Disukai
2
Dilihat
4,178
Empat Air Mata yang Jatuh Bersama Gerimis
Thriller

Lima tahun lalu, kala aku turun sore itu, suaminya pergi terburu-buru. Sempat menitip pesan, "Jaga anak kita, jaga sawah kita." Lalu sang suami, berjalan tergesa di atas pematang sawah hingga menghilang dalam pandangan, dalam gerimis. Lalu tak pernah kembali.

Kepergian suami, sangat membekas di ingatan perempuan itu hingga kini. Ingatan yang terulang-ulang terolah membuahkan cerita untuk anaknya yang baru beranjak usia lima tahun, yang mulai bertanya kapan Ayah pulang.

"Ayahmu tidak bisa pulang lagi. Ayahmu telah luruh dimakan gerimis. Lalu menyesap dalam tanah sawah kita."

Anaknya senang mendengar cerita ibunya. Anaknya berlari di atas pematang sawah. Dalam bayangnya, ayah berati ada di sawah. Telah menyatu bersama rumpun padi yang menguning. Ayah ada di dekatnya. Tidak jauh-jauh.

Anak itu membayangkan dirinya burung hujan. Maka dikepakkan kedua tangannya sambil berlari. Jantungnya berdegup kencang bahagia. Lelah ia, berdiri sejenak. Ia hirup dalam-dalam udara tanah sawah yang khas. Di sudut mata, meleleh air matanya. Bahagia. Namun tak seorang pun bisa melihatbair matanya karena telah bersatu bersama gerimisku.

Karena dingin, suhu tubuh normal si anak menurun. Mengembangkan pula secuil daging serupa balon di pangkal hidungnya yang menghambat aliran oksigen keluar-masuk. Tersengal-sengal si anak. Memaksa diri untuk bernafas.

Gerimisku yang telah terkontaminasi debu dan zat-zat pupuk kimia yang merusak tubuh yang manusia sendiri ciptakan, terhirup oleh si anak. Maka makin berpacu jantungnya. Sesak si Anak. Si anak pun tumbang pingsan di rerumpun padi, yang dibayangkannya ada dalam pelukan ayah.

***

Di taman belakang puskesmas, perempuan itu terus membiarkan wajah dipapar gerimisku. Air mata meleleh jatuh dari sudut matanya. Mengingatkanku pada air mata anaknya yang meleleh bersamaku.

"Kenapa kau makan anakku, Gerimis?" hati perempuan itu bertanya padaku. Karena tak bisa ikut masuk melihat anaknya di ruang UGD, perempuan itu datang memelukku.

Aku menjawab dengan bertanya, "Kenapa kau ceritakan pada anakmu, bahwa ayahnya luruh dimakan gerimisku dan tersesap dalam tanah sawah?"

"Aku tak bisa berterus terang. Bagaimana bisa kubilang ayahnya telah tiada. Setiap kau turun, membuncah hatinya. Menyala binar matanya. Tersenyum bibirnya. Ia merasakan ayahnya hadir di sawah bersamamu. Jadi, bagaimana bisa kuberi pengertian padanya agar tak mati nyala hatinya, tak redup binar matanya, tak hilang senyumnya? Aku tak tega memenggal kebahagiaannya. Maka, kubiarkan ia bermain dalam pelukanmu wahai Gerimis."

Perempuan itu telah menjawab sendiri atas resah hatinya.

"Suamiku telah kau makan. Jangan kini kau makan pula anakku," lanjutnya.

Aku sesungguhnya tidak memakan kekuatan anaknya. Tidak pula menghilangkan suaminya. Aku pada hakikatnya bersih dan suci. Namun, udara yang mengandung debu dan zat-zat beracun itu, ikut menempel bersamaku. Kubiarkan diriku kotor demi bersih udara buat manusia.

Bukankah sejuk udara merasuk dada saat dan usai gerimis datang? Senang kalian mengaromai petrikor; aroma alam sehabis hujan di tanah kering. Hingga hilang perasaan berat, lempang pikiran, bahkan menumbuhkan kenangan.

Akan tetapi, sejuk gerimis berubah mengiris sejak dia yang tercinta menghilang dalam gerimis.

Lima tahun lalu, sebenarnya si suami bergegas pergi karena nyawa terancam. Suami tak punya kekuatan melawan dan melindungi diri. Hanya punya mulut yang lantang memprotes keras imbauan dan rayuan kepala desa menjual sawah untuk dialihfungsikan jadi industri dan pabrik. Si suami teguh pendirian tak mau jual sawah.

Si suami protes ke Kepala Desa tetapi tidak membuahkan hasil. Kepala Desa justru setuju sawah warga dijual saja dengan alasan tidak menjanjikan atau prospek lagi bersawah. Kepala Desa sebenarnya hanya tergiur dengan fee besar yang dijanjikan perusahaan dari setiap meter tanah sawah yang terjual.

Suami pun dibenci Kepala Desa dan perusahaan. Ia pun dicari dan diancam. Jadi lima tahu lalu, si suami tak berhasil menyelamatkan diri saat dicegat mobil dan orang-orang tak dikenal membekapnya. Empat pria dari mobil itu menangkap si suami. Sempat ia melawan, tapi kalah kekuatan.

Suami lalu dibekap mulut, dimasukkan ke mobil, lalu dibawa pergi.

"Kalau kau masih mau hidup, jual saja sawahmu!" bentak salah seorang di antara empat lelaki berposter aparat atau preman.

Suami menggeleng. Darah telah mengucur dari pelipis yang sobek.

"Jarang-jarang ada tawaran tinggi. Bukan sedikit uang yang kita terima. Kenapa kau bodoh sekali?!

Gedebuk! Dihantam lagi, suami tetap tidak mau jual sawahnya.

"Uang itu bisa kau pakai beli rumah baru, modal usaha, bisa bersisa juga untuk tabungan," bujuk orang-orang tak dikenal itu.

Karena tetap tidak, suami disiksa dan ditinggalkan di hutan. Dibekap mulut dan diikat di bawah pohon besar. Sendiri dalam malam, dalam gigil.

Keesokan harinya, mereka mendatangi lagi.

"Apa masih keras kepala?"

Suami tetap pendirian tak menjual sawah. Ia mau memaki. Tapi hanya terdengar mengeram marah pada mereka yang main keroyokan.

"Kenapa kau keras kepala sekali. Kau bakal mati di sini karena keras kepalamu sendiri! Jangan pikir kau bisa melawan. Tak ada yang berpihak padamu. Warga sudah setuju menjual. Cuma tinggal kau lagi."

Ia tak percaya.

"Kondisi tanah kita sudah kurang bagus. Biaya pengolahan juga udah gak seimbang dengan hasil panen. Biaya pupuk dan obat-obatan makin mahal. Mending kita beralif profesi. Masih banyak jalan cari duit."

Ia bergeming. Ia masih bertahan.

Ia percaya Masih mendapat untung dari sawah, meskipun sedikit nilai uang. Mereka menjual sawah atau beralih dari petani, karena banyak perlu dicukupkan untuk hidup masa kini dengan uang. Sawah tidak bisa banyak mencetak uang. Jika panen, hasil jual tidak banyak karena biaya operasional makin tinggi.

Salah seorang mereka menimpuk kepalanya. Menjambaknya. "Apa kau tak sayang istri dan anak yang sedang dikandungnya? Siapa menjaganya jika kau mati?!" geram ia.

Si suami ditinggalkan lagi dalam hutan. Sudah begitu lemah. Sekarat. Ia merasa dirinya akan berpulang.

Bersama gerimisku, ia berdoa, jangan sampai sawahnya terjual. Pada-Nya dan sawah, ia serahkan kelanjutan hidup istri dan anaknya. Memberi kehidupan dengam sawah. Jika pun tak banyak, tapi cukup buat hidup.

Sekali lagi ia berharap, jangan sampai sawah itu dijual istrinya. Pada sawah, ada kehidupan yang berkelanjutan. Sawah memang tak mencukupi gaya hidup masa kini, tetapi sawah bisa mencukupi kebutuhan hidup.

Dari sudut matanya, air matanya jatuh bersama gerimisku. Selang tak lama, nafasnya terpenggal-penggal dengan jarak yang lama. Lalu nafasnya berhenti.

Angin diam. Burung-burung diam. Pohon-pohon diam. Aku seka wajah dan membasuh lukanya.

Kulit pepohonan yang merekah dan menampung gerimisku, tak tahan untuk tak jatuh. Jatuh pula ke bumi. Kelak pohon-pohon itu pun ditebang habis untuk gaya hidup masa kini yang tak pernah tercukupkan. ***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@foggy81 : Thanks, Fo. Moga berarti. Sehat dan bahagia selalu.
ya ampun, cerpen sustainable living yang apik, keren Kak!
Kepala Desa macam apa ini???? Tidak bisa mengayomi warganya. Sungguh, KEJAM😡😡.
Rekomendasi dari Thriller
Rekomendasi