Disukai
1
Dilihat
1,141
Gara-gara Jemuran Tetangga
Slice of Life

Terkadang manusia lupa bahwa dunia butuh tertawa. Untuk menciptakannya, mereka perlu sesekali bercanda agar hidup tidak terlalu kaku.

Ais Aisih 2022

"Gawat! Ini gawat, Mas." Ais berbicara dengan nada setengah berteriak. Wanita berdaster cokelat itu sibuk mencari kain pel, mondar-mandir seperti setrikaan. 

"Ada apa?" tanya Mudi tak kalah panik tatkala melihat sang istri seperti orang kesurupan, kelimpungan ke sana kemari.

 

"Lihat, Mas! Banjir!" Ais menunjuk lantai yang sudah digenangi air. 

"Astaghfirullah." Mudi berlari mencari sumber masalah, mengikuti pergerakan air yang mengalir. 

Ketemu. Ternyata air itu berasal dari kamar mandi. Bak sudah penuh, tetapi karena keran terbuka jadi terus memancarkan air hingga meluap ke luar.

Mudi bergegas mematikan keran. Wanita selalu jadi sumber masalah, pikirnya. 

"Sayang, apa kamu lupa mematikan keran?!" tanya Mudi agak galak. 

Ais tampak mengingat-ingat. Lantas, wanita itu menepuk jidatnya. "Ah, iya. Aku habis nguras bak mandi dan berniat mengisinya sampai penuh."

Mudi menarik napas panjang. Dia berusaha tidak terpancing emosi.

"Ingat, wanita itu tulang rusuk. Kalau dikasarin bisa patah." Begitu kira-kira pesan mertua laki-laki padanya. Untuk itu, Mudi selalu menahan emosi hingga mencapai batas ubun-ubunnya. Hal itu pula membuatnya kerap mengalami sakit kepala.

Lelaki itu bisa saja mengeluarkan amarah, meledakkan semaunya. Namun, selama ia mampu untuk tidak melakukannya, maka ialah yang menjadi pemenang. Dalam kategori sabar menghadapi seorang istri. 

"Boleh aku mengatakan sesuatu?" 

"Apa itu, Mas?" Ais menoleh sebentar untuk kemudian kembali menunduk, terus menggerakkan gagang pel. Kain pel menyerap air dan ia memerasnya ke dalam ember. 

"Kenapa kamu nggak nyari sumber masalah dulu sebelum membersihkan lantai?" Mudi bernapas dalam-dalam. Ia tidak berani mengatakan bahwa istrinya kelewat bodoh. Walaupun sebenarnya ingin sekali mengungkapkannya. "Kamu malah sibuk nyari kain pel."

"Ini caraku menanggulangi masalah," jawab Ais santai. "Kamu kenapa, sih, Mas? Jangan marah-marah, dong."

 Lelaki itu merasa sedang tidak marah-marah. Kenapa sang istri tidak bisa membedakan antara sedang menahan amarah atau marah sungguhan?

"Apakah semua wanita di dunia ini hanya melihat dan menyelesaikan masalah dari permukaan saja?" teriak Mudi keras-keras. Namun, itu hanya dilakukan dalam hati. Tentu saja. 

"Kamu tolong cari lap, Mas. Bantuin aku." Ais merengek manja. Ia masih sibuk dengan kail pel di tangannya, menahan ceceran air agar tidak melebar kemana-mana.

Mudi berdecak pelan. Seharusnya sang istri bisa menyadari kesalahannya sendiri. Kalau saja dirinya tidak ceroboh, mungkin hal semacam itu tidak akan terjadi. 

"Kamu nggak sadar apa kesalahan yang telah kamu buat? Seharusnya kamu matiin dulu kerannya. Dengan begitu, akar permasalahan selesai. Kalau keran air tetap menyala, maka air nggak akan berhenti mengalir dan seisi rumah bisa kebanjiran." Intonasi suaranya naik satu oktaf.

"Dalam situasi kayak gini kamu sempet-sempenya nyari kesalahan aku, Mas?" 

Mudi berdesis. Sepertinya ia melupakan sesuatu. Bahwa wanita selalu benar. 

"Oke. Aku harus ambil di mana lapnya?" Setenang mungkin Mudi bertanya. Sungguh itu hanya akting belaka. Dadanya sudah memanas mengeluarkan larva kemarahan. Sebaiknya ia menyingkir terlebih dahulu dari sang istri agar tidak meletus saat itu juga.

"Kamu cari dong, Mas!"

Mudi menarik napas, juga menggaruk kepala. Ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Bisa-bisa kepala istrinya yang justru keluar kobaran api. 

Dengan mulut komat-kamit karena ngedumel Mudi beranjak dari satu ruangan ke ruangan lain mencari benda dari kain yang diminta Ais. Namun, segenap ketidaktahuan membuatnya kembali menghadap sang istri. 

"Sayang, aku nggak nemuin lap di rumah ini." Mudi melapor. 

"Ya ampun, Mas. Kamu kan bisa cari baju yang udah nggak kepakai. Masa gitu aja nggak ngerti, sih?" Rasanya Ais sudah mau menangis. Suaminya benar-benar tidak bisa diandalkan. 

"Oke. Aku cari baju bekas dulu kalau gitu." Mudi berlari ke luar rumah, secepat kilat berusaha menghindar dari amukan sang istri. Tampaknya, ia sudah menyerah mencari lap di seluruh ruangan dan tidak menghasilkan apa-apa.

Mudi mengawasi tempat jemuran yang terbuat dari aluminium berdiri tegak dengan beberapa lembar pakaian yang menggantung di sana. Rasanya tidak mungkin ada pakaian di tempat itu. 

Ketika Mudi hampir pupus harapan, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Matanya yang mengandung putus asa itu seketika berbinar terang. Langkahnya begitu gesit mendekat pada pagar samping rumah. Di sana ada beberapa lembar pakaian yang menurut tebakannya itu adalah lap karena dijemur secara terpisah.

Lelaki bertubuh agak gempal itu memantapkan langkah masuk ke rumah membawa kain di tangannya. Ia amat yakin, kali ini tidak akan salah lagi.

"Ini, Sayang," ujarnya sembari menyerahkan celana legging hitam yang ia pikir adalah kepunyaan sang istri.

"Taruh aja ke lantai yang basah, Mas. Aku sebentar lagi kelar mengeringkan sebelah sini." Ais menyeka keringat di dahinya menggunakan punggung tangan.

Tunggu dulu! Tiba-tiba mata Ais berpusat pada celana legging yang digunakan Mudi untuk mengeringkan lantai. Mata Ais mengerjap, keningnya berkerut-kerut. Ia curiga kalau sang suami melakukan kesalahan seperti biasa.

"Sebentar, Mas," kata Ais penuh selidik. Ia memungut legging panjang yang sudah basah dan membentangkannya lebar-lebar di depan muka Mudi. Bak seorang detektif, Ais mengamati dengan detail setiap jahitan. Sampai-sampai ia harus mengulang beberapa kali.

Ditemukannya sebuah kejanggalan yang mengganggu pikiran Ais. Wanita itu setengah berlari ke kamar dan membuka lemari. Ia mulai sibuk mencari legging hitam panjang yang dimilikinya. Seingatnya, ia hanya punya satu dan itu sudah sobek di bagian tengahnya. 

Alangkah terkejutnya Ais sewaktu menemukan legging panjang miliknya terlipat rapi di antara susunan celana panjang yang lain. Ia mengecek pada bagian tengahnya, ternyata masih ada lubang yang cukup besar di sana. Kini hatinya menjadi gusar.

"Lantas, celana itu punya siapa?" 

Dengan langkah kaki yang panjang, wanita itu menyambangi sang suami.

"Maaaaaas."

Mudi menelan ludah ketika sang istri memanggil namanya dengan nada panjang. Perasaannya mulai tak enak. 

"Ada apa, Sayang? Tenang, sebentar lagi ini kelar kok." Mudi mengambil alih tugas sang istri mengeringkan lantai. Ia memaksakan senyum meskipun tahu raut wajah istrinya terlihat seperti orang marah. 

"Itu celana siapa?"

"Apa? Bukannya ini celanamu yang udah nggak terpakai?"

"Kamu ambil di mana legging itu?"

"Di pagar samping rumah."

Ais merasa geram. Biji matanya seakan hampir lepas dari tempatnya. Wanita berdaster itu memakai kerudung sebelum keluar dari rumah. Ia ingin tahu, legging siapa yang telah diambil oleh suaminya. 

Kini tatapan Ais berubah membinasakan. Diamnya mengerikan. Wanita itu terpaku menatap beberapa lembar pakaian yang dijemur di pagar samping rumahnya. Hidungnya kini kembang kempis menahan tangis. Tangannya mengepal seperti hendak meninju. Bagaimana bisa laki-laki yang dicintainya itu mengambil legging milik wanita lain? 

"Mas, kemarin aku lihat Mbak Vanya pakai tank top itu buat joging. Dia juga pakai legging hitam." Ais menunjuk tank top biru yang tergantung di pagar besi miliknya. Kemudian matanya berkaca-kaca. 

"Mak-maksudmu Mbak Vanya tetangga baru kita?" Mudi menggaruk kepalanya. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Hanya ada satu pilihan. Minta maaf dan menggantinya dengan yang baru," ucap Ais tegas. 

"Apa aku yang harus ...."

"Kamu pelakunya, Mas. Jadi, kamu yang harus tanggung jawab!" 

"I-iya. Tapi temenin, ya." 

***

"Tumben sekali, Mas Mudi dan Mbak Ais datang ke sini. Ada perlu apa nih?" Vanya, seorang wanita cantik yang memiliki body goals nan indah itu menyapa ramah. Lesung pipinya begitu mempesona, mampu menarik perhatian dua pasang mata yang melihatnya.

Ais melihat jakun sang suami bergerak naik turun. Ia mencubit paha lelaki di sampingnya keras-keras dan mewanti-wanti agar menjaga pandangan. 

"Aduh, sakit!" Demi melihat mata Ais memelotot tajam ke arahnya, Mudi berusaha menjatuhkan pandangan ke lantai.

Satu-satunya lelaki dalam ruangan itu menelan ludah karena salah tingkah. Bagaimana tidak, sekeras-keras ia berusaha untuk menahannya, jiwanya bergejolak. Penampilan tetangga barunya itu sungguh menodai penglihatan. 

Sesekali ia harus menatap lawan bicaranya. Tidak mungkin Mudi menanggapi Vanya yang tengah berbicara dalam keadaan menunduk, meskipun pakaian Vanya yang sedikit kurang bahan benar-benar menguji iman. 

Ais mendekatkan mulut ke telinga sang suami dan berbisik, "Buruan minta maaf!"

Mudi terlalu larut dalam pesona Vanya, membuatnya hampir lupa tujuannya mendatangi tetangganya itu. 

"Saya mau minta maaf, Mbak Vanya." Mudi mulai mengatur napas sekaligus kalimatnya. 

"Maaf untuk apa?" Kini Vanya menjadi bertanya-tanya. Alisnya terangkat sebelah. Ia menatap Mudi penuh selidik. Namun, yang ditatap malah jadi salah tingkah kembali.

Lagi-lagi Mudi meneguk saliva saat matanya tidak sengaja bertemu dengan pandangan lawan bicaranya. 

"Anu ...."

Ais mulai sewot. Tidak habis pikir suaminya mendadak gagu seperti itu. Ia mencubit paha Mudi keras-keras.

"Sayang, apa-apaan, sih?" 

"Kelamaan," geram Ais. Giginya bergemeletuk merasa gemas. 

"Mbak Vanya, saya pikir jemuran yang ada di pagar samping rumah kami itu punya istri. Jadi, saya pakai buat ngepel. Saya kira itu celana yang udah nggak kepakai." Kalimat Mudi sedikit terpatah-patah. "Sebagai bentuk permintaan maaf, saya akan belikan yang baru, tapi besok bukan sekarang, ya," tawarnya. 

"Hah?" Vanya mendadak bengong seperti orang bodoh. Raut wajahnya pura-pura menahan amarah. Namun, kemudian ia tertawa keras-keras. 

Ais dan Mudi sontak saling bersitatap satu sama lain. 

"Kok bisa gitu? Gimana kejadiannya?" Vanya mengelap air mata yang keluar sehabis tertawa lepas. 

"Jadi, rumah kami sempet kena banjir gara-gara lupa matiin keran." Kali ini Ais menyahut, memberi penjelasan. "Saya minta tolong Mas Mudi nyari lap buat ngeringin lantai. Dia pikir itu legging punya saya. Jadi dia main ambil aja," terangnya. 

Sekali lagi Vanya menyeka air di sudut matanya menggunakan ujung jari. Ia masih belum berhenti tertawa. "Ya ampun, kalian pasangan yang lucu banget, loh. Aku nyampe nggak bisa berhenti ketawa ini."

"Jadi, Mbak Vanya nggak marah sama kami?" tanya Ais meyakinkan.

Vanya menggeleng. "Nggak lah. Nggak perlu diganti juga."

Dada Ais menjadi plong. Begitu juga dengan Mudi yang merupakan pelaku utama. 

"Saya belum genap seminggu tinggal di sini tapi kalian berhasil bikin ketawa sampai sakit perut gini. Biasanya saya galau dan nangis nggak jelas gara-gara kebanyakan nonton drama Korea. Sumpah, ini kayak lagi nonton film komedi." Vanya memegang-megang pipinya yang sakit. 

"Kami sangat berterima kasih atas kebaikan dan pengertian Mbak Vanya," ucap Mudi.

"Harusnya saya yang minta maaf karena nggak izin sama kalian, udah jemur baju di tempat orang. Soalnya saya pesan tempat jemuran di toko online tapi barangnya belum dateng juga sampai hari ini. Maaf, ya." 

"Oh, nggak papa, Mbak, kalau emang begitu kondisinya. Kalau mau, Mbak bisa pakai tempat jemuran kami kok," ujar Ais. "Sekali lagi, kami minta maaf atas kecerobohan yang udah kami lakukan."

"Nggak papa itu cuma legging murah, kok." Vanya menyungging senyum.

Senyum Vanya begitu menyihir Mudi. Wanita di hadapannya terlihat sangat cantik. "Barang murah kalau dipakai sama wanita cantik akan terlihat mahal."

Mudi benar-benar terhipnotis oleh keelokan wajah dan tubuh yang dimiliki Vanya. Sampai-sampai ia melupakan hal terpenting. Sang istri sudah memelotot ke arahnya. Pujian jujur itu tentu saja akan menjadi bumerang bagi si lelaki. Mudi menepuk jidatnya.

Benar saja, saat Ais dan Mudi kembali ke rumah, Mudi mendapatkan sebuah ganjaran. Ia dijewer oleh Ais sampai telinganya terasa hampir putus. Lelaki itu mengusap-usap telinganya yang kemerahan. 

"Kenapa sih, marah-marah terus?" tanya Mudi sehalus mungkin. 

"Ada sebab ada akibat. Bilang aja kamu tuh suka sama tetangga baru kita itu. Pakai muji-muji segala di depanku," kata Ais geram.

Mudi berpikir lelaki mana yang tidak suka melihat wajah secantik bidadari itu. Ditambah lagi kulitnya mulus dan bentuk tubuh yang ramping. Idaman semua lelaki sepertinya.

"Jangan-jangan kamu sengaja ngambil legging milik wanita itu biar bisa modus, ya? Terus kamu pura-puranya nggak tahu kalau ternyata itu bukan punyaku," gertak Ais. 

"Nggak dong, Sayang. Aku beneran nggak tahu kalau itu jemuran tetangga." Mudi berusaha membujuk sang istri. "Kamu kalau lagi cemburu manis banget, sih?" Mudi sengaja mengeluarkan jurus gombal agar sang istri segera melupakan kejadian barusan.

Sebagai wanita normal, Ais melambung tinggi saat mendapat pujian. Ia pura-pura membuang muka. Padahal sedang menyembunyikan kegirangannya.

Mudi menganggap masalah selesai. Wanita memang gampang sekali marah, tetapi gampang pula meredakannya, pikir lelaki berkulit kuning langsat itu.

***

"Sayang, aku pamit mau ke pasar dulu, ya." Ais mencium punggung tangan Mudi yang tengah menikmati teh hangat buatannya.

"Hati-hati, bawa motornya nggak usah ngebut-ngebut," pesannya. Nitip belikan onde-onde, ya." Mudi kembali menyesap teh dalam cangkir. Lelaki itu duduk bersila di atas kursi hanya mengenakan sarung kotak-kotak cokelat. Pagi-pagi begini memang syahdu sekali untuk menikmati hidup dengan ditemani segelas teh wangi melati. 

Ais menengadahkan salah satu tangan persis di depan wajah sang suami. 

"Apa?" tanya Mudi meletakkan cangkir ke atas meja yang berada di sisi kirinya.

"Duit buat beli onde-onde mana?" 

"Tadi kan, udah?" 

"Tadi seratus ribu doang. Kurang, Mas."

"Pakai duit kamu dulu, nanti aku ganti."

Bibir Ais merengut. "Halah, biasanya nggak pernah diganti."

Daripada kelamaan menunggu sang suami, yang berarti sama saja menunggu keajaiban kalau mau ngasih uang tambahan ke istrinya buat belanja. Ais menyambar helm yang tergeletak di atas meja. Hampir saja, cangkir berisi air teh di dekatnya tersenggol. Bisa-bisa suaminya langsung murka kalau sampai menjatuhkan cangkir. Itu sama saja merusak kenikmatan hidupnya di awal hari.

"Di mana-mana suami nganterin istri. Ini malah apa-apa serba harus mandiri." Ais ngedumel pakai nada yang tidak beraturan. 

Ketika motor keongnya sudah dinyalakan, perlahan melaju meninggalkan rumahnya yang memiliki halaman luas. Tiba-tiba ia dikejutkan sama makhluk putih berkaki empat. Mereka saling berpapasan. Ketika jari-jari Ais yang tiba-tiba menegang saat menarik rem, rasanya semua terlambat sudah. Sepeda motor kesayangannya itu menabrak sapi putih. Eh, si sapi hanya sedikit merasa kaget dan menepi di trotoar.

Ais berikut motor matiknya terjungkal. Si sapi yang memiliki mata besar hanya bisa memandangi korban yang terjatuh olehnya. Suara teriakan Ais cukup mengundang perhatian warga. Termasuk suaminya yang tadi asyik bersantai langsung lari tunggang langgang sembari memegangi sarung yang dikenakannya. Tubuhnya yang tak dipakaikan baju itu menampakkan perut dan payudara besar miliknya yang bergerak naik-turun.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Mudi membantu sang istri berdiri. 

Sementara itu beberapa warga mengusir si sapi yang memiliki pantat lebih putih dari tubuhnya. Si sapi yang digiring warga menoleh ke arah Ais yang merintih kesakitan. Rupanya sapi itu kadang lebih manusiawi daripada manusia. Mungkin saja binatang penghasil susu itu merasa bersalah. Seandainya saja manusia bisa mengerti bahasa makhluk berkaki empat itu, mungkin ia sudah minta maaf. 

"Maaf Mbak, Mas. Ada yang lihat sapi saya lewat sini? Tadi soalnya lepas waktu mau dimasukin ke kandang." Juki menanyai pasangan suami-istri yang sedang mengecek sepeda motor, takut lecet. 

"Sapi Mang Juki tabrakan tadi sama saya," terang Ais.

"Waduh, kenapa bisa begitu?" Juki menutupi mulut menggunakan tangan. "Sekarang sapi kesayanganku di mana? Gimana sama kondisinya?" 

"Mang Juki gimana, sih? Malah khawatir sama sapi. Ini aku lecet-lecet. Enggak takut apa kalau aku minta pertanggungjawaban?" 

Juki ikut kena omel juga. "Lah, namanya binatang enggak ada akal, Mbak. Mau nuntut saya pun enggak ada gunanya. Makanya kalau bawa kendaraan hati-hati."

"Iih Mang Juki malah nyalahin saya. Jelas-jelas sapinya yang menabrakkan diri pas saya lewat." 

"Mang, tadi sapinya digiring sama warga ke sana. Mendingan Mang Juki buruan kejar. Entar ilang, loh." Mudi menjadi wasit percekcokan antara sang istri dan Mang Juki, si peternak sapi.

"Oh, siap. Terima kasih infonya." Juki memberi hormat pada Mudi.

Langkah Juki terlihat tergesa-gesa.

"Ealah, Mbak Ais kenapa?" Kini Vanya yang menyambangi pasangan itu. Seperti biasa wanita itu suka sekali pakai baju yang menampakkan aurat. 

Celana pendek hitam dan kaus kekecilan yang menampakkan bagian perut Vanya membuat iman Mudi kocar-kacir.

"Enggak papa kok, Mbak. Cuma ada insiden kecil." Ais yang menyahut.

Mudi hanya bisa bengong melihat sang istri seperti bertemu dengan musuhnya. Kedua mata Ais menyiratkan ketidaksukaannya pada tetangga barunya itu.

"Mas, bawa motornya ke rumah!" titah Ais sedikit ketus.

"Kamu nggak jadi ke pasar?" 

"Mas, aku kan habis kecelakaan. Masa pakai nanya segala jadi apa enggak pergi ke pasar."

"Oh, iya. Kamu bisa jalan 'kan?"

"Bisa."

Mudi menunggangi sepeda motor dan membawanya ke dalam rumah. 

"Mbak Ais mau aku bantu papah?" tawar Vanya diiringi senyum.

"Nggak, makasih. Aku bisa jalan sendiri kok." Ais mulai berjalan dengan tertatih.

"Mbak, maaf."

"Ada apa lagi?" tanya Ais galak. 

"Kenapa tadi nggak ikut bonceng motor sama Mas Mudi aja?" 

Benar juga kata Vanya. Karena merasa malu, Ais enggan membalikkan badan. Ia mengetuk-ngetuk dahinya sendiri.

"Mas, kamu gimana sih? Masa aku ditinggalin. Malah kamu cuma bawa motor. Akunya nggak diboncengin." Bibir Ais tertekuk, tanda-tandanya sudah tidak enak. 

 

"Kamu sendiri yang tadi nyuruh aku bawa motor ke rumah." Mudi jadi bingung. Dituruti salah, tidak dituruti apa lagi. Wanita itu terlalu rumit. 

"Kamu inisiatif dong, Mas." 

"Terserah." Mudi hampir menarik gagang pintu ketika Ais berteriak. 

"Kamu mau ke mana? Bukannya minta maaf atau bantuin bersihin luka aku dulu. Malah ngeloyor pergi. Mau nemuin Vanya? Iya?" 

Mudi mendekati sang istri. Wajahnya tepat berada di depan muka Ais. 

"Kalau iya kenapa? Orang kok, cemburuan amat. Aku mau lanjut minum teh." Napas Mudi menguar saat berbicara, menembus lubang hidung Ais. Aromanya busuk seperti tidak pernah gosok gigi selama setahun, membuat Ais mual.

Ais mendorong tubuh sang suami hingga limbung. "Ya udahlah, Mas. Aku bisa urus sendiri lukaku ini. Kamu lanjut ngeteh aja sana."

Suami Ais itu memang memiliki masalah dengan bau mulut, tetapi lumayan susah membujuknya agar mau rutin gosok gigi setiap hari. Paling-paling lelaki itu menggosok gigi kalau mau berangkat kerja saja. Kalau sedang libur begini, gosok gigi pun ikut libur.

Kini Ais tengah sibuk membersihkan beberapa bagian pada kulitnya yang lecet menggunakan air dingin. Terutama bagian siku tangan kanannya yang menghantam aspal. Ia meringis perih saat meneteskan antiseptik ke lukanya.

"Ah, ini gara-gara sapi Mang Juki." 

Tiba-tiba darah dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. Ais mendengar suara seorang wanita yang berbincang dengan sang suami di beranda rumah. 

"Eh, Mbak Ais. Gimana keadaannya? Saya bawakan makanan. Siapa tahu Mbak Ais nggak bisa masak karena tangannya lagi sakit. Kebetulan saya bikin opor ayam dan ketupat." Vanya menyapa seramah mungkin. Namun, orang yang disapanya malah membalas dengan tatapan jengkel. 

Sejak saat itulah Vanya mulai rajin mengirimkan makanan kepada Ais dan Mudi. Hampir setiap sore, selalu ada saja makanan yang diantarkan wanita cantik itu.

***

"Apa lagi kali ini, Mas? Kenapa perempuan itu ngirim makanan terus, sih? Udah gitu makanan yang dia kasih selalu basi," sungut Ais secara tajam. Ia meletakkan piring berisi tumis sayur kacang dan beberapa potong telur dadar. Sudah ke tujuh kalinya makanan pemberian Vanya hampir basi, terkadang malah sudah tidak layak untuk dimakan.

"Kamu kalau mau nolak pemberian Mbak Vanya tinggal bilang aja ke orangnya. Jangan ngomel-ngomel terus, dong."

Alih-alih menenangkan istrinya, Mudi malah ikut-ikutan mengomel. Jadilah rumah itu diwarnai cek cok yang setiap saat bisa terjadi. 

"Aku aja yang ngomong ke Mbak Vanya biar nggak ngasih makanan terus ke kita."

"Mas, kamu mau modus?"

"Lah, salah lagi 'kan?" 

"Udah biar aku aja! Kamu duduk anteng di rumah. Bantu-bantu beresin rumah juga boleh." Ais tersenyum miring.

"Hah?"

Ais mengambil kembali piring berisi makanan setengah basi pemberian tetangga barunya itu. Ia tersenyum dan memiringkan alis saat sebuah rencana terlintas di benaknya. Langkah kakinya tertuju pada rumah bercat abu-abu tua. Hanya butuh sepuluh langkah untuk sampai di depan pintu rumah Vanya. 

Pandangan mata Ais beredar memperhatikan rak sepatu bertengger di sisi kiri pintu. Hanya sandal jepit dan sepatu flat yang mengisi rak berbahan plastik itu. Kedua matanya juga menemukan beberapa pot hitam berisikan berbagai macam tanaman hias. 

"Assalamualaikum." Ais mengetuk pintu keras-keras. Ia bersemangat sekali ingin menjalankan rencananya. 

"Wa'alaikumsalam. Eh, Mbak Ais." Vanya menelisik piring di tangan Ais beserta isinya yang masih utuh. Ada yang aneh, tapi ia berusaha tetap bersikap wajar. "Silakan masuk, Mbak." 

"Mbak, aku kembalikan piringnya, ya. Makasih banyak loh, udah rajin kirim makanan. Kayaknya Mbak Vanya nggak usah repot-repot kirim makanan lagi. Udah itu aja, aku langsung pamit, ya." Batin Ais tersenyum lebar. Ia hanya ingin membuat Vanya sadar dari kesalahan. 

Vanya termenung. Ia menghidu aroma makanan yang ada di piring.

"Apa? Jadi makanan ini basi?" Dari situlah wanita ber-body goals itu menyadari sesuatu. Bagaimana tidak Ais terlihat benci padanya. Niat hati ingin berbagi makanan, tetapi kecerobohan membuatnya malu tujuh turunan. 

"Mbak Ais." Vanya meletakkan piring ke lantai begitu saja. Beberapa potong kacang panjang lompat dari wadahnya. 

"Ada apa lagi, Mbak?" Muka Ais masih terlihat kesal. 

"Maaf, Mbak. Sebenarnya saya baru sadar kalau makanan itu basi. Sungguh, saya bukan sengaja mau ngasih makanan yang sudah tidak layak makan tersebut. Saya pikir karena takut mubazir jadi saya bagiin ke Mbak Ais. Saya ceroboh karena enggak ngecek dulu. Sekali lagi saya minta maaf." Raut wajah Vanya menunjukkan penyesalan.

"Baiklah, karena Mbak Vanya udah mau minta maaf dan menyesali perbuatan. Sebagai manusia biasa tentu saya harus memberikan maaf bagi yang memintanya." Mudah bagi Ais untuk memaafkan orang lain. Terlebih lagi orang itu dengan rendah hati mau mengakui kesalahannya. Akan tetapi, hatinya tetap tidak tenang selama ia melihat seorang wanita yang bertubuh proposional selalu membuka aurat. Ia khawatir suaminya bisa tergoda.

"Terima kasih banyak, Mbak Ais."

Ais ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak dapat melakukannya. Ia hanya mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Vanya. 

"Kamu habis ngapain?"tanya Mudi penasaran. Ia takut kalau sang istri bicara keceplosan atau menyinggung perasaan tetangga barunya. 

"Balikin piring tetangga," jawab Ais datar.

"Sama isinya?" 

"Iyalah, Mas. Emang kamu mau makan makanan basi?" 

"Bukan begitu. Kamu kan, bisa balikin piringnya aja. Enggak enak tahu sama Mbak Vanya. Bisa aja niat dia baik. Apa lagi dia masih tergolong baru di lingkungan ini."

"Kamu suka sama dia, ya, Mas? Belain terus perasaan," gerutu Ais.

Gara-gara masalah jemuran waktu itu, ternyata jadi berbuntut panjang sampai hari ini. Rasa cemburu Ais tak kunjung berkesudahan. Mudi hanya bisa mengelus dada.

"Aku mau cari angin. Sumpek di rumah terus."

"Loh, cari angin kok, pakai bawa motor segala?" Mudi hendak protes ketika sang istri menunggangi motor keongnya. "Kan bisa nyalain AC atau kipas angin?" 

"Mau cari angin alami."

Tunggu! Sepertinya Ais mencium aroma bau busuk berterbangan di sekitarnya. Melihat Mudi cengengesan, membuat Ais semakin kesal saja.

"Mas, kamu makan apaan, sih? Kentutnya bau banget." Ais mengibaskan tangannya. Wanita itu buru-buru mengenakan helmet sebelum berubah pikiran. 

"Itu angin alami," kata Mudi sembari menggaruk kepala. Ia tersenyum amat kaku, sekaku kanebo kering.

Sekeras apa pun Mudi berjuang menghentikan sang istri, ia tetap tidak bisa. Ais sudah menyalakan sepeda motornya, membuat roda berputar dan melaju ke arah gerbang. 

"Awaaaaaas!" Ais berteriak kala melihat seorang anak laki-laki sedang melintas tepat di depannya. Untung saja, tangannya gesit mengerem sehingga kecelakaan tidak terjadi. Tempat kejadiannya sama dengan beberapa waktu lalu saat dirinya menabrak sapi milik Mang Juki.

"Huh, Dasar anak nakal!" Ais berseru gemas.

Tiba-tiba Vanya datang bersama seorang laki-laki. Tangan mereka saling bergandengan. Keduanya terlihat serasi sebagai pasangan. Laki-laki itu memiliki badan yang atletis.

"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya lelaki yang bersama Vanya. Anak kecil yang tadi hampir tertabrak motor Ais menggeleng.

"Maafkan anak kami, ya, Mbak. Dia belum terlalu akrab sama daerah sini." Kini Vanya mengajukan permohonan maaf untuk ke sekian kalinya dengan kasus yang berbeda.

"A-anak?" 

Kalau anak kecil itu adalah putra Vanya, berarti lelaki dewasa yang bersamanya adalah sang suami. Ais meneguk saliva.

"Iya, Mbak Ais. Kebetulan anak dan suami saya baru pulang dari Surakarta, dari tempat neneknya." Vanya menyungging senyum seperti biasa. 

Entah apa yang harus diucapkan Ais sekarang. Dia malu bukan kepalang. Ternyata wanita yang membuatnya cemburu selama ini sudah berkeluarga.

"Oh, baguslah."

"Kenapa, Mbak?" tanya Vanya sedikit bingung.

"Ah, anu. Nggak papa kok, Mbak Vanya. Kalau gitu saya duluan, ya." Ais menarik gas motornya sebelum Mudi datang menghampirinya.

Suara Ais yang tadi refleks keluar pasti terdengar oleh sang suami. Bisa-bisa suaminya berceramah panjang-lebar. Menghilang adalah jalan ninjanya untuk menyembunyikan rasa malu. Ia tidak mau jadi bulan-bulanan sang suami karena telah salah sangka pada tetangganya itu. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Serasa masuk ke dalam ceritanya hihi seru
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi