dibolehkan berteman akrab dengan lawan jenis saat menginjak perguruan tinggi. Ia adalah Prasetyo, calon dokter. Lelaki yang sangat perhatian itu baru lulus sarjana kedokteran dan sedang koas di salah satu rumah sakit di kotaku. Namun ia berasal dari Jogjakarta.

Di saat Mas Pras mengutarakan niatnya untuk melamarku, tiba-tiba saja aku teringat Mama Anna. Ada rasa rindu yang tak tertahankan. Aku ingin bertemu dengannya! Kuutarakan keinginanku itu kepada Mas Pras.

"Aku ingin ketemu Mama. Aku tak bisa lagi mencurahkan rinduku pada sepatu usang itu."

"Baiklah, Nay. Kamu jangan sedih begitu. Kita akan coba mencarinya."

"Tapi ke mana? Tak satu orang pun yang bisa dimintai keterangan. Setiap kali kutanya asal-usulku, mereka selalu diam. Aku capek!"

"Bicaralah sama papamu baik-baik. Kamu sudah dewasa, beliau pasti mengerti."

Akhirnya, kuberanikan diri mendatangi Papa ke rumahnya. Kukatakan bahwa apa pun yang terjadi nanti, aku tak akan meninggalkanya. Aku masih anaknya dan tetap jadi cucu kesayangan Oma dan Opa. Pada akhirnya, dengan berat hati Papa memberikan alamat Mama kepadaku. Ternyata dulu aku lahir di kota yang sama dengan asal Mas Pras. Semoga saja itu akan memudahkan pencarian.

***

Sayangnya tak ada yang mengenal mamaku. Setiap aku bertanya, jawabannya pasti gelengan kepala. Hingga di sebuah toko barang bekas "Toko Tinggal Kenangan", aku masuk untuk bertanya. Ruangan toko yang tak begitu luas itu tampak dipenuhi barang bekas. Beberapa barang dipajang di etalase Seorang lelaki separuh baya menyambutku ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" 

Belum sempat menjawab, seorang ibu memasuki toko. Sehingga pemilik toko pun teralihkan perhatiannya.

"Eh, Bu Renggo, nyari apa sampean?"

"Iki lho, Pak Tirta. Saya mencari bros yang agak-agak unik gitu lho. Siapa tahu ada yang pernah jual bros antik. Kan kalau dipakai ke kondangan ndak ada yang samaan toh?"

"Oh gitu, ada, ada! Silakan pilih di kotak aksesoris di lemari kaca itu!" Pak Tirta, pemilik toko itu menunjuk ke sudut ruangan. Mataku spontan mengikuti ke arah itu. Tiba-tiba tatapanku nanar ketika melihat salah satu pajangan di lemari kaca itu. Sepatu mungil tanpa pasangan terpajang di dalamnya. Persis seperti yang kubawa dalam tas.

"Pak, bisa tolong saya ambilkan sepatu sebelah itu?"

"Oh, bisa, bisa! Barang ini sudah lama terpajang dan tak laku karena hanya sebelah. Hanya saja ini adalah amanat dari pemilik barangnya. Dia menitipkannya untuk selalu dipajang sampai ada yang mau beli. Padahal aku sendiri tak yakin akan ada yang beli!"

"Kalau boleh tahu, siapakah pemiliknya?"

Pak Tirta lalu menceritakan awal mulanya sepatu sebelah itu bisa berada di lemari pajangan. Sepatu itu punya Bu Anna, tetangga yang hidup sebatang kara. Sejak gadis, ia sudah indekos di gang kedua dari toko ini. Tak lama ia hamil dan melahirkan seorang anak perempuan, namun kekasihnya tak mau bertanggung jawab. Sekitar dua tahun belakangan, Anna datang ke toko ini untuk menjual barang-barangnya, karena ia mau pulang kampung halamannya. 

"Pak Tirta, saya mau jual barang-barang ini. Berapa saja asal ada buat ongkos pulang kampung. Dan saya mohon, tolong pajang sepatu anak ini. Meski hanya sebelah, suatu hari pasti ada yang mencarinya. Ini alamat rumah saya di kampung. Tolong berikan padanya."

Aku terhenyak setelah mendengar cerita dari Pak Tirta. Ya, dia mamaku, pasti Mama Anna!

"Apakah yang Bapak maksud itu Bu Anna? Kalau betul, saya sedang mencarinya. Saya adalah putrinya!"

Tiba-tiba saja perempuan yang sedang memilih bros itu mendekati kami. Ia memandangiku seolah ingin menyelidik.

"Oalaah ... Apa iya, ini anak haram yang diculik bapaknya itu?"

"M–maksud Ibu?"

"Iya, semua warga sini tahu, Anna kan dulu hamil di luar nikah. Sayangnya, keluarga lelakinya ndak mau menerima, sampai Anna melahirkan dan mengurus anaknya sendiri. Sudah agak besar, eeh malah diculik! Kasihan si Anna sudah kayak orang gila! Untung saja warga sini mau mengasihani."

"Apa bisa saya bertemu dengannya?"

"Kenapa baru sekarang kamu cari? Sudah sedewasa ini? Oalaah, ke mana saja kamu selama ini, Cah Ayu? Ooh, jangan-jangan nasib kalian sama. Buah jatuh kan tak jauh dari pohonnya. Hihihi."

"Hush! Sudah, Bu Renggo! Ndak usah lebay gitu kalau kata anak muda! Adik ini kan punya maksud datang ke sini. Ya kita bantu sebisanya."

Aku mengeluarkan sepatu kiri dari tas. Mereka pun terbelalak. 

"Ya, aku memang anak Bu Anna. Saya sedang mencarinya dan ingin bertemu dengannya."

"Eh, tahu ndak. Si Anna itu, sudah bertahun-tahun nyari anaknya sampai ia berhenti kerja. Dia juga sudah mengorbankan hidupnya sampai ndak mau menikah. Kamu harusnya bisa merasakan penderitaan dan traumanya bila ada lelaki yang mendekatinya."

Aku diam tak menanggapi ocehan dari mulutnya yang nyinyir. 

Ponselku berdering, kulihat nama Mas Pras terpampang di layarnya. Segera kujawab panggilan itu.

"Iya Mas, aku ada di Toko Barang Tinggal Kenangan. Mas masuk aja, ada yang ingin kuperlihatkan!"

Tak lama kemudian, calon dokter yang juga calon suamiku itu masuk. Tadi ia agak lama memarkirkan mobilnya sebelum aku masuk toko. Pak Tirta mengangguk hormat saat melihat Mas Pras.

"Den Pras? Kapan dari Jakarta?"

Mas Pras tersenyum sambil membalas anggukannya. Mereka seperti sudah saling mengenal. Ah, tentu saja, Mas Pras berasal dari daerah ini dan kebetulan anak seorang dokter termashur di kota ini.

"Baru saja, Pak! Kebetulan lagi mengantar calon istriku menemukan ibunya. Menurut alamat dari papanya, beliau tinggal di sekitar sini. Di lingkungan kita!"

Sementara itu, Bu Renggo terpaku dengan mulut ternganga lebar. Dia menatapku dan Mas Pras bergantian seakan ada yang aneh.

"Maksud Den Bagus Pras, Mbak ini calon istri Den Bagus?"

"Iya, Bu Renggo. Kenapa? Kok kaget?"

"Mbak ini kan, anaknya ... emmh anak diluar nikah, Den!"

"Aku tahu, aku juga sudah mengenal keluarga besar papanya. Naima enggak salah. Dia ndak minta dilahirkan di dunia ini dan memilih rahim ibu yang mengandungnya. Tapi aku mengenalnya sosok gadis yang baik, mandiri, rendah hati walaupun sudah menjadi pengusaha."

Bu Renggo tampak gugup dengan wajah memucat. Ia langsung keluar toko tanpa pamit. 

"Ini alamat kampung Anna. Segeralah menemuinya! Dia pasti menunggu kalian." Pak Tirta mengeluarkan secarik kertas dari dalam sepatu mungil itu. Di sana tertulis alamat mamaku. Tanpa berlama-lama lagi, aku dan Mas Pras segera melajukan kendaraan roda empatnya.

Aku terkulai lemas ketika sampai di tujuan, langsung mendapat berita yang jauh dari harapan. Salah seorang kerabat mama yang kutemui, mengatakan bahwa mamaku sudah meninggal karena sakit, sebulan yang lalu. Mereka mengantar aku ke peristirahatan terakhir mama yang belum sempat kutatap lagi wajahnya. Mereka juga bilang, sepanjang hari mama selalu menatap kosong ke luar jendela, seakan ada yang ditunggunya. Aku tak tahu siapa yang harus disalahkan. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa menebus semua waktunya yang terbuang demi aku. Air mata pun tak akan mampu menebusnya.

**&**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi