Disukai
3
Dilihat
4,420
Rahasia Besar Ambuk
Drama

Jika ditanya apa itu cinta sejati? Kau akan menjawab kisah cinta Ambuk dan Abah. Kisah cinta sejati yang terpercik dimatamu terlihat begitu nyata. Ambuk dan Abah adalah sepasang suami istri yang saling mengasihi, saling menyayangi dan saling melengkapi. Bahkan, di hari ke seratus abahmu tiada, Ambuk masih bersungkawa, air matanya masih mampu bercucuran deras, seperti pertama kali ia mendapati Abah terbujur kaku di atas ranjang. 

"Apa begitu sulit merelakan Abah pergi?" Suatu malam kau menghampiri Ambuk yang tengah menangisi foto Abah selepas mengudarakan yasin untuknya. Ambuk bahkan sedikit tergemap kala mendengar suaramu yang nyaris berbisik. Buru-buru Ambuk menyeka buliran hangat air mata di pipinya. Ada rasa sedikit bersalah dalam hatimu karena mengagetkannya. Ambuk menyimpan kembali foto usang itu setelah mengesatnya dengan kain telekung. 

"Kisah cinta ini belum selesai." Ditatapnya kembali potret hitam putih itu dengan mata yang membeling. 

"Ambuk akan bersama lagi dengan Abah suatu saat nanti. Kita bertiga akan bersama-sama lagi." Wajahmu memerah tak kuasa melihat tangisan Ambuk kian membuncah. 

"Ambuk ingin bertemu Abah sekali lagi saja." Rindu yang tak tertahankan seolah menusuk hatinya hingga kelut-melut. Saat itu kau hanya turut tersengut-sengut mendekap Ambuk untuk menghaturkan ketabahan. Kau yakin, cinta Ambuk dan Abah akan kembali terjalin suatu hari—hingga kalian berkumpul di surga.

Satu bulan berlalu, awan kelabu menggerogoti kesehatan Ambuk. Tubuh keriputnya itu kian ringkih menampilkan tulang-tulang yang mencuat. Kepergian abahmu ternyata merupakan pukulan terbesar dalam hidupnya. Ia memanggilku ketika kau sedang pergi berbelanja ke pasar. Ambuk memintaku untuk memompongnya ke kamar. Tidak biasanya Ambuk meminta dipindahkan lagi ke kamar sepagi ini, biasanya ia selalu menunggu kepulanganmu. Hatiku tersayat kala menyadari tubuh ambukmu itu kian meringan. Entah kemana perginya daging-daging gempal yang dahulu menjadi daya tarik ambukmu. Kalau boleh kukatakan, paras ambukmu saat masih perawan sangat menawan, sama seperti dirimu. Kemolekan rupanya menjadikan ambukmu kembang desa yang diperebutkan para lelaki. Namun—seperti yang kau yakini— cinta sejati mempertemukan ambukmu dengan abahmu.

"Kau sudah minum obat?" tanyaku setelah selesai menidurkan Ambuk di atas ranjang. Bisa jadi ranjang inilah yang menjadi tempat ambukmu dan abahmu menghabiskan waktu. Banyak kenangan yang terukir hingga ambukmu enggan menggantinya dengan yang baru. Ia lebih memilih mempertahankan ranjang yang sudah lapuk dan bau itu, karena setiap suara per yang berdecit, Ambuk bisa mengingat Abah. 

"Aku ingin melihat Lilis menikah." Tanpa menjawab pertanyaanku, Ambuk malah memintamu untuk menikah. 

"Aku ingin segera menyusul suamiku, dan mengakui seluruh dosaku kepadanya. Namun, aku ingin meninggalkan Lilis dengan tenang, aku ingin ia menikah, karena dengan begitu ada yang bisa menjaganya." 

"Bicarakanlah keinginanmu padanya, aku yakin Lilis sudah punya pilihan." Sorot mata ambukmu kala itu terdorong oleh lekuk senyum bahagia. Aku yakin ia sangat senang membayangkanmu mengenakan rias pengantin dan bersitabik dengan para tamu pelawaan. 

"Tolong jangan pernah katakan yang sebenarnya pada Lilis, aku tidak ingin membebaninya dengan dosaku. Lilis harus bahagia." Setelah mengucapkannya, ambukmu batuk menggonggong, seolah "dosa" sedang menggelitiki tenggorokannya. Aku hanya menganggut pelan sembari mendekatkan sedotan dalam segelas air ke bibir ambukmu. Sudah payah sekali kondisinya, jika saja tidak ada semangat untuk melihatmu kawin, mungkin esok lusa ambukmu sudah dijemput Izrail.

Maka setelah kepulanganmu dari pasar, Ambuk dengan caranya sendiri menyampaikan muradnya agar kau segera bersuami. Kala itu kau hanya membatu, aku melihat kau merasa kalau menikah adalah beban terbesarmu. Kau tidak mengucapkan apa-apa selain kulihat tangis tertahan di tenggorokanmu. Namun, demi menyanggupi syarat kematian ambukmu itu, kau mengangguk berat lalu pergi ke kamarmu dan—aku tahu—kau menangis. 

Hari demi hari kau lalui dengan sering melamun, berpura-pura bahagia di hadapan Ambuk, dan menangis lirih di dapur atau di kamarmu. Hingga suatu ketika—karena takut gila—kau menghampiriku dan mengatakan semua hal yang mengganggumu dan menyebabkan tangis terus meruah dari matamu. Aku mengajakmu berbicara di dangau setelah selesai menggiling gabah. Beberapa hari ini aku memang sibuk mengurusi gabah agar di hari perkawinanmu nanti sudah tersedia beras.  

"Kenapa calonmu itu tak kunjung kau perkenalkan pada kami, Lis?" Melihatmu hanya tertunduk sendu, akupun membuka pembicaraan.

"Justru itu yang ingin Lis bicarakan pada Amang ..." Kau terdiam lagi sembari memilin ujung baju.

"Apa yang ingin kamu katakan?"

"Lilis tidak mencintai calon Lis itu," ujarmu bergetar.

"Kenapa tidak cinta? Kan kamu sendiri yang mencarinya." Kedua alisku menyatu mendengar penuturanmu.

"Lilis tidak mencari sendiri, Mang. Itu wasiat Abah pada Lis sebelum meninggal, Lilis tidak memberi tahu siapapun karena sejak dulu Lilis hanya mencintai Cep Adeng." Demi apapun, jantungku terperanjat menangkap kalimatmu itu. 

Cep Adeng adalah anak dari Nyi Imas dan Gus Oded. Sejak kecil kau sering bermain dengan Cep Adeng, terlebih jarak rumahnya dengan rumah kita hanya seperlemparan batu saja. Kau dulu memang sering bermain suami-istri suami-istrian dengan Cep Adeng. Namun, jika sekarang kau mau menjadi suami-istri yang betulan dengan Cep Adeng, tentu saja aku dan ambukmu akan menolak mentah-mentah. Bisa saja ambukmu mati ditempat setelah mendengar ucapanmu tadi.

Kala itu, aku tidak bisa memberitahumu alasannya. Aku sudah sepakat untuk merahasiakan hal ini padamu. Kisah cinta Ambuk dan Abah yang kau yakini sebagai cinta sejati adalah seratus persen salah. Pada kenyataannya, dahulu ambukmu itu merupakan wanita kemayu yang senang digoda lelaki lain. Bahkan, setelah ia menikah dengan abahmu, ia malah jatuh cinta pada Gus Oded, pun sebaliknya, Gus Oded juga merayu ambukmu. Akulah satu-satunya orang yang mengetahui ketika ambukmu mengkhianati cinta abahmu, dan Gus Oded mengkhianati cinta Nyi Imas. Maka setelah terjadi pengkhianatan antara dua pihak, terlahirlah sebuah dosa besar yang harus dirahasiakan—yaitu dirimu. 

Abahmu tidak pernah tahu itu, setiap hari ia disuapi kebohongan dan pengkhianatan. Malah, abahmu tetaplah pria sejati yang penuh dengan kasih sayang. Ia tidak pernah tahu fakta jika dirimu bukanlah keturunannya. Atas hidayah Tuhan yang entah darimana mencagun, ambukmu memutuskan untuk bertaubat dari perbuatan nistanya itu dan mulai untuk setia pada abahmu. Meski hidup di atas dosa dan kemaksiatan, namun nyatanya ambukmu benar-benar menyadari kesalahannya, terlebih ia sangat menyesal tidak pernah mengakui pengkhianatannya hingga abahmu dikebumikan. 

Dengan kata-kata terbaik, aku mencoba untuk merayumu agar menuruti wasiat abahmu saja ketimbang mendukungmu dengan Cep Adeng. Tidak mungkin kubiarkan kau menikahi saudara sedarahmu itu. Kau begitu terpukul mendengar jawabanku, hatimu hancur lebur menyadari tak ada seorang pun yang berada di pihakmu. Aku mencoba menenangkanmu, andai saja kau tahu yang sebenarnya, mungkin hal itu akan lebih menyakitimu.

"Kalau belum siap dengan pilihan abahmu, kau bisa mengundurnya hingga beberapa minggu." Semakin deras air matamu bercucuran, hingga akupun harus ikut menyumbang air mataku. Kau harus mengorbankan rasa cintamu itu pada Cep Adeng. 

Kau adalah perempuan yang tegar walau terlahir dari kesalahan. Aku tahu, meski awalnya kau menyiksa dirimu dengan tangis, meski awalnya terasa amat tidak adil, tapi kau mampu berdamai dengan amarahmu, kau bisa berangsur membaik dari tangisanmu. Apalagi, lelaki bernama Sujono yang dipilihkan abahmu adalah lelaki baik dan penyabar—sama sepertimu. Perlahan-lahan, Sujono mampu menggerus dinding egomu yang kokoh itu. 

Setelah cinta mulai teranyam diantara dirimu dan Sujono—tak menunggu lama lagi—karena ambukmu juga kerap kali dijenguk Izrail, maka pernikahan digelar. Hampir dua minggu penuh warga datang ke rumah kita untuk membantu. Memasak, membuat kudapan, memasang tenda, membuat undangan, dan lain sebagainya. Pelaminan dan puadai didekor sedemikian rupa sehingga tampak elegan. Kau mengenakan riasan wajah tebal dan siger berpolet emas, lantas berdiri berdampingan dengan Sujono. Wajah adunmu itu mengingatkan semua orang akan si kembang desa yang dulu sangat kondang. Sayangnya, si kembang desa itu sekarang sudah busuk dan sebentar lagi akan dipungut malaikat. 

Ambukmu hanya bisa menyaksikanmu semampunya. Setelah ijab qobul, ia minta dibaringkan di atas ranjang yang mungkin akan memeluknya untuk yang terakhir kali. Setelah ambukmu bernegosiasi kepada Tuhan, akhirnya ia diberi kesempatan hingga acara kawinmu selesai pada pukul 9 malam. Orang-orang yang bersuka ria ketika acara kawinanmu, pada saat itu berubah menjadi berduka cita. 

Masih mengenakan gaun pengantin, kau menangisi kepergian ambukmu, orang yang telah mengandungmu selama sembilan bulan itu kini telah habis masanya di dunia. Hanya meninggalkan memori yang tidak kau ingat secara utuh. Akupun menyumbangkan kembali air mataku, cinta sejati yang kau miliki terhadap ambukmu benar-benar membuatku merasa rawan hati. Meskipun kebenaran belum terungkap untukmu, tapi—aku yakin—kau punya hati yang tulus dalam mencintai. Seperti kau yang akhirnya ikhlas mencintai Sujono. Tidak mudah melepas seseorang yang kau cintai dan mulai mencintai seseorang yang sama sekali tidak kau cintai. Namun, karena cinta sejatimu terhadap Ambuk dan Abah, kau mampu mengubah hatimu dengan damai.

***

Kehilangan orang yang kau sayangi ternyata tidak membuatmu kehilangan tulang. Kau masih mampu meneruskan hari-harimu yang berharga. Tuhan menghadirkan Sujono sebagai pengganti abahmu, dan Sekar—anakmu—untuk menggantikan ambukmu. Entahlah abukmu itu sudah bertemu abahmu atau belum, apakah ia juga sudah mengakui segala dosa padanya? Aku berharap mereka sekarang menyaksikan kebahagiaanmu. Kini, kau memiliki kelurga kecil yang hangat. Saling mempercayai satu sama lain. Dan yang utama, kau mampu menghapus permanen perasaanmu terhadap Cep Adeng. 

Hari ini, berita Cep Adeng akan melamar seorang perempuan sudah mengecup telingamu. Tak ada segurat pun raut kemasygulan yang kau pancarkan—kau malah tersenyum bahagia karena pada akhirnya dirimu dan Cep Adeng menemukan jalan masing-masing. Dan demi kebahagiaanmu yang harus selalu terjaga, aku akan mengubur rahasia besar ambukmu itu bersama diriku hingga mati. 

Pada saat itu, aku sangat serius meyakini bahwa rahasia itu hanya antara aku dan ambukmu, tetapi ada hal lain yang ternyata diluar pengetahuanku. Suatu sore yang syahdu, aku sedang beristirahat di dalam dangau setelah selesai menandur padi. Belaian angin dan aroma tanah yang basah membuatku merasa dininabobokan. Rasa-rasanya tidur sebentar adalah hal yang menyegarkan, namun suara Nyi Imas yang memanggilku seolah menyeret kembali setengah kesadaranku yang melanglang jauh. 

"Ada yang hendak aku katakan." Dengan hati-hati ia duduk di sebelahku dan melirik sana-sini memastikan tak ada orang lain selain kami berdua.

"Kau sudah tahu kan kalau anakku, Cep Adeng, hendak melamar?”

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Tidak biasanya Nyi Imas mengajakku berbicara seperti ini. Pikiranku menerka-nerka apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Aku sangat senang akhirnya ia menikah dan bisa melupakan Lilis. Kau pasti juga telah mengetahui bahwa dulu, anakku dan Lilis sempat menjalin hubungan."

"Lilis pernah mengatakannya kepadaku, tapi percayalah, Lilis sekarang sudah cinta mati sama Sujono. Tak ada lagi perasaan cinta untuk anakmu Cep Adeng." 

"Aku juga yakin akan hal itu, namun aku datang ke sini untuk mengungkap sesuatu." Kedua alisku menyatu mendengar ucapannya. Hatiku berdebar, takut ia mengetahui sesuatu antara ambukmu dengan suaminya, Gus Oded.

"Alasan kenapa aku menentang keras Cep Adeng memiliki hubungan dengan Lilis adalah karena mereka sejatinya bersaudara."

Demi apapun, jantungku seolah terjun bebas. Ternyata rahasia besar ambukmu itu juga diketahui orang lain. Terlebih, orang yang mengetahuinya adalah Nyi Imas—istri dari Gus Oded. Bagaimana ia bisa mengetahuinya? Apakah Gus Oded mengakui dosanya itu? Maka jika benar, aku khawatir berita ini mengudara kemana-mana, lalu dirimu akan menjadi bahan gunjingan dan hinaan. 

"Cep Adeng adalah hasil hubungan gelapku dengan abahnya Lilis." 

Mataku membulat seperti biji saga dan tubuhku mengkristal setelah mendengar penuturannya. Rahasia besar abahmu terbongkar menampar batinku bertubi-tubi. Di sore hari yang syahdu ini, seolah geledek menghajarku tiada ampun. Berarti, selama ini abahmu juga berkhianat kepada ambuk, Nyi Imas juga berkhianat kepada Gus Oded. Sepenggal dosa tiba-tiba mengecup nuraniku, aku telah melarangmu menikah dengan Cep Adeng. Kau harus merelakan kisah cintamu bersamanya dilindas kebohongan. Sayangnya, rahasia besar abahmu itu baru terburai sore ini. Sialan.

Bandung Barat, 21 Januari 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@donnymr : Terima kasih sudah membaca cerpen ini 🙏
@darmalooooo : Terima kasih sudah membaca, Kak 🤗
Kejujuran adalah kebijakan terbaik, begitu kata Miguel de Cervantes. Tidak ada hasil yang baik dari kebohongan. Selamat! Hikmah yang mantap! 😃👍
So sad 😭 lilis jadi tak lolos dengan Cep Adeng
@sofiza01 : Terima kasih sudah baca cerpen ini 🤗
Plot twist sekali, Kak, endingnya. Kasihan sekali takdir cinta Lilis sama Cep Adeng. 😭