Disukai
8
Dilihat
11,712
LINKED HEART
Drama

Tatapan heran itu selalu menyertai ke mana pun kaki kecil Rena melangkah. Begitu pula dengan suara-suara sumbang dan asing di telinganya. Namun, ia tidak peduli. Ia terus melangkah dengan tegap dan bersemangat. Cuaca yang cerah dengan angin semilir sore ini terlalu sayang untuk diabaikan atau dirusak oleh hal-hal tidak penting semacam itu.

“Nggak usah dipikirin. Mereka cuma iri.” Rena selalu mengatakan hal yang sama saat kejadian seperti barusan terulang.

Bukan tanpa alasan Rena berkata demikian. Aruna, sahabatnya itu, sangatlah cantik. Gadis yang terpaut usia dua tahun itu memang memiliki pesona di luar batas kewajaran. Tidak hanya laki-laki, bahkan gadis-gadis lain seperti Rena pun sangat mengaguminya. Jadi, pandangan heran itu, Rena anggap sebagai kekaguman atau kecemburuan mereka yang hanya bisa melihatnya dari jauh.

Berbeda dengan Rena. Ia bisa menyentuh, bergandengan tangan, memeluk, dan bercerita panjang lebar dengan Aruna. Ia sama sekali tidak iri atau cemburu dengan kecantikan Aruna. Ia malah bangga bisa menjadi teman bahkan menjadi sahabat terdekatnya.

Rena mengusap hidungnya dengan pongah. Senyumnya pun tampak lebih lebar dari biasanya. Sesekali ia melirik Aruna yang berjalan di sampingnya.

“Kau terlihat senang sekali?” tanya Aruna sambil tersenyum.

“Oh, tidak! Hentikan senyummu itu, Runa! Aku tak tahan melihatnya! Silau! Kau terlalu cantik!” Rena berhenti melangkah dan menutup wajahnya dengan tangan.

“Apa-apaan kau … mau ngedrama?” Aruna tergelak melihat sikap lebay Rena. Sahabatnya itu memang lain daripada yang lain.

Rena tertawa dan melangkah lagi dengan gembira. Senyumnya selalu mengembang sempurna di saat-saat seperti ini. Menghabiskan waktu dengan sahabat terbaiknya di dunia adalah momen yang selalu ia tunggu sepulang sekolah. Perbedaan sekolah, jam pelajaran, arah rumah, bahkan usia, itu tidak menjadi masalah bagi Rena. Asalkan bisa bertemu, ia sudah sangat senang.

“Oh, aku lupa. Ini.” Rena mengulurkan bungkusan plastik kecil yang dihiasi pita merah. Di dalamnya ada beberapa keping biskuit vanila dengan taburan kismis. “Aku buat sendiri lho di klub tadi. Buat kamu aja, sebagai permintaan maafku karena terlambat,” kata Rena.

Sore ini Rena memang sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan karena ada kegiatan klub yang terpaksa ia ikuti. Dari awal masuk sekolah setelah cuti satu semester, ia tidak berminat mengikuti kegiatan klub atau ekstrakurikuler. Namun, sang ibu bersikeras dan mendaftarkannya ke salah satu klub, yaitu memasak. Meski setengah hati mengikutinya, hasil masakan Rena cukup memuaskan dan sering mendapat pujian. Hal baik lainnya adalah ia bisa memberikan hasil masakannya pada Aruna.

Tiba-tiba raut muka Aruna berubah. Dahinya berkerut. Matanya menatap tajam pada bungkusan di tangannya. “Kau yakin ini bisa dimakan? Aku nggak akan mati keracunan, ‘kan?”

Rena mendelik dan berseru, “Kalau begitu, aku udah mati dari tadi dong! Dan ini adalah arwahku yang mencarimu untuk ikut bersamaku!”

Rena memperagakan sosok hantu yang sering ia lihat di film-film. Aruna pun pura-pura ketakutan dan hampir menangis. Tak lama kemudian, dua gadis itu tergelak hingga sakit perut. Mereka saling melempar lelucon dan gurauan satu sama lain sambil melanjutkan perjalanan.

Di taman yang sejuk, dua gadis cantik itu berhenti dan duduk di bangku. Keduanya menatap pemandangan sekitar dengan pikiran masing-masing. Mereka akan mengamati sisi yang berbeda lalu bertukar cerita. Sesekali mereka mentertawakan hal yang sama di depan mereka. Kegiatan itu terus berlangsung hingga malam menjelang.

Waktu-waktu yang Rena lalui bersama Aruna selalu terasa lebih cepat. Ia masih ingin melakukan banyak hal bersama Aruna dan membuatnya enggan pulang. Ingin rasanya menghentikan waktu saat itu juga, agar kebersamaan mereka tidak pernah berakhir. Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi.

“Kau harus pulang, Ren. Aku juga. Udah malam,” kata Aruna sambil berdiri dari bangku.

 Rena cemberut. Tubuhnya bergerak malas ketika menggapai tangan Aruna yang terulur. “Harus, ya? Kenapa kamu nggak main ke rumahku aja sih? Atau aku yang ke rumahmu? Nanti bisa izin untuk menginap sesekali. Aku masih mau ngobrol lagi.”

“Nggak bisa, Ren. Orang tuaku orangnya kolot. Aku nggak bakalan boleh menginap di rumah orang lain selain saudara.”

“Kalau begitu, kita jadi saudara aja! Aku adik, dan kamu kakakku.” Mata Rena berbinar-binar saat mencetuskan ide itu.

“Konyol! Aku nggak mau. Kau bawel dan manja soalnya!” tolak Aruna sambil berjalan mendahului.

“Ayolaaah …!” Rena terus merajuk sambil menggandeng lengan Aruna.

“Nggak!” Aruna pun terus menolak hingga tiba saatnya mereka berpisah di halte bus.

“Sampai besok!” Aruna melambaikan tangan yang dibalas dengan enggan oleh Rena.

Dalam satu langkah yang sama, Rena menaiki bus hijau, sedangkan Aruna menaiki bus merah di belakangnya. Rena masih melambaikan tangan pada bus merah yang melaju mendahuluinya. Ia baru duduk dengan tenang ketika busnya bergerak maju.

Dalam perjalanannya, Rena mengingat kembali awal pertemuannya dengan Aruna di taman rumah sakit. Rena yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya, kehilangan semangat hidup. Secara fisik, ia tidak apa-apa. Kakinya lumpuh sementara karena koma selama tiga bulan setelah kecelakaan. Namun, secara psikis, ia terguncang. Hatinya terasa hampa.

Di saat Rena merutuki dirinya yang duduk di kursi roda, Aruna datang. Gadis cantik itu tiba-tiba menghampirinya sambil membawa sebuah buku cerita. Rena tidak mengacuhkannya dan membuang buku itu.

Aruna tidak marah. Ia malah tersenyum dan duduk di rerumputan. Ia lalu membaca buku itu dengan keras untuk Rena. Hanya satu atau dua cerita, setelah itu Aruna pamit.

Meski awalnya tidak ingin mendengarkan, secara perlahan, karena pembawaan Aruna yang tenang, Rena pun tertarik. Ketika Aruna datang beberapa hari berikutnya, Rena menyambutnya dengan tersenyum.

“Kamu di sini karena apa?” tanya Rena suatu ketika. Sudah hampir dua bulan mereka bersama, tetapi Rena belum menanyakan alasan Aruna berada di rumah sakit.

Aruna membuka kancing pakaiannya bagian atas. Di balik pakaian rumah sakit itu terdapat goresan panjang yang membelah dadanya. “Operasi jantung,” jawabnya sambil menutup kembali pakaiannya.

Tiba-tiba Rena menangis. Ia teringat dirinya sebelum bertemu Aruna. Kakinya yang masih lemah meski sudah menjalani fisioterapi, membuatnya sempat berpikir untuk meninggalkan dunia ini. Sekarang, ia merasa begitu bodoh, sekaligus bersyukur bisa bertemu dan mengenal Aruna. 

Pertemanan mereka pun berlanjut hingga Rena berhasil meninggalkan rumah sakit dengan kakinya sendiri. Meski merasa sedih karena Aruna masih belum diperbolehkan pulang, Rena berjanji akan berkunjung di akhir pekan. Namun, kesibukan beradaptasi di lingkungan sekolah, membuatnya sulit untuk mendapat waktu luang. Ia harus mengejar ketinggalannya di semester lalu jika ingin naik kelas.

Seolah takdir telah menghendaki, Rena dan Aruna bertemu tanpa sengaja di perjalanan menuju taman. Rena girang bukan kepalang. Aruna yang tampak sehat tersenyum gembira melihat Rena yang kini sudah bisa berlarian, bahkan mentertawakan dirinya yang dulu.

Sejak itu, mereka pun berjanji akan selalu bertemu di taman sepulang sekolah. Persahabatan mereka pun kian erat. Bagi Rena, Aruna adalah penyelamat hidupnya. Ia rela melakukan apa pun demi Aruna, sahabat terbaiknya.

“Halah, gombal! Kau ini pandai sekali merayu!” cetus Aruna ketika Rena mengatakan hal itu di pertemuan mereka berikutnya.

Suer! Serius! Beneran! Aku nggak bohong!” Wajah Rena bersungguh-sungguh. “Kamu mau apa, aku kasih. Kamu mau aku jungkir balik salto pun, aku lakuin. Mau buktinya sekarang?”

Aruna tertawa. “Aku percaya kok.”

Rena mendengus. Bibirnya cemberut.

“Eh, kebetulan sih kau bilang begitu. Aku mau minta sesuatu.” Aruna menatap Rena dengan serius.

“Apa? Aku bakal lakuin semua permintaanmu.” Rena bersemangat.

Aruna berpikir sejenak. “Hmm … aku mau, kau selalu ceria dan tetap semangat seperti sekarang. Apa pun yang terjadi, kau harus kuat. Bertemanlah sebanyak-banyaknya agar kau nggak kesepian. Aku yakin banyak orang yang mengantre untuk berteman denganmu.”

Rena terkejut. “Kenapa kamu bicara kayak mau pergi? Kamu mau pergi ninggalin aku? Atau kamu udah bosan sama aku yang manja ini?”

Aruna terdiam. Kemudian dengan sedih, ia mengangguk. “Maaf, Ren. Aku memang mau pergi. Kau tahu, biaya operasi jantung itu banyak. Orang tuaku nggak sanggup biayain hidup di kota besar ini. Kami mau pindah ke kampung aja.”

Rena tak kuasa menahan tangis. “Ke-kenapa … kenapa harus pergi …? Kamu tinggal sama aku aja! Pasti boleh sama mamaku!”

“Maaf, Ren. Aku benar-benar minta maaf.” Aruna mengusap pipi Rena.

Please … jangan pergi ….” Rena menggelengkan kepala kuat-kuat. Air mata yang menggenang sejak tadi, kini mengalir membasahi wajahnya. “Jangan … please …!”

Bagaimanapun Rena memohon, Aruna tetap pergi. Gadis cantik penyelamatnya itu perlahan menjauh dan meninggalkannya sendiri di taman.

“Jangan pergi! Jangaaaann …!” Rena berteriak sekencang-kencangnya. Tangannya berusaha menggapai Aruna. Ia ingin berlari mengejarnya, tetapi kedua kakinya tidak bisa bergerak. Ia seperti terpaku di tempatnya berdiri. Lalu …

“Rena! Kamu sudah bangun? Kamu sudah sadar, Nak?” Seorang wanita tiba-tiba berseru dan menggenggam erat jemari Rena. Ia lalu memanggil seseorang dengan tergesa. Detik berikutnya, tangis wanita itu pecah.

Rena mengejapkan mata beberapa kali. Plafon putih dengan lampu neon panjang, tirai biru di sekelilingnya, dan aroma antiseptik yang menyengat hidung, membuat Rena sadar bahwa dirinya berada di rumah sakit. Tubuhnya terasa lemah untuk bergerak. Ia hanya mampu menoleh sedikit.

Mata Rena kini tertuju pada sosok yang menatapnya dengan wajah berlinang air mata. Ia terlihat cemas, lega, sekaligus bahagia. Begitu pula dengan sosok pria yang baru saja masuk. Di wajah tegas kebapakannya, jejak kesedihan itu jelas terlihat.

“Ma-Mama …? Papa …?” Suara Rena sedikit tercekat.

Wanita dan pria yang tak lain adalah orang tua Rena itu tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Rupanya Tuhan berkenan mengabulkan doa dan harapan yang senantiasa mereka panjatkan dengan tulus. Sang putri telah kembali membuka mata.

Pasangan suami-istri itu memeluk Rena dengan kalimat syukur yang tak henti-hentinya terucap. Namun, kelegaan dan kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. Mendung seolah menggelayuti wajah mereka ketika Rena mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.

“Kakak … mana …?” Rena menatap kedua orang tuanya yang terlihat bingung dan gugup. “Mana Kakak?” ulangnya.

 Mama dan Papa Rena saling berpandangan lalu menatap Rena lekat. Ada keraguan yang menghalangi mereka untuk bicara.

“Rena …. Kakakmu ….”

Gadis remaja itu sangat terkejut. Matanya membelalak lebar. Ia sama sekali tidak bisa memercayai pendengarannya. Berkali-kali ia menggeleng untuk menolak kenyataan yang baru saja terhampar di depan mata sehingga kepalanya sakit dan pening.

Rena sekarang ingat, dua hari lalu, ia dan kakaknya sedang melaju di jalan raya. Sang kakak yang telah memiliki SIM, menepati janji untuk mengajaknya berkeliling dengan motor. Mereka yang tak terpisahkan sejak lahir, begitu menikmati momen kebersamaan itu di sore yang cerah. Tidak ada yang tahu jika pengalaman bermotor itu akan menjadi kenangan mereka yang terakhir.

Seorang pengemudi truk melanggar lampu lalu lintas. Kecelakaan naas di persimpangan jalan itu pun terjadi dan menghancurkan masa depan mereka. Dalam kondisi yang cukup parah, mereka segera dilarikan ke rumah sakit.

“Ini … buat Rena, Ma” adalah kalimat terakhir sang kakak saat tiba di UGD. Beberapa saat kemudian, ia menghembuskan napas terakhir dengan tangan menunjuk dadanya.

Sementara itu, operasi darurat segera dilakukan untuk menyelamatkan sang adik yang memiliki kondisi khusus dengan jantungnya. Transplantasi itu berhasil dilakukan. Jantung sang kakak telah berpindah dan menjadi milik Rena agar tetap hidup setelah melalui masa kritis.

“Nggak mungkin!” Rena memukul-mukul dada tempat jantung milik kakaknya berada. Di tengah tangisnya, Rena meraung, “Kak Runaaa …!” (End).

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (10)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi