Disukai
0
Dilihat
1,355
Di Balik Tirai
Religi

Rp 300.000,00 melenggang dengan senyum di dompet warna cokelat kesayangan gadis berkerudung jingga yang sedang asyik bersantai di depan televisi. Biasanya lembaran warna merah itu tak pernah singgah dengan sungguh di sana. Kali ini berbeda, Bapak Proklamasi itu masih betah bertahan dan memecahkan rekor selama satu pekan.

Minggu ini, tak banyak pengeluaran dan tak sedikit pemasukan. Mulai hari Senin sampai 24 jam sebelum hari ini, Minggu, Dhira tak henti-hentinya membanting-banting badannya sampai ke tulang-tulangnya. Dari pulang kuliah sampai hampir pukul sembilan malam, ia menjadi wanita panggilan setiap harinya. Dari pintu ke pintu menjual otaknya demi masa depan seorang anak yang konon katanya tidak akan menjadi manusia jika nilai matematikanya kurang dari delapan. Nah, sekarang mereka masih menjadi gumiho. Jika mereka lulus dengan nilai lebih dari sembilan, maka jadilah mereka manusia seutuhnya.

Hari ini, Dhira tak ingin menjalankan misi mengubah gumiho. Ia hanya ingin duduk bersantai melihat Lee Min Hoo dalam serial drama kesayangan. Toh kebutuhan selama seminggu ke depan sudah terjamin dengan adanya tiga lembaran merah di dompetnya. Bagian tubuh terpentingnya sudah lelah, letih, lesu. Setiap hari syaraf-syarafnya memanggil-manggil informasi tak lazim bagi khalayak umum. Walaupun sudah menjadi makanan sehari-hari, istilah trigonometri seperti sin, cos dan kawan-kawan masih saja berhasil membuat harinya suram. Rumus-rumus trigonometri itu berhasil menghantui di setiap mimpinya. Tidurnya tak nyenyak minggu ini. Pekan ujian untuk siswa-siswa remaja menjadi pekan terheboh bagi mentor kecil bertubuh cokelat ini.

"Halo, Mbak Dhira? Maaf mbak, bisa ke rumah sekarang ndak? Aduh, aku kemarin sakit, jadi baru besok ujian matematikanya. Mamaku bisa marah ini kalau sampai nilaiku di bawah KKM. Ya mbak ya? Yuk bisa yuk!"

Dengan lemas Dhira menutup smartphone di genggamannya. Dia tak sanggup menolak permintaan klien yang baru saja merengek non jauh di sana. Dia adalah putri bos laundry pasar Blimbing dekat tempat kurus di mana dia menggantungkan lehernya selama kuliah ini. Selain bos laundry, bapaknya adalah pemilik tempat kursus itu. Nah, bayangkan jika ia menolak permintaannya, bagaimana nasib dompetnya? Walhasil, dia akan kehilangan senyum Pak Karno sampai pekerjaan selanjutnya menjemput.

Senyum Lee min Hoo pun tinggal kenangan. Motor buntutnya mengerang kesakitan oleh tangan kasar Dhira.

Teretek tek tek tek tek tek tek ...

Suaranya ringan tapi menggema di sepanjang satu km ke depan dan belakang mereka, Dhira dan motornya. Sepeda motor dua tag itu dengan sabar meladeni kekesalan Dhira. Sepanjang jalan, omelan Dhira menderu sekencang suara motor bebek hitam yang terlihat kesakitan karena umurnya yang sudah tak layak untuk berumur.

"Hiiiih, kenapa sih harus les? Kan sudah pintar? Bapaknya juga lebih smart dibanding smartphone buatan Kamerun kan?" Keluh Dhira seenaknya.

Motor butut yang sedari tadi diajaknya berkeluh kesah, seolah mendengarnya.

Terek tek tek tek tek ....

Bunyinya semakin kencang. Semakin kesal Dhira mendengarnya. Semakin kencang tangan kanannya memutar stang sebelah kanan.

Terek tek tek tek tek ....

Terdengar lebih kencang lagi. Tetapi suaranya berbanding terbalik dengan kecepatannya. Semakin kencang suaranya, semakin lambat lajunya. Sampai akhirnya ....

Terek tek ... tek ... tek ... Teeeek.

Suaranya melemah dan habis. Wajah Dhira memerah. Dari kepala dan telinganya keluar asap mengepul. Kakinya menginjak-injak starter kemerahan dengan kasar.

Terek tek teeeek ...

Terek tek teeeek ...

Teeeek ....

Tiga kali motor itu berbunyi, tiga kali pula suara "hah" Keluar dari bibir manyun Dhira.

"Ya, Allah!" Kali ini dia mengeluh pada Tuhannya.

"Sabar-sabar!" Dhira menenangkan diri sambil mengelus-elus kepalanya yang dari tadi sudah mulai tertutup asap.

"Sabar-sabar!" Ia mencoba menenangkan diri lagi tapi dengan frekuensi yang sedikit tinggi dan amplitudo yang lebih besar dari semula.

"Ya, Allah!" keluhnya terlontar sekali lagi.

"Ya, Allah!" lebih keras lagi.

Dengan kasar bebek hitam itu ia seret ke depan dan berharap ada lelaki tampan nan gagah membantu menyeretnya. Tetapi sungguh naas, sudah 15 menit berlalu, yang melewatinya hanya sekelompok anak kecil yang bertanya, "mogok ya mbak?" hanya itu. Selain itu, hanya makhluk makhluk ghaib di sekitarnya yang menyoraki kemarahannya.

"Macet, Dhek?" Suara berat dari arah samping memberi secercah harapan untuk Dhira. Orang itu membawa seperangkat alat bengkel lengkap dengan tabung berisi gas. Senyum manisnya terbalaskan oleh senyum lega Dhira. Ia terlalu asyik mengutuki diri sepanjang jalan kenangan sehingga tak menyadari telah melewatkan bengkel penyelamat jika tidak ada suara khas abang tadi.

"Alhamdulillah ... Ini bang macet!" Cepat-cepat Dhira memberikan kunci hidupnya, eh, kunci motornya ke abang manis.

Dengan cekatan abang bengkel memeriksa motor tua Dhira.

"Yah, ini sih businya mbak, tuh lihat penuh oli!" kata abang bengkel penuh bangga.

Dhira hanya nyengir sambil menundukkan kepalanya sedikit. Biasanya, gadis ini sudah paham betul penyakit motornya itu. Dalam keadaan normal, jika tiba-tiba motornya macet, dia langsung ambil posisi jongkok lalu mengeluarkan busi, serbet kotor, dan selembar kecil ampelas. Ia bersihkan sendiri busi hitam itu, lalu sedikit menggosokkan ujung busi dengan ampelas, kemudian di pasang lagi, jalan lagi deh motornya. Tapi, kali ini berbeda, hatinya sudah kadung dipenuhi dengan rasa kecewa berlebihan karena harinya bersama Lee Min Hoo terganggu. Jadi, terganggu pula lah kesehatan mentalnya.

"Lima puluh ribu, Mbak," tagih abang manis.

"Hah!" Dhira hanya bengong di depan abang bengkel yang sudah tak manis lagi.

Mahal sekali!

Dhira mengeluh dalam hati.

Tiga lembar Pak Karno sekarang tinggal dua lembar dan ditemani selembar menteri keuangannya, Pak Djuanda.

Tulang Dhira yang selama seminggu sudah terbanting, sekarang sudah mulai berkurang massanya seiring berkurangnya isi dompet cokelat kesayangan. Ia melanjutkan perjalanan dengan lemas dan malas. Jarum jam tangannya sudah menunjukkan pukul 15.50. Sepuluh menit lagi ia harus sudah sampai di rumah bosnya. Tapi kelihatannya perjalanan masih membutuhkan waktu 20 menit lagi. Tak apalah, asalkan Pak karno kembali dengan selamat.

Cessss ....

Tiba-tiba, bebek hitam berjalan dengan tak seimbang. Dhira sempoyongan menjalankannya. Sebatang paku berkarat 24 menancap mantab di roda bagian belakang.

Aduh, apa lagi ini?

Keluh Dhira dalam hati.

"Ya, Allah!" keluh Dhira di luar hati.

Terpaksa sekali lagi ia harus menyeret bebek malang dengan lemah lunglai. Kali ini, ia sudah tak punya tenaga untuk memerahkan wajahnya, mengepulkan asapnya, bahkan untuk berharap ada lelaki tangguh membantunya. Ia hanya mendorong dan sesekali menumpangi motor keluaran 1986 kesayangannya. Sebenarnya terpaksa sayang, karena hanya itu kendaraan yang ia miliki.

"Bocor ya mbak?"

Kali ini bukan lagi abang manis, tapi bapak gembul dengan kaus putih tips berkalung serbet yang tak lagi putih.

"Nggih, Pak," Jawab Dhira lemas.

Dhira melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.10 WIB. Sudah sangat terlambat untuk pergi ke rumah bos laundry.

"Halo, Mbak! Kok belum datang?"

Ada gumiho yang sedang gusar di meja belajarnya.

"Maaf, ya! Sepeda motor mbak bocor diperjalanan. Bagaimana ya?" Dhira berharap jadwalnya dibatalkan.

"Yah, ya sudah! Mau bagaimana lagi, habis ini juga waktunya les bahasa inggris. Les matematikanya batal saja ya mbak? Semoga segera sembuh motornya! "

Dhira menghela nafas panjang. Matanya mulai berkeliling mengelilingi peralatan-peralatan dokter motor. Tidak banyak, tetapi tertata rapi walaupun hampir semua besi-besi itu berwarna kecoklatan.

Lima belas menit ia memandangi bapak gembul dengan tatapan kosong sekosong isi perutnya saat itu. Bola matanya mengikuti kemanapun tangan kehitaman mengoperasi ban roda bebek hitam, tetapi masih dengan tatapan tanpa harap.

Di pompaan terakhir, Dhira segera berdiri, "Pinten, Pak?"

"Lima puluh ribu, Mbak." Pak gembul menjawab sambil mencari-cari alat yang tak nampak di mata.

Dengan lemas, Dhira mengeluarkan selembar kertas bergambar Pak Juanda. Dua lembar Pak Karno menangis sedih di dompet coklat pucat.

"Matur nuwun, Pak!" Dhira menuntun motornya menuju ke jalan.

Arah jalan pulang tak seperti arah jalan berangkat yang ramai dengan kendaraan berasap. Pohon-pohon di kanan dan kiri Dhira melambai-lambai membelai hati yang telah ditinggalkan aktor dan pahlawan negara kesayangan. Mereka seolah tau bahwa gadis layu itu sedang membutuhkan kasih sayang. Bayu pun tak ingin ketinggalan untuk menghibur hati nan pilu. Tiupannya menghapus setetes air yang keluar dari sudut mata mahasiswa matematika semester enam Universitas Negeri Indonesia tercinta. Dhira meratapi kesendiriannya di kota dingin yang jauh dari kampung halamannya. Tak lupa ia dengan perjuangannya selama tiga tahun terakhir ini. Bagaimana dia harus menghemat segala sesuatunya untuk kuliah bahkan untuk hidup. Bagaimana ia menangis di depan gedung utama hanya untuk memikirkan bagaimana dia bisa membayar kuliah dan kebutuhan hidupnya. Dan masih banyak bagaimana-bagaimana yang lain.

Lamunan Dhira terhenti seiring nyala lampu merah di perempatan jalan. Suara motornya pun terhenti.

Aaaargh ... Kenapa lampu merah?

Dhira mengeluh dalam hati, seakan tau bahwa ia harus menginjak lagi starter dengan keras agar motornya dapat merangkak lagi.

"Klunthing!"

"Ya, Allah! Cobaan apaaaa ini?"

Saking kerasnya keluh Dhira, seluruh mata tak dapat memalingkan pandang dari motor yang starternya lepas dari induknya. Starter itu sudah terlalu rapuh. Besinya sudah tak menyisakan warna putih. Semua berkarat. Pantas saja, ia sudah tak dapat menahan dorongan kaki Dhira.

"Patah to nduk? Ayo, ke rumah Bapak! Biar saya perbaiki," ajak seorang kakek dengan sepeda jengki tua.

Dhira hanya tertunduk lemas mengikuti jalan kakek-kakek yang berjalan sedikit lambat karena tangan dan kakinya yang sedikit gemetar. Ia pasrah dengan keadaan. Terserah apa rencana Tuhan. Ia sudah tak sanggup kesal, marah dan berharap.

***

Rumah itu tak nampak seperti bengkel. Sederhana tetapi sangat rapi. Tak ada meja kursi. Tak ada keramik. Tak ada dinding kokoh. Hanya anyaman bambu. Orang jawa biasa menyebutnya "gedhek".

Ada dua ruangan utama di sana. Satu adalah ruang kosong dengan dua kotak tanggung berisi peralatan-peralatan motor. Dan agak jauh dari ruangan itu, ada ruangan berisi amben. Tempat tidur dari bambu yang di susun sejajar.

Di sebelah amben, tergelar selembar kain merah bersih lengkap dengan sebuah songkok dan lipatan sarung hijau di ujungnya. Di belakangnya ada sebuah lemari kecil berisi dua buah Al-Qur'an. Satu besar, dan satu kecil.

Nyesssss... Seketika teduh hati Dhira melihat pemandangan ini. Kesederhanaan yang sarat makna.

"Alhamdulillah, sampun, Nak! Ini tidak memakai kaki ya. Biarkan gini." Sambil menunjuk starter yang berbalut karet sepeda.

"Nanti nyalainnya pakai ini," terang kakek berwajah terang.

Si bebek hitam punya alat tambahan sekarang. Sebuah alat dari karet ban yang berfungsi menyalakan mesin menggunakan tangan. Memerlukan usaha lebih untuk menyalakannya. Tetapi sungguh jenius si empunya.

"Berapa, Kek?" Dhira bertanya sembari mengagumi mahakarya yang terjadi pada motor tuanya.

"Dua puluh ribu aja, buat beli nasi goreng sama teh anget," canda kakek bermulut ompong.

"Aduh, maaf tidak ada kembaliannya, Ning. Udah bawa aja motornya, ndak papa!" Kakek menolak pemberian Dhira ketika ia menyodorkan uang berwarna merah dengan tangan kanannya.

Dhira terpaku sebentar memikirkan apa yang harus ia lakukan. Dalam waktu dua menit ia memutuskan untuk menuntun motornya ke luar dan berterimakasih sedalam-dalamnya untuk kejeniusan dan pengorbanan sang kakek.

Kejadian di rumah sederhana tadi tak kunjung lepas dari ingatan Dhira selam ia mengendarai motornya di perjalanan pulang. Pemikiran-pemikiran positif bermunculan satu persatu dihadapannya.

Bagaimana kakek tadi bisa dengan ikhlas merelakan perjuangannya?

Apakah karena rumahnya sudah sejuk, sehingga dia tak memerlukan materi lagi?

Tapi apakah dia benar-benar tidak membutuhkan uang untuk hidup?

Ah, pastinya kakek tadi sangat memerlukan uang. Tapi, ia hanya menggantungkan diri pada Allah. Allah yang memberi rezeki. Allah yang membagi rezeki.

Senyum Dhira mengembang diperjalanan sore itu. Pelajaran berharga, mulai dari Lee Min Hoo sampai Kakek tadi membuatnya tumbuh lebih dewasa. Untuk apa kita memikirkan rezeki? Toh semua sudah dibagi oleh Yang Maha Adil. Yang harus kita lakukan hanyalah ikhlas, seperti yang dicontohkan kakek keren tadi.

Tek ... tek ... tek ....

Kali ini bukan suara motor lagi, melainkan suara penjual nasi goreng yang terlihat menggoda dengan aroma terwangi.

"Bang, beli dua, kreseknya sendiri-sendiri, ya!" Kali ini tak ada amarah, sepanjang penantian hanya senyum yang menghiasi wajah Dhira.

Rp 300.000,- sudah terbagi dengan cara yang unik. Rp 50.000 untuk mas-mas manis yang mungkin sedang mengumpulkan uang untuk melamar kekasihnya. Rp 50.000,- lagi untuk bapak gembul yang mungkin anaknya merengek minta dibelikan krayon. Rp 30.000,- untuk penjual nasi goreng yang mungkin sedang menabung untuk pergi umroh. Rp 70.000,- untuk keperluan Dhira selama satu minggu. Dan terakhir Rp 100.00 untuk kakek-kakek tercinta yang telah membalikkan perasaan Dhira hari ini.

"Monggo, ini nasi goreng untuk kakek." Dhira kembali dan menyodorkan sebungkus kresek berisi nasi goreng dan selembar uang seratus ribu rupiah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Rekomendasi