Disukai
1
Dilihat
1067
Mencari Konsep Sabar
Slice of Life

Ayana, namanya. Ayana atau Aye, sama saja. Ialah penerima konsep sabar yang disuntikkan sang mama di setiap hari. Ia pula Ayana yang disebut beruntung karena konsep sabar mamanya. Namun, ia juga yang bertanya-tanya sampai dewasa, yang bingung bagaimana ssabar seharusnya.

Sekilas, tampak bahwa ia yang tak cepat tangkap akan budi luhur yang diajarkannya sejak kecil tersebut. Namun, bukan itu persoalannya. Realita dunia, prahara mampu membongkar-bongkar konsep yang dibangun manusia dengan sedemikian rupa.

Sepanjang ingatan Ayana, mamanya selalu berkata bahwa sabar itu sikap diam, sikap menahan, sikap memaafkan dan menerima supaya diri kita terhindar dari sesuatu yang percuma. Berkelahi, misalnya. Akan tetapi, ia menyaksikan bantahan semesta yang datang di hidupnya. Bantahan yang membuat kepala kecil menjadi pening seketika.

Semasa kecilnya, Ayana sering melihat papanya marah-marah, membanting barang apa saja di depan mata. Sang papa semakin menjadi kala dimaafkan. Pada akhirnya, sikap sabar mamanya yang percuma. Sang papa tetap dengan kebiasaannya, tetap tak berhenti sampai ketahuan banyak orang sikap kasarnya.

“Oh, jadi begini selama ini sikapmu pada adik kami? Minta dikasih pelajaran kamu, ya?”

“Cukup, Mas. Kesempatan itu ada batasnya. Kamu sudah hanguskan kesempatan yang aku beri, jadi kamu tidak bisa melarangku pergi.”

Sang papa baru mulai mengiba-iba saat dilawan dengan tegas, dipukul bertubi-tubi oleh saudara laki-laki mamanya, kemudian ditinggalkan begitu saja. Bukan saat diterima segala keburukannya. Kalau begitu, bukankah melawan lebih berhasil?

“Anakku, sekarang mama dan papamu sudah enggak bersama lagi. Jadi, sabar kalau ada yang ejek kamu enggak punya bapak ya, Nak. Ingat, bermusuhan dengan teman itu percuma, enggak ada untungnya. Lebih baik belajar sabar, tenaga kita enggak habis.”

Iseng-iseng, otak kecil Ayana mengutarakan Tanya sederhana saat itu. “Ma, orang yang bisa sabar itu, bisa disayang banyak teman, kah?”

“Bisa, cintanya mama. Karena orang sabar itu orang baik, jadi pasti banyak yang sayang.” Sang mama pun mematikan lampu tidur sebelum Ayana kembali berceloteh. Diciumnya kening sang putri, diucapkannya selamat malam saat itu.

Ayana tersenyum sebelum akhirnya berusaha pejamkan mata. Tanpa diketahui sang mama, ia sebenarnya masih menuntut penjelasan. Penjelasan atas sebuah tanya tertahan.

Berarti, sang mama belajar sabar supaya jadi orang baik. Kalau begitu, mengapa tidak jadi baik dengan cara yang lain saja? Berbagi makanan, misalnya. Menolong orang-orang di jalan, misalnya.

Lain Ayana, lain pula sang mama. Setelah berhasil memastikan sang putri terlelap saat itu, lekas-lekas ia keluar kamar tanpa suara. Menangislah ia, mendekat pada potret kenangan saat menikah. Bersama dengan air mata yang membanjir, terluap pula segala keluhan tentang hidup, tentang sabar, tentang kesalahannya, tentang konsep-konsep yang seharusnya bisa dicontohkan lebih baik lagi. Ia mengerti, secara tak langsung didikannya itu berkemungkinan menjerumuskan pada kesalahan yang sama di masa dewasa putrinya. Akan tetapi, bukankah didikan untuk membenci, untuk membentak, untuk mendendam dan balas menghardik justru bertambah salah?

Tentang didikan yang berbalik arah memang bisa jadi pembenaran paling benar bagi cara didiknya untuk sang putri. Hati ibu satu anak itu semestinya seratus persen lega, tetapi nyatanya tidak. Ia tetap khawatir. Pertanyaannya yang menghantui, yang berputar-putar pada hati, juga pada Ilahi, bagaimana jika kelak Ayana sepertinya? Ia tahu, anak itu telah melihatnya memaafkan, menerima, menahan dalam penerapan yang tak sepenuhnya tepat. Bagaimana jika setelah dewasa nanti, anak itu masih tak pandai menyaring sehingga jadi sepertinya?

“Tolong lindungilah putriku, Ya Allah. Temukanlah dia dengan arti sabar sebenarnya, jika bisa sebelum masa lajang dilepasnya,” pintanya dalam hening.

Ia menginginkan pengajaran kesabaran yang lebih baik untuk sang putri. Bukan untuk saat ini, tetapi juga bukan setelah menikah. Ia menginginkan pengajaran lebih baik untuk sang putri, di balik fakta bahwa sebaik-baik pengajaran itu berasal dari keluarga. Sebagai seorang ibu, ia tahu harapannya benar-benar konyol. Melebihi kekonyolan komedi di televisi.

“Berikan yang terbaik untuk putri hamba, Ya Allah,” pintanya sekali lagi.

Ibu satu anak itu mengusap wajah sembari mengaminkan doanya sendiri. Diusapnya air mata yang sudah tak sederas saat berdoa. Selanjutnya, tangan basah itu digunakan mengusap potret pernikahan yang tinggal kenangan.

“Di satu sisi, aku jadi salah didik anak karena apa yang terjadi pada kita, Mas. Karena pesonamu yang berhasil memperbudak kesabaranku. Aku sangat mencintaimu, Mas. Meskipun luka-lukaku telah berkata, cintaku tak pantas untuk orang sepertimu.”

Benar saja, masa sekolah Ayana memang penuh ejekan pasca perceraian orang tuanya. Perkataan seperti Aye anak buangan, Aye bapaknya nggak ada, Aye ditinggal bapaknya karena nakal, berulangkali datang seperti makanan sehari-hari. Sampai-sampai, Ayana pernah bersembunyi di gudang sekolah untuk menghindar dari semuanya. Ayana juga pernah menidurkan diri di perpustakaan yang sepi, agar tak bertemu jam belajar berikutnya, agar tak bertemu teman-teman sekelas yang terlalu senang menertawainya. Ya, Ayana memang tak mengadu. Hal itu sudah cukup membuatnya berpikir, tak satupun hal percuma ia lakukan. Jadi, pengarahan sang mama masih aman. Padahal, dua hal kecil itu juga termasuk percuma jika dilihat berdasarkan pengajaran sang mama.

Selain tahan tak mengadu sana-sini, Ayana kecil memang mampu menahan diri untuk tak marah. Sebab, ia pun berulangkali dijejali pandangan sabar, tahan, maafkan, terima, dan percuma sekembalinya ke rumah. Akan tetapi, ada satu hal yang dirasanya tak tertahan meskipun pernah beberapa kali ia bawa menghindar. Keinginan untuk menangis.

Menurut Ayana, keinginan untuk menangis terlalu sulit dicari pengalihannya. Bahkan, rasa-rasanya ia semakin ingin menangis tatkala menyendiri, tatkala berusaha menghindar dengan cara bersembunyi. Sungguh suatu titik percuma yang tak terpikirkan gadis kecil itu.

Bukankah melawan lebih berhasil? Begitulah Tanya bocah kecil itu diam-diam, tatkala mulai lelah akibat rundungan.

Bukankah melawan lebih berhasil? Ia pernah bertanya sekali lagi. Di saat yang sama, dilihatnya Lily, sang sahabat yang mendapat pelukan beberapa orang dewasa, bahkan yang bukan orang tuanya, setelah dikerjai beberapa anak hingga menangis. Kepala kecilnya waktu itu mulai membuat daftar tunggu untuk Ayana mencerna sekali lagi.

Belum selesai dengan Lily dan daftar tunggu satu, tanpa sengaja dilihatnya suatu keributan di warung dekat rumah. Hari Minggu kejadiannya, mama Ayana yang terkenal ramah itu sedang tak ingin masak makan siang. Sedang terlalu lelah, katanya. Lelah karena hari Senin hingga Sabtu.

“Daripada capek tapi dipaksa, efeknya mama jadi nggak sabar lagi sama Aye, mama jadi marah-marah ke Aye, lebih baik kita keluar aja untuk siang ini, Nak. Nurut, ya,” tuturnya penuh kelembutan.

Ibu dan anak itu pun keluar untuk mengisi perut, ditemani para tetangga yang memang gemar berbasa-basi dengan orang ramah.

Saat sedang menikmati santap makan siang, tampak seorang anak berbaju lusuh membanting sendok ke piring makannya. Di saat yang sama, seorang pria bertubuh kekar mendekat ke anak berbaju lusuh itu.

“Heh! Lo udah makan di sini, hah? Mana setorannya?” Begitu bentak pria bertubuh kekar, sambil menggebrak meja yang dipakai sang anak malang.

“Sabarlah dulu, Bang. Yang ini biar saya pake bayar makanan,” kata bocah berbaju lusuh yang saat itu gemetar hebat. “Saya dari kemarin loh, Bang, belum makan.”

“Sabar sabar,” sambar pria bertubuh kekar. “Lo kira sabar itu gampang? Lo kira lo bisa hidup pake sabar?”

Pria bertubuh kekar itu mengomel-ngomel tak jelas sambil berkeliling, sampai entah bagaimana ceritanya ia menemukan pria remaja di warung itu. Pria remaja yang juga sedang menikmati santap siang. Duduknya sangat jauh dari anak kecil yang sebelumnya dibuat takut habis-habisan. Ayana sampai tak menyadari, keduanya punya urusan yang sama dengan orang yang sama pula. Pakaian milik keduanya pun sama lusuhnya.

Berbeda korban, persoalan tak turut berganti. Ayana masih menyaksikan hal yang sama, meskipun pikirannya terbelah karena ucapan si Kekar tentang sabar. Sabar, susah. Sabar, susah. Benarkah sabar memang susah? Waktu itu, setengah kepala Ayana mulai berputar lebih keras.

Si Kekar masih Marah karena masalah yang sama, setoran. Masalah yang tak diketahui pasti oleh Ayana, tetapi sangat dipahami oleh ibu-ibu sewarung.

“Masa harus saya ulang-ulang lagi ngomongnya? Abang pasti ingat, lah.”

“Kan saya udah bilang enggak bisa setor hari ini, Bang, saya mau beli makan buat Ibu yang masih belum sembuh. Ibu saya udah sabar banget loh, Bang.”

Pria bertubuh kekar terus mengumpat-ngumpat, sementara remaja tersebut gencar menjawab, walau suaranya pelan dan terdengar nyaris tercekik. Rupanya, keberaniannya hanya setitik.

Semakin dijawab dengan penuh rasa takut, semakin gencar pria bertubuh kekar mengeraskan suara.

Pada akhirnya, sang remaja pun memukul, menendang, melawan dengan apapun yang ia bisa. Bahkan, kursi warung pun dijadikan senjata. Barangkali ia tak punya pilihan lain selain menaikkan paksa tingkat keberaniannya.

Akibatnya, warung menjadi ramai oleh pasukan ibu-ibu yang tak terima, yang tertusuk naluri keibuannya, yang ikut emosi karena pria bertubuh kekar itu. Sang remaja pun akhirnya makan dengan tenang berkat perlawanan, berkat bantuan yang datang karena beraninya melawan.

Setelah menyaksikan itu, hati Ayana sekali lagi bertanya. Bukankah melawan lebih berhasil? Bukankah sabar itu susah dan melawan itu mudah? Satu lagi, sebenarnya sabar itu seperti apakah? Sesusah apakah sampai si Kekar menjadi gemar marah-marah? Sesusah apakah sampai si Kekar lebih memilih pekerjaan percuma?

Suatu hari di sekolah, mendaratlah ejekan keseribu di telingga Ayana. Sebuah Tanya lanjutan ternyata muncul berdesakan. Apakah menangis itu termasuk tanda tak sabar? Apakah menangis termasuk buang-buang tenaga? Apakah menangis termasuk percuma? Lalu, kejadian Lily mengiringi tiap lapis pertanyaan, diikuti kejadian warung dan preman. Dijawabnya sendiri Tanya itu, sepertinya tidak. Bahkan, sepertinya menangis itu bisa jadi cara melawan.

Ayana belum mengerti betul dampak sebuah tangis. Yang ia tahu, setelah menangis ia akan mendapat pelukan orang tua atau teman-teman. Bisa seperti remaja malang yang akhirnya dibantu pasukan ibu-ibu yang ikut terbawa emosi. Bisa seperti dirinya sendiri saat sang papa dan mamanya masih bersama, bisa juga seperti Lily, sahabatnya. Orang sekitar akan memberi kehangatan, dan ia biasanya segera merasa nyaman.

“Ayana nggak punya bapak! Ayana bapaknya nggak ada!”

“Pokoknya, kalian harus jaga bapak kalian. Biar nggak diambil Aye. Dia, ‘kan, udah dibuang.”

Maka, saat itulah pecah tangis Ayana. Saat seisi kelas bisa berujar sesuka hati, saat guru tak mengisi karena rapat.

Menangislah Ayana sekeras mungkin. Semakin keras, semakin lega rasa hati. Akan tetapi, semakin kencang pula dengung ejekan untuknya. Tak satupun mendekat padanya, apalagi menenangkan. Tak satupun memberinya bantuan. Hatinya mulai tak terima. Ini tak seperti saat mama dan papanya masih bersama. Ini tak seperti yang dialami Lily sahabatnya. Berarti, apakah tangis termasuk tanda tak sabar? Ia bahkan mulai kehabisan daya. Apakah tangis termasuk percuma? Jika ya, mengapa dirinya dulu merasa nyaman setelah menangis? Begitupun Lily.

Akhirnya, suaranya bersaing dengan suara ejekan yang kian menyakitkan. Ayana semakin dibuat kelelahan, ditambah lagi kering tenggorokan. Puncaknya, toilet sekolah harus ia singgahi untuk isi perut yang keluar dalam bentuk muntahan.

Hari itu, tangis membuatnya nyaris pingsan. Malu membuatnya ingin menghilang. Ayana pun terserang demam akibat lelah, malu, dan kebingungan.

Ayana diistirahatkan. Selama masa pemulihan yang singkat, mulutnya bungkam walau pikirannya bergerak aktif, bertanya tentang bagaimana caranya mengerti sabar. Akibatnya, panas di badan terkesan tak mempan diturunkan.

“Ayana, makan yang banyak buburnya, ya. Nanti kalau sembuh, baru makan nasi lagi. Yang sabar ya, Nak, kita kuat sama-sama.”

Ayana awalnya tak mengerti arti dari kuat sama-sama. Bingung, sebagaimana ia membingungkan sabar. Namun, mamanya memberi jawab yang cukup jelas. Ia dibawanya ke dokter malam-malam, tanpa pakai drama telepon sang papa apalagi para om dan tante. Sang mama menyetir sendirian, menerobos hujan sendirian pula. Demi pertolongan terbaik untuknya, demi kesehatan dirinya.

“Sudah sampai, Aye Sayang. Kita turun, ya.”

Di malam yang dingin itu, Ayena digendongnya seorang diri. Mobil pun diparkirkan seorang diri. Ditepuk-tepuknya Ayana yang merintih karena panas badan. Dibisikkannya kata-kata.

“Kuat sama-sama, ya. Kalau mama bisa kuat, berarti Aye harus bisa juga. Kalau ketemu dokter, jangan menangis ya, Nak. Aye harus bisa sembuh.”

Setelah hari keempat demam, Ayana mengalah. Ia berhenti mencari sabar. Ia berhenti ikuti kebingungannya, meskipun berhenti tak dapat capai tingkat total. Apalagi, setelah ia meremaja dan mendewasa. Penghentian total itu kian membuat susah saja. Tak lain dan tak bukan, karena fase-fase mempertanyakan yang semakin gila, ditambah gengsi diskusi pada sang mama yang memuai tak terkira.

Suatu hari di masa remajanya, Ayana tak lagi sering dijadikan sasaran ejek. Sebagian temannya berubah cara pandang, sebagian lagi teman baru sehingga tak mengetahui kisah hidup anak itu. Namun, sebagian yang tahu itu sering melempar celetukan yang mengganggu.

“Aye, mama lo cukup sabar, ya? Waktu gue kerja kelompok ke rumah lo, berisikan sama anak-anak yang lain, dia nggak ada marah. Yang ada justru senyum tulus sama ngasih cemilan terus. Udah cantik, awet muda, hatinya baik, pula. Keren!”

“Lo beruntung punya nyokap sabar, kuat, tapi di sisi lain dia kayak nggak bijak gitu nggak sih? Look, lo nggak dicariin bapak pengganti.”

Tanpa sungkan, golongan tahu bertanya terang-terangan kala Ayana menikmati makanan ringan di kantin sekolah. “Aye, lo sebenernya butuh sosok bapak, ‘kan? Lo sebenernya pengen ada bapak sambung, ‘kan? Coba deh, jawab. Kita kepo.”

Sementara itu, sebagian lainnya yang tak tahu punya perannya sendiri. Bukan sebagai yang sok paling kritis, tetapi hanya sebagai penenang tatkala Ayana mulai terusik. Siapa sangka, kalimat penghiburan yang tenang itu justru mendekatkan Ayana pada kepercumaan yang tak pernah berhasil ia patuhi sepenuhnya.

“Lo yang sabar aja ya, Aye. Lo juga nggak usah kasih tahu nyokap lo sekepo apa mereka sama kehidupan kalian, karena takutnya makin membebani gitu, nggak enak. Lagipula, nyokap lo juga punya haknya sendiri buat nentuin jalan hidup. Sebagai anak, lo mah harus sabar-sabar aja.”

“Itu bener, Aye. Terus, jangan sampe lo berpikiran kalo nyokap lo nggak bijak, ya. Pokoknya, lo yang tenang sama yang sabar aja, ya. Karena biar gimanapun, lo nggak bisa maksain kebahagiaan nyokap lo. Kalo beliau maunya sendiri aja, ya udah.”

“Bener, Aye. Lagipula lo juga udah gede, nggak butuh bapak, butuhnya sabar aja.”

Sabar, sabar, sabar dan lagi-lagi sabar. Tanpa sengaja mengundang rasa yang bercampur-campur dalam hati Ayana, terlebih masalahnya dengan konsep sabar seakan tak kunjung usai. Karena rasa yang tak termanajerial, hari itu Ayana meninju dinding kelas keras sekali. Meninju berulang-ulang, berteriak bak kesetanan. Beberapa orang sampai harus benar-benar memeganginya kuat sekali.

Ayana lelah, teramat sangat lelah. Hingga akhir masa SMA telah setengah jalan dilewati, ia masih tak mengerti tentang konsep sabar yang ditanamkan sang mama sejak kecil. Ia juga tak mengerti seperti apa idealnya sikap sabar manusia, dan lebih jauh, ia tak tahu apakah dirinya selama hidup lebih banyak menahan, memaafkan, menerima dan diam, atau lebih banyak melakukan hal-hal percuma. Ayana tak mengenali dirinya. Yang dikenalnya hanya pengalaman-pengalaman keremajaan yang menunjukkan bahwa sabar sangat tidak mungkin relevan untuk berkehidupan.

Di masa remaja, Ayana sering menjadi sasaran curhat teman laki-laki. Mereka bercerita apa saja, termasuk tentang pacar dan keluarga. Dari situlah ia semakin diperjelas pandangannya, hidup sangat memerlukan tindakan tegas, bukan hanya menahan, menerima, memaafkan saja. Hal yang dianggap percuma itu tak selamanya percuma. Begitulah mereka menggiring opini seorang Ayana, sekalian menunjukkannya bukti-bukti yang dianggap nyata.

“Aye lo tahu, ga? Posisi gue ini anak paling tua di rumah. Kalo guenya sabar, tiga orang adik gue pada makin bandel yang ada. Kalo mereka bikin kegaduhan, bikin rusuh, lo coba take a guess deh, siapa yang bakal dimarahin?”

Ayana tenggelam dalam usahanya berpikir, lama sekali. Saat itu, teman seisi tongkrongan yang serempak menjawab bak paduan suara.

“Anak pertamaaa!”

Di hari lainnya, Ayana tak diajak menongkrong bersama, tetapi piknik bersama. Piknik bermotor, dengan Ayana yang menyetir motornya sendiri. Gadis itu beriringan dengan tiga orang teman laki-laki di belakangnya. Saat itu, dari arah berlawanan terdapat pengguna jalan yang nyaris membuat Ayana kehilangan keseimbangan. Teman-temannya melihat kejadian, semuanya sontak memintanya membentak. Ayana melakukannya tanpa basa-basi, kemudian membicarakannya saat tiba di lokasi tujuan.

“Gila, ya? Cuma sama kalian gue tahu, marahin orang itu kadang harus dilakuin. Gue ga kebayang kalo ga kalian kodein gue buat bentak tadi, mungkin orang itu bakal merasa di atas angin, bakal ngerasa jadi pengguna jalan paling bener.”

“Iya dong, Aye. Ga selamanya marah itu percuma, kok. Kalo lo masih belum yakin juga, coba lihat kejadian di kelas. Lo tau, ‘kan? Yang paling cepet bayarin kas kelas tuh, yang paling keras dimarahin bendahara.”

“Heh, tapi gue punya pertanyaan. Kalo emang hidup ini butuh ketegasan, kenapa kalian cowok-cowok jadi makin nggak kekontrol kalo pas Bu Endang ngajar? Bu Endang guru matematika kita, tuh.”

Seusai pertanyaan Ayana terlontar, tawa teman laki-lakinya berderai. Mereka kira hanya sekadar canda, nyatanya bukan. Ayana benar-benar membutuhkan jawab untuk kegalauan tersembunyi.

Kehidupan remaja mengajarkannya untuk berani tegas, berani meluap-luap. Ayana sebenarnya punya pilihan untuk berhenti mencari arti. Namun, ia tak mampu menghentikan dirinya begitu saja. Ia tak mampu membunuh rasa ingin tahu yang sudah terpupuk sejak kecil. Terlebih lagi, walaupun pemikirannya telah tergiring nyaris sempurna, keadaan masih tak membuatnya benar-benar lupa pada konsep sabar.

Bagaimana tidak, teman-temannya masih banyak yang memintanya bersabar. Tentunya bukan teman-teman curhat yang berfungsi sebagai penggiring di hidupnya.

“Biar gimanapun, rasanya tetep ganggu kalo gue sering diomongin sabar sabar, tapi gue nggak ngerti konsepnya. Meskipun kalian udah ngajarin gue banyak hal soal ketegasan, marah yang gapapa, tapi tetep gue butuh pencerahan yang lain,” ungkap Ayana suatu ketika.

“Lo ngomong kayak gini sama aja nggak ngehargain kita, woi!” Salah satu temannya bersuara. “Aye, kita tuh udah sebaik mungkin ngasih insight ke lo, supaya lo nggak salah ngerti, supaya lo nggak terperangkap sama satu konsep yang bikin lo sendiri nggak nyaman.”

“Hey! Kapan gue pernah bilang nggak nyaman? Gue hanya bingung kok, bukannya nggak nyaman.”

“Kalo lo bilang bukan nggak nyaman, sebatas bingung, terus apa kabar sama curhatan lo yang sebegitu banyaknya itu, hah? Curhatan yang ga wajar buat orang bingung! Lo tahu?”

“Kalian selama ini kok gak ngertiin gue banget, sih? Gue bukannya nggak nyaman tapi gue—“

Stop it!” Teman laki-lakinya yang lain berseru lebih lantang, lebih intimidatif sehingga membuatnya tertunduk. “You’re kicked out of our circle!”

What?” Mata Ayana mendelik seketika. “Kalian kick gue? Hanya karena itu? Hanya karena keresahan itu?”

“Keresahan yang lo anggap remeh itu, cuma keresahan cewek yang sukanya mempersulit hidup. Ngerti nggak lo? Sedangkan kita, anak-anak cowok nggak level sama pemikiran kayak gitu. Kita cowok lebih simple!”

Hari itu, untuk pertama kalinya Ayana merasa tak dimengerti oleh sekumpulan orang yang dianggapnya bisa menjadi contoh baik. Hari itu, untuk pertama kalinya ia merasa dilukai, ditusuk, disakiti oleh saksi-saksi yang menemaninya mencari jati diri. Hari itu, untuk pertama kalinya Ayana menangisi luka barunya. Luka baru yang sakitnya melebihi ejekan-ejekan di masa silam, bahkan lebih sakit daripada penganiayaan yang disaksikannya dulu.

“Ternyata, yang namanya pencarian jati diri itu harus sendiri, ya? Ternyata lagi, yang namanya konsep hidup itu harus seimbang. Nggak bisa terlalu tegas, nanti jatuhnya heartless kayak mereka. Nggak bisa terlalu sabar, nanti jadinya tertindas.”

Ayana bersuara lirih di hadapan bayangannya sendiri. Gadis itu menangis, terdiam, kemudian berairmata lagi.

Dalam penghentiannya yang mustahil menyentuh total itu, tanya Ayana kian menyentuh puncak tepat saat ia menduduki kelas akhir SMA. Pertanyaannya sudah tak lagi seperti apa sabar itu sebenarnya, tetapi lebih naik tingkatnya. Seperti apakah sabar yang ideal itu? Ideal bagi diri sendiri, orang di sekitar, dan pengamat atau netizen. Seperti apakah sabar yang berterima itu? Yang tak membawa kesan lemah, yang tetap memegang teguh ketegasan.

“Ma, Aye udah cukup besar untuk hidup mandiri. Nggak apa-apa ya, Aye merantau? Nanti bakal sering-sering kasih kabar ke Mama, kok.”

Setelah Sembilan belas tahun usianya, Ayana putuskan pindah dari jangkauan sang mama. Pendidikan sebab yang diutarakannya. Padahal, sebenarnya ia keluar untuk pencarian sabar. Pendidikan hanya alibi paling masuk akal, untuk anak kemarin sore yang tiba-tiba ingin mandiri.

“Pesan mama, tetap jaga kesabarannya. Di luar, anaknya mama ini akan banyak bertemu godaan. Kesepian, ingin pacaran, pokoknya semua hal yang menurut mama percuma. Aye harus bisa fokus ke tujuan awal ya, Nak,” ujar sang mama panjang lebar.

Ayana pun sampai di hari pertamanya sebagai penghuni indekos. Tak terdapat hal istimewa di dalam sana, kebanyakan penghuninya hanya kaum mahasiswa sepertinya. Keistimewaan justru terletak di luar indekos, tepatnya di seberang bangunan itu. Ayana melihat seorang perempuan seusianya yang mendorong kursi roda dengan penuh kesabaran. Pria yang di kursi roda itu, Ayana mengenalnya. Ayana masih hafal wajah yang mirip dengannya itu. Namun, keadaan terakhirnya, ia tak tahu.

“Halo, Mbak. Baru ngekos di seberang itu, ya?”

Baru sekali melihat diam-diam, Ayana sudah ketahuan. Ia pun mau tak mau mendekat dengan penuh rasa sungkan. Dijawabnya sapaan gadis berkulit gelap yang tersenyum ramah.

“Halo halo. Iya, nih. Aku penghuni kos yang baru. Baru banget tadi beberes.”

“Oh, iya. Pantesan masih heran gitu lihatin om aku. Kalo penghuni lama biasanya udah tahu.”

“Oh, hehe iya. Jadi bapak ini omnya? Kirain papanya,” sahut Ayana asal.

“Enggak, Mbak. Kalau Bapak kerjanya tani di desa. Saya kuliah di sini karena ada keluarga. Lah kok ternyata disuruh rawat Om Abian ini. Ya udah, deh.”

“Oh, nama Om ini Om Abian?” Ayana coba mengulang untuk memastikan.

“Iya, Mbak. Abian Adhitama.”

Perempuan berkulit gelap itu mendorong kursi roda dengan penuh kesabaran. Tuturnya lembut mengajak bicara sang paman. “Om, kita minum obat dulu, ya. Obat supaya Om ndak marah-marah, supaya omnya bisa tenang. Mau ya, masuk ke dalam?”

Sesaat, Ayana dibuat menahan nafas. Sejak kapan penderita lumpuh disuruh minum obat penenang? Sejak kapan sang papa mengonsumsinya?

Ayana terus memandangi dari kejauhan, sampai akhirnya perempuan itu menyuruhnya mampir sejenak. “Mampir aja, Mbak, kebetulan saya tinggal bertiga aja. Sama Om, sama Mas saya yang dari desa juga,” katanya.

“Oh, boleh nih mampir?” Ayana masih berusaha bersikap netral.

“Boleh, Mbak. Sekalian saya biasanya butuh orang buat mindahin Om ke ranjang. Mas saya masih kelas eh, belum pulang-pulang.”

“Oh gitu? Ini tantenya mana?” Ayana berusaha membuat percakapan terus mengalir, sambil berjalan perlahan mengikuti perempuan itu ke sebuah rumah.

“Om saya sudah cerai lama, Mbak. Istrinya di-KDRT waktu itu. Kasihan loh, istrinya itu padahal sabar, hanya ndak tau kalo Om ada sakit mental sejak masih bujang.”

Seketika, sebongka batu seperti menghantam dada Ayana detik itu juga. Orang itu benar-benar sang papa. Tak salah lagi, orang itu benar-benar sang papa. Orang yang menggunakan kursi roda itu, yang berbicaranya tak begitu jelas itu, memang benar-benar papanya. Ya, keadaan sang papa jadi sedemikian mengenaskan akibat karma. Karma menganiaya orang sabar seperti sang mama.

“Loh, mbaknya kok melamun? Ayo, mau ndak bantuin saya mapah Om? Mau ya, udah ndak ada orang lagi ini,” pinta perempuan itu setengah mendesak.

“Oh, iya iya.” Ayana mau tak mau memaksakan senyum. “Boleh ajarin cara bantunya?”

Saat tangan Ayana menyentuh, pria paruh baya itu berteriak cukup kencang. Bibir dan lidahnya bergerak walau kaku, bergerak susah payah mengucap nama Ayana. Memang, yang keluar hanya terdengar seperti racauan tak jelas. Namun, Ayana adalah putri satu-satunya. Ayana pernah terikat dengannya walau tak lama. Radar terdalam Ayana dengan cepat menyadari, sang papa ingin mengucapkan namanya. Sang papa ingin meminta maaf padanya.

“Om Om, tenang dulu, ya. Mbak ini ndak jahat, kok. Mbak ini baik. Mbak ini bantuin Susan pindahin Om.”

“Mbak, mbaknya jangan takut loh, ya. Om saya mungkin merasa asing sama mbaknya,” lanjut perempuan itu.

Ayana tak kuasa membendung air matanya. Sejak awal bertemu perempuan itu, hatinya sudah merasakan ketulusan merawat yang tergambar melalui tatapan teduh. Ditambah lagi, di hadapannya kini ada fakta bahwa pria itulah sang papa. Ditambah lagi juga, sang papa seperti enggan menyerah mengucapkan namanya. Nama Ayana.

“Mbak, nitip Om sebentar, ya. Saya mau ke toilet sama sekalian ambil obat. Lupa pula, obatnya terakhir saya taruh mana,” jujur perempuan itu.

Ayana ditinggalkan berdua dengan sang papa. Saat itu, pecahlah tangisnya. Didekatinya sang papa, diciumnya pria tua itu. “Pa, ini Aye, Pa,” bisiknya.

Sang papa pun menangis sejadi-jadinya, melebih pecah tangis putrinya. Hari itu, Ayana rapuh namun tetap mampu menegarkan diri. Belakan disadarinya, sikap menahan yang diajarkan sang mama sebenarnya bukan suatu hal yang full tak cocok dengannya.

“Aye masih ingat sama Papa, kok. Aye usahakan bakal ke sini tiap hari buat Papa. Ya?”

Ayana sudah membungkam mulutnya sendiri, bahkan mulai sibuk mengusap bulir bening yang berjatuhan sambil menahan isak, tetapi pria tua itu masih terbata mengucapkan namanya. Perlahan, Ayana mampu membaca arti di balik usahanya.

“Iya, Pa. Iya.” Diusapnya tangan keriput pria tua itu, sembari terus berbisik. “Aye sama Mama sudah maafkan. Maafkan Mama juga waktu itu ya, Pa. Baik Mama maupun Aye nggak tahu kalo Papa ada sakit mental.”

Ayana menghabiskan seluruh senja hingga malam di rumah itu. Ia pun memesankan makanan untuk disantap bersama. Sambil ia mengajak ngobrol kedua orang berhati besar dari desa, sambil ia menyuapi sang papa dengan hati tulus. Ayana senang melakukannya.

“Jadi, Mbak ini namanya Susan, kalo Mas namanya Arman?” Keduanya pun mengangguk. “Hebat loh kalian, keponakan jauh tapi bisa rawat omnya.”

“Sambil ngerawat Om, kami juga sambil belajar bersyukur, Mbak,” kata Susan. “Betul,” sambung Arman kemudian. “Om itu sebetulnya kayak guru kami sekarang. Kondisi dan cerita hidup Om Abian ini ngajarin kami bersyukur, sabar, dan bijak. Kapan lagi kami belajar kayak gitu, Mbak?”

Hari itu, rasanya Ayana bagai tercubit. Selama ini, selama hidupnya, ia bahkan tak merasa pernah belajar dari orang lain. Ia terlalu keras menginginkan pengajaran tentang satu konsep besar, tanpa mau membaca hal-hal kecil yang mengarah padanya. Hari itu, Ayana menyadari sesuatu yang terlewat di dirinya.

“Saya sama Mas Arman dulu dijauhin teman-teman, Mbak, karena kami nggak pernah ada waktu keluar barengan mereka. Kami dibilang sok berbakti, pernah dibilang jadi babunya orang di sini. Tapi, setelah kami tunjukkan kondisi Om Abian, kami bawa Om Abian ke hadapan mereka, kami tegaskan kalau Om kami ini butuh perhatian khusus, baru mereka baik. Yang katanya banggalah, kagumlah, semua pokoknya,” tutur Susan panjang lebar.

“Lebih parah lagi aku,” imbuh Arman. “Aku pernah diomongin sama anak-anaknya orang sini, dikira ngerawat Om Abian ini taktik kami untuk nguasai hartanya Om.”

Ayana mendelik, alisnya benar-benar terangkat sempurna. Ia tetap menyuapi sang papa, mengelap kuah makanan yang keluar, sambil meminta Arman meneruskan ceritanya.

“Kami dibilang pegang semua uangnya Om, inilah, itulah, padahal loh semua biayanya Om Abian itu dari keluarga dekatnya di sini. Bukan dari kami yang orang jauh. Lagipula, kalau kami bisanya apa sih, Mbak? Orang ndeso yang kecil.”

Awal perjalanan Ayana mencari sabar secara mandiri, membawanya pada fakta baru yang membuatnya bertambah bijak menyikapi masalah sabar dan orang tua. Pertama, ia mulai mengerti bahwa konsep sang mama tak sepenuhnya salahbenar dan tak sepenuhnya salah. Menahan, memaafkan, tak melakukan tindakan percuma, semua itu demikian adanya. Kalau tak menahan, kalau tak diam, kalau tak memaafkan, sudah jadi apa kondisi psikis orang-orang yang merawat sang papa? Pastinya hancur, pastinya dibabat habis oleh emosi. Namun, nyatanya tak ada yang terbabat hingga mereka bertemu Ayana.

Kedua, wanita yang melahirkannya itu telah berhasil menerapkan sikap-sikap itu, tetapi tak disertai tindakan aktif. Akibatnya, penyakit mental sang papa tetap tak diketahui sampai perceraian. Seandainya sang mama menyertakan tindakan aktif, membawa Abian ke seorang ahli, perceraian tak mungkin ada. Kelumpuhan tak mungkin ada.

Ketiga, papanya yang salah itu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Ia sedang sakit saat itu, tanpa adanya perawatan yang mencukupi. Maka, di hidup Ayana semuanya ada benar, semuanya ada salah masing-masing. Ayana mengerti, sangat mengerti.

“Kalian mau tahu aku sebenernya siapa?” Ayana mengeluarkan tanda identitas, tak lupa foto masa kecil di mana ada ia dan kedua orang tua.

Sepulang dari indekos, Ayana kembali berbicara pada bayangan wajahnya di cermin. Tak seperti saat itu yang berurai air mata, kini ia benar-benar diliputi senyum ketegaran.

“Entah kapan proses pemahaman ini bisa berhenti di puncak. Biarlah, sekarang aku rawat dan menopang Papa. Papa bisa kok, bawa pembelajaranku ke level selanjutnya. Untuk saat ini, Papa tempat belajar sabar yang terbaik. Gitu, ‘kan, aku?”

Ayana mengakhiri harinya dengan senyum, senyuman manis sekali.

Suatu hari di kota asal Ayana, seorang wanita mengusapi layar ponsel dengan kucuran air mata bangga. Hatinya sungguh menghangat melihat sang putri yang tampak sabar, lembut, dan teliti mengurus mantan suaminya. Selain itu, kerinduannya terhadap Abian pun sedikit terobati.

“Biarkan buah cinta kita membantumu di sana ya, Mas. Dia akan belajar banyak darimu,” gumamnya pada video yang masih memutar.

“Kalau musim libur kerja, aku juga bisa belajar rawat kamu seperti Aye kita. Tunggu ya, Mas. Aku pasti ke sana bawakan makanan kesukaan kamu. Supaya kamu senang, supaya mentalmu lekas pulih. Gitu, ‘kan, Mas?”

Beberapa bulan kemudian, wanita itu menghubungi sang putri melalui panggilan video. Panggilan itu cepat diterima, tetapi pemandangan di hadapannya sungguh berantakan. Tampak sang putri tengah memunguti sesuatu yyang pecah di lantai. Ia pun panik dibuatnya.

“Nggak apa-apa ini, Ma. Papa tuh sekarang kan udah bisa gerakin badan meskipun sama dokter nggak dibolehin lama-lama. Nah, tadi marah karena Aye suruh berhenti latihan jalan. Ini sekarang vas bunga saudara Papa jadi ancur, pecahannya nyebar pula ke mana-mana.”

“Aye lanjut bebersih dulu ya, Ma. Kalo udah balik ke indekos, ntar baru kita teleponan lagi. Oke?”

Panggilan video telah terputus. Wanita itu mengusap air mata haru sekali lagi.

“Terima kasih, Ya Allah. Putriku telah menjadi orang sabar yang sebenarnya.”"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi