Disukai
0
Dilihat
503
GEMINI
Romantis

        Setiap orang pasti punya rahasianya masing-masing. Entah besar atau kecil. Entah sepele atau penting. Entah memalukan atau malah membahayakan. Rahasiaku ini termasuk jenis yang cukup besar, amat penting, dan yah, mungkin sedikit membahayakan. Mau tahu kenapa? Karena sudah tiga tahun ini aku resmi berpacaran dengan Arakawa Issei. Ya, Arakawa Issei yang itu. Lead guitarist-nya GEMINI, band rock populer yang tiap single rilisannya tidak pernah absen merajai tangga lagu dan tiap unggahan music video-nya selalu ditonton jutaan orang hanya dalam hitungan hari.

Aku mengenalnya sejak lima tahun lalu. Waktu itu GEMINI baru saja debut, dan sebagai bagian dari rangkaian promosi album pertama mereka, Issei mendatangi toko CD tempatku bekerja. Selain untuk melihat desain yang kubuat khusus untuk rak tempat display CD band-nya, ia datang untuk menyerahkan autograph board berisi ucapan terima kasih serta tanda tangannya untuk dipajang juga di situ. Ia mungkin bukan selebritis pertama yang melakukan hal itu di tempat kerjaku, tapi harus kuakui, kunjungannya adalah yang paling membekas di hatiku. Selain karena sikap kikuknya yang lebih mirip kutu buku ketimbang gitaris band rock serta wajahnya yang puluhan kali lebih tampan saat dilihat secara langsung dibandingkan lewat foto atau video, Issei adalah yang pertama memintaku berfoto bersamanya di depan display yang kurancang. Ia juga bilang ia menyukai hiasan yang kupasang—pakai ‘sangat’, aku masih ingat—dan ia bahkan mengajakku bertukar nomor ponsel sebelum meninggalkan toko. Dan dari sanalah segalanya bermula.

Issei mungkin bukan tipikal cowok romantis yang rajin menggombal. Caranya menyatakan perasaan tidak lebih dari satu kalimat singkat, “Pacaran, yuk,” yang ia katakan dengan nada datar sampai-sampai aku harus bertanya ulang apa ia serius atau sedang bercanda. Ia irit bicara, bukan hanya di depan penggemarnya tapi juga ketika bersamaku, tapi ia pendengar yang baik. Ia selalu menyimak tiap kata yang kuucapkan seperti seorang anak kecil yang mendengarkan dongeng kesukaannya. Ia hafal kebiasaan-kebiasaanku bahkan sebelum aku hafal kebiasaan-kebiasaannya, juga apa saja yang membuatku senang, kecewa, bersemangat, bahkan takut. Saat bersamanya, aku tidak perlu berusaha menjadi orang lain untuk membuatnya terkesan, dan saat bersamaku, Issei bebas menjadi Issei yang hanya orang biasa, bukan gitaris keren band beken yang dipuja gadis-gadis seantero Jepang.

Banyak yang bilang, berpacaran dengan selebritis itu melelahkan. Makan hati. Butuh kesabaran ekstra. Kuakui, ucapan-ucapan itu ada benarnya. Hubungan kami harus dirahasiakan dari publik sesuai kesepakatan yang dibuat GEMINI dengan agensinya. Aku tidak bisa memberitahu ibuku siapa orang yang tengah kupacari untuk mengurangi risiko rahasia ini bocor dan aku bahkan harus menyimpan nomor Issei dengan nama selain Issei agar tidak menimbulkan pertanyaan seandainya ada yang tidak sengaja melihatnya di ponselku. Aku dan Issei juga tidak bisa bebas pergi berkencan di tempat umum layaknya pasangan kebanyakan. Aku harus tahan tidak melihat wajahnya ataupun mendengar suaranya selama berhari-hari—kadang berminggu-minggu—saat ia sibuk manggung keliling Jepang bersama GEMINI. Yang terburuk mungkin saat aku harus memendam cemburu tiap kali ia digosipkan dekat dengan artis ini atau itu dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk memberitahukan kebenarannya pada dunia. Walaupun Issei selalu langsung mengkonfirmasinya padaku tiap kali berita semacam itu muncul dan agensinya selalu membantah, tetap saja saat-saat seperti itu tidak menyenangkan buatku.

Namun tiap kali melihatnya tertawa mendengar gurauanku yang tidak lucu, atau mendengar petikan gitar yang ia mainkan hanya saat sedang bersamaku, atau mendengar dengkuran damainya di sisiku tiap kali ia bermalam di apartemenku setelah hari yang panjang dan melelahkan, juga saat ia mengucapkan ‘selamat pagi’ keesokan harinya dengan tampang mengantuk serta rambut berantakan yang pasti membuat stylist-nya histeris andai melihatnya, segala yang menyebalkan itu menguap habis begitu saja tanpa sisa. Aku tidak pernah menyesal menerima ajakan pacarannya yang super garing hari itu. Sekalipun melelahkan, makan hati, butuh kesabaran ekstra dan sebagainya, aku tidak keberatan. Aku tidak pernah jatuh cinta sedalam ini pada seseorang dan asal kami saling percaya, segalanya pasti baik-baik saja.

Ya kan?

 

***

 

“Midori-chan!”

Suara lantang Kii, teman sepermainanku, begitu saja memenuhi apartemenku yang sempit saat ia melewati pintu masuk. Masih mengenakan blazer abu-abunya karena ia memang tidak pulang dulu ke rumah dari bank tempatnya bekerja, gadis mungil itu menenteng satu kantong plastik besar dari supermarket yang sudah bisa kutebak apa isinya. Kami memang berniat menghabiskan malam ini bersama-sama, merayakan kenaikan jabatan yang baru saja didapat sahabatku itu.

Kanpai!” kami berseru, diikuti denting kaleng bir di tangan yang beradu satu sama lain. Di penghujung musim gugur begini, hotpot dan bir dingin merupakan kombinasi yang sempurna.

“Selamat, ya, Nona Manajer,” kelakarku, “Nanti jangan dipersulit kalau aku mau minta pinjaman.”

“Hmm? Ada apa, nih? Issei melamarmu sehingga kalian harus kredit rumah secepatnya?”

Begitu saja aku tertawa, menggeleng.

“Ngaco!” semburku, dan Kii ikut tertawa. Memang dari segelintir orang yang tahu soal aku dan Issei, Kii adalah salah satunya. Sekalipun tampaknya bawel dan banyak omong, Kii sebenarnya penjaga rahasia yang luar biasa.

“Issei nggak ke sini malam ini?” ia menyodorkan mangkuk penuh kuah hangat padaku sebelum mulai mengisi mangkuknya sendiri. Aku menggeleng lagi.

“Turnya sudah mulai,” sahutku, “Kamu lupa?”

“Eh? Hari ini?” Kii menatapku dengan mata melebar.

“Besok lusa,” aku menyipitkan mata, “Penggemar macam apa kamu ini?”

Kii tertawa lagi, lalu tidak jadi mulai makan dan malah mengeluarkan ponsel. Ia juga penggemar GEMINI, tapi favoritnya dari kelima member band itu bukan Issei melainkan Jun. Gitaris yang satu lagi.

“Ah, kamu benar! Jun-kun sudah koar-koar di Twitter-nya, bagaimana aku bisa lupa?” ia menepuk dahinya, lalu menunjukkan layar ponselnya padaku yang memampang foto si gitaris, “Lihat, imut banget, kan? Kenapa kamu nggak pacaran dengan Jun-kun saja, sih, daripada si dingin itu?”

Aku tertawa. Pertanyaan macam apa itu?

“Issei nggak dingin,” belaku, dan Kii hanya mencibir.

“Hanya kalau padamu.”

“Bagus, kan? Jangan sampai dia begitu juga pada yang lain.”

“Oh, betul juga. Kalau sampai dia berani begitu juga pada yang lain, awas saja. Akan kupastikan dia tidak bisa main gitar lagi!”

“Kii-chan, mengerikan!”

Kami tertawa lagi, lalu mulai makan. Kii masih sibuk dengan ponselnya selama beberapa saat, entah mengecek apa saja, hingga senyumnya mendadak meredup dan air mukanya berubah serius.

“...Midori-chan.”

“Hmm?”

“Hari pertama turnya GEMINI... di mana?”

Aku mengerjap bingung menatap Kii yang terpaku memandangi layar ponselnya sendiri.

“Fukuoka. Kenapa?”

Kii tidak langsung menjawab. Melihat sikapnya yang mendadak aneh membuatku penasaran, jadi aku pun beringsut ke sebelahnya.

“Ada apa, sih?”

“Nggak—”

Sahabatku itu berusaha menghindarkan layar ponselnya dari pandanganku, tapi aku keburu melihatnya. Sebuah foto yang terpampang pada salah satu artikel di media daring, memperlihatkan dua orang yang dari bahasa tubuhnya saja sudah jelas sepasang kekasih. Yang perempuan tidak kelihatan jelas wajahnya karena bagian matanya sengaja disensor dengan sebuah garis hitam, sementara yang laki-laki... bahkan dalam foto yang gambarnya tidak terlalu jelas sekalipun, aku bisa mengenalinya dengan mudah.

Itu Issei. Issei dan... siapa?

“...Apa ini?” gumamku, tanpa sadar mengeratkan genggaman pada sumpit di tanganku.

“Ng-nggak tahu,” Kii tergagap, “Ini cuma... lagi heboh saja. Barusan. Ada cowok mirip Issei yang sepertinya...”

Kii tidak melanjutkan kalimatnya sementara aku memberitahu diriku sendiri di dalam hati. Itu bukan mirip. Itu memang Issei.

“Midori-chan—”

“Makan lagi, yuk. Kalau dingin nggak enak.”

Aku melempar senyum sekenanya sebelum kembali ke posisi dudukku semula, berusaha melanjutkan makan seolah tidak terjadi apa-apa. Kii menatapku cemas, tapi pada akhirnya ia menyingkirkan ponselnya kembali ke dalam tas dan menemaniku melanjutkan makan malam. Ia berusaha mengajakku mengobrol tentang apa saja selain Issei, tapi sekalipun aku berusaha keras mengabaikan artikel yang tadi sempat kubaca serta foto yang kulihat itu, pikiranku berulang kali melayang kembali ke sana. Aku berusaha keras berlagak baik-baik saja di depan Kii tapi nyatanya tidak. Aku tidak baik-baik saja sekarang.

 

***

 

Aku menatap layar ponselku, menghela napas setelah tidak menemukan notifikasi yang kuharap terlihat di sana. Sudah tiga minggu berlalu sejak tersiar berita soal Issei-nya GEMINI yang terpergok berkencan dengan seorang cewek non-selebritis di kota kelahirannya dua hari sebelum rangkaian tur nasional mereka digelar, dan sudah tiga minggu pula aku tidak mendengar kabar sedikit pun dari pemuda itu. Bahkan agensinya tidak mengeluarkan pernyataan apa pun untuk menanggapi berita itu, entah mengiakan atau membantah seperti biasanya, padahal ini pertama kalinya rumor semacam itu muncul disertai foto yang jelas-jelas memampang wajah Issei. Beritanya memang sudah tidak seheboh saat pertama kali tersebar dulu, tapi tetap saja saat mengetikkan nama Arakawa Issei di mesin pencarian di internet, fotonya yang tengah berjalan bergandengan dengan perempuan entah siapa yang menggelayut manja pada lengannya itu akan muncul begitu banyak di bagian teratas hasil pencarian.

Biasanya tidak begini. Issei memang selalu jadi sulit dihubungi saat GEMINI sedang tur—ia butuh konsentrasi dan aku tidak mau mengganggunya—tapi ia tidak pernah begini. Tiap kali rumor semacam ini beredar, ia selalu menyempatkan diri menghubungiku setidaknya satu atau dua hari setelah rumornya muncul untuk memberitahuku bahwa aku tidak perlu khawatir karena semuanya tidak benar. Namun sudah lewat tiga minggu sekarang dan ia tidak juga melakukannya. Jadi, apa artinya ini? Apa aku salah kalau menarik kesimpulan bahwa berarti, ya, apa yang kubaca dan kulihat kali ini semuanya benar?

Jujur, sudah ratusan kali niat untuk menghubunginya duluan terlintas dalam kepalaku, tapi sudah ratusan kali itu pula aku mengurungkannya. Memang kalau ia masih mau mengangkat telepon dariku, aku akan bilang apa? Marah-marah karena ia begitu bodoh berjalan-jalan dengan selingkuhannya tanpa melakukan penyamaran sama sekali, tidak seperti yang selalu ia lakukan saat sesekali keluar bersamaku? Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan lewat telepon. Lalu aku harus bagaimana? Berangkat ke Tokyo sekarang juga, mendatangi Tokyo Dome dan masuk lewat pintu belakang, minta bertemu dengannya agar aku bisa meneriakkan ‘Issei bego!’ atau ‘Issei jahat!’ tepat di mukanya? Setahuku, hanya manajernya dan empat member GEMINI yang lain yang tahu soal kami berdua. Jadi seberapa besar kemungkinannya aku tidak malah diusir karena dianggap sebagai penggemar sinting yang berdelusi terlalu jauh sampai mengaku sebagai pacarnya Arakawa Issei?

Issei bego. Issei jahat. Kalau saat mengajak pacaran dulu bisa ngomong langsung, kenapa sekarang tidak? Dasar pengecut!

“Oi, Okamoto, jangan bengong melulu!”

Suara ketus manajer toko tempatku bekerja membuatku tersentak, menyadari keberadaan dua gadis berseragam sekolah yang berdiri di hadapanku di depan meja kasir. Buru-buru aku meminta maaf, dan salah satu gadis itu pun menyerahkan CD yang mereka beli padaku sebelum mengobrol lagi dengan temannya. CD album terbarunya GEMINI. Dan seolah itu belum cukup buruk, aku bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka obrolkan sekalipun sama sekali tidak berniat mencuri dengar.

“Tapi kayaknya, pacarnya itu lebih tua, deh. Jadi tipenya Issei yang seperti itu?”

“Lumayan cocok, sih. Tapi masih lebih cocok kalau sama Kirishima Yui, ya kan?”

Aku tahu Kirishima Yui. Penyanyi muda yang pernah berkolaborasi dengan GEMINI dalam salah satu single mereka setahun lalu, yang juga sempat digosipkan dekat dengan Issei karena Issei-lah yang menulis hampir semua lagu GEMINI termasuk single yang itu.

“Ah, ya, ya, benar juga.”

“Ya kan? Lebih cantik Kirishima Yui, lebih cocok sama Issei!”

Kalau aku tiba-tiba bilang pacar Issei yang sebenarnya adalah aku, kira-kira bagaimana reaksi mereka? Aku ingin tahu, tapi aku masih waras. Jadi aku hanya menyerahkan struk beserta kembaliannya pada dua gadis itu tanpa mengatakan apa-apa sebelum meminta izin pada manajer toko untuk pulang lebih awal hari ini dengan alasan tidak enak badan. Untungnya diizinkan—selain karena aku termasuk pegawai lama yang tergolong rajin, manajerku itu bilang ia tidak ingin toko merugi gara-gara aku kebanyakan melamun.

Aku pun meninggalkan tempat kerjaku satu jam lebih awal, tapi aku memilih tidak langsung pulang ke apartemenku. Setelah membeli sekotak bento yang kupilih asal saja di minimarket untuk makan malam, seperti yang kulakukan tiap hari selama tiga minggu belakangan, aku menghabiskan entah berapa lama berjalan berputar-putar tanpa tujuan. Aku ingin mampir ke tempatnya Kii, tapi aku tahu ia punya agenda merayakan ulang tahun pacarnya dengan makan berdua nanti malam dan aku tidak ingin merusaknya. Jadi pada akhirnya aku menghabiskan waktuku dengan membuang-buang uang untuk berkeliling naik kereta hingga hari gelap, lalu menangis selama hampir satu jam di toilet stasiun yang paling dekat dengan apartemenku sebelum akhirnya memutuskan pulang.

Menginjakkan kaki kembali di gedung apartemenku beberapa menit lewat tengah malam, tidak ada yang ingin kulakukan sekarang selain tidur. Badanku sudah lelah, hatiku apalagi, tapi kantuk yang sempat terasa begitu saja menghilang saat aku menyadari satu hal sewaktu hendak membuka pintu apartemenku. Pintunya tidak terkunci. Padahal aku yakin sudah menguncinya tadi pagi sewaktu berangkat kerja. Jadi... apa artinya ini?

Hanya ada dua orang yang mempunyai kunci apartemenku selain aku sendiri. Ibu dan Issei. Aku tahu tidak mungkin Ibu yang datang karena ia sedang berlibur ke Hakone bersama teman-teman SMA-nya dan baru akan pulang besok. Jadi siapa yang sudah menungguku di dalam? Issei? Konsernya memang seharusnya sudah selesai minimal tiga jam yang lalu. Atau maling? Bisa jadi, tapi sekalipun kemungkinan itu buruk, buatku lebih baik bertemu maling daripada bertemu Issei saat ini. Maling tidak akan peduli melihat mataku sembap, tapi Issei mungkin akan tertawa senang melihat sejauh mana ia berhasil mematahkan hatiku dan aku tidak mau itu terjadi.  

Pada akhirnya, aku menelan ludah dan membuka pintu apartemenku sepelan mungkin. Lampu sudah dinyalakan di dalam dan sepasang sneakers putih yang kulihat di sisi rak sepatuku membuat jantungku seketika seperti merosot ke dasar perut. Itu sepatu Issei. Dan Issei rupanya tidak datang sendirian. Ada sepasang sepatu lain di sisi sepatunya, sneakers juga tapi kesannya lebih butut.

Wah, apa-apaan ini? Setelah menghilang tanpa kabar selama tiga minggu, sekarang ia berniat memamerkan kekasih barunya itu padaku? Di apartemenku sendiri? Kalau aku mengusir keduanya saat ini juga, tidak salah, kan?

“Midori?”

Issei tahu-tahu saja muncul dari ruang tengah apartemenku, membuatku spontan mundur hingga punggungku menghantam daun pintu. Aku seharusnya marah melihatnya, tapi kenapa rasa menyesakkan yang memenuhi dadaku saat ini lebih mirip rindu? Air mataku begitu saja merebak lagi, tapi aku mati-matian menahannya agar tidak jatuh. Aku belum pernah menangis di depan Issei dan aku tidak berniat melakukannya sekarang.

“Dari mana saja? Ponselmu nggak bisa dihubungi. Aku khawatir.”

Khawatir? Rasanya aku ingin tertawa.

“Midori—”

Ucapannya terputus saat ia maju selangkah tapi aku malah mundur, menekankan punggungku pada daun pintu. Bibirnya yang terbuka mengatup kembali, dan entah seperti apa kelihatannya wajahku sekarang, aku melihat rasa bersalah perlahan mewarnai wajahnya. ‘Issei bego’, ‘Issei jahat’—aku bisa saja meneriakkan semuanya sekarang, tapi aku memilih menelan semuanya karena aku tahu sekalinya aku membuka mulutku, yang akan keluar dari sana bukan makian tapi tangisan. Hening yang menyesakkan kembali meliputi kami berdua, dan kulihat Issei sekali lagi membuka mulutnya saat seseorang muncul dari belakangnya, membuatku spontan menjatuhkan kantong plastik berisi bento yang kupegang ke lantai.

Bukan. Bukan perempuan, apalagi perempuan yang bersamanya di foto celaka itu. Yang muncul laki-laki. Masalahnya...

“Midori, maaf,” Issei akhirnya bersuara, “Ini Kouji. Dia... adik kembarku.”

 

***

 

Namanya Arakawa Kouji.

Kembaran-beda-tiga-menit-nya Issei. Tidak seperti nama Issei yang tertulis dalam kanji yang artinya satu dan biru, nama Kouji ditulis dalam kanji yang berarti merah dan dua. Kombinasi yang tidak biasa.

Aku tidak pernah melihat kembar identik secara langsung sebelum ini, jadi aku baru tahu kembar identik ternyata bisa berwajah se-identik ini. Bahkan bukan hanya wajahnya—perawakan, potongan rambut, serta suara keduanya begitu serupa, membuatku merasa seperti sedang berhalusinasi sekarang, duduk di ruang tengah apartemenku dengan dua Issei di hadapanku. Hanya pakaian serta pembawaan mereka yang berbeda—Issei lebih pendiam sementara adik kembarnya itu lebih... ceria? Yang jelas, rasanya benar-benar aneh. Seperti melihat Issei, tapi bukan Issei. Entahlah. Aneh.

Jadi, Issei sengaja mengajaknya malam ini untuk menjelaskan semuanya padaku. Sosok yang terpotret dalam foto yang menghantuiku tiga minggu ini ternyata Kouji, dan wanita yang digandengnya itu tidak lain adalah pacar Kouji sejak SMA. Keduanya tidak sadar ada yang diam-diam mengambil foto saat mereka baru pulang berbelanja. Memang tidak seperti Issei yang pindah ke Yokohama sejak meniti karier sebagai musisi, Kouji menetap di Fukuoka untuk meneruskan kedai ramen milik orang tua mereka. Mungkin kedengarannya jomplang, tapi memang begitulah adanya. Dan sejak Issei mulai terkenal, Kouji terbiasa mengenakan masker ke mana-mana—bahkan saat memasak di kedainya—agar tidak ada yang merecokinya hanya karena berwajah sama persis dengan si gitaris. Ia kebetulan melupakan maskernya hari itu dan terjadilah apa yang selanjutnya terjadi.

Issei memang sengaja merahasiakan keberadaan Kouji dari publik karena tidak ingin kehidupan adiknya itu terusik gara-gara dirinya. Hanya orang-orang terdekat Issei yang tahu Issei punya adik kembar: keempat member GEMINI yang lain, manajernya, serta segelintir orang dari agensi serta label rekaman yang memang berteman akrab dengannya. Aku tidak terhitung di antaranya, dan sekalipun aku seharusnya merasa lega karena ternyata Issei tidak berselingkuh dengan siapa pun, kenyataan baru ini ternyata menghantamku dengan tidak kalah menyakitkan. Issei memberitahu orang-orang itu tentang Kouji, tapi ia tidak memberitahuku.

“Jadi, aku benar-benar minta maaf sudah membuatmu salah paham, Midori-san,” Kouji mengakhiri penjelasan mereka, membungkukkan kepalanya dalam-dalam dari seberang meja. Di sebelahnya, Issei hanya tertunduk dalam diam. Aku menatapnya lama, mencari-cari kelegaan yang seharusnya kurasakan tapi tidak ada di mana-mana, hingga tahu-tahu saja aku sudah berdiri.  

“Midori,” Issei sempat meraih pergelangan tanganku saat aku berjalan melewatinya, tapi aku menepis tangannya dan terus saja berlari kecil ke arah pintu, keluar dari apartemenku. Tidak sepenuhnya sadar ke mana kakiku membawaku, aku mendapati diriku akhirnya berdiri sendirian di sebuah taman kecil dekat kompleks apartemenku. Tidak ada siapa-siapa di sini selain diriku sekarang. Hanya aku, bersama segala keributan di dalam kepalaku.

Issei memberitahu orang-orang itu tentang Kouji, tapi ia tidak memberitahuku. Otakku memutar kalimat itu berulang-ulang seperti kaset rusak yang menyebalkan, dan tiap putarannya membuat paru-paruku semakin kewalahan menangkap udara. Kedua mataku terasa panas dan sakit, tapi aku tidak ingin menangis lagi. Aku capek. Aku capek menganggap Issei begitu penting dalam hidupku di saat aku rupanya tidak sepenting itu buatnya. Baru saja aku mendongak untuk mencegah air mataku jatuh, seseorang menyampirkan jaketnya pada kedua bahuku.

Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang melakukannya. Aku hafal aroma lembut yang menguar dari sana—aroma yang selama ini selalu membuatku merasa nyaman tapi malah sebaliknya sekarang. Susah-payah aku menarik napas sebelum akhirnya berbalik, mendapati Issei berdiri hanya tiga langkah di depanku, menatapku lekat-lekat.

“Kenapa?”—aku akhirnya berhasil mengucapkannya tanpa menangis. Issei masih menatapku lekat saat aku menyambung, “Kenapa tidak pernah memberitahuku? Kamu tidak percaya padaku?”

Kulihat Issei menelan ludah.

“Aku cerita semuanya padamu, Issei. Tentang pria brengsek yang meninggalkanku dan Ibu waktu aku kecil, tentang mantan pacarku semasa kuliah yang berselingkuh dengan tiga orang sekaligus di belakangku. Aku cerita semuanya padamu. Aku percaya padamu, tapi kamu tidak percaya padaku. Ya kan?”

“Midori—”

“Kamu tahu bagaimana rasanya tiga minggu belakangan buatku? Berpikir cowok di dalam foto itu benar-benar dirimu karena aku sama sekali tak tahu ada seseorang di luar sana yang tampangnya memang persis sama denganmu dan kamu tidak sedikit pun kepikiran untuk memberitahuku? Memang apa susahnya, sih, meluangkan waktumu lima menit—tidak, semenit saja untuk meneleponku? GEMINI penting, tur-mu penting, aku tahu. Tapi apa buatmu perasaanku benar-benar se-tidak-penting itu?”

 Issei menunduk, menelan ludah sekali lagi sebelum menggumam, “...Maaf.”

 Maaf. Aku tertawa. Maaf, katanya. Memang semudah itu, ya, mengucapkannya? Aku berbalik karena air mataku mulai berjatuhan tanpa bisa kutahan lagi, dan setelah beberapa saat hanya mendengar deru napas serta isakanku sendiri, suaranya terdengar lagi.

“...Aku takut.”

Aku menoleh, menatap Issei dengan alis bertaut.

“Dari dulu, semua orang selalu membandingkanku dengan Kouji dan Kouji selalu lebih segala-galanya dariku. Lebih pintar. Lebih populer. Lebih cepat larinya. Lebih sering tersenyum. Lebih menyenangkan diajak bicara. Hanya main gitar yang bisa kulakukan lebih baik daripada Kouji.”

Pikiran-pikiran buruk yang tadinya membuat isi kepalaku berkabut perlahan mulai terangkat. Issei maju mendekat, memperkecil jarak di antara kami.

“Makanya aku tidak memberitahumu. Aku takut kalau kamu mengenalnya juga, kamu akan mulai membanding-bandingkanku dengannya seperti semua orang itu, lalu kamu akan sadar betapa payahnya aku dan...”—suaranya tercekat—“...kamu akan meninggalkanku. Aku takut itu terjadi.”

Segala amarah dan rasa kecewa yang sempat kurasakan padanya begitu saja terasa tidak berarti setelah mendengar ucapannya barusan. Cukup lama aku menatapnya lekat sebelum sepatah kata ini meluncur begitu saja dari bibirku, “...Bego.”

Issei yang tadinya menunduk balas menatap ke dalam kedua mataku.

“Memangnya kenapa kalau Kouji lebih pintar darimu? Lebih populer, lebih cepat larinya, lebih sering tersenyum, lebih menyenangkan diajak bicara? Aku jatuh cinta padamu. Aku sayang Issei karena Issei adalah Issei, nggak ada hubungannya dengan Kouji atau GEMINI atau siapa pun. Aku nggak akan meninggalkanmu hanya karena—”

Ucapanku terputus di situ karena Issei maju selangkah lagi dan begitu saja menarikku ke dalam pelukannya. Aku berniat berontak, tapi ia malah mendekapku makin erat.

“I-Issei, ini di luar,” aku berbisik, berusaha mendorongnya mundur tapi sia-sia.

“Biar,” ia menggumam tepat di telingaku, “Aku nggak peduli.”

Hangat dekapannya pada akhirnya membuatku menyerah, dan aku pun balas melingkarkan kedua lenganku pada punggungnya. Kelegaan yang kucari ada di sini, di dalam pelukannya. Aku tidak tahu berapa lama kami begini hingga Issei mengurai pelukannya, lalu ganti menangkupkan kedua tangannya pada sisi leherku. Hangat.

“Issei,” aku menggumam saat ujung hidung kami bersentuhan, “...Ini di luar.”

“Sudah kubilang,” aku mendengar tawa dalam suaranya, “...Aku nggak peduli.”

Dan Issei menghadiahkan sebuah kecupan panjang pada bibirku, lebih manis dan hangat daripada semua yang pernah kami lalui sebelum ini. Saat butir-butir salju pertama berjatuhan mengakhirinya, Issei menatapku lekat dan aku tidak pernah mendengar suaranya begitu yakin saat ia berkata, “GEMINI penting, pekerjaanku penting, tapi Midori lebih penting. Jauh lebih penting.”

Aku tersenyum, membiarkannya menyeka air mata yang meleleh dari sudut mataku dengan jemarinya yang kapalan.

“Issei juga penting,” balasku, dan akan selamanya begitu.


******


Picture for cover credit to Facundo Aranda on Unsplash, edited by me.

Juga di-post di Ruang Menulis Bentang, 14 Januari 2022.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi