Hutan tidak pernah benar-benar sunyi. Ia hanya belajar bagaimana menyembunyikan suaranya dari manusia yang datang dengan keyakinan bahwa akal dan keberanian cukup untuk menaklukkannya.
M. Gibran melangkah perlahan di antara batang-batang pohon yang menjulang, napasnya teratur, telinganya siaga. Sebagai jurnalis investigasi, ia terbiasa membaca tanda-tanda kecil: tanah yang terlalu rata, dedaunan yang tidak wajar, keheningan yang mendadak. Ia berada di sini bukan untuk petualangan. Ia datang membawa beban laporan, dokumen, dan rasa bersalah.
Konflik bersenjata yang telah lama berakhir meninggalkan sesuatu yang tidak pernah benar-benar pergi.
Tas selempang di bahunya berisi peta kusam, kesaksian warga, dan salinan laporan resmi yang sengaja dihapus dari arsip negara. Tidak ada perbekalan. Tidak ada air. Tidak ada makanan. Ia berencana keluar sebelum malam.
Satu langkah.
Tanah di bawah sepatu kirinya terasa berbeda. Lebih keras. Lebih dingin.
Bunyi itu muncul, kecil, mekanis, nyaris sopan.
KLIK....
Dunia berhenti.
Gibran membeku, seolah waktu membatu di sekelilingnya. Jantungnya menghantam dada dengan keras, lalu seolah menghilang. Napasnya tercekik di tenggorokan. Ia menunduk perlahan, sangat perlahan, takut bahkan kedipan mata bisa menjadi kesalahan terakhir. Ia tidak perlu melihat untuk mengetahui apa yang diinjaknya.
RANJAU...
Tubuhnya mengenali ancaman itu lebih cepat daripada pikirannya. Ingatan-ingatan lama menyeruak: bau daging terbakar, teriakan yang terpotong ledakan, serpihan tulang yang menempel di batang pohon. Semua itu kini terkubur tepat di bawah telapak kakinya.
Ia tidak boleh melangkah. Tidak boleh jatuh. Tidak boleh melangkah atau bergerak sembarangan. Ia tidak boleh mati. Hutan menahan napas bersamanya.
***
Hari Pertama ...
Matahari bergerak perlahan di atas kanopi, namun panasnya menekan tanpa ampun. Cahaya menembus sela-sela daun seperti bilah pisau, membakar kulit Gibran. Keringat mengalir deras dari pelipisnya, menetes ke tanah, bercampur lumpur dan lumut.
Ia berdiri dengan satu kaki menjadi jangkar hidup dan mati. Kaki lainnya menekuk sedikit, mencari keseimbangan. Otot betisnya bergetar hebat, seolah ingin melepaskan diri dari tulang.
“Tenang,” bisiknya, lebih sebagai permohonan daripada perintah.
Ia menoleh perlahan, memindai sekeliling. Tidak ada jalan setapak. Tidak ada suara manusia. Pohon-pohon berdiri rapat, seperti dinding penjara hidup.
Ia berteriak.
“Halo.......To....Tolong!”
Suaranya tenggelam. Hutan menelannya tanpa sisa.
Haus datang lebih cepat dari yang ia perkirakan. Tenggorokannya mengering, lidahnya terasa kasar. Ia menjilat bibirnya, berharap ada sisa air liur.
Ponsel di sakunya terasa berat. Ia mengeluarkannya perlahan, menyalakan layar.
Tidak ada sinyal. Baterai 46 persen.
Ia mematikannya kembali. Ponsel itu harus bertahan lebih lama darinya.
Lalat mulai berdatangan, tertarik oleh keringat dan bau manusia. Mereka hinggap di wajahnya, di sudut mata, di bibir. Ia mengusirnya dengan gerakan sekecil mungkin.
Ia melihat daun besar di atas kepalanya, masih menyimpan sisa embun. Dengan hati-hati, ia merobek plastik pembungkus dokumen, menahannya di bawah daun. Menunggu. Setetes air jatuh. Lalu satu lagi.
Ia menjilatnya dari telapak tangan. Rasanya pahit, berbau tanah dan daun busuk. Namun cairan itu menyentuh tenggorokan, memberi hidup sesaat.
Menjelang sore, tubuhnya mulai memberontak. Kaki kirinya mati rasa. Otot menjerit. Punggungnya pegal. Bahunya kaku. Ia mengikat tali tas ke cabang pohon kecil, menjadikannya penahan agar tubuhnya tidak roboh jika kehilangan kesadaran.
Saat itulah suara pertama muncul.
Langkah kaki. Pelan. Berat. Mengitari.
“Halo... Ada orang?” suaranya gemetar.
Langkah itu berhenti. Lalu terdengar napas. Dalam. Dekat. Gibran menoleh perlahan. Tidak ada siapa-siapa. Namun rasa diawasi menetap seperti tangan dingin di tengkuknya.
***
Malam Pertama ...
Gelap turun cepat. Suhu merosot drastis. Panas siang hari lenyap, digantikan dingin yang merayap dari tanah.
Tubuh Gibran menggigil hebat. Giginya gemeletuk. Jaket tipisnya nyaris tak berguna.
Dari kejauhan terdengar auman panjang, berat, rendah, menggema di antara pepohonan. Ia tahu itu bukan satu-satunya suara. Daun bergerak. Ranting patah. Mata-mata kecil berkilat di balik semak. Ia tidak bisa lari. Ia tidak bisa bersembunyi.
“Gibran…”
Namanya dipanggil.
Suara itu lembut. Terlalu lembut untuk hutan.
Suara ibunya.
“Pulang, Nak…!”
Dadanya sesak. Ia menutup mata, menekan telapak tangan ke telinga. Ini tidak nyata. Ia menghitung napas. Menghitung detak jantung. Menghitung detik hingga pagi.
Malamnya terasa seperti seumur hidup.
***
Hari Kedua ...
Pagi datang dengan rasa sakit.
Perut Gibran mulai melilit hebat. Asam lambung naik. Kepalanya pening. Tubuhnya berbau keringat dan tanah. Ia merasakan cairan hangat mengalir di pahanya, urin keluar tanpa bisa ia tahan. Rasa malu muncul, lalu lenyap.
Saat ini tubuh lebih penting daripada harga diri.
Ia menunggu tanah di bawahnya lembap, lalu menjilat lumpur itu. Rasanya pahit dan menjijikkan, tapi cairan itu masuk ke tubuhnya.
Semut merayap di lengannya. Banyak. Ia menunggu hingga cukup, lalu menjilatnya dari kulitnya sendiri. Asam dan menyengat. Ia muntah sedikit, lalu menelannya kembali. Hidup menuntut kehinaan. Semak di sebelah kanan bergerak keras. Seekor babi hutan muncul, besar, kotor, dengan taring menguning. Hewan itu mendengus, mencium udara.
Gibran membeku.
Babi itu mendekat, menyeruduk tanah. Getaran terasa sampai ke tulang.
Jika ia jatuh...
Ia menggigit lidahnya sendiri hingga darah mengalir. Rasa sakit menjaga kesadarannya.
Babi itu akhirnya pergi.
Gibran menangis tanpa suara.
***
Malam Kedua ...
Hujan turun deras.
Gibran menengadah, membuka mulut, meneguk hujan seperti anugerah. Air mengalir di wajahnya, di lehernya, membasahi pakaiannya.
Petir menyambar, menerangi bayangan pohon yang tampak seperti manusia berdiri.
Tawa terdengar.
Banyak.
Ia berbicara sendiri, memohon pada apa pun yang mendengar.
Lalu sesuatu merayap di kulitnya.
Awalnya hanya rasa geli. Halus. Nyaris seperti helai daun yang jatuh terbawa angin. Gibran mengabaikannya. Tubuhnya sudah terlalu penuh sensasi, dingin, nyeri, lapar-untuk peduli pada gangguan kecil.
Namun rasa itu tidak pergi.
Ia berubah menjadi tekanan tipis yang bergerak. Naik perlahan dari pergelangan kaki, menyusuri betis, lalu berhenti.
Gibran menahan napas.
Gelap terlalu pekat untuk ia bisa melihat hewan apa yang baru saja masuk ke dalam celananya. Hujan meredam suara. Ia hanya bisa meraba dengan tangan gemetar.
Saat jari-jarinya menyentuh sesuatu, tubuhnya menegang seketika. Panjang. Beruas.
Banyak kaki kecil bergerak serempak, licin dan cepat. Kelabang....
Darah Gibran terasa dingin. Ia tahu racun hewan itu bukan main-main, apalagi di kondisi tubuhnya yang lemah. Ia berusaha tetap tenang, menahan keinginan refleks untuk menepisnya.
Pelan-pelan ia mencoba melepaskan genggamannya. Namun makhluk itu justru bergerak lebih cepat.
Masuk ke celana lebih dalam. Gibran tersentak. Napasnya pecah. Dalam kepanikan, ia lupa segalanya, ranjau, bahkan kematian.
Ia memukul tubuhnya sendiri. Sekeras mungkin. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Tinju menghantam paha dan pinggulnya, membuat tubuhnya terayun berbahaya. Tanah di bawah kakinya bergetar halus. Ia tidak peduli.
Rasa sakit menjalar, panas, menyengat. Ia terus memukul sampai ia tidak lagi merasakan sesuatu yang bergerak di dalam celananya.
Hening.
Ia terengah-engah, jantungnya hampir meloncat keluar. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, ia yakin.
Kelabang itu mati.
Gibran tertawa pendek. Pahit. Hampir seperti isak. Untuk pertama kalinya sejak terjebak, ia merasa menang.
Namun tak lama kemudian sesuatu jatuh ke belakang punggungnya. Ringan, basah, dan merayap.
Napas Gibran tertahan di tenggorokan.
"Apalagi ini ban*sat..."
Makhluk itu bergerak naik, perlahan namun pasti, menyusuri tulang punggung, menuju leher, lalu kepala. Ia bisa merasakan jari-jari kecil mencengkeram kulit kepalanya. Saat kilat menyambar lagi, ia sempat melihat bayangan di sudut matanya.
Kepala segitiga, mata menonjol. Bunglon....
Hewan itu menempel di rambutnya, lidahnya menjulur cepat, seolah ikut menikmati kekacauan.
Gibran menjerit. Ia meraih kepala itu dan menekannya dengan kedua tangan. Menekik. Kuat-kuat. Ia tidak berhenti sampai tubuh kecil itu berhenti bergerak, sampai tulang-tulang halusnya terasa remuk di antara jari-jarinya.
Ia menjatuhkannya ke tanah.
Hujan segera menyeret bangkainya ke lumpur.
Gibran terdiam, napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat.
***
Hari Ketiga ...
Hari ketiga adalah neraka bagi Gibran.
Tubuh Gibran nyaris menyerah. Kulitnya melepuh. Kakinya bengkak. Dengan penuh ketegangan ia mencoba membungkukkan tubuhnya secara perlahan. Sangat hati-hati. Ia mencoba melepaskan sepatu sebelah kirinya dengan tidak mencoba merubah posisi yang sudah mantap itu. Setelah ia buka, kakinya sudah kebiruan. Lecet dibagian samping telah membuatnya sedikit menjerit karena perih yang dirasanya luar biasa.
Pikirannya mulai kabur. Ia melihat ayahnya berdiri di antara pohon. Melihat korban-korban liputannya duduk mengelilingi. Mereka menatap tanpa mata. Ia menjerit, suaranya serak dan patah. Di tengah kegilaan itu, ia mendengar langkah manusia. Berat dan nyata.
Lalu sesuatu bergerak di hadapannya.
Seekor ayam hutan kecil muncul dari balik semak. Ukurannya tak lebih besar dari sekepal tangan Gibran. Bulu-bulunya kusam, cokelat keabu-abuan, matanya hitam dan waspada. Ia mematuk tanah, lalu mendongak.
Gibran menahan napas. Jantungnya berdegup liar. Daging. Kehangatan. Makan siang. Dengan suara hampir tak terdengar, ia mulai merayu.
"Sini…"
Nada suaranya serak, patah, nyaris seperti desah angin. Ia menggerakkan bibirnya saja, tidak berani mengubah posisi tubuh. Ayam itu memiringkan kepala, melangkah satu tapak mendekat.
Gibran menelan ludah.
"Sedikit lagi…"
Namun ayam itu berhenti. Matanya menyipit. Ia mengais tanah, lalu, seperti menyadari sesuatu, melangkah menjauh.
Tidak cepat. Tidak panik. Menjauh dengan tenang. Harapan Gibran runtuh.
"Sialan," gumamnya.
Ia memaki dirinya sendiri, memaki hutan, memaki langkah bodohnya yang membawanya ke sini. Ayam itu menghilang di balik semak, membawa pergi kemungkinan hidup yang nyaris bisa ia rasakan di lidahnya.
Ia hampir menangis.
Saat itulah hewan lain mendekat.
Bukan ayam.
Seekor burung aneh yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, lebih besar dari ayam kecil tadi, dengan leher agak panjang dan paruh keras, melompat-lompat ragu di antara dedaunan. Bulu-bulunya gelap, nyaris menyatu dengan tanah basah. Ia tampak bodoh, terlalu bodoh. Mendekati kaki Gibran. Dan tak lama...
HAPPP....
Hewan itu ditangkapnya. Ia tidak menunggu aba-aba lagi. Ia segera menebas lehernya dan memakannya mentah-mentah.
Setelah memakan daging mentah itu. Ia merasa mual hebat. Perutnya berontak. Dan ia memuntahkannya kembali.
***
Malam Ketiga ...
Sosok itu mendekat.
Seorang lelaki tua, kulitnya gelap seperti kayu, matanya tenang.
Gibran menangis. Ia tidak bertanya si lelaki itu dari mana asalnya? dengan siapa dia kesana? Apakah ia akan menolongnya atau justru mencelakainya?
"Tetap di tempat. Jangan bergerak. Aku akan segera mencari cara untuk melepaskanmu." Jelas si pria tua mulai mendekati Gibran.
Setelah Gibran rasa si pria itu akan membantunya, ia tidak henti-henti meminta untuk segera melepaskan dirinya dari ranjau tersebut.
"Tolong....To....tolong, Pak! Bantu saya pak!" Gibran menangis sekeras-kerasnya.
Suara itu tidak menggema. Tidak pula mengguncang. Tapi cukup untuk membuat dada Gibran runtuh.
“Aku capek…” suara Gibran patah. “Aku enggak tidur tiga hari. Kakiku mati rasa. Kepalaku penuh suara.”
Lelaki tua itu mendekat setengah langkah. Sangat pelan. Seperti berbicara pada tanah yang bisa tersinggung.
“Ranjau tidak akan peduli pada rasa lelahmu,” katanya. “Ia hanya mengenal tekanan.”
Air mata Gibran jatuh.
“Aku cuma mau cari kebenaran. Aku seorang jurnalis. Aku ikut seseorang masuk ke hutan ini. Dia bilang ada sesuatu yang disembunyikan.”
Lelaki tua berlutut, jaraknya masih aman. Tangannya menyibak daun-daun basah.
“Orang yang mengajakmu… wajahnya bagaimana? Ciri-cirinya seperti apa?”
“Gelap,” jawab Gibran lirih. “Aku enggak pernah benar-benar melihatnya. Tapi suaranya… seperti sudah lama aku kenal.”
“Dan kau mengikutinya?”
“Iya.” Gibran tertawa kecil yang berubah jadi tangis. “Aku selalu begitu. Mengejar sesuatu yang bisa membuat ambisiku naik, sampai lupa pulang.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis.
“Kadang yang membawa kita ke hutan bukan orang lain.”
"Maksudnya?" Gibran menelan ludah. Si pria itu tidak menjawab.
“Bapak siapa?”
Hening.
Lelaki tua itu mulai bekerja. Ia mengambil ranting panjang, menusuk tanah di sekitar kaki Gibran, perlahan, milimeter demi milimeter.
“Aku cuma orang yang kebetulan lewat,” katanya akhirnya.
“Itu bohong,” Gibran berbisik. “Enggak mungkin ada yang kebetulan lewat di hutan seperti ini.”
Lelaki tua tak menjawab.
“Bapak tahu,” lanjut Gibran, suaranya bergetar, “aku pikir aku berani. Tapi sekarang aku takut mati tanpa sempat minta maaf kepada siapa pun.”
Ranting itu berhenti.
“Kau takut bukan pada mati,” kata si lelaki tua. “Kau takut dilupakan.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari ledakan mana pun.
Gibran terisak keras.
“Aku enggak mau sendirian…”
Lelaki tua itu mendekat sedikit lagi. Tangannya kini berada di tanah, tepat di samping kaki Gibran.
“Dengar aku,” katanya pelan. “Saat aku bilang angkat kaki, kau angkat. Jangan lebih cepat. Jangan lebih lambat.”
“Kalau gagal?”
“Kalau gagal,” jawabnya tenang, “kau akan menyesal.”
Napas Gibran tersengal.
“Kenapa Bapak nolong aku?”
Lelaki tua itu terdiam lama.
“Karena dulu,” katanya akhirnya, “aku pernah berdiri di tempatmu. Dan tak ada siapa-siapa yang datang.”
Ia mengangguk kecil.
“Sekarang.”
Gibran menggigit bibirnya, lalu mengangkat kaki itu, perlahan, sangat perlahan. Tapi juga terasa sangat berat.
Tanah tidak meledak....
Tubuh Gibran ambruk ke depan. Lelaki tua itu menahannya.
Tangis Gibran pecah, liar dan tak tertahan. Ia memeluk tubuh kurus itu erat-erat.
“Terima kasih… terima kasih… aku enggak tahu harus bilang apa lagi…”
Tak ada jawaban.
Gibran mengangkat wajahnya.
Hutan itu kosong.
Kabut bergeser. Daun bergoyang. Tidak ada jejak kaki. Tidak ada lelaki tua.
“Pak…?” suaranya nyaris tak ada.
Ia mencoba melangkah.
Kedua kakinya terasa seperti batu basah. Berat. Mati. Gibran jatuh ke tanah. Ia mencoba memukul-mukul kakinya agar segera pulih. Agar segera bisa meninggalkan hutan itu.
***
Hari Keempat ...
Tidak ada cahaya yang dramatis. Tidak ada burung yang bernyanyi sebagai tanda keselamatan. Hutan itu hanya membuka matanya, dingin, lembap, dan acuh.
Gibran terbangun dalam posisi tengkurap. Wajahnya menempel tanah basah. Lidahnya terasa seperti kain lap kering. Seluruh tubuhnya nyeri, bukan nyeri luka, melainkan nyeri orang yang terlalu lama bertahan hidup di dalam ketakutan.
Ia batuk. Tanah dan daun masuk ke mulutnya.
“Kaki…” gumamnya.
Ia menggerakkan jari-jarinya. Masih bisa. Perlahan ia menarik lututnya, lalu berdiri dengan goyah. Tidak ada ledakan. Tidak ada suara apa pun selain detak jantungnya sendiri.
Gibran berdiri.
Utuh....
Ia menatap tanah di bawah kakinya. Mengais-ngais dengan tangan gemetar. Tidak ada kabel. Tidak ada logam. Tidak ada tanda apa pun bahwa pernah ada ranjau.
“Kemarin…” napasnya tercekat. “Aku di sini…”
Ia menoleh ke sekeliling.
Tidak ada bekas tapak kaki lelaki tua itu. Tidak ada ranting yang dipatahkan dengan sengaja. Tidak ada jejak penyelamatan.
Hanya hutan biasa. Dan itu justru membuatnya takut. Gibran berjalan terseok. Setiap langkah seperti membawa beban ingatan yang lebih berat dari tubuhnya sendiri. Ia terus menoleh ke belakang, berharap, atau takut, melihat sosok itu muncul lagi dari balik kabut.
Tidak ada siapa-siapa.
Hutan mulai menipis. Cahaya matahari masuk lebih berani. Tanah berubah dari basah menjadi berdebu. Dan tiba-tiba...
“DI SANA!”
Suara manusia.
Gibran mengangkat kepala. Siluet-siluet berlari ke arahnya. Beberapa orang mengenakan rompi oranye. Ada yang membawa radio. Ada yang teriak memanggil namanya.
“KETEMU! GIBRAN KETEMU!”
Kakinya menyerah tepat saat ia keluar dari batas hutan. Tubuhnya jatuh ke tanah terbuka. Tangan-tangan asing mengangkatnya, menahan kepalanya, menyodorkan air.
“Empat hari, Tuhan… empat hari dia hilang!”
“Bran, dengar saya? Gibran?”
Gibran membuka mata. Cahaya terlalu terang.
“Pak…” bibirnya gemetar. “Ada bapak tua… di dalam…segera cari dia, pak!”
Orang-orang saling pandang.
“Di dalam apa, Bran?”
“Hutan.” Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah. “Dia nolong saya.”
Tak ada yang menjawab.
Ambulans datang. Sirine memecah udara. Tubuh Gibran dibaringkan. Infus ditancapkan. Saat pintu ambulans ditutup, pandangannya menangkap garis hutan itu sekali lagi.
Kosong.
Rumah sakit berbau antiseptik dan realitas. Hari itu berjalan seperti mimpi yang dipaksa jadi nyata. Dokter berbicara tentang dehidrasi parah. Tentang kelelahan ekstrem. Tentang kemungkinan disorientasi.
“Kau beruntung,” kata seorang perawat. “Kalau satu hari lagi, ginjalmu bisa kolaps.”
Gibran hanya menatap langit-langit. Ia menunggu seseorang bertanya tentang ranjau.
Tidak ada.
Sore harinya, seorang polisi datang. Membawa map. Wajahnya serius tapi tidak mengancam.
“Gibran,” katanya pelan. “Kami perlu klarifikasi.”
Gibran mengangguk lemah.
“Empat hari lalu,” lanjut polisi itu, “Anda pamit ke keluarga untuk istirahat. Tidak ada penugasan. Tidak ada investigasi.”
Kepala Gibran berdengung.
“Tidak mungkin.”
“Kami cek,” kata polisi itu. “Redaksi anda juga mengonfirmasi. Anda sedang cuti.”
Gibran menutup mata.
“Lalu orang yang mengajak saya ke hutan?” suaranya nyaris berbisik.
“Kami tidak menemukan saksi siapa pun.”
Polisi membuka map. Menunjukkan foto udara lokasi pencarian.
“Dan ini yang paling penting,” katanya. “Di area tempat anda ditemukan… tidak pernah ada ranjau.”
Gibran tertawa kecil. Lalu berhenti.
“Itu daerah bekas perkebunan tua. Tidak ada catatan konflik. Tidak ada bahan peledak. Tidak ada apa-apa.”
Sunyi merambat masuk ke tulang-tulangnya.
“Gibran,” polisi itu menatapnya dalam-dalam, “selama empat hari itu, anda sendirian.”
***
Malam datang.
Dan bersamanya, suara-suara itu kembali. Bukan suara hutan. Tapi suara ingatan. Gibran terbangun berkeringat. Nafasnya tersengal. Ia duduk, memeluk lututnya sendiri.
“Kalau begitu… siapa dia?”
Ia memejamkan mata. Dan jawabannya datang bukan sebagai suara, melainkan sebagai potongan-potongan.
Wajah lelaki tua itu, tenang. Terlalu akrab. Kalimatnya, aku pernah berdiri di tempatmu.
Dan tiba-tiba, Gibran teringat sesuatu yang lama ia kubur. Sebuah liputan lama. Bertahun-tahun lalu. Tentang seorang jurnalis senior yang hilang di hutan saat mengejar cerita yang tidak pernah terbit.
Namanya…
Gibran membuka ponselnya dengan tangan gemetar. Menggali arsip redaksi lama. Artikel setengah jadi. Foto hitam putih.
Dan saat ia melihat wajah itu....
Dunia runtuh perlahan. Lelaki tua itu.
Lebih muda. Tapi matanya sama.
Nama di bawah foto itu membuat dadanya seperti ditinju dari dalam.
Akbar Gibran...Ayahnya, jurnalis yang menghilang sebelum ia sempat mengenalnya.
Laporan resmi menyebutnya: hilang karena kelelahan dan disorientasi di hutan. Tidak ada jasad. Tidak ada kebenaran. Hanya asumsi.
Gibran menjatuhkan ponselnya.
“Tidak…”
Air mata jatuh deras. Bukan hantu. Bukan penjaga hutan. Bukan makhluk gaib. Melainkan ingatan, trauma, dan rasa bersalah yang diwariskan tanpa pernah diminta. Ia sadar sekarang. Tidak pernah ada ranjau.
Yang menahannya selama tiga hari tiga malam adalah pikirannya sendiri, ketakutan akan mengulang nasib ayahnya. Rasa bersalah karena mengejar kebenaran tanpa tahu untuk siapa. Dan kelelahan jiwa yang selama ini ia abaikan.
Lelaki tua itu tidak pernah benar-benar datang. Ia muncul karena Gibran membutuhkan seseorang untuk berkata: jangan melangkah.
Dan pagi keempat itu, saat ia berdiri dan berjalan keluar, itu bukan karena diselamatkan.
Melainkan karena akhirnya ia berani melangkah tanpa ketakutan.
Di luar jendela rumah sakit, hutan itu berdiri diam. Tidak pernah menahan siapa pun. Hanya memantulkan apa yang manusia bawa masuk ke dalamnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak kecil, Gibran menangis bukan karena takut mati, Tapi karena akhirnya…ia bisa kembali.