Disukai
0
Dilihat
162
Pendar
Slice of Life

Sore menjelang maghrib, Sarkam tersenyum sumringah. 

Upah hasil buruhnya hari ini lebih banyak dari biasanya. Dengan mata berbinar ia menyaksikan bos mandor sedang menghitung uang yang akan dibayarkan kepadanya.

Setelah menerima uang harian hasil kerja, lelaki tersebut melangkah pergi dengan rasa syukur. Ia membayangkan tambahan satu potong tempe dan satu potong tahu yang akan mampu dibelinya besok untuk lauk tambahan santap siang. Sungguh bahagia rasanya...

Namun sekejap Sarkam menghentikan langkah kakinya, kemudian berbalik arah kembali. Ia baru ingat belum mengucapkan terima kasih dan berpamitan dengan atasannya itu. 

Tinggal sedikit lagi sampai, matanya melihat seorang perempuan sedang berdiri di bawah pohon besar. Namun karena sudah malam, ia belum bisa melihat jelas siapa sosok perempuan yang ternyata sedang memperhatikannya itu.

Dipicu rasa penasaran, Sarkam terus berjalan maju, meskipun ia mulai merasakan jantungnya berdegup keras.

Lalu saat jarak semakin dekat, sontak matanya terbelalak. Dengan jelas ia melihat bahwa perempuan tersebut, adalah sosok tanpa kepala, serta tubuhnya penuh dengan darah. 

Sarkam ketakutan dan ingin segera membalikkan badan untuk berlari sekencang-kencangnya, namun kakinya seperti terkunci tidak bisa digerakkan. 

Sosok mengerikan itu berjalan maju mendekat.

Kemudian Sarkam jatuh pingsan. 

***

Sarkam, adalah pekerja buruh harian di sebuah perkebunan teh. 

Ia tinggal seorang diri di rumah saudaranya yang sudah tidak dipakai lagi. Istrinya meminta cerai karena Sarkam tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. 

Setelah resmi bercerai, istrinya pergi ke kota, lalu menikah lagi dengan lelaki lain. Anak semata wayang mereka juga turut dibawa sang istri. 

Rumah yang ditempati Sarkam sebetulnya cukup luas namun tidak berpintu. Bahkan ruang depannya tidak berdinding sehingga seolah teras rumah. Satu ruang kamar lagi dipergunakan untuk kandang ayam.

Dinding rumahnya hanya bilik bambu dan triplek. Lantainya masih tanah dan berdebu. Kamar mandi ikut ke rumah tetangganya. Sedangkan penerangan mengandalkan familinya, yang hanya berupa satu buah lampu di kamar tidur.

***

Sarkam sedang asyik makan nasi dengan lauk satu tempe goreng, satu tahu goreng, dan kerupuk di warung nasi langganan. 

Baginya makan siang hari ini berbeda dari hari-hari biasa. Karena biasanya ia hanya makan nasi dengan lauk kerupuk yang dibelah menjadi tiga untuk tiga kali makan: makan pagi, makan siang, dan makan malam. 

Ketika suapan terakhir, pandangannya tanpa sengaja membaca sebuah berita pada koran yang tergeletak tidak jauh darinya. Isi singkat beritanya, adalah telah ditemukan sebuah potongan tubuh manusia. 

Saat itu juga hatinya berdesir. Perutnya yang saat itu terasa kenyang sontak menjadi mual. Nafasnya sesak. Sarkam ingat bahwa ia menyaksikan kejadian nahas itu beberapa waktu yang lalu.

Tolong aku, tolong…

Bersama dengan desiran angin di siang itu sebuah bisikan pelan terdengar di telinga Sarkam. 

Jantung Sarkam berdetak keras. Ia menundukkan kepala, dan berusaha menepis suara tersebut. 

Namun saat kepalanya tertunduk, tiba tiba Sarkam melihat tubuh dan kaki sebatas lutut tanpa alas sedang duduk di sebelah kanannya. Kaki tersebut kotor dan berlumuran darah kering. 

Sarkam menggigil ketakutan. Ia tidak berani mengangkat kepalanya. Badannya kaku, lidahnya kelu.

Tak lama kemudian sepasang kaki tersebut lenyap dari pandangan mata. 

***

Sarkam berusaha melupakan kejadian seram yang beberapa kali dialaminya.

Pagi itu selesai melakukan sholat subuh, ia segera berangkat ke perkebunan. Ia sengaja ingin datang lebih awal, agar bisa mendapatkan lagi upah lebih banyak. 

***

Sampai di perkebunan, Sarkam segera mengenakan topi camping, dan mengambil peralatan memetik.

Ia mulai bekerja. Dengan teliti lelaki buruh itu mulai memetik pucuk dan daun teh yang masih muda, kemudian memasukkannya ke bakul. 

Selain Sarkam, pagi itu juga sudah ada beberapa teman sesama buruh harian yang sudah mulai bekerja.

Kemudian mata Sarkam entah mengapa tertuju kepada seorang buruh perempuan yang sedang berdiri membelakanginya. Perempuan itu berada di beberapa baris pohon teh di depan Sarkam. 

Camping, pakaian, dan bakul yang dibawa perempuan itu sama dengan yang lain. Yang membuatnya berbeda, adalah karena si perempuan itu hanya berdiri tegak, tidak ada pergerakan memetik daun teh sedikit pun. 

Sadar karena ada yang sedang memandangnya, si buruh perempuan lalu menengok ke belakang, ke arah Sarkam. 

Sarkam terkejut. Wajah buruh perempuan itu mirip sekali dengan Sumini. 

Namun hanya berselang beberapa menit kemudian, mata dan hidung si perempuan mulai mengeluarkan banyak darah berwarna merah segar. Sementara kepalanya lalu jatuh menggelinding ke tanah. 

Sarkam membeku ketakutan. Bayangan kejadian yang menimpa Sumini berputar lagi di ingatannya.

Ia masih mengingat jelas bagaimana Sumini pada malam itu sempat memohon kepadanya, agar Sarkam tidak takut untuk menolongnya. 

***

Saat itu malam sudah mulai turun. Mandor Kardi, mandor Sulyadi, mandor Pono sedang duduk-duduk di warung dekat perkebunan. 

Beberapa buruh harian yang lewat tidak mereka pedulikan. Mandor-mandor itu asyik berpesta pora menikmati minuman keras. 

Kepulan asap sate kambing di atas panggangan arang tampak mendominasi, berupa awan putih sedikit menghiasi angkasa.

Kedai yang berada tidak jauh dari lokasi perkebunan terletak di jalan setapak yang tidak terlalu lebar. Dari kedai itu, terlihat jelas pemandangan luasnya perkebunan teh tempat penduduk desa bekerja mencari sesuap nasi.

Malam terus semakin larut, tawa keras tiga mandor masih saja terdengar, bahkan semakin keras. Tampaknya mereka sudah makin terpengaruh dengan minuman yang mereka nikmati. Beberapa botol sudah kosong habis tak tersisa, bergeletakan dan berantakan di meja kedai.

Dari kejauhan, tampak seorang perempuan muda sedang berjalan pelan menuju tempat tersebut. Nama perempuan itu, adalah Sumini.

***

Sumini, adalah kembang desa. Janda cantik tanpa anak yang digandrungi banyak lelaki. Sama seperti penduduk desa lainnya, Sumini juga menjadi buruh harian di perkebunan teh. 

Setiap hari mandor Kardi, mandor Sulyadi, mandor Pono selalu sengaja curi-curi pandang ke arah Sumini, ketika perempuan tersebut sedang bekerja memetik daun teh. 

Bukan hanya itu, mereka juga sering menggoda dan merayu Sumini, walaupun Sumini hanya mendiamkan, atau menghindar karena merasa takut terhadap tiga bosnya itu.  

***

Malam itu Sumini sedang berjalan pulang. Jalan di depan kedai merupakan jalan pintas menuju rumahnya. Sumini memilih jalan tersebut agar bisa cepat beristirahat.

Salah satu dari tiga mandor melihat Sumini. Tawanya berhenti, lalu dengan sepasang mata yang sudah mulai merah akibat mabuk, ia memberikan kode kepada dua temannya. 

Tiga mandor tanpa basa basi menghampiri Sumini. Sambil tertawa mereka berdiri melingkari Sumini. 

Sumini menjadi pelampiasan hasrat sang mandor.

Sumini kemudian memberikan sebuah tamparan keras. Ia merasa tersinggung dengan sikap kurang ajar tersebut.

Bukannya marah, sang mandor justru tertawa. Maka tanpa membuang waktu, diterjangnya lagi Sumini. Kali ini dua temannya ikut membantu.

Sumini pada akhirnya hanya bisa pasrah ketika tiga mandor membawanya ke tengah kebun teh. 

***

Dari kejauhan, Sarkam merekam jelas kejadian di depan matanya.

Dengan diam-diam dan perlahan Sarkam mengikuti kemana tiga mandor membawa Sumini. Ia bersikap sangat hati-hati sekali. Bahkan barang yang kebetulan sedang dibawa, ditinggalkannya begitu saja. Sarkam tidak mau keberadaannya diketahui, meski situasi dan keadaan gelap. 

Sarkam melihat bagaimana tiga mandor melucuti Sumini, lalu bergantian menikmati tubuh buruh perempuan cantik itu.

Namun mengingat hanya seorang diri, Sarkam pun takut dengan si tiga mandor. Maka Sarkam hanya bisa menyaksikan saja kejadian tersebut dengan tubuh gemetaran.

***

Pesta baru saja usai. Sumini yang sudah hampir tidak sadarkan diri, merasa tidak terima atas perlakuan tiga mandor. 

Sumini sadar kalau ia hanya buruh rendahan dan miskin. Tapi ia juga masih memiliki harga diri. 

Buruh perempuan itu tidak rela tubuhnya menjadi bulan-bulanan hasrat tiga mandor yang mabuk berat. 

Dengan sisa tenaganya, Sumini berusaha menggapai apapun yang mampu ia gapai untuk membalaskan sakit hatinya. 

Sebongkah batu berhasil diraihnya. Sumini memukul salah seorang dari tiga mandor. Mandor yang terkena hantaman mengerang. Seketika itu pula amarahnya meluap. Si mandor memukul kepala Sumini hingga perempuan itu tak sadarkan diri. 

Tiga mandor kemudian pergi meninggalkan Sumini yang tergeletak tanpa sehelai pakaian di tempat tersebut. 

***

Sarkam menarik nafas lega. Melihat tiga mandor pergi, ia segera mengendap-ngendap menghampiri Sumini. 

Sarkam membantu Sumini mengenakan pakaian, lalu mengangkat dan menyandarkan tubuh perempuan tersebut ke pangkuannya. 

Sumini mulai siuman, lalu tersenyum. Matanya mengenali Sarkam, teman sesama buruh harian di perkebunan. 

Sarkam berusaha membopong Sumini, bermaksud untuk membawanya ke tempat yang aman. Namun sayup-sayup ia mendengar tawa keras tiga mandor. 

Sarkam panik. 

Sarkam memiliki hati baik. Ia juga berniat menolong Sumini. Namun nyalinya tidak sama besar dengan hati baiknya.

Sarkam segera meninggalkan Sumini, lalu berlari masuk kembali ke tempat ia bersembunyi tadi. 

***

Sarkam memandang tanpa kedip. Dari persembunyiannya, ia menyaksikan tiga mandor memisahkan kepala dan tubuh Sumini dengan parang tajam. 

Kepala Sumini dimasukkan ke dalam karung. Sedangkan tubuhnya lalu dipotong-potong menjadi beberapa bagian.

Sarkam merekam jelas kejadian yang disaksikannya. Tubuh lelaki itu gemetaran.

***

Sejak kejadian nahas itu, arwah Sumini sering menghantui Sarkam. 

Beberapa kali Sarkam terbangun dari tidur di tengah malam karena ada potongan tangan yang menggoyang kakinya. 

Di saat sedang memetik daun teh, ia juga melihat potongan kepala menyeringai tergeletak di samping telapak kakinya.

Saat berjalan pulang ke rumah selalu saja perjalanannya dihadang oleh potongan tubuh manusia berlumuran darah.

Bahkan yang lebih parah lagi, setiap kali sedang mandi, air yang dipakainya sering berubah warna menjadi warna merah darah.

Ia tahu, semua gangguan yang dialaminya merupakan bentuk dari permintaan Sumini agar Sarkam melaporkan kejadian yang menimpa Sumini ke pihak yang berwajib.

Namun Sarkam tetap bahkan makin berkeras hati untuk bungkam karena takut. Lelaki itu tidak mau nyawanya juga ikut terancam oleh tiga mandor. 

Teror arwah Sumini membuat Sarkam nyaris gila. 

***

Hingga pada akhirnya Sarkam mencapai sebuah titik. Sebuah titik di mana hati nuraninya memenangkan pertarungan. Sebuah suara kecil menyeruak dari dalam hatinya. 

Bibit nurani yang sebelumnya hanya sebuah pendar cahaya, yang terkadang menyala kecil, terkadang redup, bahkan sampai mati tidak menyala, kini mampu mengalahkan dominasi rasa takut dan logika keselamatan dirinya sendiri.

Sarkam kini tidak lagi takut jikalau nyawanya sendiri yang akan menjadi taruhan. 

Ia merasa bahwa selama hidupnya ia belum pernah berbuat baik. 

Saat inilah kesempatan itu. Dirinya tidak akan menyia-nyiakannya.

Sarkam lalu membeberkan semuanya yang ia saksikan kepada polisi.

***

Di malam yang hening, Sarkam hanya bisa mengerang saat beberapa tusukan pisau menghujam tubuhnya. Sarkam pun tumbang. Kesadarannya mulai hilang, bersama dengan mengalirnya darah. 

Namun sebelum kedua matanya benar benar tertutup, Sarkam masih sempat mendengar beberapa kali letusan senjata api, yang diiringi dengan tubuh tiga mandor yang menggelepar kehilangan nyawa.

***Tamat***


"A life without conscious is a failed life."- Martha Stout

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi