Tidak ada seorang pun di kota kecil ini yang tidak mengenal Sabri si penyelamat. Sudah jelas dari julukannya, lelaki 27 tahun yang lahir di malam bulan purnama itu adalah seorang penyelamat yang tidak ada duanya di kota. Hampir semua orang di kota pernah meminta bantuan kepadanya dan tidak ada satupun yang ia lewatkan. Sementara nama Sabri yang diberikan orang tuanya memiliki sejarah yang berbeda -- ibunya baru melahirkan di usia 45 tahun dan ayahnya 50 tahun, usia yang sudah hampir tidak mungkin lagi bisa memiliki anak. Tapi, berkat kesabaran dan usaha yang mereka lakukan setiap malam Jumat selama 25 tahun terakhir, mereka akhirnya bisa memiliki Sabri di malam paling terang di bulan Maret.
Di hari kelahirannya, bukan hanya keluarga dan sanak saudara yang menunggu di beranda rumah, tapi hampir seluruh orang di kota mengerumuni rumah kecil itu demi menyaksikan kabar baik atau buruk dengan mata dan telinga mereka sendiri. Beberapa orang ada yang harap-harap cemas terhadap kesehatan ibunya mengingat perempuan itu akan melahirkan di usia yang sudah tidak lagi muda. Kubu yang lain meragukan bayi itu bisa lahir dengan selamat sebab selain ibunya sudah terlalu tua, ia juga terlalu miskin untuk berbagi makanan yang bergizi dengan si jabang bayi. Di sudut rumah, kubu lainnya justru berdo'a banyak-banyak agar ibu dan bayinya selamat, karena mereka menganggap kehamilan perempuan paruh baya itu adalah sebuah mukjizat yang akan membawa keberkahan bukan hanya untuk mereka tapi juga untuk seluruh kota.
Semua orang benar-benar menaruh perhatian pada keluarga itu terlepas dari baik atau buruknya pikiran mereka. Saat kemudian suara tangis terdengar dengan kencang dan tegas dari dalam rumah, mereka tidak lagi terbagi ke dalam berbagai kubu dan malah bersuka cita bersama karena akhirnya penantian mereka terbayarkan. Paraji berkostum kebaya putih dan kain batik berlumuran darah itu keluar tak lama kemudian, mengumumkan betapa tampannya sang bayi, dan ibunya dalam keadaan lemas yang sehat. Maka bertambahlah sorak gembira dari para penonton di beranda. Syukuran paling meriah pun digelar dengan sumbangan dari semua orang di kota secara sukarela, karena mereka mulai meyakini bahwa bayi itu akan membawa keberkahan untuk mereka di masa mendatang.
Bertahun-tahun kemudian, Sabri tumbuh menjadi anak laki-laki yang sesuai dengan kepercayaan mereka. Ia adalah seorang periang, ramah, dan dekat dengan semua orang. Kehadirannya di kota itu bagaikan air yang bisa menghidupi seluruh kota. Ia pintar dan serba bisa. Dikatakan serba bisa karena hampir semua orang pernah mendapat bantuan dari tangannya. Sabri bisa membantu Bu Desi menghidupkan kembali bunga anggrek bulan yang hampir mati. Sabri juga bisa membantu Pak Jaka menjinakkan seekor anjing liar yang sering buang air di halaman rumahnya. Bahkan, ia juga membantu para petani membajak sawah. Sungguh hampir tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan Sabri, apalagi jika pekerjaan itu membutuhkan kesabaran sebagai kunci utamanya.
Sampai suatu hari, Bu Ria yang latah melihat halaman rumah Bu Desi dipenuhi berbagai macam anggrek, meminta Sabri untuk ikut menumbuhkan anggrek di rumahnya. Tapi, Bu Ria tidak ingin anggrek yang sama dengan Bu Desi, ia ingin bunga anggrek hitam dari Kalimantan yang jelas tidak ada di kota itu. Meski permintaannya terkesan semena-mena, Sabri menerima permintaan Bu Ria dengan sumringah. Setelah 27 tahun hidupnya berkutat di sebuah kota kecil, ia akhirnya akan berkelana untuk mencari sendiri anakan bunga anggrek yang dimaksud.
Mendengar rencana anaknya pergi ke luar kota, orang tua Sabri menentang sikap jinak anaknya itu untuk pertama kali.
