Disukai
7
Dilihat
1178
Gara-Gara Kondangan
Romantis

Belum sepenuhnya dia sadar. Matanya masih terasa berat karena semalaman suntuk laki-laki berbadan bongsor itu begadang tak jelas seperti biasanya. Tabir jendela di kamarnya sudah terbuka lebar diikuti oleh suara khas emak-emak elit yang gremeng ke anaknya pagi-pagi. Laki-laki berambut keriting dipotong cepak itu masih duduk di atas kasurnya. Sedang berusaha menyadarkan dirinya. 

"Mas Arestan!". Teriak keras emak dari dapur. 

"Udah bangun mak", jawabnya mengusap-usap matanya yang lengket. 

Mau tidak mau. Ia harus bangkit dari tempat ternyaman-nya itu. Rebahan seharian pun sebenarnya tak masalah. Tapi ia harus nurut kepada sang ibu yang memegang kendali di rumah. Tak menurut sedikit, bisa-bisa bakalan jadi perang saudara antara anak dan ibu. Sapu, pengepel atau spatula bisa saja berterbangan. Itu lebih mengerikan dibanding menonton series trailer psychopath-sociology sekaligus. Memikirkan itu saja, membuat bulu kuduk laki-laki itu berdiri. Cepat-cepat ia bangun sebelum piring atau spatula melayang ke dalam kamarnya.

*

Seduhan kopi susu menguap panas menjadi pembuka pagi ini ditemani oleh singkong goreng yang masih hangat. Wajahnya masih sembab, kantung matanya masih menggantung menghitam seperti panda. Arestan mengunyah singkong goreng itu pelan-pelan sesekali meniupnya agar cepat dingin. Keluarga pak Atmoko dan ibu Ditjah a.k.a keluarga Jawa-Betawi pagi ini sudah lengkap, kehadiran anak laki-laki di rumah sudah melengkapi jumlah yang sesuai tertera di kartu keluarga.

"Mak. Kata tante Devi, mas Hardi bulan depan nikah ya?". Tanya Aretta, adik perempuan Arestan kepada emak yang lagi masak opor ayam. 

"Benar mas?", lirik ke Arestan yang lagi bengong. Tatapan laki-laki berusia 26 tahun itu masih kosong ke depan. Kedua perempuan itu menunggu jawaban darinya. Bukan karena apa, Hardi adalah sepupunya mereka yang cukup dekat dengan nya. Arestan masih fokus bengong. 

"Apa?". Liriknya tak paham, lalu Arestan menatap Aretta di sebelahnya. Perempuan delapan belas tahun itu menggeleng-geleng kepalanya kecil. Sebelum keluar kata-kata mutiara. 

"Cotton buds masih ada mas. Di kamar Retta masih satu kotak full". Jawab si Aretta menahan emosi namun sudah jadi buih-buih peperangan yang telah menyala di kedua bola matanya. Padahal percakapan dia dan emak di dalam satu ruang yang sama. Bisa-bisanya kangmas-nya satu ini tak mendengarnya. Sepertinya, adik perempuannya itu mewarisi gen terkuat dari emak. Hanya keberadaan sang bapak yang lagi di toilet sedang bertapa.

"Si mas Hardi beneran mo nikah bulan depan?". Tanya emak mendekat penasaran. Sambil ngunyah singkong panas, nyam-nyam, Arestan santai menikmati rasa empuk dan gurih itu terlebih dahulu. Aretta dan emak sudah menanti jawabannya dengan pandangan serius.

"Iyaaa. Mak, Rett". Jawabnya khas dengan nada datar seperti wajahnya yang tak seberapa itu. Adik perempuannya itu seakan memiliki pertanyaan untuknya.

"Mas, kapan?". 

Celetuk sang adik perempuannya, Aretta merasa tak bersalah. Sedang ibunya lanjut memasak opor ayam dan bapak keluar dari bertapa, "WC-nya kok mampet lagi?". Pria tua itu bergerutu keluar dari toilet. Silent mode, Arestan melanjutkan aksi bengong nya sambil nyeruput kopi susu agar tidak dingin. Tak menggubris pertanyaan pagi itu. 

*

Pengangguran. Mungkin itu saja kata yang pas untuknya saat ini. Setelah hampir dua-mingguan ini hanya tiduran, rebahan dan numpang makan di rumah. Arestan mulai resah. Sebenarnya, aktivitas seperti ini terakhir dia rasakan ketika baru lulus kuliah, 2 tahun lalu. Suasana asing cukup membuat agak kurang nyaman. Arestan merupakan satu dari sekian puluh orang-orang yang kena PHK massal oleh perusahaan belanja online tahun ini. Naas, mungkin hanya itu yang bisa mewakili perasaanya saat ini. 

Ditemani sebatang rokok yang menyala, Arestan hanya duduk di depan rumah entah menunggu apa. Pandangannya lurus kedepan, memandangi jalanan kecil yang ramai dengan aktivitas orang-orang yang hilir mudik tak tau kemana arahnya. Tiba-tiba, Aretta ikut nimbrung dengan membawa cemilan. 

"Si pengangguran lagi nyantai-". Sindirnya, adik perempuannya ini memang agak blak-blakan terhadap kangmas satu-satunya tanpa ragu-ragu. 

"Anak kecil tau apa". Jawab si Arestan meliriknya, wanita itu duduk di bangku sebelahnya. Mata menatap tajam kepadanya. Kangmas-nya itu tak merasa takut akan tatapan itu.

"Dih. Inget ya mas. Uang jajan Aretta belom disetor sama mas. Masih tak tunggu". Ocehnya, meminta bagian uang jajan yang biasa ia beri. 

"Kamu ada duit?". Tanya Arestan spontan.

"Berapa?". Memastikan nominalnya. Aretta sedikit sombong. 

"500 ratus rebu?". Arestan memintanya tak ragu, tapi sebenarnya ia tahu adik perempuannya itu punya tabungan yang lebih banyak darinya. Arestan perlu uang itu untuk membayar paket COD yang akan datang beberapa hari kedepan.

"Bunga 30%". Jawabnya, sambil mengangkat jari kelingking sebagai perjanjian keduanya.

"Deal!". Arestan tersenyum. 

*

Warung kopi atau lebih akrab dikenal Warkop Amang Ade jadi tempat tongkrongan paling nongkiable bagi para pemuda-pemudi desa. Selain menunya bervarian, harganya juga terjangkau di kantong anak muda dan tempat juga nyaman di tengah-tengah pemukiman ramai penduduk. Begitulah, kiasannya. Arestan dengan kopi susu favoritnya, kali ini dia ditemani oleh teman akrabnya, Bismo.

"Ar. Gue minta tolong, lu temenin gue kondangan di nikahan si Shelly. Oke?", pinta Bismo dadakan kepadanya. Arestan menatapnya, memutar kedua matanya kebingungan. Seperti ada yang aneh.

"Lah?", Sahutnya. "Shelly nikah. Bukan itu doi lu?". Tanyanya lagi tak percaya. Sebab, yang Arestan tau. Shelly adalah pacarnya, Bismo.

"Dah kandas nyet. Sad banget gua sekarang-", curhatnya. Bismo tiba-tiba jadi mellow.

"Dih, kaga mau gue nemenin lu.". Jawab Arestan tak mau jadi partner kondangannya. Bismo terus saja memelas kepadanya.

"Ayolah. Temenin aja. Lu tau kan gue gimana. Gue harus dateng biar dia tahu kalo gue udah move on dari dia...". Pinta si Bismo melas-melas. 

"Lah, masalahnya sama gue apaan.". Arestan tak paham.

"Ya ga ada sih?". Bismo bingung sendiri. Tapi masih memintanya untuk menemaninya.  

"Ayolah. Disana ada Larasati". Ucap si Bismo mengalihkan perhatiannya dari handphone yang sedang ia pegang, timbul atensi Arestan mendengar nama yang baru saja disebut olehnya. Ia menoleh Bismo, dan mengulang nama itu.

"Larasati?", Meyakinkan namanya tak salah.

"Ho'oh. Cewek yang lu suka jaman SMA". Bismo membenarkan ucapan ya tak salah.

"Kok dia ada disana?", Tanyanya lagi.

"Si Shelly kan temen deketnya dia bodoh". Celetuknya, Bismo tak habis pikir kepada temannya itu. Bisa-bisanya dia lupa soal itu. "Gimana?". Bismo menanyakan soal menjadi partnernya lagi. Arestan tak tahu, apakah dia yakin ikut kesana atau lebih memilih fokus dengan acara leha-leha nya di rumah. Dalam keraguan hatinya, Arestan hanya diam.

"Dah. Gue jamin ntar lu bakalan ketemu sama dia". Rangkul si Bismo, sambil menatapi temannya yang lagi tak tahu harus menjawab apa. 

*

Walaupun sedikit agak terpaksa. Nyatanya, Arestan tetap maksimal tampil ganteng. Dengan baju batik lengan panjang motif flora warna coklat oleh-oleh dari pasar Klewer-Solo, celana ankle pants warna hitam dan rambut stay rapi kece badai. Arestan sudah siap menunggu jemputan Bismo. Ini sudah hampir satu jam, Arestan nunggu teman satunya itu kunjung datang. Rasa pengen ngamuk udah di ujung ubun-ubun kepalanya. 

"Beh. Lama amat lu Bis. Dah lumutan gue nunggu lu", protes si Arestan sambil memakai helm. Bismo memang anak yang santai, saking santainya sambil molor berjam-jam. 

"Hehehe…", tawa garingnya. "Biasa. Rutinitas paginya yang lama". Jawabnya, Bismo hanya cengengesan. Arestan tahu. Percuma saja ia marah hanya akan menguras tenaganya sia-sia. "Tumben rapi lu. Mana wangi lagi.". Ceplosnya, si Bismo sedikit kaget dengan effort temannya itu. "Ini beneran bakalan nemuin si Laras sih.", Goda si Bismo mengangkat kedua alisnya. Senyum-senyum nakal khas om-om hidung belang.

"Lu diem. Buruan. Ini keburu ijab kabul dulu ntuh mantan lu". Elaknya, tak ingin dirinya jadi bahan ejekannya. 

*

Suasana tempat hajatan pernikahan sang mantan Bismo itu ramai. Hiasan bunga-bunga di panggung pelaminan sangat mencolok dan tersusun dengan cantik. Kursi-kursi sudah dipenuhi oleh para tamu undangan, para ibu-ibu dan bapak-bapak sudah menanti acara sakral pagi ini. Anak-anak kecil tak tahu menahu soal itu hanya sibuk membeli permainan di mas-mas balon di luar tenda acara. Arestan baru saja tiba. Dia bersama Bismo berjalan pelan menuju tenda acara. 

"Sini-", panggil wanita berkebaya biru memanggil keberadaan Bismo dan Arestan yang baru saja datang. Seakan tahu siapa itu, dua teman sejoli ini mengikuti arahnya. "Baru Dateng?", Tanya wanita berkebaya biru itu.

"Iyaa, tadi hujan di jalan. Jadi agak telat", jawab Bismo yang sebenarnya alasan saja. Arestan yang tahu hanya membuang muka seakan tahu kebohongan temannya itu. Picik sekali kau Bismo, pikir Arestan

"Kamu sama mas-nya duduk disitu ya. Si mbak Shelly yang minta.". Pinta, wanita berkebaya biru tersenyum manis ke arah mereka berdua. "Iyaa, Nit". Jawab Bismo. Membalas senyum manisnya. 

"Siapa?", Tanya Arestan tak tahu.

"Adik Shelly-". Jawab si Bismo. Laki-laki ini hanya menjawab sekenanya, rasa penasaran Arestan tentang siapa wanita berbaju kebaya biru itu sudah terjawab langsung. Walaupun sempat berpikir aneh-aneh. Arestan dan Bismo duduk bersebelahan. Disebelah Arestan ada satu kursi kosong dan itu juga ada disebelah Bismo. Arestan duduk santai sambil menunggu acara dimulai.

*

Acara akan segera dimulai. Pengantin laki-laki, calon suami mantan Bismo sudah berada di meja pelaminan. Wajahnya pucat pasi terlihat pengantin pria itu sangat gugup. Tentu ini dilihat olehnya, Arestan dan Bismo yang duduk menghadapnya. Mata Bismo seakan memancar aura api yang membara ketika menatap calon mempelai laki-laki. Entah karena cemburu atau apa, teman disebelahnya itu tak tahu. Beberapa menit kemudian, pengantin perempuan keluar dari dalam rumah. Dengan baju pengantin khas Sunda dengan singernya yang cantik menghiasi kepala. Shelly semringah menuju pelaminan. "Anjir, si Shelly cantik banget.". Celetuk si Arestan menggoda laki-laki di sebelahnya yang menahan haru. 

Ketika semua mata tertuju ke arah meja pelaminan. Tanpa sadar, kursi di sebelahnya yang awal kosong kini sudah diisi oleh seseorang. Arestan tak menyadari kedatangannya karena fokus ke depan panggung pelaminan.

"Arestan?". Suara lembut itu membius pendengaran Arestan seketika.

Laki-laki itu lantas menoleh ke sumber suara itu. Pelan ia memutar lehernya ke kanan dan mendapati seorang wanita dengan lesung pipi yang menawan. Rambutnya tergerai rapi, menggunakan kebaya berwarna biru yang senada dengan wanita yang bersamanya tadi. Kedua mata mereka saling menatap, tak ada kata sepatah yang keluar dari mulutnya beberapa detik. Arestan terpana sekaligus kaget dengan wanita di sebelahnya. 

"Laras…", ucapnya seakan tak percaya bahwa wanita ini berada didekatnya. 

"Apa kabar?", Tanya Laras dengan senyum tipis. 

Arestan hanya diam. Ia masih ngelag dan berusaha sadar. "Njir!.", Pikirnya ketika melihat Larasati di sebelahnya dengan sangat jelas. "Cantik banget!". Arestan menelan ludahnya sendiri. 

"Ar?", tanya si Larasati. 

"Hah", satu kata terucap darinya. "Aku baik Laras-". Sedikit kikuk dan gugup, "kamu?". 

"Aku baik", senyumnya lagi. "Seneng bisa ketemu kamu lagi". Tutupnya.

"Iyaa, Larasati", Arestan menatap wanita di sebelahnya dengan sendu.

Melihat itu, Bismo langsung paham. Hanya dengan melirik satu sama lain. Bismo sudah bisa mendeteksi bahwa temannya ini sedang bergejolak menahan perasaan yang meledak dihatinya. Wajahnya memerah seperti pantat bayi, keringatnya juga luluh perlahan dari keningnya. Benar. First love, sahabatnya memang benar-benar fakta. Tiba-tiba si Bismo tersenyum nakal sekaan menggodanya. 

"Diem". Gertak Arestan dengan kode mata menatap tajam.

Ini seperti sebuah takdir yang mempertemukan mereka berdua. Antara Arestan dan Larasati. Dari awal, laki-laki berbahu lebar itu seakan tidak berekspektasi lebih bisa kembali bertemu dengannya, Laras. Apalagi kata-kata dan iming-iming itu keluar dari mulut temannya, Bismo Pandjaitan. Nyatanya, takdir seakan memihaknya kali ini. Arestan, hanya diam kaku seperti batang pisang dan hanya kedua matanya yang bergerak kesana-kemari menahan rasa gugupnya. Sampai di ujung acara sakral itu berakhir.

"Sah?", Ucap penghulu kepada para saksi di sana.

"SAHHHHHHHH". Suara bergema secara bersamaan kemudian dilanjutkan dengan membaca doa-doa. Bismo yang menyaksikan mantan sudah menemukan jodohnya sedikit bersedih hati. Ternyata selama ini ia hanya menjaga jodoh orang, sedangkan jodohnya sendiri tak tahu dimana. Bismo yang sabar, ucap Arestan dalam hati menepuk bahu temannya itu.

Acara belum selesai. Kini sesi foto bersama dengan para tamu. Tak mau ketinggalan, seperti sebuah kewajiban ketika bertamu. Bismo maju lebih dulu mendekat ke panggung pelaminan berfoto dengan sang mantan nya itu. Sedangkan Arestan hanya duduk menunggu di kursi tamu. Mata tak bisa teralihkan oleh sosok yang sedan tertawa ria bersama para wanita lainnya di meja sebelah. Larasati, hari ini kembali menghipnotisnya seperti masa lalu.

**

Flashback, 2018. 

Dibawah langit biru nan luas, SMAN Mitra Pratama seakan menjadi saksi kisah yang belum sempat terukir dengan indah. Kisah cerita cinta masa putih abu-abu baru saja akan dimulai harus berakhir tanpa sebuah penutup yang manis.

Kisah diawali ketika ospek penerimaan siswa baru atau MOS (masa orientasi siswa) dilaksanakan. Saat itu, Arestan dan Bismo berada di kelompok yang sama. Keduanya memang sudah akrab sejak kecil dan sama-sama sering kena hukuman karena terlambat atau aksesoris MOS yang tak lengkap. Larasati juga berada pada kelompok yang sama. Saat itu, Larasati sangat disukai oleh siswa-siswi baru karena dia sangat cantik, pintar dan public speaking yang sangat bagus seakan menyita perhatian semua orang untuk melihatnya. 

Laras tampil sempurna di awal masa putih abu-abunya.

Tetapi, perempuan juga manusia. Laras melupakan sesuatu di hari terakhir ospek. Ketika semua para siswa-siswi sudah berkumpul di tengah lapangan untuk kegiatan perlombaan selanjutnya, dia hanya kebingungan didalam ke kelas. "Kenapa aku bisa lupa". Cercanya diri sendiri ketika ia baru sadar, baju olahraganya ketinggalan. Dalam kebingungan, Arestan masuk kelas hendak bergantian pakaian. Memegang baju olahraga ditangannya.

"Kenapa?", Tanya Arestan menatap Laras yang ketakutan. Wajah nampak tak tenang.

"Enggak apa-apa.", Tak ingin jujur. Laras menggigit bibir bawahnya. 

"Ayo semuanya kumpul di lapangan sekarang!". Teriak salah satu panitia OSIS kepada para peserta ospek.

Arestan tahu. Laras tak membawa baju olahraga, tentu ia bisa menebaknya karena sampai saat ini dia tak berganti baju. Masih mengenakan baju putih birunya. Tentu ini tidak sesuai dengan acara selanjutnya. Entah apa yang sedang Arestan pikirkan. Ia melangkah mendekat ke perempuan berambut sebahu itu dengan wajah sendu kebingungan. 

"Pakai ini". Sodorkan baju yang belum sempat ia pakai.

"Hah". Respon Laras tak paham. 

"Pake bajuku", pintanya. Arestan menatapnya. 

"Kamu gimana?", Laras masih ragu.

"Sudah pakai dulu. Aku mah gampang". Arestan tersenyum kecil. Padahal dia sendiri tak memiliki rencana setelah ini.  

*

Laras berjalan pelan menuju lapangan dengan tangan kanan memegang lengan baju yang kebesaran. Badannya yang mungil terlihat seperti dimakan oleh baju yang kebesaran. Malu-malu ia merapat ke barisan di lapangan. "Kamu gapapa Laras?", tanya Resta. Teman satu kelompok khawatir baru melihat Laras. Wanita berlesung pipi memegang belakang lehernya. Laras hanya mengangguk pelan.

Di depan tiang bendera, Arestan berdiri sendiri sambil memberi hormat bendera merah putih yang berkibar. Laki-laki melihat si Laras yang berdiri di barisan depan dengan bajunya yang terlihat kebesaran dan tampak seperti anak kecil yang menggemaskan. Arestan tersenyum sambil membuka mulutnya kecil. 

"kamu lucu", jawabnya ketika melihat raut wajah Laras khawatir melihat balik kondisinya. Arestan pura-pura biasa saja dengan hukuman yang sedang ia jalani.

*

Sejak saat itulah, hubungan keduanya dimulai. Hubungan yang manis. Arestan dan Laras, keduanya makin dekat satu sama lain. Mereka berada di dalam kelas yang sama, Arestan menjadi teman sebangku Laras yang terlihat lebih banyak tersenyum dibanding sebelumnya yang dikenal sebagai si muka es batu balokan. Karena image dingin dan sok cool nya sudah menyebar ke satu sekolah sebelumnya tidak berlaku saat ini. Laras dengan getol memberi pelajaran tambahan kepadanya yang bebel soal matematika. Ini cukup menarik perhatian si Bismo dan Daryan yang tahu seluk-beluk kehidupan Arestan sebelumnya. 

"Si Arestan keknya suka sama si Laras", ungkap Bismo kepada Daryan yang disebelahnya sedang ngupil

"Biarin. Kapan lagi liat dia kek orang gila. Senyum terusan". Fokus mengambil bagian terdalam dilubang hidungnya. 

Tiba-tiba Arestan tersenyum manis ketika si Laras yang lagi menjelaskan mata pelajaran yang tak dipahami olehnya di jam istirahat. Mereka semakin dekat dari hari ke hari. Melihat itu, Bismo auto mual. 

"Njir. Itu anak kalo bucin nampak banget lagi". Cemooh kepada temannya sendiri, Bismo menahan mual di perutnya. 

"Udah. Semangatin aja dia mah". Dan, "akhirnya keluar lu". Ucap si Daryan ketika kotoran hidungnya keluar. Melihat itu, Bismo makin mual menjadi-jadi.

"Anjir, sat lu Dar". Bismo kaget ketika Daryan hendak memberinya hasil tangkapan besarnya. 

**

Acara inti pernikahan pagi itu sudah selesai, sebagian para tamu sedang menikmati hidangan yang telah disajikan oleh tuan rumah. Sebagiannya lagi menyingsing ke pinggiran jalan sesekali mengobrol satu sama lain dengan lara tamu lainnya. Hanya si Bismo yang masih stay di tempat makanan. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya makan dengan porsi kuli yang seharian tidak diberi makan. Arestan memaklumi, temannya itu akan banyak makan ketika memiliki tekanan batin yang begitu kuat. Seperti sekarang ini.

"Gue mau nyebat dulu. Lu lanjut makannya". Tinggal Arestan, menepuk bahu temannya yang sedang makan besar. 

*

"Arestan-". Sapanya, berjalan mendekat ke arahnya. Angin sepoi menerpa rambutnya yang tergerai lurus-jatuh.

"Laras". Melihat datangnya, Arestan membuang puntung rokok yang masih menyala. Takut asap rokoknya mengganggunya.

"Masih sering ngerokok?". Tanya Laras.

"Kadang-kadang". Jawab laki-laki dengan gigi gingsulnya menonjol. Mereka duduk bersebelahan di kursi hajatan sebelah rumah pengantin. 

Mereka berdua saling mengobrol dan bertukar cerita tentang pekerjaan, keseharian dan apa saja yang mereka lakukan beberapa tahun ke belakang ini. Seperti tidak ada jeda dan sekat diantara keduanya. Dua manusia itu mengulang hal yang sama seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Bercerita dan bertukar cerita, memberikan respon manis dan kadang-kadang mengundang gelak tawa atau rasa kesal karena tingkah lucu kepadanya. Laras masih sama. Senyum manisnya tak berubah sedikitpun. Masih sama membuat hati Arestan tak berhenti berdebar. Laki-laki itu tetap sama, perasaannya tak berubah kepadanya sedikitpun.

Tiba-tiba. Mereka berdua menjadi senyap.

"Ar.". panggilnya lirih, Laras menolehnya.

"Iya Laras. Gimana?". Jawabnya, Arestan memperhatikannya.

"Hm…”, ragu-ragu dan Laras mengutarakan sesuatu yang mengganjal dihatinya. “Soal pernyataanmu dulu.". 

"Pernyataan?". Arestan, mencoba mengingat sesuatu.

"Perasaanmu tentang aku". 

Mata Larasati berbinar ketika kata itu keluar dari mulutnya. Laki-laki disebelahnya, Arestan menatapnya.

"Aku ingin menjawabnya sekarang. Dulu aku tak sempat memberi jawaban kepadamu". Lanjutnya, mengatur nafasnya pelan.

"Apakah masih bisa?".

"Tentu.". Arestan menganggukan kepalanya kecil.

"Maaf. Telat menyadari perasaanmu saat itu". Ungkapnya setelah memberi jeda beberapa detik dari perkataan Arestan sebelumnya, "dan terima kasih telah membuat masa itu penuh dengan kenangan manis".  Tutupnya dengan senyum manisnya.

"Aku ragu dengan perasaanku. Apakah aku juga mempunyai rasa yang sama denganmu atau hanya sebatas rasa suka kepada temannya". Laras mengalihkan pandangannya ke depan. Arestan masih sama diposisinya.

"Maaf.". Satu kata menjelaskan semuanya.

"Enggak apa-apa. Aku tahu kamu. Kamu punya alasan lebih besar dari itu". Arestan membusungkan bahunya yang lebar. 

“Laras.”, panggil Arestan pelan. 

“Anggap saja itu hanya kenangan yang hanya perlu diingat. Tak perlu untuk diulang". Lanjut laki-laki itu menahan getar di hatinya. Mulutnya bisa saja berbohong tetapi tidak dengan isi hatinya. Perempuan kembali menatapnya sendu. Entah apa yang sedang perempuan itu pikirkan.

"Kamu masih sama". Laras, tersenyum.

"Aku tahu. Mungkin saat itu aku gila. Menyatakan perasaanku kepada murid paling terpintar sekaligus paling cantik. Dan aku murid paling bebel dengan bodoh mengutarakan rasa sukanya". Arestan tertawa kecil, mengingat kembali hari itu. Dimana ia mengutarakan perasaannya kepada dia, Larasati.

"Tapi kamu orang paling baik". 

*

Setelah mengetahui jawaban atas pernyataan dimasa lalu yang baru terjawab sekarang, ada perasaan lega tentang cinta pertamanya yang sempat abu-abu tak tahu jawabannya. Perasaan lega itu terlihat jelas. Senyum laki-laki terasa hambar rasanya. Ada sedikit celah rasa kecewa yang datang bersamaan mengandrungi hatinya. 

Jawabannya tentu seperti yang dia pikirkan selama ini. Hanya saja, ia tak berani meyakinkan bahwa itu jawabannya. Dan berpikir ia ada kesempatan. Dalam kesempatan ini, sebuah pertemuan yang tak disengaja seakan takdir memberinya satu kesempatan lagi untuk bertemu. Bertemu kembali dengan orang yang sempat membuatnya kesulitan tidur dan masa putih abu-abunya terasa lebih indah.

Laras. Masih sama di matanya. Masih cantik dan membuat hatinya tak tenang. Arestan mungkin tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Bahwa ia masih sama. Masih sama dengan perasaannya yang dulu. Berubah?, mungkin itu tidak ada di dalam kamusnya sendiri. Laki-laki itu kini bisa tersenyum lega.

"Aku ditolak". Ungkapnya kepada Bismo diatas motor berjalan pulang. Matanya memandang lurus ke depan.

"Hah", tak dengarnya karena terhalang helm dan suara angin dijalanan. "Apaan nyet?". Tanya lagi.

"Aku ditolak setelah 6 tahun berlalu. Butuh waktu lama untuk tahu jawaban itu". Arestan tersenyum kaku. Kisah cinta pertamanya tak semanis dan seindah yang orang-orang ceritakan. Ia menelan air ludahnya dengan getar.

"Goblok", ucapnya. 

"Siapa yang goblok Ar?". "Lu ngatain gue?". Salah tangkap, Bismo merasa ucapan itu untuk dirinya.

"Iyaa, lu goblok. Sama kek perasaan goblokmu". Menghakimi perasaannya sendiri. Arestan merasa bahwa dirinya memang benar-benar bodoh tentang perasaanya selama ini. Dan gara-gara kondangan ini, Arestan akhirnya mendapatkan jawaban darinya, Larasasti.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@driardi : endingnya emang agak-agak. Ehe🤔
@jjeneostret : Big thank bro🙏
Manteb. Ditunggu karya selanjutnya👍
Ada romance-romance dikit. But, endingnya🥲
Rekomendasi