Disukai
1
Dilihat
1340
Kekurangan adalah kelebihan yang indah
Religi

"Andai saja kita tidak satu kelompok dengan dia maka nilai kita akan lebih bagus."

"Benar toh! Tapi, mau bagaimana lagi yang minta bukan kita tapi ketua yang nentuin."

"Ko, aku engga bisa lupain nilai jelek yang kita dapat yah? Pasti dia yang salah karena kekurangannya."

"Benar! Berteman dengan orang beketerbatasan fisik sudah pasti kita dapat nilai paling jelek."

Lontaran demi lontaran aku menerimanya dengan hati yang tulus dan ikhlas, memang benar kelompok kami lah yang mendapatkan nilai paling jelek dalam pelajaran olah raga saja karena aku memiliki keterbatasan fisik. Aku adalah Vanya Wicaksono, putri pertama dari keluarga terpandang. Meskipun keluargaku sangat terpandang, bukan berarti aku juga terpandang. Aku lahir dalam keadaan normal, semenjak kecelakaan kakiku mengalami kelumpuhan total dan tidak bisa berjalan secara permanen. Iya, takdir itu membuatku bimbang dengan semuanya.

Aku berjalan menggunakan kursi roda, menghampiri teman satu kelompokku dan menyapanya dengan wajah tundukku. "Maafkan aku teman-teman, karena aku kalian mendapatkan nilai paling jelek."

"Kalau kamu sudah tau tidak bisa olah raga, harusnya kamu tidak usah ikut saja," kata Resti teman satu kelompokku yang merupakan ketuanya.

Mendengar kata itu, hatiku begitu sakit teramat sakit bagaikan tertusuk belati menancap hati yang selalu bertahan dengan tidak mengeluarkan darah melainkan air mata. Ku jawabkan ucapannya dengan senyum manisku yang menampilkan sederet gigi putihku yang bergingsul. "Maafkan aku," ulangku.

"Sudahlah, kamu sudah minta maaf mulu mending minggu depan jangan ikut pelajaran olah raga lagi." Resti segera meninggalkanku yang masih diam mematung seakan mencerna setiap perkataan yang ia lontarkan.

Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya, mencoba baik-baik saja dengan semuanya nyatanya tidak bisa. Kurang apa lagi Tuhan setelah aku berdamai dengan diri sendiri, kurang apa lagi Tuhan setelah aku ridha atas apa yang terjadi. Aku selalu berkata pada bumi, lenyapkan aku saja semuanya akan baik-baik saja.

Delapan jam aku menghabiskan waktuku untuk menghindariku dari kebodohan, kelas 12 MIPA 3 selalu ramai jika guru selalu hadir mengisi pembelajaran kini telah usai. Para siswa yang sednag menempuh pendidikan di sekolah menegah atas yang elit seketika berbondong-bondong keluar menuju parkiran untuk membawa kendaraan masing-masing.

Mobil hitam pekat terpakir rapih di sana, ah ibu menjemputku dia melambaikan tangan kanannya sebagai tanda bahwa dia sedang menunggu.

"Halah sudah remaja masih saja dimanjain, mandiri kek! Pantesan setiap olah raga selalu dapat nilai jelek karena terlalu dimanjakan oleh ibundanya," cibir Cindy teman satu kelasku yang dekat dengan Resti.

"Benar, andai saja dia tidak dimanja mungkin nilai dalam pelajaran olah raga paling bagus meski harus menahan kesakitan," kata Resti yang terkenal dengan mulut pedasnya.

Aku mendengar itu karena dua orang itu selalu berbincang dengan suara kayak toa masjid sehingga aku mendengarnya secara tak sengaja. Ucapan itu benar-benar membuatku sakit bahkan ingin lenyap dari dunia kejam ini.

Aku mempercepat tanganku yang sibuk memutar kursi roda supaya sampai, nyatanya ada seorag menarikku dari belakang sehingga kursi roda yang aku putarkan dengan tanganku berjalan dengan cepat. Aku menoleh siapa yabg melakukannya, rupanya dia Aldo si ketua kelas yang digilai kaum hawa karena paras tampannya.

"Kenapa?" tanya Aldo dan tersenyum.

Aku menggeleng cepat.

"Ini sudah sampai di depan ibumu, Vanya," jawab Aldo sembari menyalimi punggung tangan ibuku.

"Terima kasih, Nak," ucap ibuku dan tersenyum ramah.

"Kalau begitu Vanya, Ibu saya permisi dulu," pamitnya.

Aku kemudian dipangku oleh ibuku untuk masuk kedalam mobil, setelah itu ibuku memasukkan kursi rodaku ke dalam bagasi mobil. Tatapan sayu ibuku begitu membuatku ingin menumpahkan segalanya, ingin aku dekap dia guna menghilangkan rasa sakit.

"Kamu kenapa, Nak? Apa terjadi sesuatu?" tanya ibuku setelah menyadari bahwa aku selalu menunduk meremas rok abuku dengan kedua tanganku.

Aku menoleh dan menatap, air mataku tadinya aku tahan kini mengalir dengan sendirinya. "Ibu ...."

"Apa yang terjadi? Ceritakanlah," kata ibuku sembari memarkirkan mobil di salah satu area istirahat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

"Aku hanya lelah, Bu," jawabku berbohong.

"Nak, jangan sembunyikan ibu tau kamu sedang berbohong."

"Aku tidak berbohong Ibu, aku beneran lelah makanya aku nangis soalnya capek banget sekolah."

Ibuku kemudia mengelus kepalaku yang dibalut dengan jilbab, dia menatapku dengan pandangan yang penuh doa dan penyesalan. Sampai pada akhirnya, ibu melepaskan air mata seakan mengerti apa yang aku ucapkan. "Maafkan ibu, Nak. Karena lelahmu, ibu memberatkanmu. Andai saja, waktu itu ibu yang harus ada di posisimu."

"Sudahlah, Bu. Tolong, jangan buat aku menangis lagi," ucapku terbata-bata seakan menahan isak tangisku.

"Kalau begitu, mari kita jalani bersama, Nak. Kamu harus membagi bebanmu, ibu tak kuasa di saat ibu melihatmu menanggung semuanya."

Aku mengangguk semangat. "Iya, Bu."

Hari demi hari terus berganti, ujian kelulusan pun tiba di depan mata. Aku mengenakan kebaya yang senada dengan ibu, bahkan ibu ikut hadir dalam acara wisudaku. Suasana itu sangat ramai, membuat aku pusing tujuh keliling karena aku adalah seorang introvert penikmat kesendirian.

Teman seangkatanku begitu cantik dan tampan dengan kebaya dan jas yang mereka pakai, tatapanku mengarah pada lelaki yang tak lain adalah Aldo. Iya, Aldo si ketua kelas yang selalu diidamkan oleh kaum hawa karena paras yang menawan.

Acara itu pun berlangsung, entah sudah berapa lama. Aku hanya menghabiskan waktu wisudaku bersama ibu, sampai akhirnya waktu pembagian juara pun tiba. Bahkan kepala sekolah memberitahu bahwa setiap kelas ada perwakilan juaranya.

"Sudah pasti, Vanya juara pertama!"

"Iya lah, tapi engga berlaku buat fisik lumpuhnya."

Satu demi satu siswa dipanggil sesuai dengan ucapan dua orang tadi, aku pun segera berjalan dibantu oleh ibu. Tapi, aku memilih biarkan ibu yang naik ke atas panggung. Akhirnya ibuku manggut-manggut saja dan tersenyum ke arahku.

Setelah hadiah itu diberikan, ibu turun menghampiriku lalu mencium kedua pipiku penuh haru. "Anak ibu memang hebat."

"Aku hebat karena doamu yang begitu kuat," ucapku.

"Terima kasih kepada semua siswa yang mendapatkan penghargaan, semoga bisa lebih baik lagi kedepannya. Beri tepuk tangan!" seru wakil kepala sekolah dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah.

"Oh iya, saya hampir lupa kalau di angkatan sini ada seorang atlet panah yang berhasil mengambil piala emas di ajang olimpiade tingkat internasional. Saya merasa bangga dengan beliau, berkat beliau nama sekolah kita mendapatkan nilai yang lebih baik," lanjut wakil kepala sekolah dalam MCnya.

"Siapa itu, ko aku baru tau?" tanya Cindy.

"Aku juga baru tau kalau di sekolah kita ada atlet panah," jawab Resti berbisik.

"Sama, tapi aku pernah dengar katanya sudah lama bahkan sampai sekarang juga masih aktif lho. Sekarang dia sudah borong 20 mendali untuk olah raga cabang panah," bisik Dania saat mendengar dua orang temannya terus berbisik-bisik.

"Baiklah, mari kita berikan apresiasi yang luar biasa untuk siswa kelas 12 MIPA 3 yakni Vanya Wicaksono!" seru wakil kepala sekolah dan bertepuk tangan.

Cindy, Resti, bahkan teman satu kelasnya pun terkejut dengan sosok aku yang sebenarnya. "Masa?"

"Ko bisa, bukannya dia paling jelek di bidang olah raga yah?"

"Nah itu!"

"Aduh!"

Aku tersenyum kepada semuanya, ibuku terus mengelus kepalaku yang dibalut dengan jilbab berwarna soft dan aku terus tersenyum kepada semua yang hadir dalam acara itu.

Bapak Wakil Kepala Sekolah kemudian turun dari atas panggung sembari membawa MC kemudian diberikan kepadaku sebagai tanda agar aku mengucapkan sepatah kata. Akhirya, kata demi kata pun dirangkan dalam baitan frasa.

"Tidak ada kata yang lebih istimewa selain terima kasih. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu dan Ayah yang selalu mendukungku, dan memberikan yang terbaik untukku. Berkat doa keduanya, Allah mempermudah urusanku. Semoga kedepannya aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi."

Prok!

Prok!

Prok!

Suara tepuk tangan meriah, semua orang tersenyum ke arahku begitupun aku membalas senyumannya. Bersamaan dengan itu, aku menatap langit biru yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi bahkan cakrawala itu selalu menjadi saksi atas perjuanganku.

"Terima kasih atas hinaanmu, terima kasih juga atas pujianmu. Dua kata berlawanan arti membuatku sadar mana yang menjadikan aku berjuang dan mana yang menjadikan aku terjatuh," bisikku pada diri sendiriku.

Terima kasih sudah membaca, semoga hari-hari kita selalu bahagia.

Cianjur, 28 Januari 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Apresiasi diri sendiri❤❤
Rekomendasi