Disukai
0
Dilihat
1930
Mereka Menyebutnya Pemeran Antagonis
Drama

Aku hanya tidak bisa tertinggal sendirian, aku marah mengetahui fakta bahwa Rinama, lebih beruntung kehidupannya dibanding aku, padahal kami sama-sama berasal dari Panti Asuhan, tetapi, layaknya langit dan bumi, aku seperti sampah dengan kehidupan miskin tidak terurus, sedangkan Rinama berkehidupan kaya-raya bersama suami dan anak perempuannya. Rasa iri yang terus berlanjut, tumbuh berkembang menjadi kedengkian luar biasa, aku menutup mata-telinga, tanpa memedulikan perbuatanku telah terlampau keterlaluan.

Aku merapatkan tubuh ke arah Danish, pakaian mengetat membalutku untuk menggodanya, merusak apa yang dibangun Rinama, mengambil apa yang menjadi kebahagiaan Rinama, mencuri satu demi satu mereka yang mampu menciptakan senyum di bibir Rinama. Memangnya hanya Rinama saja, yang boleh mendapatkan kegembiraan tak terhingga? Memangnya hanya Rinama saja, yang boleh tertawa lepas dihujani banyak kesenangan hingga lupa apa itu penderitaan? Memangnya hanya Rinama saja, yang boleh tidak merasa kesepian, kekosongan dan kesendirian? Aku juga ingin... Ingin... untuk bisa menjadi Rinama, ingin... untuk bisa menggantikan Rinama, ingin seperti Rinama. Aku tidak pernah memedulikan apa pun, tidak menghiraukan dosa sebesar apa yang harus kutanggung, tidak memikirkan bahwa tindakanku mematahkan kegembiraan seseorang.

Sebagai organisme parasit, jamur mengambil makanan langsung dari inang menggunakan haustorium (jenis hifa khusus untuk menyerap makanan) demi melangsungkan kehidupan, sedikit memiliki persamaan dengan jamur, aku merampas keuntungan, berupa kebahagiaan dan kekayaan dari inang bernama Rinama menggunakan kelebihan khusus yang aku punya, seperti, wajah lebih cantik dan tubuh lebih berisi. Rinama adalah perempuan baik hati bak malaikat putih bersih, selayaknya pemeran protagonis yang diinginkan kebahagiaannya dari penonton, maka, aku selaku pemeran antagonis, memanipulasi kepolosan Rinama, mengunjungi kediamannya, berlagak menderita seakan begitu membutuhkan bantuannya, untuk menampungku 'sebentar' di rumah besar seperti istana itu. Dari sanalah aku bertemu Danish, bertemu Tasya (berusia 5 tahun), anak perempuan Rinama, dan disambut hangat oleh hunian nyaman seperti cerita di dalam Negeri Dongeng. Aku cemburu mengakui bahwa aku berada jauh di bawah Rinama dipenuhi kekosongan. Tidak ada yang mau menerima apa adanya diriku, seperti Danish menerima Rinama. Kemuakkan menggerogoti jiwa. Mengapa selalu saja Rinama? Aku bahkan lebih cantik darinya, aku yang pantas mendapatkan semua kebahagiaan itu, bukannya Rinama.

Setelah beberapa hari, perlahan demi perlahan, aku mencoba mengambil kesempatan agar bisa merebut hati Danish, dan saat inilah kesempatan terbesarku di antara kesempatan lain. Bibirku mengurva, membentuk senyum sensual, menatap Danish menggunakan iris coklat berkabut penuh rayuan provokatif. Kalian tahu, mengapa pemeran antagonis, hampir selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan? Wajahku menunjukkan kepuasan menyadari Danish membalas sentuhanku yang lain. Karena... pemeran antagonis 'meyakini' rencana busuknya pasti akan berhasil, pemeran antagonis tidak pernah mau kalah oleh kenyataan, tidak peduli seberapa banyaknya dunia berucap bahwa ia tak kan pernah bisa, pemeran antagonis tidak jua menurunkan ego, ia tetap maju melangkah, menerjang apa yang ada di depan, tanpa peduli bahwa caranya kotor atau menjijikkan, dan salah satu pelaku tidak berperikemanusiaan itu ialah aku sendiri.

Tubuhku terperanjat, pelukan Danish mengendur, secara spontan aku dan Danish menoleh ke arah pintu terbuka, menemukan Rinama berdiri mematung memperhatikan posisi 'dekat' kami, di mana sebelah tangan Danish memeluk tubuhku, sedang sebelah tangan lain berada di atas leher, merangkum garis rahang milikku. Apa pertunjukkan baru saja dimulai? Seharusnya aku menyiapkan popcorn dan beberapa soda!

Seketika aku menunjukkan akting 'menggelikan' sebagai salah satu bagian dari rencana, aku melepaskan diri dari Danish, memilih menghampiri Rinama, lalu menangis sesegukan di hadapannya, ahh, sepertinya aku pantas mendapatkan piala Oscar atas kemampuan aktingku ini.

Selanjutnya....

...kalian benar-benar ingin tahu selanjutnya? Tentu saja selanjutnya adalah awal dari penderitaan Rinama, memang apa lagi!?

Mereka bertengkar hebat, teriakan beserta air mata Rinama memenuhi ruangan, perpecahan sama sekali tak terelakkan, pula kehadiran Tasya secara mengejutkan semakin menambah kericuhan, layaknya anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, Tasya menangis mendengar perselisihan kedua orang tuanya, menatap polos menggunakan kedua mata bulat tanpa dosa, menghampiri ayah-ibunya lugu. Aku sebagai saksi di antara keretakan itu, menyunggingkan senyum kemenangan samar. Memalingkan pandangan sejenak, kilasan masa lalu terputar acak, memoriku menuntut paksa, agar aku menyaksikan sendiri, sesosok 'diriku yang dulu' menangis di sudut Panti, merasa tidak diinginkan karena sadar, hanya aku yang tertinggal, tanpa adanya orang tua angkat mau mengadopsi.

Sedari awal, kehidupanku tidak pernah menyenangkan, aku berteman dengan kehampaan, menjadi bagian kegelapan, tidak mempunyai lingkup cahaya terang seperti teman-teman Pantiku kebanyakan. Aku hanya menginginkan beberapa dari mereka sedikit merasakan perihnya kesendirian, agar aku tahu bahwa keadilan memang nyata ada di dunia, kebetulan, kehidupan Rinama merupakan kehidupan yang kuimpikan, menggunakan peruntungan yang kupunya: aku sudah berteman lama dengan Rinama. Strategi dimulai, aku membohonginya agar mau menampungku sementara waktu, beralasan bahwa aku belum menemukan tempat tinggal yang cukup pas untuk menetap, Rinama mempercayaiku tanpa menaruh perasaan curiga, sebab pada hatinya terbuat dari dinding ketulusan murni, meski begitu, bagaimana pun Rinama memperlakukanku begitu baiknya, dendam di sudut hati telah berkembang-biak secara cepat, menginginkan kehidupan Rinama hancur berkeping-keping, seperti remuknya hatiku terpenuhi luka kedengkian.

Mereka menyebutnya, Plasmodium Protista Eukariotik, penyebab utama penyakit Malaria, parasit yang bersembunyi, lalu diam-diam berkembang biak di dalam hati (liver), menginfeksi sel darah merah, sejurus kemudian membunuh sedikit demi sedikit inangnya (tempat ia dapat bertumbuh pesat). Rupa-rupanya kami memang serupa, tidak peduli karena 'siapa' aku 'tumbuh', yang kuinginkan ialah semua kebahagiaan itu, tanpa menyisakan Rinama sama sekali. Aku memang pemeran antagonis egois, tidak menginginkan orang-orang bahagia di depan mataku, termasuk temanku sendiri, lantas, memang, peduliku apa?

...tik....

...tik....

...tik....

Aku membuka mata sedemikian lebar, tubuh membeku kaku, menatap atap kamar berwarna putih menggunakan sorot tajam kelelahan, kantung mataku menghitam, kelopak mataku bengkak membesar, wajah memucat, disertai rambut kusut berantakan. Napasku tersengal letih, seakan habis berlari mengelilingi penjuru kota, aku melirik ke arah tumpukan Bunga-bunga Tulip di laci dekat ranjang, beserta semangkuk bubur dan segelas air putih di atas nampan, bunyi tiap detik yang dihasilkan jam dinding memenuhi ruangan penuh kepengapan, seberkas cahaya silau memancar pudar di antara celah-celah gorden usang, aku merasa fungsi jantungku memompa peredaran darah ke seluruh tubuh, bekerja di luar batas normal.

Tertinggal di antara kenyataan dan halusinasi, jemariku bergerak gelisah, mencoba menggapai Bunga Tulip secara murka, aku yang terlalu memaksakan diri, berakhir jatuh bersimpuh ke lantai yang otomatis membuat selimut ranjang mengikuti pergerakanku. Tidak bisa menyorot fokus ke satu arah, tanpa disadari aku melempar mangkuk dan gelas bersama kelopak Tulip berhamburan di udara, pecahan beling terdengar memekakkan, tertampaknya serpihan berserakan menambah gejolak ketidaktenangan untukku, terutama ketika, aku terbelalak memandang satu objek pasti yang tidak tertutupi dengan benar oleh selimut, otakku kosong tak dapat berpikir jernih, hilang antah berantah jauh ke dalam palung samudera.

....di mana?

....seharusnya aku memilikinya....

Lengkingan histeris tak terhindarkan, aku menangis, paru-paruku menyempit kesusahan mengambil napas, jantungku berdentum begitu keras, hingga setiap detakkannya terdengar jelas, sekujur tubuh tremor ketakutan, air mataku berurai deras. "DI MANA KALIAN SEMBUNYIKAN KAKIKU?!!!!" Aku mengumpat penuh sumpah serapah, mengabsen satu demi satu nama binatang berteriak mengutuk.

Aku mengamuk hebat, merubuhkan semua yang bisa kedua tanganku gapai, beberapa orang berpakaian putih mulai menghampiriku tergesa, perempuan dan laki-laki, mereka menahan tubuhku agar aku tidak bisa melukai siapa pun, aku menggigit salah satu tangan yang memegang pergelangan, terdengar desisan kesakitan dari bibirnya tertahan, namun, tak mengurangi kuatnya pegangannya pada tubuhku, pupilku membesar kala jarum suntik menusuk menembus kulitku yang menggigil terserang serangan panik, netra coklatku bergulir bergetar, menemukan Tasya berdiri di ujung pintu terbuka bertuliskan deretan angka 43, nomor ruang inapku dirawat, menatap diriku penuh keprihatinan, seraya memeluk sebungkus Bunga Tulip dalam genggaman. Kantuk menguasai, sayup-sayup aku mendengar bisikan Tasya bergaung bagai senandung syahdu penghantar mimpi buruk.

"Tuhan tidak pernah tidur, Tante Felisia. Tante sudah mendapatkan ganjaran karena telah merusak hubungan rumah tangga Mama."

Tepat saat itu, kegelapan menjemput, memaksaku berada di dalamnya tanpa membiarkan sedetik pun aku menolak. Kepalaku berdengung, telingaku menuli, sekujur tubuh sulit digerakkan, napas perlahan teratur, kelopak terpejam tidak berdaya, aku merasa tidak sadarkan diri terhempas oleh buaian tanpa mimpi, tertarik tenggelam ke dalam jurang keputusasaan.

Kalian pernah mendengar legenda cerita rakyat tentang Keong Mas? Barangkali memang benar, seberapa kerasnya Dewi Galuh meminta penyihir untuk menjauhkan Candra Kirana dari Kerajaan, mengubahnya menjadi sesuatu hal menjijikkan (keong mas), pula membuangnya jauh ke aliran sungai, tetap saja, takdir menyelamatkan Candra Kirana dan mempertemukannya dengan Raden Inu Kertapati, agaknya, cerita rakyat tersebut ingin menjelaskan bahwa sesuatu hal yang baik tidak akan pernah kalah oleh kejahatan, ibarat aku menerjang segalanya demi satu-dua kepuasan penuh keserakahan, resiko yang harus kudapat ialah berkali-kali lipatnya penderitaan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi