Di tengah sisa kantuk yang menjelma sebongkah batu di kelopak mata -seolah-olah batu itu memang ditakdirkan berada di sana untuk membuat mataku teramat sulit membuka- aku mendengar gemerisik cericit burung yang menggemaskan. Rasanya dekat sekali suara itu. Sepertinya di tingkap. Oh tidak... tidak, itu pasti suara burung di jendela. Tapi burung siapa yang berani hinggap di jendela? Apa dia tidak tahu betapa berbahayanya jendela itu? Bahkan hantu pun tidak berani mendekati jendela yang konon telah menggores urat nadi beberapa kanak yang iseng mengintip di siang hari.
Atau burung itu ada di pergelangan tangga beranda? Tangga itu masih cukup kukuh untuk ditumpangi seekor burung penyanyi. Sesekali memang ia akan berderit ketika orang-orang bertubuh besar melintasi anak-anak tangganya. Sayangnya derit itu sudah lama sekali tak terdengar. Entah karena tangga itu tak lagi pernah dilalui orang-orang berbobot lebih, atau deritnya tertahan oleh nyeri yang tak lagi dirasakan. Seperti manusia. Mengingat kata manusia yang melintas di kepala, aku menyeringai. Manusia.
Burung itu kembali bercericit. Rasanya merdu sekali. Pasti sudah bertahun-tahun aku tak pernah mendengar suara burung. Entahlah. Bahkan bentuk burung hanya samar-samar dalam ingatanku. Ruangan pengap ini sedikit membuatku amnesia. Tapi di mana burung itu berada? Bisakah ia membukakan jendela itu untukku? Rasanya seperti dipaksa mati berada di tempat gelap dan bau ini berwaktu-waktu.
Meskipun sudah berpikir cukup keras dan berulang kali memiringkan kepala untuk memastikan lebih jelas sumber suara itu, tetap saja aku gagal. Aku tak mampu memastikan posisinya dengan tepat. Ini seperti harus menebak ke mana kelereng akan menuju dalam permainan tradisional di masa lalu.
Burung bercericit kembali. Tapi apakah sekarang sudah pagi? Aku memiringkan kepalaku, mencoba memastikan. Saat kepalaku miring begitu, biasanya bunyi-bunyian terdengar lebih tajam. Lagipula, cericit burung bukankah penanda benderang hari? Berarti ini sudah pagi?
Tak ada jam di dinding hitam itu, tak ada pula celah-celah di kusen jendela yang mampu diterobos cahaya matahari, juga tak ada riang cericit burung lagi. Semuanya pekat. Malam atau siang, pekatnya selalu sama saja. Tapi bagi aku yang telah menahun tumbuh di ruangan ini (oh entahlah, seperti apa tumbuh itu) seperti halnya kecoa yang kerap menelusuri kaki dan pahaku, atau binatang-binatang kecil yang mendaki punggung telapak kaki dengan sukacita menuju utara lalu beberapa waktu kemudian kembali ke selatan, malam dan siang menjadi terlalu sukar untuk dibedakan. Sepasang mataku bukan lagi pemandu yang baik seperti masa kanak dahulu. Cahayanya redup oleh tebalnya rasa takut. Aku hanya tinggal menunggu cericit tikus yang berlari-lari takut ketahuan jejaknya, yang akan mempertegas jawaban perbedaan itu. Ketika cericit tikus semakin gaduh, itu penanda kepekatan telah paripurna; malam, sebenar-benar malam.
Aku tak hendak merapikan anak-anak rambut yang menutupi wajahku, ketika derit berat pintu kayu memekik cukup kuat, menyakiti telinga. Pintu dan aku seperti berlomba menuju rapuh dan lungkrah, lalu menua lamat-lamat.
Kubekap kedua telingaku dengan telapak tangan agar gemanya yang membuat ngilu itu teredam. Pintu terkuak dan hangat cahaya matahari yang serupa uap teh hitam panas menerobos tanpa ampun seperti balita kesayangan para tetangga yang tak sabar menyongsong hari pertama sekolahnya. Ruangan sekejap benderang kurasa. Aku menyembunyikan pandangan di balik jurai anak-anak rambut yang menutupi wajah. Sesosok tubuh berdiri menjulang di ambang pintu, membelakangi cahaya. Ia seolah raksasa rimba yang muncul tiba-tiba. Kedua kakinya yang tegap kukuh bertumpu ke bumi.
“Apa kau sudah bangun, Perempuan Sialan?!” suaranya menggema ke seantero ruang. Aku mendengarnya dengan jelas, seolah-olah bibirnya menempel di liang telinga dan berteriak di sana dengan maksud menghancurkannya.
Aku menggigil dan reflek beringsut ke belakang, hingga bokongku berdempetan dengan tembok dingin di belakang. Pemilik tubuh itu pasti tengah berjalan ke arahku dengan langkahnya yang gegas dan panjang-panjang dan berdentam-dentam seperti langkah raksasa di negeri dongeng. Ia berhenti di depan jeruji pintu ruangan yang membatasi pergerakanku dengan ruangan lain.
“Kau sudah lapar?” tanyanya dengan kasar.
“Mau makan?!” Lagi-lagi ia bertanya.
Aku diam dengan tubuh menggeletar. Jemariku saling bertaut menyembunyikan rasa takut.
“JAWAAAB!!” Suaranya menyambar bagai halilintar bersahutan di langit berhujan. Tapi tak ada hujan di luar sana. Langit pasti sedang cantik-cantiknya dengan warna biru dan sapuan jingga mentega. Itu langit favoritku di lembaran buku gambar sekolah.
Aku mengangguk cepat-cepat. Kepalaku tak juga berani kuangkat. Berwaktu-waktu tak menatapnya bukan berarti aku melupakan seperti apa wajah wajah lelaki yang ada di depanku. Ia pasti masih memiliki cambang, hidung mancung dengan batang yang sedikit membengkok, juga deretan gigi kotor menguning. Saat ini, ia pasti tengah menyeringai menunjukkan deretan gigi kuningnya yang menjijikkan. Aku dulu selalu bersyukur karena cahaya yang bersembunyi di balik tubuhnya kerap gagal menerangi wajah dan giginya dan berbagai penanda khas dirinya yang memuakkan.
“Kau boleh makan. Tapi nanti! Kita akan kedatangan tamu penting sebentar lagi. Dan KAU, harus makan saat mereka datang nanti. Paham!!” Ia menghamburkan seluruh kekuatan suaranya saat bicara di depanku. Jarak kami paling jauh hanya satu setengah tombak saja. Namun ia berbicara seolah-olah kami berdua dipisahkan oleh samudera jauhnya.
“Dan ingat! Lakukan apa yang selalu kuperintahkan. Sesekali, bersikaplah seperti manusia. M-a-n-u-s-i-a. Mengerti!!” Lelaki itu menekan kalimatnya seakan-akan kedua baris giginya lekat satu sama lain.
Aku mengangguk cepat-cepat, dengan seluruh rambut telah menjuntai serupa tirai masai yang sempurna menutupi wajahku. Geletar tubuhku makin menjadi-jadi ketika ia memainkan dan membenturkan belenggu dengan gembok jeruji pintu, seolah-olah dia akan masuk menemuiku. Aku panik dan mulai menggigiti ujung jari tangan. Aku terus menggigit dan semakin keras ketika ia memainkan rantai dan gembok semakin kencang seolah-olah keduanya beradu keras dan cepat; menentukan siapa yang akan hancur lebih dulu. Sebentar lagi ia pasti akan masuk dan mendekatiku.
Kucoba membekap telinga, mencoba menghalangi gema itu masuk dan menyakiti ingatanku. Tapi bunyinya terlalu keras untuk diredam dengan telapak tangan. Aku mulai menjerit. Suaraku melengking-lengking histeris.
“Hahaha, kau mengingatnya? Bagus! Baguuss!! Kau pasti ingat semuanya, kan? Juga sakitnya?” Ia tertawa girang. Suara tawanya membuat isi perutku berulangkali naik turun ke kerongkongan.
Aku menjerit semakin keras dan pilu. Ketika kalimat lelaki itu berakhir, aku merasa beberapa bagian tubuhku memerih tiba-tiba oleh pecutan cambuk bertubi-tubi. Lelaki itu terkekeh puas. Aku terus menjerit-jerit seraya berharap jeritanku akan mampu meredam rasa perih di permukaan kulit yang tercambuk.
“Tidak! Tidaak! Hentikan!! HENTIKAN! TOLOONG!!” Aku berteriak semakin panik. Suara cambuk berkelebat-kelebat, berdesing-desing. Dan sekujur tubuhku seluruhnya berupaya menahan ngilu lecutan yang tak juga berhenti. Aku melompat-lompat ketakutan dan gelak laki-laki itu semakin tak mengenal jeda.
Lelaki itu berjalan kembali ke arah pintu dan tertawa sekencang-kencangnya. Ia terus tertawa, tubuhnya berguncang-guncang saat langkahnya semakin jauh dan membawa cahaya matahari pergi bersamanya. Pintu terkatup dengan derit yang memekakkan telinga. Aku masih membekap telinga dan berulang-ulang menggeleng-gelengkan kepala, berharap serentet peristiwa yang mengapung dalam ingatanku dapat segera sirna. Aku tak mau mengingat semua itu. Tak mau.
“Ibuu!!” Gadis kecil itu berseru riang, menghambur kepada seorang perempuan muda berambut sebahu yang merentangkan kedua tangannya.
“Gadis kecilku yang cantiik... Sudah mandi, Sayang?”
“Sudah, Bu.”
“Wah, hebat anak ibu. Sudah wangi. Ayo kita sarapan, Sayang. Ibu memasak nasi goreng untukmu.” Perempuan itu mengangkat tubuhnya dan mendudukkan gadis kecil itu pada salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.
Sepasang mata gadis itu berbinar seketika. Nasi goreng ibu? Waaah, itu menu yang paling ditunggunya. Apapun masakan ibu semua sama enaknya. Tapi untuk nasi goreng, ada rasa berbeda yang tak ditemukan gadis kecil itu pada makanan lainnya.
“Itu yang dinamakan memasak makanan dengan rasa cinta. Tak terlihat namun terasa. Benar begitu kan, Sayang?” Semula gadis kecil itu merasa kalimat tersebut ditujukan ibu untuknya. Tapi ketika matanya tertambat ke wajah ibu, sadarlah ia bahwa perempuan itu tak sedang menatapnya, melainkan seseorang di seberangnya. Senyumnya merekah seperti tak ada hal-hal mencemaskan yang akan terjadi dalam hidupnya.
“Ibu?”
“Ya, Sayang? Ayo kita makan.”
Tapi lagi-lagi gadis itu tak merasa ibu menujukan kata sayang untuknya. Tidak..tidak, sayang yang dimaksud ibu adalah lelaki yang ada di antara mereka berdua. Lelaki yang setiap kali menatapnya seolah-olah ingin menelan tubuhnya sepenuhnya. Iya, gadis kecil itu merasa demikian. Ia seperti membaui aroma keburukan perlahan-lahan memenuhi rumahnya dan ibu tak menyadari semua itu. Ibu selalu berwajah ceria, dengan senyum malu-malu gadis remaja, dengan kata sayang yang tak lepas dari bibirnya. Ibu tak bisa merasakan awan gelap yang bertumbuh semakin besar menaungi rumah mereka.
Lelaki itu benar-benar menelannya dua tahun berselang. Mulai dengan lecut cambuk yang menjilat betis dan pergelangan tangannya setiap kali dinilai lamban mengerjakan pekerjaan rumah. Lalu sebuah belenggu besi dengan gembok kecil yang membebat pergelangan kaki dan tangannya, hingga kemudian lelaki itu menelan tubuhnya seperti dirasuki penguasa kegelapan. Dan gadis kecil tak mampu lagi menangis. Ia kehabisan air mata di pengujung malam.
Air mata yang ditabungnya bertahun-tahun saat ibu masih ada, perlahan menipis persediaannya karena saban hari harus ia kuras untuk sebuah kepedihan yang tak mampu ia utarakan. Ia bertanya pada pagi yang menjelang suram, dengan kicau burung kecil di kusen jendela, kapan ibu datang dari pemakaman dan membawanya pulang ke rumah abadi itu? Tapi ibu mungkin sudah asyik sendiri dan tak ingin ditemani. Ibu lupa jalan ke rumah, mungkin juga lupa caranya memasak nasi goreng, juga lupa masih ada seorang gadis kecil di rumahnya yang sibuk mengutuk dirinya tumbuh begitu saja sebagai perempuan remaja!
Pintu kayu itu berderit berat. Aku mendengar suara lelaki bercakap-cakap. Ada suara perempuan dan ada lebih dari dua suara lelaki yang berbeda. Empat sosok tubuh memenuhi ambang pintu. Berjalan perlahan-lahan menuju tempatku. Dari balik jurai rambut yang menghalangi kebebasan pandangan mataku, aku mengenali salah satunya.
“Oh, jadi dia sudah lama di ruangan gelap ini?”
“Betul, Bu.”
“Bau sekali di sini. Tidak sehat untuk tempat tinggal seorang manusia.”
“Begitulah, Bu. Saya tidak memiliki uang yang cukup untuk merawatnya. Makanya terpaksa saya kurung di sini agar tak berkeliaran dan mengganggu warga.”
“Betul juga, sih. Tapi kita tak boleh membiarkan ia lebih lama dalam kondisi tidak sehat begini.”
“Iya, Pak.”
“Kalau begitu biar untuk beberapa minggu ini dia kami bawa dulu ke rumah sakit, untuk diperiksa kesehatannya. Kalau memang kesehatan fisik dan mentalnya memadai dan ia tidak berpotensi mengganggu, kami akan mengirimnya kembali kepada Bapak. Tapi kalau ia memang membutuhkan perawatan serius, maka ia harus tinggal di rumah sakit.”
“Tapi bukannya Bapak dan Ibu katanya mau memberikan bantuan untuk perawatan anak saya ini? M-ma-maksudnya, kalau ia saya rawat sendiri kan lebih baik.”
“Tidak, Pak. Ini kondisinya tidak memungkinkan untuk dirawat di rumah seadanya begini. Dia harus dirawat secara khusus, dan kami tidak akan membebankan biaya apapun kepada keluarga.”
“Tapi, Pak. Bantuan dananya juga berarti batal diberikan, kalau anak saya dibawa?”
“Loh, kami kan memang bukan ingin memberikan bantuan dalam bentuk uang, Pak. Bagaimana sih Bapak ini?”
Mendadak ruangan sunyi. Cahaya matahari yang hangat menerobos masuk dengan lembut dan tiba di ujung kakiku sebagai jawaban yang kutunggu. Dari balik anak-anak rambut yang menjuntai di wajahku, aku melihat sesosok tubuh yang biasanya perkasa, terlihat lunglai dan lesu.
“Hei, dia tersenyum! Lihat, dia tersenyum!” Seseorang berteriak sebelum akhirnya sunyi kembali meraja. (*)