"Tidak semua orang harus kau buat senang, nak. Sekali-kali menolak tidak apa," bujuk sang ibu yang tidak siap melepas anak laki-laki di hadapannya.
"Tenang saja, bu. Sabri tidak akan tersesat, janji pulang dengan selamat." Yakin Sabri dengan seutas senyum yang semakin membuat orang tuanya khawatir.
"Sungguh tidak ada rasa tenang untuk melepas kepergianmu, Sabri. Kalau kau berat hati menolak permintaan Bu Ria, biar ayah yang bilang padanya." Sang ayah ikut membujuk dengan lembut.
Namun, Sabri sudah mantap berkemas. Ia memeluk ayah dan ibunya secara bergantian, pelukan paling hangat yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sepasang orang tua itu tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Mereka yang hidupnya miskin telah banyak mendapat bantuan dari para penduduk kota yang sebenarnya sudah menerima balas budi berupa kehadiran Sabri si penyelamat. Seakan balas budinya tidak cukup, orang tua Sabri hanya bisa menangis sambil berpelukan, meratap punggung anak laki-lakinya yang tegap mantap berjalan semakin jauh dari rumah.
Di perjalanan menuju batas kota, Sabri bertemu dengan orang-orang yang pernah ia tolong dan saling bertegur sapa. Semua orang di kota itu tahu Sabri akan pergi ke Kalimantan, mereka pun tak lupa menyampaikan nasihat untuk berhati-hati, dan meminta jatah oleh-oleh saat Sabri kembali. Lalu seperti biasa, Sabri membalas mereka dengan anggukan kepala yang otomatis, dan tak lupa senyumnya yang manis dan seharga picis.
Jarak antara kota itu dan Kalimantan sangat jauh. Konon katanya bisa sampai seminggu melalui jalur darat. Maka selama satu minggu sejak kepergian Sabri, orang-orang yang ditinggalkannya hidup tanpa rasa khawatir. Mereka percaya Sabri tidak akan pergi lama kecuali karena perjalanannya memang terlampau jauh. Setidaknya mereka meyakini, selama satu minggu itu, Sabri sedang dalam perjalanan yang aman dan mungkin sudah tiba di Kalimantan. Di minggu kedua, mereka mulai menanti-nanti kedatangan Sabri sebagaimana dalam keyakinan mereka bahwa Sabri mestinya sudah berada di jalan pulang.
Bu Desi menjadi yang paling pertama merasa cemas karena mulai kehilangan kelopak-kelopak bunga anggreknya. Tanaman padi sudah memasuki masa panen dan para petani berharap Sabri segera datang untuk menyumbang tenaga. Pak Jaka mulai kewalahan karena tiba-tiba saja ada seekor anak kucing mengemis makan di depan rumahnya. Sementara Bu Ria senyumnya semakin sumringah membayangkan sebentar lagi halaman rumahnya akan lebih indah dari milik Bu Desi. Namun, lain dari semua orang di kota, orang tua Sabri justru mulai jatuh sakit karena penyakit rindu menggerogoti otak, hati, dan seluruh tubuh mereka.
Di akhir minggu kedua, orang-orang mulai berkumpul di batas kota dengan raut wajah suka cita hendak menyambut jatah buah tangan mereka. Hingga malam tiba, tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang baik dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan beroda. Yang ada hanya bulan purnama bersinar terang di atas kepala, membuat mereka ingat kejadian 27 tahun silam di mana mereka semua berkumpul untuk satu penantian yang sama -- kehadiran orang yang sama.
Namun, akhir yang berbeda dengan peristiwa 27 tahun silam membuat mereka geram. Kepergian Sabri bagai bencana bagi seisi kota, dan Bu Ria mulai menjadi satu-satunya musuh terbesar penduduk kota karena bencana itu berawal dari keserakahannya. Ia sampai harus melarikan diri ke antah-berantah karena tidak ada lagi orang di kota itu yang mau menatap dirinya. Kemurungan dan rasa berkabung yang berlarut-larut menyelimuti seluruh kota, bahkan kita bisa merasakannya hanya dengan lewat di jalanan-jalanan kosong nan gersang.
Lain daripada itu semua, orang tua Sabri menjadi sepasang yang juga pergi dengan tenang, mengobati penyakit rindu yang tidak menyisakan apapun dari keduanya.