Disukai
0
Dilihat
1,335
KKSF #1 Cermin Pengulang Takdir
Thriller

Hidupku memang tak berguna. Di usia yang sudah lebih dari tiga puluh tahun, aku masih saja tak memiliki apa-apa. Bahkan pekerjaan tetap pun aku tak punya.

Apa artinya hidup? Kalau uang untuk makan saja aku harus berusaha setengah mati mendapatkannya. Melihat pengemis pun aku begitu iri. Karena di dunia macam sekarang ini, orang yang mengemis itu biasanya punya kehidupan yang lebih baik dariku.

Pernah sekali kulihat seorang pengemis buta. Saat itu, entah bagaimana ceritanya aku malah mengikutinya. Terkejutlah aku saat melihat lelaki buta itu ternyata bisa mengendarai sepeda motor.

Bayangkan, dia yang sebelumnya berjalan saja susah, malah dengan santainya berkendara—ngebut pula. Benar-benar tak habis pikir. Ternyata hidupku ini memang lebih sengsara dibandingkan pengemis.

Tapi tetap saja aku tak mau jadi orang macam itu. Biarpun susah begini, aku tak akan mau meminta-minta. Tak akan pernah mau!

Berbekal tas kecil berisi uang dua puluh ribu Rupiah dan sebuah ponsel pintar berlayar retak, aku menelusuri jalanan pinggir kota. Aku frustrasi, berniat untuk mati malam ini. Tapi, aku bingung harus mengakhiri hidup tak berguna ini dengan cara macam apa.

Mau menyayat urat nadi atau gantung diri di dalam kamar, itu tak bisa. Dua hari yang lalu aku diusir dari indekos karena menunggak uang sewa tiga bulan.

Mau terjun bebas dari gedung tinggi, tapi gedung siapa? Aku tak mungkin bisa masuk ke sembarang gedung begitu saja. Bagaimana dengan terjun dari jembatan? Percuma, di sini tak ada satu pun jembatan.

Ah, aku tahu! Mungkin aku bisa melompat ke tengah jalan saat truk besar melintas. Tapi, bagaimana jika aku belum mati setelah ditabrak? Bagaimana jika aku berhasil dilarikan ke rumah sakit tepat waktu dan berhasil diselamatkan? Mau dibayar dengan apa biaya perawatannya nanti?

Argh, sialan! Memikirkan cara mati saja aku tak bisa, apalagi memikirkan hidup.

Saat hanyut dalam pikiran yang sudah melayang jauh, tak sengaja aku berhenti di depan sebuah toko barang antik. Entah siapa atau apa yang mendorongku hingga tiba-tiba aku sudah berada di dalam toko itu.

Kesan pertama yang kudapatkan setelah berada di dalam adalah rasa ngeri. Iya. Tiba-tiba saja tubuhku bergidik bukan main. Hawa di sekitar tempat ini terasa dingin, juga suram.

Anehnya, sekeras apapun aku mencoba pergi dari sini, sekeras itu juga aku tak dapat bergerak—kecuali untuk masuk lebih dalam. Terpaksa, atau memang harus, aku melangkahkan kaki ke depan dengan hati-hati.

Ruangan yang didominasi warna umber ini penuh dengan barang-barang aneh, bukan antik. Contohnya seperti yang ada di sebelah kiriku ini; bola kristal. Seperti namanya, benda itu berbentuk bola dan terbuat dari kristal, berdiri di semacam bantal berlapis kain agak tebal—entah jenis apa—berwarna biru.

Entah untuk apa fungsinya, aku tak tahu dan juga tak akan mau tahu. Benda lain yang menarik perhatianku adalah sebuah boneka. Bukan jenis boneka normal yang lucu dan menggemaskan, tapi jenis lain yang menyeramkan.

Kalau tidak salah, namanya adalah boneka Voodoo. Aku tahu itu karena pernah melihatnya di film-film Hollywood. Fungsinya, jangan tanya aku. Walaupun aku pernah punya niat untuk mati, tetap saja aku tak berani mengatakannya.

Sampai aku di ujung ruangan … tunggu! Ada satu hal yang mengganjali pikiranku. Mengapa dari tadi aku tak melihat satu orang pun di sini? Bukannya aneh jika dalam sebuah toko tidak ada satu orang pun yang menjaganya?

Namun, pikiranku ini mendadak sirna lantaran melihat sesuatu di depanku. Bukan benda aneh kali ini, tapi benda antik. Sebuah cermin berukuran sekitar empat telapak tangan orang dewasa.

Cermin itu berbingkai perunggu, dan terlihat sama suramnya dengan tempat ini. Yang membuatku terpukau adalah ukiran pada bingkainya. Aku tak tahu berjenis apa, tapi lihatlah! Betapa cantiknya benda itu. Tebakanku, cermin berbingkai perunggu itu sudah berumur lebih dari tiga ribu tahun.

Ragu-ragu aku menggerakkan tangan untuk mengambilnya. Sudah menjadi kebiasaan seseorang ketika memegang cermin, pastilah menghadapkannya ke arah wajah. Itu juga yang kulakukan sekarang.

Terlihat di situ refleksi wajah menyedihkan dari seorang aku. Bentuk wajah yang lonjong dengan rahang tirus karena kurang asupan gizi. Raut mukaku ini terlihat kusut dan muram. Rambutku pun tak kalah kusut dari wajahku; panjang, kering, dan bercabang.

Mata sipitku menatap dengan tanpa cahaya. Ada garis-garis hitam di bawah kedua mataku akibat kurang tidur. Bibirku pun kering karena dehidrasi. Oh, sungguh menyedihkannya tampangku ini!

Sekonyong-konyong saat aku tengah iba melihat air mukaku yang murung, pantulan dalam cermin itu malah menampakkan ekspresi yang berbeda. Meski terkejut, aku bersikeras melihatnya.

Wajahku dalam cermin itu menyeringai. Lebar, hingga terkesan menakutkan. Kedua ujung bibirku seperti menyentuh telinga. Jika arah bibirku berlekuk ke atas, kedua mataku malah sebaliknya; berlekuk ke bawah.

Aku terlalu panik, sampai-sampai hampir saja cermin itu terlepas. Tanganku, tidak, seluruh tubuhku kini bergetar bukan main.

Belum sempat aku menenangkan jantungku yang semakin liar berdetak, pantulanku dalam cermin itu mulai berseru, “Takdir! Akan kuberikan kau kuasa untuk mengulang takdirmu sendiri!”

“Mengulang… takdir?”

“Yang perlu kau lakukan hanyalah memecahkan cerminnya!”

“Ma-maksudnya?”

“Kematianmu sudah dekat. Tapi, dengan kuasaku, kau dapat mengulang takdirmu itu. Dengan kata lain, kau dapat mengakali kematian!”

Aku diam. Masih bingung antara percaya dan tidak percaya dengan omongannya. Namun yang pasti, hatiku tergugah. Seperti ada yang merasuki tubuhku, kuangkatlah tangan yang memegang cermin itu, lalu melemparnya. Pecah.

Kejadian itu terasa begitu cepat. Alih-alih melihat pecahan cermin di lantai, aku malah sadar jika sekarang sedang berada di sebuah ruangan kosong. Aku masih berdiri. Sendiri dan kebingungan.

Mungkinkah itu mimpi? Ataukah hanya ilusi? Entahlah. Yang jelas, badanku makin bergidik rasanya. Buru-buru aku berlari keluar dari tempat suram ini.

Di luar, orang-orang seperti melihatku dengan tatapan heran dan terkesan penuh kecurigaan. Itu wajar. Siapa yang tak akan curiga kalau melihat seseorang—dengan tampang begini pula—tiba-tiba keluar dari bekas toko yang sudah kosong?

Tapi aku tak ambil pusing. Susah payah aku mengatur napas yang menggebu karena kejadian aneh tadi. Butuh sekitar dua menit untukku melakukannya. Setelah tenang, sambil berjalan kucoba mengingat apa saja yang tadi kulalui.

Semuanya jelas, tak seperti mimpi yang biasanya hanya dapat diingat sepenggal saja. Kalau itu nyata, berarti, sebentar lagi aku akan mati!

Sekonyong-konyong langkahku terhenti. Memikirkan hal semacam itu membuat jantungku seperti terloncat keluar. Baru saja satu detik aku sadar kalau tubuhku berhenti tepat di tengah jalur jalan raya—ada dua lajur di tiap jalurnya, aku terpental.

Adalah sebuah truk yang tiba-tiba menabrakku. Saat melayang, aku merasa sekitaranku bergerak dengan sangat lambat, dan inilah yang terlintas di benakku; yang tadi itu, rupanya kenyataan!

Layaknya orang yang terjaga dari mimpi buruk, mataku terbuka dengan dada yang teramat sesak. Aku sadar jika sedang berdiri sekarang.

Aku berdiri di tempat yang pernah kudatangi; tempatku menemukan cermin antik berbingkai perunggu. Badanku terasa lemas. Aku terhuyung dan ambruk seketika. Sambil duduk, satu tanganku memegang kepala yang terasa mau pecah.

“Satu takdir sudah kau ulang. Sekarang tersisa dua takdir lagi!” Bisikan itu tiba-tiba bergema dalam kepalaku.

Sial, aku benar-benar bisa mengakali kematian! Namun untuk orang gagal sepertiku, hal semacam itu justru membuatku kecewa.

Untuk apa punya kuasa mengakali kematian jika awalnya saja sudah berniat untuk mati? Belum lagi jika harus tiga kali merasakan sakitnya meregang nyawa. Itu namanya bukan keuntungan, tapi kesialan. Tiga kali kesialan.

Aku pun bangkit, lalu keluar dari tempat ini. Saat tiba di luar, semuanya sama persis dengan yang sebelumnya aku lalui. Orang-orang yang melintas terlihat sama.

Tatapan mereka pun juga sama. Aku kembali menelusuri jalan yang kulewati di kesempatan pertama. Setibanya aku di pinggir jalan raya—tempatku tadi tertabrak truk, aku berhenti.

Terlintas di pikiranku untuk bukan hanya mengakali takdir, tapi mempermainkannya!

Aku memandang jauh ke arah kanan. Terlihat dari situ—sekitar tiga ratus meter—sebuah truk melaju di sepanjang jalan yang kebetulan kosong.

Agak cepat aku melangkah, lalu berhenti di tengah jalur jalan itu dengan badan yang menghadap ke arah datangnya truk. Beberapa waktu berlalu, truk itu kini berada sekitar seratus meter.

Dapat kulihat pengemudi truk dengan panik menekan klakson. Aku menyeringai. Adrenalinku terpacu. Belum pernah kudapat perasaan seperti ini sebelumnya. Dan kalau boleh jujur, aku merasa senang sekarang.

Tak terasa sudah lima puluh meter! Sekaranglah waktunya untuk menghindar. Aku melompat ke kanan. Truk besar berhasil kuhindari.

Tapi nahas, sekonyong-konyong aku malah terbentur mobil! Rupanya, tanpa kusadari, ada satu mobil yang dengan kencang menyalip truk dari sebelah kiri. Aku pun kembali mati untuk yang kedua kalinya.

Takdir dan kematian. Pada dasarnya dua hal itu tidaklah bisa dihindari, apalagi diakali dan dipermainkan. Aku sudah tahu itu. Tapi kesempatan langka ini sangatlah jarang, bahkan tidak pernah dimiliki satu orang pun sebelumnya.

Hanya aku, orang menyedihkan macam akulah yang secara tak sengaja mendapatkan kuasa mengakali takdir dan kematian. Aku kembali bangun. Ini kesempatan ketiga. Lebih tepatnya kesempatan terakhir.

Aku tergelak sejadi-jadinya. Ini terlalu menyenangkan! Rasanya aku ingin mempermainkan takdir dan kematian sebanyak-banyaknya! Namun, saat teringat ini adalah kesempatan terakhir, aku mendadak hening.

“Cermin sialan!” teriakku sesaat kemudian. “Kenapa kau hanya memberiku tiga kesempatan, bajingan! Lebih banyak lagi… aku mau mempermainkan takdir lebih banyak lagi!” Aku tergelak semakin kencang.

Berteriak dan tertawa sekuat-kuatnya membuat napasku menggebu. Kini aku terdiam, berpikir. Rupanya apa yang dikatakan orang-orang itu benar.

Manusia akan jadi lupa diri saat mendapat kekuasaan, apalagi kalau punya kuasa untuk mengulang takdir. Tapi aku tak peduli dengan omong kosong itu. Rasa senang dalam diriku ini sudah mendarah daging.

Aku belum merasa puas. Sama sekali belum. Layaknya binatang buas yang haus akan mangsa, aku tak lagi menggunakan akal, tapi insting. Dan sekarang, instingku untuk bisa mempermainkan takdir sebanyak-banyaknya itu sudah mencapai puncaknya.

Emosiku semakin tak terkontrol. Kedua mataku dengan liar menjelajahi setiap sudut ruangan, mencari keberadaan cermin berbingkai perunggu.

“Lagi-lagi-lagi,” gumamku berulang-ulang. Bukan hanya mata, kini kedua kaki-ku pun ikut bergerak mengelilingi tempat suram ini.

Dari hanya bergumam, aku pun jadi berteriak, “Lagi-lagi-lagi! Di mana kau cermin sialan?! Kasih aku kesempatan lagi! Sebanyak-banyaknya!”

Aku tak dapat menemukan apa yang kucari. Rasa kesal dan amarah semakin mendesak dalam dada. Rasanya begitu sesak dan panas. Berteriaklah aku sejadi-jadinya, meluapkan kekesalan dan kemarahan yang tak dapat lagi kubendung.

Tanpa sadar, aku berhenti di tempatku melihat cermin itu pertama kali. Meskipun sekarang—mungkin—sudah dini hari dan gelap, entah bagaimana aku bisa melihat dengan jelas benda yang tergantung di dinding depanku.

Aku menemukannya! Itu dia!—cermin berbingkai perunggu!

“Pecahkan… pecahkan cerminnya!”

Kubenturkan kepalaku sekuat-kuatnya ke badan cermin itu. Kulihat cerminnya hancur dalam sekali benturan, namun kembali menyatu.

Kubenturkan lagi kepalaku. Cerminnya pecah kembali, lalu menyatu lagi. Kubenturkan lagi, lagi, dan lagi. Berkali-kali, hingga wajahku penuh dengan darah yang bercucur tiada henti.

“Lagi! Pecahkan lagi!”

Benturan kepalaku semakin kuat dan cepat, hingga tak ada lagi sakit yang bisa kurasakan. Suara dentumannya pun jadi terdengar nyaring—mungkin tengkorakku sudah retak sekarang.

Benturan demi benturan itu berlangsung sangat lama sekali, sampai-sampai pandanganku perlahan buram. Tapi tetap kubenturkan kepalaku lagi dan lagi, tiada henti. Sampai pada akhirnya, sebelum membenturkan lagi kepalaku, aku sadar kalau di depanku itu tidak ada cermin!

Pandanganku semakin buram, dan perlahan jadi gelap. Kubenturkan lagi kepalaku untuk yang terakhir. Pelan kali ini. Aku pun terhuyung, lalu jatuh. Sialan, orang menyedihkan sepertiku ternyata akan mati dengan cara yang juga menyedihkan.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Rekomendasi