Disukai
2
Dilihat
85
ATAS NAMA JAMAAH (Pembagian Daging Qurban)
Komedi

    Suatu hari di pagi yang gerimis, Surti dengan wajah ceria pergi ke masjid bersama keluarganya untuk melaksanakan sholat Idul Adha. Ia dan keluarganya sangat senang karena memang ini juga hari yang dinantikan terlebih saat pembagian kurban. Surti mengikuti arisan kurban sudah lama, maka dari itu ia akan menerima lebih. Bukannya tidak bisa membeli daging di waktu tertentu, hanya saja Surti akan kedatangan keluarga dari luar kota. 

Menit demi menit telah berlalu, meninggalkan banyaknya jam yang bisa dihitung. Ia menunggu, dan menunggu, tapi daging kurban dari masjid tempat tinggalnya belum sampai di tangannya. Ia merasa gelisah, terlebih saudaranya dari luar kota sudah tiba. 

"Bagaimana ini? Apa jangan-jangan mereka melupakan namaku?" gumamnya dalam hati. 

Surti memang tidak ikut membantu melakukan pembagian, karena sudah ada perwakilan anaknya keduanya. Ia yang gelisah bertanya pada anak pertamanya. Kenapa hingga jam setengah satu siang mereka juga belum membagikan? Anak pertamanya cuek dan menjawab, biarkan saja. Jika kita gak dapat meskipun ikut arisan, ibu bisa komplen ke sana. Tapi setelah satu minggu saja, biar mereka sadar dan malu. 

Kekhawatiran masih berlanjut ketika para tetangga sudah dibagikan dan Surti masih belum menerimanya. Hingga waktu menunjukkan pukul 13.35, daging kurban itu belum didapatnya. Namun, sesaat setelahnya suara motor datang dan anak keduanya datang membawa dagingnya. Bukannya malah senang, tapi ia kaget. 

"Lho, apa memang segini jatahnya?”

"Heleh, Bu. Aku tahun depan gak mau ikut bantu-bantu karena sistem panitianya AMBURADUL! Untung ae Ibu ikut arisan dan kau jadi panitia. Kalau gak, gak bakalan kita dapat.”

"Bukankah kita dari dulu selalu dibedakan? Tapi memang aneh ya.”

Pada akhirnya, Surti tidak jadi masak daging kurban dan hanya memberikan daging 1 kg miliknya yang di dapat dari arisan pada saudaranya yang hendak berpamitan. 

*****

Jama'ah yasin yang sudah berkumpul sedang membicarakan polemik daging kurban tempo hari. Surti yang semula diampun ikut mencurahkan isi hatinya pada Srinti.

"Iyakah Bu? Duh. Tapi ini yang paling parah, Bu Andin, tetangga kita yang dapat mutus arisan kurban, malah gak dapat dagingnya. Hanya dapat jatah lingkungan. 

" Padahal nih, tetangga desa di luar jama'ah sholawat kita, dapat semua.”

"Benarkah? Aku ketinggalan info.”

"Duh, memang benar sistemnya mbulet. Bahkan yang ikut arisan ada yang gak dapat jatahnya padahal haknya. Kenapa kelupaan? Bukankah sudah ditulis?”

"Ditulis sih ditulis, Bu. Seharusnya kan juga ditulis yang dapat arisan serta yang mutus itu, di plastiknya, nama yang besar, biar kurir yang ngantar gak salah atau kurang. Daging kita banyak loh, dapat 3 kwintal…”

Surti dan Srinti yang asyik mengobrol langsung menghentikan aktivitasnya karena Sang Ustadz sudah datang. 

Ustadz memberikan ceramah tentang daging kurban. Bahkan ia memamerkan mendapat daging sebanyak 10 kg lebih. Entah apa yang ada dipikirkan dalam benak Surti, Srinti, juga para jama'ah lainnya. 

"Alhamdulillah, semua jama'ah di sini apda kebagian daging semua. Bahkan kulkas kita penuh-penuh.. “

Beberapa dari jama'ah sholawat ada yang senyum, ada pula yang kaget. Srinti yang memang jago bicara bertanya pada Ustadz Sholeh. 

"Apakah benar, Pak Ustadz? Sepertinya yang penuh kulkasnya bukan dari jama'ah kita. Atau mungkin kulkas milik Pak Ustadz sendiri?”

Ustadz yang sedikit tersinggung karena ulahnya sendiripun bertanya, bukankah semua jama'ah juga menerima daging kurban, dan bahkan yang arisanpun juga kebagian? 

Akhirnya beberapa jama'ah yang tidak menerima pun ikut buka suara. Mereka mengatakan bahwa tidak menerimanya. 

"Kalau yang dapat satu rumah seorang saja, lalu mengapa di ATAS NAMAKAN JAMA'AH? Bukankah kasihan jama'ah yang tidak dapat? Udah Sepuh pula, orang gak punya lagi.”

“Nah, yang ikut bantu-bantu itu kan juga ada yang satu rumah 2-3 orang, padahal juga satu rumah. Tetangga desa yang kebagianpun juga menyindir jama'ah sini yang kekenyangan daging. Makanya, jangan hanya atas nama saja. Perbaiki dulu sistem panitia, penulisan, dan tetek bengek lainnya. " kata Srinti mantap. 

Semua jadi diam, bahkan ketua dan Ustadz pun diam. Namun Sang Ketua masih dengan prinsipnya semua yang bantu pun juga dapat bagian.

"Ah, masa? Beberapa panitia mengeluh di belakang karena gak dapat jatah, hanya jatah makan di sana. Eh, masa tetangga desa yang kaya raya juga tetap kebagian. Saya kemarin juga dikatakan RT sini royal. Saya ndak berani bilang. Ini karena banyak komplen ya saya ngomong." Nuri menimpali.

Semua jama'ah jadi ikut bersuara dengan semua uneg-uneg yang selama ini mereka simpan sendiri di dalam hati dan pikiran mereka. Namun sayangnya, tidak ada yang menengahi ini, bahkan sang Ketua masih dengan gigih sudah terlanjur dan menurutnya ini sudah benar. Bukankah berbagi itu akan dapat pahala.

"Perkara daging kok dibuat ribet.. "

Ah, memang sulit berbicara dengan orang seperti itu. Padahal sudah jelas salah, dan di rumah mereka sendiri juga menimbun banyak daging.

Surti dan Srinti hanya bisa menebah dada. Bahkan Surti jadi tahu bahwa kualitas kebijakan seseorang bukan dilihat dari gelar maupun yang dituakan/yang dihormati saja. 

Ia masih bingung dengan kata-kata atas nama. Di sini atas nama jama'ah pun membuat nama yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

*****

Setahun kemudian, kurban di hari Idul Adha kembali dilakukan. Kali ini ketuanya berbeda. Dan semua jama'ah yang terdaftar benar-benar di data secara rinci. Akhirnya, semua mendapat jatah, baik yang ikut arisan dan jama'ah itu sendiri dengan jumlah yang lumayan. Bahkan masih bisa dibagikan ke tetangga desa sebelah yang membutuhkan. Merekapun bertanya-tanya, kenapa yang kemarin malah banyak yang kurang, dan ke mana dagingnya pergi?

"Tuh, kan benar. Lihat, kita semua kecukupan malah banyak yang sisa." Surti lega.

"Ya iyalah, gak mungkin ada penimbunan lagi. Wong Bu x dan Pak x nggak ikut bagi kok. Untungnya mereka minggat ke tanah Suci kok." Srinti menimpali.

"Hust,.!! Jangan keras-keras! Ada bolonya masih di sini." tambah Nur, seraya melirik ke arah Ustadz yang berdiri di dekat daging-daging yang masih sisa.

Surti pulang dengan riang. Saat bertemu seseorang tetangga desa di pasar yang kebagian daging, ia tetap dipuji. Bahkan jama'ah di tempatnya benar-benar baik dan masih royal.

'Nah, ini yang benar, baru di atas namakan jama'ah. Masa tahun kemarin atas nama jama'ah saja, jama'ahnya sendiri nggak dapat apa-apa.'

"Tapi kalau dipikirkan lagi, pada hilang ke mana, ya puluhan kilo daging itu? Apa mungkin ditimbun atau dibagikan sendiri ke saudara-saudaranya Bu x dan Pak x ya?" Surti menggumam sendiri.

"Astaghfirullah.. Kenapa aku terus suudzon sama mereka ya Allah.. Biarkanlah.. Wong sudah haji kok. Lah.. Wes.. Pokoknya tahun depan jangan sampai ketuanya mereka lagi.. Hanya karena takut atu sungkan.. Ya Allah.. Aamiin.. " lanjutnya lagi.

Tahun ini semua bergembira dengan kesepakatan bersama. Entah bagaimana dengan tahun-tahun selanjutnya, semoga tetap berkomitmen jujur dengan keadilan.

*****

S. S. RINDU

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
hmm, seru crtanya. semngat kak
Rekomendasi dari Komedi
Rekomendasi