Disukai
4
Dilihat
30
Mangkir
Horor

Unus memarkirkan motornya di depan gudang. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 14.17, masih ada waktu sebelum ia harus kembali mengantar paket berikutnya. Sejak sembilan bulan bekerja sebagai kurir, ia merasa sudah cukup terbiasa dengan segala macam pelanggan. Yang cerewet, yang pemarah, yang menawar ongkir, yang minta barang diantar sampai pintu kamar, sampai pelanggan yang tak pernah ada di rumah dan selalu menyuruhnya meletakkan paket di teras. Semua itu sudah biasa.

Namun ada satu pelanggan yang membuatnya gelisah sejak dua minggu terakhir.

Nama di aplikasi itu Rati. Hanya “Rati”. Tanpa nama belakang. Ketika pertama kali mengantar kesana, Unus masih ingat jelas suasananya: sunyi seperti kawasan yang sudah lama ditinggalkan orang. Yang aneh, rumahnya berdiri sendiri seolah menolak ditemani rumah lain. Kayu-kayu tua yang membentuk dindingnya terlihat masih kokoh, tetapi terkesan seperti bangunan yang tidak pernah dijamah matahari. Dari luar, rumah itu tampak normal, tapi Unus merasakan sesuatu yang ganjil saat mendekatinya, perasaan seperti ada banyak mata yang mengawasinya dari balik dinding.

Dan sekarang Rati kembali mengirimkan komplain.

“Isi paket tidak sesuai,” tulisnya singkat.

Padahal sebelumnya Rati pernah mengirimkan komplain serupa, dan saat Unus mengeceknya, seluruh paket yang ia antar selalu sesuai pesanan.

Yang membuatnya risih, komplain itu dikirimkan tepat 00.03 dini hari. Sama seperti komplain-komplain sebelumnya yang selalu muncul di jam-jam orang seharusnya tidur.

Unus menggaruk tengkuknya yang berkeringat. “Kenapa harus gue lagi, ya Allah…,” gumamnya. Tapi ia tak ingin menumpuk masalah. Dalam pekerjaannya, satu komplain bisa berarti potongan gaji sebulan penuh. Apalagi Rati cukup sering membeli barang di tokonya, sehingga ia termasuk pelanggan prioritas.

“Tiga hari lagi gue cek. Sekalian kalau ada return sekalian gue ambil.”

Itu janji yang ia kirim ke chat, dan kini sudah tepat tiga hari.

Di gudang, teman-temannya menggoda.

“Unus! Itu pelanggan cantik lo kirim pesan lagi?”

“Hehhhh, yang wajahnya indah seperti Audrey Hepburn?”

“Haha, hati-hati bro, jangan sampai lo diembat dia !”

Unus hanya tersenyum hambar. Ia tidak suka membicarakan pelanggan. Meski begitu, deep inside, ucap teman-temannya cukup mengganggu. Ada rasa takut yang ia tutup-tutupi.

Sore itu, setelah menyelesaikan lebih dari 30 pengiriman, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Rati. Langit sudah mulai memerah, dan angin lembab selepas hujan membuat aroma tanah terasa menempel di hidung. Ia menyalakan mesin motor, menghela napas panjang, lalu berangkat.

Perjalanan menuju rumah Rati tidak membuatnya berpikir kemana-mana.

Namun kali ini jalan setapak yang ia lalui terasa lebih panjang dari yang ia ingat. Beberapa hari yang lalu rasanya hanya lima menit dari pertigaan, tapi kali ini seperti memakan waktu dua kali lipat. Ia berhenti sebentar, memastikan GPS-nya benar. Titik yang ia tuju tidak berubah: “Rumah Rati.”

Hutan kecil itu lebih gelap daripada biasanya. Pohon-pohon tampak lebih rapat, menutupi sisa cahaya matahari. Dedauan basah berjatuhan setiap kali angin bergerak. Semakin ia masuk ke area itu, semakin hening suasananya, tidak ada suara burung, tidak ada suara hewan kecil, seakan seluruh kehidupan memilih menjauh dari tempat yang ia tuju.

Ketika akhirnya ia melihat rumah itu, jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.

Rumahnya… berubah.

Masih rumah yang sama, secara sekilas. Namun rumah itu berada di area yang agak terbuka, di tepi lembah kecil dengan pepohonan yang jarang. Sekarang rumah itu berdiri di antara pohon-pohon besar, seolah memeluknya erat dan mencekik cahaya yang hendak masuk ke teras.

“Bukan begini…” gumam Unus. “Gue ingat banget rumah ini nggak sengelebat ini.”

Kakinya dingin, tapi ia memaksa turun dari motor. Jam menunjukkan 17.20. Ia harus cepat, atau supervisor-nya akan menelpon untuk menagih setoran harian.

Di depan pintu, ia mengetuk tiga kali.

Tok… tok… tok…

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lebih keras.

Tok… tok… tok… tok…

Masih tak ada suara.

Angin berhembus, membawa aroma lembab seperti kain baju yang tak pernah kering. Daun-daun bergerisik halus, dan entah kenapa suara itu membuat bulu kuduknya meremang.

Ia menelan ludah. “Assalamualaikum…” suaranya sedikit bergetar. “Paket, Bu.”

Diam.

“Assalamualaikum…” Untuk ketiga kali.

Begitu salam ketiga selesai ia ucapkan, pintu itu bergerak. Lambat, sangat lambat, seperti seseorang di dalam membutuhkan tenaga ekstra untuk membukanya. Engsel pintu berderit panjang, menusuk telinga.

Sesosok wanita paruh baya muncul di ambang pintu.

Wajahnya datar. Mata tidak berkedip. Kulit pucatnya tampak seperti tak pernah tersentuh matahari. Rambutnya yang sangat panjang menjuntai sampai perut, sedikit basah di ujung-ujungnya seolah baru dicuci tapi tidak dikeringkan.

“Ini,” ucapnya pelan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang.

Unus menerimanya dengan tangan gemetar. Ada hawa dingin yang terasa aneh dari kardus itu, bukan dingin dari udara, tapi semacam dingin yang menembus kulit seperti air es.

“Bu, sebelumnya laporannya satu paket yang nggak sesuai, ya?” tanya Unus mencoba sopan.

Wanita itu menatapnya lama sekali. Terlalu lama. Seolah ia tak paham pertanyaan itu atau sedang menimbang sesuatu tentang diri Unus.

“Ada satu lagi di dalam,” jawabnya datar.

“Lho? Satu lagi?”

Wanita itu tidak menanggapi. Ia hanya berbalik perlahan dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Unus terdiam.

Ada perasaan tidak enak yang semakin menguat di dadanya. Hawa di sekitar rumah itu seperti menggantung, pekat, lembab, tidak bersahabat. Namun ia juga tidak punya pilihan. Supervisor-nya bisa saja memotong gajinya jika return paket tidak jelas.

“Mungkin cuma salah hitung. Mungkin cuma pelanggan aneh.”

Unus meyakinkan dirinya.

Akhirnya, ia melangkah masuk ke dalam rumah.

Begitu melewati ambang pintu, aroma dinding lembab langsung menyergap hidungnya. Gelap. Ruangan itu lebih gelap dari seharusnya di jam lima sore. Suasana di dalam seperti ruangan yang berada di dalam gua. Tidak ada cahaya yang benar-benar bisa menembus ke dalam.

Ia mengikuti langkah wanita itu menuju ruang tamu.

Namun ketika wanita itu memutar tubuh ke kanan, Unus langsung berhenti. Napasnya tercekat.

Ruang tamunya… sangat luas. Jauh lebih luas dibandingkan ketika ia datang pertama kali. Dulu hanya ruang tamu biasa, seperti rumah-rumah kayu lainnya. Tapi kini ruangan itu terbentang mungkin puluhan meter, begitu lapang sehingga terasa seperti aula tua tempat orang berkumpul.

Dan memang benar, ada orang. Banyak sekali.

Puluhan sosok duduk bersila di lantai. Mereka mengobrol pelan, tetapi ketika Unus masuk, seluruh percakapan berhenti. Semua kepala menoleh bersamaan, memandangnya.

Puluhan wajah datar. Tanpa ekspresi. Sama seperti wanita paruh baya itu.

Jantung Unus berdegup keras.

Ya Allah…” bisiknya tanpa suara.

Hawanya tiba-tiba sangat dingin, namun punggungnya berkeringat. Ia berhenti beberapa langkah dari kerumunan itu, tak berani mendekat.

Wanita paruh baya itu menunjuk sudut ruangan.

“Kardusnya di sana.”

Unus menelan ludah.

Seluruh orang di ruangan itu masih menatapnya. Dengan wajah datar. Tanpa emosi.

Tegang, takut, dan pusing bercampur dalam kepalanya, sampai akhirnya, ia muntah.

Tubuhnya seperti tak kuat menahan tekanan suasana yang tak masuk akal itu. Suara muntahnya memantul di ruangan besar, namun tidak satu pun dari puluhan orang itu bergerak. Tidak ada yang menolong. Tidak ada yang terkejut. Mereka hanya menatap.

Unus mengusap mulut dengan punggung tangan. Ia harus cepat. Harus ambil paket. Harus pergi. Ia melangkah ke sudut ruangan, mengambil kardus besar yang disebut wanita itu. Kardus itu berat, namun ia tidak peduli. Ia ingin keluar secepat mungkin.

Saat ia kembali ke pintu depan, semua orang masih menatap. Suasana seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.

Ia membuka pintu, melangkah keluar.

Dan kakinya terhenti.

Rumah itu tidak ada.

Yang ada hanya ilalang setinggi pinggang, gelap, dan angin dingin yang menusuk tulang. Tidak ada rumah. Tidak ada wanita paruh baya. Tidak ada pintu. Tidak ada dinding. Tidak ada apa pun.

Ia berdiri sendirian di tengah lapangan ilalang.

Dan jam di ponselnya menunjukkan pukul 23.00.

Angin malam menyentuh kulit Unus seperti hembusan dari dunia lain. Sunyi. Gelap. Hanya suara ilalang yang berdesir tinggi akibat embusan angin. Napasnya tersengal, dadanya naik turun cepat, otaknya berusaha memahami apa yang terjadi.

Baru saja tadi ia membuka pintu rumah Rati. Namun sekarang, rumah itu hilang begitu saja, seperti tak pernah ada. Tidak ada bangunan. Tidak ada jejak tapak. Tidak ada sisa-sisa aktivitas manusia. Hanya hamparan ilalang luas yang bergesekan satu sama lain, menciptakan suara lirih seperti bisikan-bisikan yang saling merayap.

“Astaghfirullah…” suara Unus bergetar.

Ia menatap sekeliling, berputar penuh. Tidak ada satu pun yang menunjukkan tanda-tanda bahwa rumah itu pernah berdiri di sana. Padahal ia jelas-jelas baru saja muntah di lantai ruang tamu, melihat puluhan orang menatapnya, melihat wanita paruh baya itu memimpin jalan. Bahkan kardus besar di tangannya, yang beratnya terasa tidak wajar, masih ada.

“Ini enggak mungkin, ini enggak bener…” gumamnya sambil mundur beberapa langkah.

Pikiran rasionalnya berusaha berteriak, mengatakan bahwa ia mungkin hanya tersesat. Tetapi rasa takutnya berkata lain. Jiwanya tahu bahwa apa pun yang ia alami barusan bukan hal yang dapat dijelaskan dengan logika.

Ia menekan tombol senter di ponselnya. Cahaya putih kecil menyibak ilalang. Jamnya menunjukkan 23.00.

“Enggak. Enggak mungkin udah jam sebelas. Baru jam lima lewat dua puluh tadi… aku liat sendiri…” Unus menahan napas, menyadari sesuatu yang masih lebih mengerikan.

Ada seseorang atau sesuatu yang mengambil waktu darinya.

Tanpa berpikir panjang, ia mulai berlari menerobos ilalang. Kardus besar itu ia peluk erat dengan kedua tangan, karena entah bagaimana ia takut melepaskannya. Ilalang memukul tubuhnya, menorehkan goresan-goresan kecil. Nafasnya memburu. Kaki melemah. Tapi ia terus memaksa.

“Bismilahirohmanirrohim....kulhuwawlahu Ahad....allahusomad…” ia terus membaca doa sambil terengah.

Ia tidak tahu berapa lama ia berlari. Rasanya seperti berjam-jam. Tapi ketika ia tersengal dan hampir jatuh, ia melihat sebuah celah di antara ilalang yang mengarah ke jalan setapak. Tanpa pikir panjang ia berlari menuju sana, dan akhirnya keluar dari hamparan ilalang yang menyesatkan itu.

Saat mencapai jalan tanah kecil, ia menemukan motornya terparkir di tempat yang sama seperti ketika ia datang. Motor itu tampak normal. Seperti tidak berpindah sedikit pun.

Jantung Unus berdentum.

“Alhamdulillah… ya Allah…”

Ia berlari mendekat dan menendang standar motornya dengan kaki yang gemetar. Ia menaruh kardus itu di lantai tanah dan mencoba menghidupkan motor.

Krek—

Krek—

KREK!

Motor itu tidak mau menyala.

Panikan menjerat tenggorokannya. Ia mencoba lagi.

KREK!

KREK!

BRRRM!

Mesin motor akhirnya menyala, menegang seperti suara napas seseorang yang lari ketakutan. Ia langsung memeluk kardus itu, menaruhnya di depan balik kaki, dan tancap gas.

Ia melaju kencang di jalan setapak. Pohon-pohon di kanan-kiri bergerak seperti bayangan tinggi yang mengejar. Angin malam terasa menusuk tulang. Senter ponsel yang ia ikat di dasbor motor bergetar mengikuti kecepatan.

Setelah berkendara cukup jauh keluar dari hutan, barulah ia melihat cahaya lampu dari pos ronda kecil di pinggir kampung.

“Ada orang… ada orang… aman…”

Ia mengurangi kecepatan dan memilih berhenti di depan pos ronda. Nafasnya masih berat. Tangan gemetar hebat. Punggungnya seperti membeku.

Di pos ronda tidak ada siapa-siapa, tetapi lampu bohlam kuning yang tergantung di atas mengusir sebagian ketakutannya. Ia duduk di bangku kayu sambil memegangi dada.

“Ya Allah… apa barusan tadi…”

Ia mengusap wajahnya keras-keras. Berkali-kali. Berusaha menyadarkan diri bahwa ia sudah selamat.

Setelah beberapa menit, ia mengambil ponsel untuk menghubungi temannya di gudang. Ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab dari supervisor-nya.

Ia menelan ludah, lalu menelpon rekannya, Akbar.

“Bar… bar, tolong bilang ke bang Ben kalau gue enggak bisa balik ke gudang sekarang. Barang return baru gue ambil, masih di jalan, gue capek banget. Besok aja gue setoran…”

Suara Akbar di seberang telepon terdengar bingung.

“Besok aja? Nus… lo di mana sih?”

“Ini… udah malem banget. Jam....”

Unus melihat ponselnya. Masih tertulis 23.06.

“… jam sebelas lewat enam. Gue enggak mungkin balik sekarang.”

Hening sebentar.

Nada suara Akbar berubah menjadi seperti seseorang yang sedang menahan gelisah.

“Nus… sekarang baru jam 19.06. Belum isya malah. Kita masih kerja. Lo kenapa ngomong begitu? Kenapa si?”

Jantung Unus seakan berhenti berdetak.

Ia menatap layar ponselnya lagi. Angka tiba-tiba berubah menjadi 19.06 terpampang jelas di sana. Angka itu sangat stabil, tidak bergoyang, tidak berubah.

“Bar… display jam gue nunjukin… udah jam sebelas lewat tadi sumpah. Aneh ya...."

“Ini gue lagi di gudang. Liat jam dinding. Liat HP gue. Semua orang juga ngeliat. Sekarang tuh jam tujuh lewat enam! Nus, lo kenapa?

Tadi bang Ben telepon lo berkali-kali!”

Telinga Unus berdenging.

Detak jantungnya berdentum-dentum seperti dipukul palu.

Tiba-tiba pos ronda terasa lebih sempit. Angin dingin masuk dari sela-sela papan kayu seperti hembusan sesuatu yang menguntit. Tangannya dingin dan mulai berkeringat.

Ia memandang kardus yang ia bawa dari rumah Rati. Kardus besar yang tadi terasa berat, dan entah mengapa sekarang terasa jauh lebih berat.

Dan…sekarang mengeluarkan aroma tidak enak. Bau.

Bau itu muncul perlahan. Awalnya samar. Kemudian menjadi lebih jelas. Seperti bau bangkai yang sudah membusuk tiga hari.

Hawa busuk itu menusuk hidung, membuat lambungnya berputar. Ia menutup hidungnya sambil memundurkan tubuh.

“Astaghfirullah… bau apa ini?!”

Bau itu keluar dari kardus.

Ia berdiri, mendekati kardus perlahan. Jantung berdebar tak karuan. Tangan kanannya bergetar saat menyentuh ujung tutup kardus.

“Jangan… jangan dibuka…” batinnya berteriak.

Namun rasa penasaran bercampur takut memaksa tangannya tetap bergerak. Dengan sekali tarikan, ia mendobrak tutupnya.

Dalam sekejap…

dunia Unus berhenti.

Dari dalam kardus, sebuah kepala manusia muncul perlahan. Kepala itu pucat, mengilap, matanya terbuka lebar dan bergerak… mengikuti arah pandang Unus. Bibirnya tersenyum tipis, senyum yang sangat tidak wajar seperti kulit wajahnya dipaksa naik oleh sesuatu di balik sana.

Lehernya terputus kasar, berdarah hitam pekat. Rambutnya panjang dan basah seperti rambut wanita paruh baya yang ia temui tadi.

Kepala itu menatapnya. Senyumnya melebar. Dan dari mulutnya terdengar suara lirih:

“Unus…”

Unus menjerit. Tubuhnya terpental ke belakang, menghantam bangku, lalu jatuh ke tanah. Ia langsung bangkit dan melempar kardus itu sejauh mungkin, hingga jatuh ke semak belukar di samping pos ronda.

Ia ingin lari. Ia harus lari.

Ia berlari menuju motornya, tapi saat tangannya hendak menyentuh stang motor, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik tubuhnya ke belakang. Kuat. Sangat kuat. Ia terpental seperti boneka yang diseret.

Tubuhnya mendarat keras di semak-semak tempat kepala itu ia lempar.

Dalam sekejap…gelap.

Dan Unus menghilang selamanya.

***

Pagi hari itu gudang pengiriman terasa lebih gaduh dari biasanya. Biasanya, suasana pukul delapan pagi hanya dipenuhi suara mesin sortir dan obrolan tipis-tipis para kurir yang baru datang. Tapi kali ini berbeda, semua orang berbicara dengan nada yang sama: heran, cemas, dan penuh tanda tanya.

“Unus belum masuk juga?”

“Enggak ada kabar?”

“Kemarin dia chat gue katanya mau balik besok pagi…”

“HP-nya aktif, tapi enggak diangkat.”

Supervisornya, Bang Ben tampak gelisah. Ia mondar-mandir dari ruangannya sambil memegang clipboard. Bukan karena ia marah, namun karena ada firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.

Unus memang terkenal kadang malas, tapi ia tidak pernah menghilang.

Saat semua kurir bersiap menyortir paket, tiba-tiba pintu gudang kedatangan seseorang, pelan.

Tek.. Tek.

Suara langkah kaki yang santai.

Semua kepala menoleh.

Di balik pintu itu menampilkan sosok pria yang tidak dikenal. Tubuhnya tinggi, kurus, mengenakan jaket lusuh berwarna hijau tua. Wajahnya tirus, mata cekung, kulitnya pucat seperti orang yang lama tidak berkegiatan di bawah sinar matahari.

Yang membuat semua orang heran, pria itu memeluk sebuah kardus besar, kardus yang sangat dikenali para kurir karena bentuknya mirip paket return barang.

Bang Ben maju ke depan. “Iya, Pak? Ada keperluan apa?”

Pria itu menundukkan kepala. Suaranya pelan, namun jelas.

“Ini… dititipkan Unus. Dia enggak masuk kerja dua-tiga hari ke depan… dia bilang kelelahan.”

Beberapa kurir saling pandang.

“Lho, kok titip ke orang lain?”

“Unus kenal dia?”

“Siapa dia?”

Bang Ben menatap pria itu lebih teliti.

“Maaf, Bapak siapa ya? Kerabatnya Unus?”

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sangat kaku.

“Bukan. Saya… hanya diminta mengantarkan kardus ini kembali.”

Setelah berkata begitu, pria itu membalikkan badan. Dengan langkah pelan tapi mantap, ia keluar tanpa menunggu izin.

Bang Ben memanggilnya, “Pak! Tunggu dulu, pak!"

Namun pria itu menghilang begitu cepat. Ketika bang Ben membuka pintu gudang untuk mengejarnya, pria itu sudah tidak terlihat sama sekali.

Benar-benar hilang. Seolah hanya bayangan.

Kardus itu diletakkan di tengah gudang. Atmosfer ruangan langsung berubah. Ada rasa tidak nyaman, hawa dingin pelan yang entah berasal dari mana. Semua kurir yang melihatnya merasa merinding tanpa alasan yang jelas.

“Ini… kardus yang kemarin dibawa Unus, kan?”

“Iya, gue hafal persis warnanya. Bahkan ada bekas kena tanahnya.”

“Tapi kok diantar si pria tadi. Si Unus kemana sih?”

Bang Ben menghela napas panjang. “Udah, jangan ada yang buka. Kita tunggu Unus. Kalau sampai besok dia enggak datang juga, saya telepon keluarganya.”

Namun tidak ada yang bisa fokus bekerja setelah itu. Mereka terus memperhatikan kardus itu, seolah kardus tersebut bisa bergerak kapan saja.

Siang hari, beberapa kurir mulai menggosipkan hal-hal aneh. Termasuk Akbar yang menjadi saksi terakhir.

“Unus terakhir chat gue jam tujuh malem. Katanya dia lagi di jalan pulang…”

“Padahal gue dapet chat dari dia jam sebelas malam. Dia bilang mau pulang tapi HP gue tiba-tiba ngehang.”

“Masa sih? Gue malah dapet pesan jam sembilan katanya dia masih di hutan!”

Masing-masing merasa pesan mereka benar. Yang membuat mereka ngeri adalah: jam yang tertera di setiap pesan berbeda-beda, seolah waktu yang dikirim bukan berasal dari dunia yang sama.

Sore itu, mereka memutuskan mencari Unus.

Enam orang kurir mengendarai motor menuju hutan di mana alamat pelanggan bernama Rati berada. Mereka menyusuri jalan yang sama, menembus pepohonan dengan cabang-cabang panjang yang merendah seperti tangan-tangan yang hendak meraih.

Namun ada satu kejanggalan besar.

“Ini jalan menuju hutan, kan?”

“Iya. Gue hafal. Tapi kok… rasanya beda?”

“Lho, bukannya dulu kiri jalan ada sungai kecil? Ini mana sungainya?”

Semua jadi ragu. Tidak ada sungai. Tidak ada tanah longsoran kecil. Tidak ada bentuk tikungan yang mereka ingat. Jalan itu seolah berubah menjadi jalur yang belum pernah dilewati siapa pun.

Seorang kurir bernama Samin berhenti mendadak. “Gue pernah nganter ke rumah itu, pas gue ganti si Unus, gue inget bagus banget rumahnya. Rumah kayu tapi bersih. Kenapa sekarang jalan masuknya begini?”

Mereka semua saling menebak-nebak. Namun kali ini yang mereka heran rumah itu ternyata tidak ada. Sama sekali tidak ada. Yang ada hanya ilalang luas yang berayun kecil mengikuti angin.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi