Disukai
0
Dilihat
1324
Aku Bukan Anak OSIS
Drama

Putih abu-abu.

Kata yang memiliki sejuta arti kiasan di baliknya. Tergantung pada tinta tujuan kau berada di sana. Bisa jadi romansa atau mungkin pilihan warna lainnya. Judul langkah pertama itu adalah sutradara.

Untuk menjadi pemimpin jalan cerita yang baik, hal yang lebih penting dari alur, pemeran utama.

Aku. Yusriyyah Adibah. Gadis remaja yang akan menginjak usia 16 tahun di tanggal 6 Oktober nanti. Terlalu tua kah jika kusebut diri ini baru saja masuk Sekolah Menengah Atas? Aku pun sering menyesalkan fakta itu. Orang tua ku memilih anak bungsunya ini memulai duduk di bangku pendidikan bersama teman kelahiran 2002. Alasannya karena jika aku diikutkan dengan anak-anak seumuran yang lahir di tahun 2001, aku tergolong muda.

Setidaknya, aku masih berada di angka 15 tahun. Normal bagi siswa kelas 10. Resmi sudah menambahkan siswa SMA di belakang profil identitasku. Suatu masa yang ku tunggu-tunggu akan kebenaran rumornya.

Kuas merah muda yang siap terlukiskan layaknya sinema layar kaca, hingga diperbolehkan jalan-jalan ke pusat kota dan menginap di rumah teman.

Kak Afi selalu membuatku iri karena bisa pergi keluar hingga malam. Sedangkan aku, membeli mie instans di mini market seberang jalan selalu dikhawatirkan apakah aku akan baik-baik saja.

Dan akhirnya. Kini aku adalah siswa SMA. Suatu kewajiban bagiku untuk menuliskan 100 harapan yang muncul dipikiranku kini sebagai remaja pemilik otak siswa berseragam putih abu-abu. Berbarengan dengan cuplikan adegan esok hari, semangat ini semakin membuka impian lama.

Huh, tidak sabar bangun dari tidur dan naik bus yang selalu lewat depan rumah. Menuju tempat yang akan menjadi saksi bisu 3 tahun seorang Yusriyyah Adibah mencapai daftar 100 harapan dalam tulisan jeleknya.

 

***

 

“Hai, boleh aku baris disini?” kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Seorang siswi tersenyum tipis itu baru saja meminta izin untuk berdiri di samping kiri ku.

“Iya,” jawabku singkat masih dalam mata tanpa kedip terkejut.

Aku bukan pemeran utama perempuan cantik nan kaya mendekati sempurna anakpemilik sekolah ini. Jangan tinggalkan fakta kalau ini sekolah negeri. Siapa saja bebas baris dimanapun tanpa perlu bertanya begitu. Ya, aku tahu itu hanya sapaan perkenalan awal, tapi aku tak suka orang lain basa basi begitu. Sebaliknya, aku malah orang yang selalu bertanya ini itu pada orang lain. Kau bisa bilang diriku aneh. Aku tidak marah, justru aku menyukainya.

“Namamu siapa?” aku cenderung menjadi orang yang memimpin percakapan. Walau pasti merasa sebal bila berhubungan dengan orang yang aku suka. Kesannya aku adalah wartawan yang ingin tahu banyak hal tentangnya.

“Ami,” sungguh tidak penting sebenarnya, semua orang pasti bisa melihat badge nama yang terjahit di atas saku seragam.

“Aku Yusri,” sebelum Ami balik bertanya, aku mendahuluinya. Oh! Aku lupa. Salah satu harapanku adalah, nama panggilan selama di SMA bukan nama depanku, tapi Adiba. Kau pasti tahu lah alasannya. Tunggu, jika dipikir lagi, banyak juga teman satu SMP ku yang bersekolah di sini. Huh, jadi ya, sama saja.

“Dari SMP mana?” begitulah seterusnya belasan pertanyaan ku lontarkan hingga apel pembukaan persiapan Pengenalan Lingkungan Sekolah di mulai.

Berkumpul di indoor yang luas ini, berbaris sesuai kelas PLS, singkatan Pengenalan Lingkungan Sekolah, yang dulunya lebih dikenal dengan MOS.

Membahas rumor lagi, MOS itu pasti dipenuhi oleh kesibukan. Mulai mencari barang-barang aneh sesuai ketentuan hingga cerita-cerita miring tentang Kakak OSIS yang galak.

Aku punya satu kakak dan dua kakak sepupu. Tak hanya itu, anak tetangga yang umurnya lebih tua dariku, membocorkan kisah MOS di tahun mereka. Berbeda SMA dengan tingkat keribetan perlengkapan MOS yang buat geleng-geleng kepala. Pakai sepatu bertali rafia, tas dari kardus, hingga berkalung dot bayi. Yang terakhir itu paling parah karena sumber kisahnya Kak Angga, siswa alumni dari SMA yang sama denganku.

Hari ini, hanya penyampaian perlengkapan PLS untuk besok senin. Aku tidak terlalu khawatir karena mulut siap mengadu pada komnas HAM ada dimana-mana. Layaknya kacamata hitam sok tahu yang didukung oleh mulut tak mau kalah.

Oh iya, ini pertama kalinya aku memakai kacamata. Sejak SMP kelas 3 mataku buram, baru saat masuk SMA ini aku cek ke dokter. Mata kananku minus 1,5 dan silinder 0,75 sedangkan kirinya minus 0,75 silinder 1,5. Jika kuingat ingat, ulangan harian bahasa inggris dulu pasti menggunakan LCD Proyektor untuk menampilkan soal. Kau tahu? Aku sama sekali tidak membaca tulisan itu karena semuanya hanya garis-garis penuh bayangan. Semakin pusing menatap layar putih di depan kelas, pasrah saja kujawab opsi A, B, C, D sesuai apa yang terlintas pertama kali di otak. Untung saja pilihan ganda, yang mana banyak orang percaya jawaban sebagian besar adalah C.

Itulah berbagai siasat keberuntungan yang terdengar dari mulut anak sekolahan. Namun, tidak ada naskah dewi fortuna untuk masuk kelas PLS terbaik. Di sekolahku ini ada 12 rombel, terbanyak se-Jawa Tengah dengan 8 kelas MIPA dan 4 kelas IPS. Begitu pula dengan jumlah pembagian kelas PLS ini.

Aku adalah orang yang selalu ingin menang. Bayangkan jika mengikuti kompetisi, ambisiku pasti mengincar posisi pertama. Tapi untuk kalli ini, sepertinya kacamata baruku menghalangi kepercayaan diri. Aku masuk ke PLS 8, bahkan tidak berminat untuk mengajukan diri menjadi ketua kelas PLS. Padahal di SMP, aku selalu menjadi ketua kelas.

Selain akademis, aku juga aktif di organisasi. Sebagai ketua OSIS 1, hingga pratama putri dewan penggalang. Sudah kukatakan kalau aku suka menyombongkan diri? Jika sudah paham, kini kuperjelas. Aku benar-benar anak yang menyebalkan.

Bagi kebanyakan orang, memandang miring anak emas sekolah yang disayang guru. Apalagi anak sok suci dalam Organisasi OSIS dan pramuka. Itu yang kakakku keluhkan mengapa aku mau susah payah menjadi ketua. Jawabannya masih tanda tanya. Aku hanya terbiasa dikenal para guru, menjadi pusat perhatian, sampai-sampai disapa teman yang dalam hati kukatakan, siapa dia? Apa aku mengenalnya? Dia teman sekolahku?

”Siaaaap grak!” suara keras itu menjadi pengalih lamunanku. Bukan hanya dari satu pita suara, masing-masing dewan pemandu PLS yang merupakan kakak kelas pengurus OSIS menyiapkan barisan siswa baru sesuai kelompok PLS yang dipandunya.

Dewan pemandu kelas PLS ku yang kini tengah menyiapkan barisan, bernama Kak Ratih. Dia cantik, serasa saat kau melihatnya seperti pernah menjumpainya sebelumnya. Setelah sampai ruang kelas, ternyata ada satu dewan pemandu lagi. Namanya Kak Arju. Dia terlihat kalem dengan senyum nanggungnya. Duduk di kursi guru dengan memegang kertas absensi.

Tentu saja aku duduk dengan Ami. Kami dari SMP yang berbeda kan. Peraturan basa-basi yang mengharuskan duduk dengan anak dari SMP lain. Ada 2 orang sebenarnya di PLS 8 ini yang sama sekolah menengahnya denganku. Prima, teman kecil saat TK dulu dan Aji, rekan organisasi yang menjabat sebagai pratama putra dewan penggalang.

“Boleh kenalan?” lagi. Anak perempuan yang duduk di samping meja ku mengulurkan tangan. Selagi menunggu namanya dipanggil untuk absensi, sepertinya dia bosan.

“Yusri,” balasku seraya menyambut uluran telapak tangannya.

“Aku Wening. Ini Naturi,” gadis yang tak berhenti tersenyum itu memperkenalkan dirinya dan juga teman sebangkunya.

“Hai, aku Dhita,” satu suara nimbrung dari belakangku. Cewek beralis agak tebal dan aura ceria bertemu orang baru.

“Aku Mayang,” siswa baru yang mencuri perhatian karena paling berbeda. Matanya sipit khas orang tionghoa, seragamnya asing diiyakan olehnya berucap kalau asalnya dari luar kota. Logatnya tidak terdengar sunda walau Mayang dari Bandung, tapi wajahnya manis seperti kata orang kalau gadis bandung itu geulis geulis.

“Yu... (samar-samar tidak terdengar)” sudah sampai namaku saja. Aku berdiri berjalan ke arah meja guru seperti anak yang lain ketika akan tanda tangan bukti hadir hari ini.

Tanganku menerima pulpen yang ditawarkan Kak Arju. Mataku langsung menuju deretan nama paling bawah karena memang huruf Y pasti di akhiran.

Tunggu.

Ada dua nama yang belum bertanda tangan. Namaku di urutan terakhir dan tepat di atasku tertulis nama Yudhistira.

 Jangan-jangan...

Benar dugaanku.

Ketika berhati-hati berbalik, ada laki-laki bertubuh kecil berdiri di belakangku dengan seragam terjahit nama Yudhistira di sana. Badanku kembali mengahadap meja dan menemukan Kak Arju mengalihkan pandangannya dariku seraya menahan tawa.

Sial.

 

***

Hari pertama masuk SMA. Tadi malam aku mencoba seragam putih abu-abu itu, tapi harus bersabar juga karena tiga hari kedepan diwajibkan menggunakan seragam SMP. Untunglah selama liburan tidak kuhabiskan untuk menggilai makan. Setelan putih biru ini masih muat.

Aku berkenalan dengan lumayan banyak anak. Tentunya bertambah dari jumlah kemarin. Setiap kelas PLS membuat grup chat. Satu PR yang belum terselesaikan hingga kini adalah yel-yel. Bukan sekedar sebagai penyemangat, nantinya itu menjadi salah satu kriteria kelas PLS terbaik. Kau tahu kan, apa jawabanku jikka ditanya ingin menang atau tidak. Kali ini akan berbeda. Ketua kelas di PLS 8 ini, bagaimana aku mengatakannya, ya? Namanya There, entah mengapa aku tidak terlalu suka padanya. Jadi tidak ada niatan untuk memberi saran berupa ide untuk yel-yel.

Lupakan tentang kelas PLS terbaik, aku hanya akan melewati tiga hari ini dan menjalani tiga tahun kedepan. Mulai rutinitas upacara hari senin dengan baris di deretan belakang. Bukan karena apa-apa, hanya saja di sini agak teduh.

Entahlah, melihat keadaan lapangan tengah ini sepertinya memang dibuat demikian. Di sisi kanan tiang bendera tempat kakak kelas 3. Itu adalah area paling teduh. Kirinya, kelas 2 dengan sinar matahari tak terlalu terang. Sedangkan si bungsu, kami benar-benar berhadapan langsung dengan arah timur.

“Pengibaran bendera Sang Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya,” ini saatnya menggunakan tangan sebagai penghalang sinar. Kacamataku tidak anti radiasi.bayangkan betapa tersiksanya diriku.

“Kepada sang merah putih, hormaaaaat grak!” aku terkejut. Bukan karena suara menggelegar komandan upacara itu,namun akan paduan suara. Awalnya kukira ini rekaman, tapi mereka benar-benar bernyanyi. Mulutku sedikit terbuka. Telingaku mendapat asupan bagus pagi ini.

Perhatianku terpusat pada sekumpulan siswa di depan sana. Berjejer rapi dan terlihat beberapa dari mereka tak memakai topi. Bahkan tak sedikitpun aku mendengar amanat pembina upacara, aku hanya menikmati lagu hening cipta dan mars SMA. Hingga upacara selesai.

Tunggu.

Apalagi sekarang?

“Ada apa?” kubertanya pada Wening setelah akan berbalik kembali ke kelas, namun yang lain malah melangkah maju.

“Gak denger? Ini mau silaturahmi. Salam-salaman,” jawab Wening seraya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Sama semua siswa?

Kau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang?

Jika kau sepemikiran denganku maka kau adalah satu dari berpuluh-puluh juta orang yang membaca Dear Nathan di Wattpad sebelum di filmkan.

Semuanya sirna. Ya, kakak kelas cowok yang entah dia tampan atau tidak memang tersenyum ke arahku. Itu karena ada Mayang yang baris di depanku.

 

***

 “Selamat pagi,” sapa penuh semangat itu secara tidak langsung menuntut seisi kelas ini untuk menyambutnya dengan hangat.

Tiga kakak OSIS yang berdiri di depan itu sepertinya akan memberikan informasi tentang organisasi di SMA ini. Satu diantaranya adalah Kak Salsa. Dia kakak kelasku di SMP,dulu rekan di OSIS dan pramuka juga. Kukira dia tak akan mengenaliku karena aku pakai kacamata.

Lalu yang mengucap salam tadi itu kakak OSIS cantik yang punya kembaran di pengurus OSIS juga. Tapi aku tak tahu namanya seperti kakak OSIS yang ketiga.

Adakah pertanyaan apakah aku akan bergabung dalam organisasi seperti saat SMP atau tidak?

Yang pasti aku akan mencoba masuk paduan suara. Aku cukup bisa menyanyi sebagai modal seleksi nanti. Masalah organisasi, sepertinya aku menjadi siswa tipe 1 saja. Berangkat sekolah, belajar, pulang. Karena apa? Ada alasan di balik itu.

 “Yus, kamu jadi masuk MPK?” Naturi berbisik padaku. Sebelum kakak OSIS, ada Kakak MPK yang terlebih dahulu masuk kelas PLS 8 ini.

“Iya?” aku balik bertanya. Tadi aku hanya meminta formulir MPK agar mendapat stiker. Itu saja alasannya, sungguh.

Tapi jika dipikir pikir lagi, boleh juga mencoba MPK. Kata Kak Alma, tetanggaku, MPK itu kerjanya gak keliatan. Singkatnya, tugas mereka lebih ringan daripada OSIS tapi jabatannya paling atas.

“Kamu,” bersamaan dengan suara itu, Ami menyenggol lenganku agar menghadap ke depan.

“Kamu dulu pengurus OSIS waktu SMP kan, coba kasih tahu temen-temen yang lain, jadi pengurus OSIS itu gimana,” jari telunjuk kakak OSIS itu mengarah padaku. Dia adalah kak Salsa.

Ya... yang seperti ini sedikit memuakkan.

***

“Baris tiga bersaf, salah satu menyiapkan.” Itu suara Kak Rafif. Ketua PLS kemarin dan pastinya pengurus OSIS.

Kau bertanya aku ada dimana sekarang? Kumpul calon pengurus OSIS.

Haha.

Ya... kau boleh tertawa sepuasnya.

Ada moment dimana aku masih bertanya-tanya mengapa berada di sini. Sepertinya saat menyerahkan formulir aku tidak sepenuhnya dalam kondisi sadar. Halusinasi mungkin.

Awalnya memang aku berniat masuk MPK, apalagi teman satu SMP ku, Ayu, juga mengajak. Sudah kukumpulkan juga pada salah satu anggota MPK, Kak Siwi, di kelas 2 IPS 3. Setelahnya? Seakan-akan aku lupa.

Esok harinya, saat istirahat pertama, beberapa teman kelasku bertanya siapa saja yang akan mendaftar OSIS. Agar bisa menuju ruang sekretariat OSIS bersama.

Kelas yang kutempati kini bukanlah PLS 8 lagi, tapi sudah menetap sebagai kelas 1 MIPA 1. Pada tahun sebelum-sebelumnya, kelas ini disebut kelas bintang. Sayangnya, kini bukan lagi, malah mungkin sebaliknya.

Hal yang berbeda lainnya adalah kelas 1 MIPA 1 berada di ruang audio visual. Dengan meja L anak kuliahan, tiga AC dan lantai bangku siswa yang bertingkat. Bukan bermaksud apa-apa, itu karena beberapa bangunan di sekolah tengah di renovasi. Mulai dari ruang guru, TU, ruang kepala sekolah, hingga beberapa kelas.

“Ana. Aku ikut,” sepertinya setelah melamun, disitulah pikiranku masih kabur.

Bersama Ana, Yulia, Evi dan Ais, aku menuju ruang OSIS yang letaknya di samping Graha Laga, indoor lapangan basket dan sebagai tempat olahraga lainnya. Letaknya strategis menghadap langsung lapangan tengan, tempat upacara.

Mengapa aku menyebutnya sebagai lapangan tengah? Karena di belakang juga ada lapangan sebagai sepak bola, yang pada masa Kak Ayun, tetanggaku, dulu lapangan belakang di sebut GBH. Singkatan dari Gelora Bung Husein Dibuat pada saat orang bernama Pak Husein menjadi kepala sekolah. Kini, kepala sekolahku Pak Saidan. Yang saat amanat upacara menyempatkan berpidato menggunakan Bahasa Inggris. Beliau dulu pernah mengajar sekolah Indonesia di Belanda.

Sampai di depan meja yang penuh formulir calon pengurus OSIS, lagi-lagi setelah berjalan melamun pikiranku tetap kabur.

***

“Perkenalkan diri kalian,” Kak Englisha, salah satu pengurus OSIS seksi bidang 8 membuka suara. Merasa aneh jika kukatakan dia anak guru Bahasa Inggris?

Duduk melingkar di graha laga, aku berkumpul dengan siswa lain yang mendaftar sekbid sastra dan budaya ini. Ada dua kakak OSIS yang bersama kami. Satunya itu adalah Kak Englisha dan di sebelah kirinya bernama Kak Rio, anak basket yang ikut demo ekstra kurikuler saat PLS kemarin.

“Nama saya Randyka Gumilang Prasetyo, dari kelas 1 MIPA 3,” cowok yang duduk di samping Kak Englisha persis, menjadi yang pertama memperkenalkan dirinya setelah ditunjuk Kak Englisha. Dia memakai seragam pramuka berbahan larici yang kulihat seperti kerlap-kerlip. Sama dengan milik kakak dewan ambalan.

Randyka ini cukup menyita perhatian karena senam slada buahnya. Setelah masa PLS selesai, dilanjutkan dengan penerimaan tamu ambalan. Menginap satu malam di sekolah dengan kelompok dari masing-masing kelas yang belum sepenuhnya saling mengenal. Kuingat saat kelas 1 MIPA 1 kebingungan untuk unjuk kebolehan saat pensi malam hari.

Dengar-dengar juga, anak gemuk dari kelas 1 MIPA 3 ini diberi kalimat jelas untuk tidak memakai larici kerlap-kerlip itu lagi. Padahal itu juga seragam SMP nya. Dari sumber anak cewek kelasku yang suka bergosip, dulu ia aktif di pramuka dan pernah mengikuti jambore nasional. Ada-ada saja, senioritas di pramuka menutupi rasa menyenangkan yang diturunkan Boden Powell.

“Nama saya Ribka Theananda Pambayun, dari kelas 1 MIPA 5,” cewek di kiriku baru saja menyebut nama dan kelasnya. Dari suaranya kuramal dia pandai bernyanyi, mungkin itu salah satu alasan dia mencalonkan diri untuk masuk sekbid ini.

Lalu, siapa lagi?

Mengapa semuanya menatap ke arahku? Apa dibelakangku ada hantu? Ini kan gedung tua, mungkin saja... oh! Benar juga. Kini adalah giliranku. Yusri yang bodoh. Kau benar-benar sangat hobi melamun.

“Saya Yusriyyah Adibah,” ucapku dengan jelas. Beberapa orang yang baru berkenalan denganku pasti asing dengan nama ini, “saya kelas 1 MIPA 1,” lanjutku.

Huft. Lega rasanya. Melihat situasi ini sebenarnya aku merasa hanya sebagai pengamat. Mata yang lain berbinar semangat dengan waktu yang dihabiskan di sini. Sedangkan aku? Untung saja ada teman satu SMP ku, Mila. Kami dari kelas berbeda, tapi untuk kumpul calon pengurus OSIS ini perlu merencanakan waktu dan tempat temu agar masuk graha laga bersama. Ambisi di sini hampir mendekati kata gila. Yang lain berlomba-lomba mendapat perhatian kakak kelas. Contohnya saat tadi baris di awal. Sekitar 3 siswa berebut perang tatapan hanya untuk menyiapkan barisan.

Alarm harga diriku meronta dilepas tanpa jeruji. Kumpul minggu depan, tunjukan siapa Yusriyyah Adibah sebenarnya.

***

Aku bimbang. Sepulang sekolah ada kumpul calon pengurus OSIS, namun diwaktu yang sama ada seleksi paduan suara. Ruang chatting WhatsApp CPO 44 pun ramai. Bertanya bolehkah mengikuti seleksi paduan suara terlebih dahulu atau tidak. Kau tahu kakak OSIS menjawab apa?

‘pilihlah yang menurut kalian dianggap paling penting’

Dan aku, tidak bisa memilih. Dari awal paduan suara itu satu-satunya ekstra kurikuler yang menarik perhatianku. Di sisi lain, mengingat ucapanku minggu kemarin, aku harus menampilkan keseriusan juga di OSIS.

Yusri

‘Mil, nanti gimana?’

Akhirnya kuberbagi keresahan dengan siswi kelas 1 IPS 2 itu. Ku yakin dia juga tertarik untuk ikut seleksi paduan suara.

Mila

‘Kumpul OSIS,kan’

Benarkah? Se sederhana itu dia menentukan?

Mila

‘Bayangin deh, pasti banyak yang milih seleksi padus, kan. Nah,yang milih kumpul OSIS pasti dapet nilai tambah’

Oke. Benar kata Mila. Inilah kesempatannya. Aku tidak terlalu berambisi bahwa masuk kepengurusan OSIS adalah keharusan, tapi aku benci yang namanya gagal.

Jadi, sebelum kakak kelas dari ekstra kurikuler paduan suara masuk kelas untuk menyeleksi para siswa kelas 1, aku janjian sama Mila buat kumpul ke graha laga awal.

“Mila!” kupanggil Mila yang menepati janjinya sudah berdiri di depan pintu indoor.

“Kamu ikut seleksi padus, Yus?” tanya Mila setelah aku sampai di hadapannya.

“Enggak. Kamu juga enggak, Kan?” tanda tanyaku penuh keyakinan.

“Aku udah seleksi.”

Hah?

?

APA?!

Di balik raut beku wajahku ini, aku ingin teriak tidak terima. Akan tetapi, tak bisa. Terlalu banyak titik genangan hujan kalimat yang kupikirkan. Mila bilang apa barusan? Bisakah diulang sekali lagi? Maksudnya apa? Beri penjelasan! Sekarang juga!

“Jadi yang mau kumpul CPO, boleh seleksi duluan,” perlukah ku berterima kasih atas penjelasan tanpa dosa itu?

Sekarang aku sadar. Mila tidak sendirian, dia daritadi sama CPO cewek lain yang kuketahui dari kelas 1 IPS 2 juga.

Bagaimana kondisiku?

Aku sedih. Tidak, bukan! Lebih tepatnya, aku terlihat menyedihkan. Apakah kakak kelas padus yang menyeleksi kelasku terlambat masuk? Atau aku yang terlalu cepat kabur keluar? Perlukah aku kembali? Tidak, jangan! Itu akan lebih membuatku terlihat menyedihkan.

Tak lama kemudian, setelah lebih banyak CPO yang datang, rutinitas berbaris dengan dipimpin salah satu CPO itu sendiri baru dilakukan. Seketika semangatku hilang bahkan lebih buruk dari kumpul CPO pertama.

Bukan duduk melingkar seperti minggu lalu, kini giliran baris sesuai dengan seksi bidang pilihan kedua.

Di dalam formulir CPO, kita diharuskan memilih 2 seksi bidang yang mana nantinya jika terpilih akan masuk ke dalam sekbid tersebut. Aku memilih sekbid 8 dan 7. Kalau pilihan pertama itu mengenai sastra dan budaya, sekbid 7 ini tentang kretivitas dan kewirausahaan.

“Sekbid 1 kaya kereta tuh,” Kak Feryana, pengurus OSIS yang berbadan kecil bicara lirih pada Kak Ratih. Aku masih mendengarnya karena mereka berdiri di depan barisan sekbidku.

Benar saja. Seksi bidang 1, Ketuhanan dan kerohanian itu mendapat banyak penumpang. Padahal kemarin, saat kumpul sekbid primer terlihat paling lebar diameter lingkaran tempat duduknya. Sekarang di daftar pilihan sekbid sekunder juga tak mau kalah jumlah.

“Ini, sekbid 10 Cuma 3 siswa. Kalau ada yang mau pindah juga boleh,” Kak Ratih menanggapi Kak Feryana dengan volume suara lebih besar.

“Iya, itu salah satu strategi loh. Milih sekbid yang saingannya sedikit,” sahut Kak Farhan dengan gaya kedua lengan melipat di depan dada.

Tergoda, ada 2 cewek dan 1 cowok dari sekbid 1 yang pindah ke barisan ujung lain. sekbid 10 itu komunikasi dalam Bahasa Inggris. Kurasa, tidak buruk juga.

Ya... aku juga berdiri untuk pindah barisan. Sekbid 7 ini juga cukup banyak peminat. Bukankah ini salah satu kesempatan emas?

“Buat yang pindah, itu artinya kalian gak punya pendirian dan gak percaya diri sama pilihan kalian sendiri,” tepat setelah aku duduk manis, Kak Arbi melontarkan kalimat tanpa menatap siapa orang yang dimaksud.

Sial.

Apa aku baru saja melamun lagi?

***

Setelah kumpul CPO beberapa kali, Hari Selasa kemarin adalah terakhir kalinya, sebelum seleksi CPO yang sebenarnya. Berisi penyampaian perlengkapan yang harus dibawa untuk seleksi 2 hari 1 malam, dilanjut dengan pembagian kelompok. Aku berada di kelompok 1 bersama Falah, Nesa, Imel, Bomas, Marsya dan Salsabila. Masing-masing kelompok harus menyiapkan penampilan seni untuk CPO unjuk bakat.

Berkat usulan Mila, kelompok kami memilih lagu dari sounftrack film 5 CM, Di Atas Awan. Itu terjadi begitu saja, saat aku bertemu Nesa yang juga tengah bersama Mila karena dari kelas yang sama. Di balai siswa, tempat seperti gazebo, namun lebih lebar dan tentunya sebagai pusat wi-fi, rencana awalku dan Nesa adalah musikalisasi puisi.

Setelah berkumpul dengan kelompok 1 yang lain, mereka setuju dengan lagu yang aku dan Nesa pilih, namun kami memutuskan hanya Nesa saja yang berpuisi diiringi petikan gitar oleh Bomas. Kemudian, yang lainnya bernyanyi dengan musik elektronik yang dibuat Falah dengan laptopnya. Ssebut aku norak, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat laptop merk apple untuk pertama kalinya.

Hari Jumat, pukul 1 siang. Sekitar 80 siswa kelas 1 berkumpul di graha laga dengan tas kegemukannya, baris sesuai kelompok seleksi CPO. Wajah sumringah terlihat layaknya tanpa beban seberat isi ransel. Salah satu alasannya karena tidak mengikuti jumat rutin. Suatu istilah pramukaan yang wajib bagi kelas 1.

Tidak sepertiku. Bukan aku suka pramukaan, tapi lesu ku karena tidak bisa ikut seleksi klub olimpiade. Padahal aku sudah mendaftarkan diri untuk bidang kebumian. Mengapa aku merasa CPO adalah penghalang?

Suka melamun begini, aku juga urutan teratas siswa pintar. Di SMP peringkat ku 1 paralel, juara harapan 2 Olimpiade IPS walaupun tingkat kota. Nilaiku di kelas kimia dan matematika juga tertinggi. Sejak SD sampai SMP aku sangat gemar berangkat sekolah dan menjalaninya. Apalagi di sekolah dasar itu, sering kali mengikuti lomba dan mendapat juara. Dari situlah aku mendapat tambahan uang jajan bahkan membeli sepatu dan tas baru dengan uang sendiri.

Kembali pada apel pembukaan seleksi CPO. Sudah hampir selesai karena waka kesiswaan, Bu Satri telah rampung memberi amanat. Kuyakini, setelah ini pasti cek perlengkapan. Itu adahal hal yang menyebalkan kau tahu? Bagaimana tidak, aku semalam menata barang ini susah payah dan harus dikeluarkan lagi.

“Salah satu memimpin cek perlengkapan di depan,” itu dugaanku yang kedua. Disini akan banyak perintah-perintah yang mengharuskan untuk unjuk diri. Lalu, pikiranku berikutnya pun terjadi, beberapa CPO cepat-cepat saling mengacungkan tangan. Aku salah satunya? Tidak sempat. Aku terfokus pada urutan barang apa yang harus dimasukkan terlebih dahulu.

“Setelah cek perlengkapan, masukan barang-barang kalian lagi ke dalam tas waktu 2 menit,” benar kan. Aku sudah tahu alurnya. Tak kalah tegas dengan ucapan, muka kakak OSIS kelas 2 itu tak terlihat senyum manis sama sekali. Ya, walaupun tidak segarang kakak OSIS kelas 3 yang mengawasi di belakang.

Aku diam-diam melirik dengan ekor mataku, mereka memakai jas kepengurusan OSIS berwarna abu-abu, hanya berdiri dan sesekali berbisik satu sama lain. Kurasa akan ada hal mengejutkan nantinya dengan dalang kakak OSIS kelas 3. Tidak mungkin kan mereka hanya hadir sebagai tamu saja.

Walau terdengar suara keluhan tidak sedikit, namun semua CPO berhasil menutup tas dengan rapih. Mental di sini rata-rata pernah menjajal organisasi juga saat SMP. Bagi anak mama, tidak akan berniat untuk menyia-nyiakan waktu liburannya dengan acara yang salah sedikit dibentak.

Kau bilang ini kejam? Dari sampul kedua memang terlihat seperti itu. Namun, menurut pandanganku ini pembekalan. Bukan sedekar omong kosong menempa mental, tapi jika kau memang tulus berada di sini, satu hari kedepan adalah kenangan yang tak terlupakan.

Jadwal kegiatan diawali oleh tes tertulis dalam waktu 90 menit. CPO dibagi menjadi 2 ruangan, yaitu dalam kelas 2 MIPA 1 dan kelas 2 IPS 1. Kelas yang terpisah dari angkatannya yang lain, dan terkenal tidak akrab walau saling bersebelahan.

Soal berisi pengetahuan umum, dan beberapa tes psikologis yang sering aku coba di internet. Ada juga tes psikopat yang sebenarnya sudah aku tahu jawaban apa untuk mengidentifikasi sebagai orang anti sosial itu. Mungkin kakak OSIS khawatir ada oknum psikopat gila yang bersarang di organisasi paling elit di sekolah itu.

Waktu mulai sore. Kelas 1 yang lain, baik mereka jumat rutin atau ikut seleksi klub olimpiade, sudah menggendong tas melenggang pulang ke rumah. Sedangkan aku, harus menuju ruang musik untuk tes sekbid. Aku melangkah dengan sepatu pantofel meminjam milik Sonya, teman sekelasku yang juga terpilih menjadi salah satu anggota MPK. Seleksi organisasi tertinggi itu memang lebih awal dari yang lain.

Aku masuk ruangan kedap suara ini hanya dengan kaos kaki putih polos setinggi 15 cm di atas mata kaki. Untung saja aku diwawancarai oleh Kak Englisha, kalau dengan Kak Dinda, kakak OSIS kelas 3 itu, aku tidak bisa membayangkan. Bahkan aku tahu namanya saat akan masuk ruang musik tadi diberitahu oleh Bayun.

“Kamu punya proker yang bagus, semangat terus ya buat seleksinya. Lanjut ke sekbid sekundermu,” aku ikut tersenyum walau tak semanis Kak Englisha. Aku merasa senang ide pameran batik dan festival toko budaya sebagai program kerjaku setidaknya direspon.

Hal yang menyenangkan itu seketika sirna saat menunggu giliran di depan kelas 3 MIPA 8, tempat tes wawancara sekbid 10. Aku mendapat curhatan dari Husna, cewek kelas IPS yang terkenal cantik. Katanya, ruangan di balik pintu itu menyeramkan. Bahkan dia dibilang hanya ingin tenar masuk sekbid 10 OSIS ini.

Helaan nafas pasrahku setelah menelan ludah susah payah. Aku masuk dan mendapati kak Salsa, Kak Elfa dan kak Mada duduk di balik meja depan papan tulis. Sangat berbeda dengan sekbid 8 tadi, karena disini semua kakak OSIS dari sekbid 10 mewawancarai satu per satu CPO.

“Perkenalkan dirimu semenarik mungkin,” itukah suatu pertanyaan wajib? Tadi di ruang musik juga aku mendengar kalimat itu diawal. Setidaknya tidak disuruh memperkenalkan diri menggunakan bahasa inggris karena sebenarnya aku tidak jago akan itu.

“Saya Yusriyyah Adibah, biasa di panggil Yusri, dari kelas 1 MIPA 1. Hobi saya menyanyi dan menulis cerita,” sampai di situ saja. Memang tidak ada minimal waktu nya, kan.

“Sebutkan benda di ruangan ini dalam bahasa inggris,” ini dia. Nada suara Kak Mada, kakak OSIS kelas 3 yang duduk di tengah itu tidak terlalu keras namun tatapannya tajam.

Kepalaku menoleh kekanan dan kiri mencari tulisan berbahasa inggris. Oh! Itu dia, di dinding samping pintu, sebuah wall sticker berukuran tidak terlalu besar, bertemakan around the world, “ocean, europe, africa, world...”

“Bukan itu!” Kak Mada menginterupsiku. Seketika mulutku terbuka tak bersuara. Hati-hati mata ini kembali menatap tiga cewek yang duduk di hadapanku.

“Maksudnya, kamu nyebutin benda di ruangan ini pakai bahasa inggris,” ada perasaan tidak puas dan geram yang kudengar dari kalimat Kak Mada. Bodohnya diriku, apa tadi sempat melamun sebentar?

“Table, book,” pancing Kak Elfa mencontohkan apa yang dimaksud oleh kakak kelasnya itu.

“oh... table, book,” lirihku paham seraya mengulang ucapan Kak Elfa, “chair, floor, lamp, door, window, pencil...”

“Cukup,” lagi-lagi Kak Mada memotong ucapanku.

Begitulah seterusnya mereka mengajukan pertanyaan yang sepertinya tertulis dalam kertas di atas meja. Suasana tenang lancar,tidak semenakutkan yang aku kira. Bahkan aku disuruh pura-pura menegur Kak Salsa yang tidak menggunakan atribut lengkap saat upacara bendera. Aku juga mempraktekan ketika mengajukan proposal kegiatan untuk mendapat sponsor dari suatu perusahaan. Aku menikmatinya, senyum kembali menunjukan bahwa detak jantung ini normal.

“Ini sekbid sekunder kamu ya,” setelah pamitan, dan baru saja berdiri, Kak Mada mengajakku bicara dengan nada yang semakin ramah.

“Iya, Kak,” jawabku sekenanya. Ayolah, aku sudah disuruh keluarkan tadi.

“Sekbid primer kamu apa?” kini giliran Kak Elfa seperti tak membiarkan aku keluar sekarang juga.

“8, Kak,”

“Kamu bisa nyanyi?” apakah Kak Elfa itu tipe yang sangat penasaran pada orang lain? biar aku katakan, harus gitu CPO yang memilih sekbid 8 jago nyanyi?

“Bisa, Kak,” senyumku sebenarnya terpaksa. Lebih kepada memohon ingin segera dilepaskan.

“Coba nyanyi,” sepertinya mereka tidak setuju pada isyaratku sama sekali. Kompak mereka bertiga kini memohon agar aku tinggal dan bernyanyi sebentar. Ditambah dukungan ‘jangan malu-malu’ dan ‘lagunya bebas, nyanyi apa aja terserah’ yang memaksaku untuk mempersembahkan satu lagu.

“Dan kau hadir...” untung saja ada lagu satu yang langsung muncul di situasi genting ini.

“Merubah segalanya...” lagu dari Adera yang sering muncul dalam FTV, berjudul Lebih Indah, kuucapkan terima kasih padamu.

“Menjadi lebih indah. Kau bawa cintaku setinggi angkasa. Membuatku merasa sempurna...” ada beberapa nada yang diubah sesuai improvisasi yang ku tiru dari film Aku, Kau dan KAU. Saat Erisca Rein dan Adipati Dolken berduet di pernikahan mantan si Adipati Dolken. Aku lupa siapa nama tokoh mereka di dalam film itu.

“Dan kau buatku utuh. Tuk menjalani hidup, berdua denganmu. Selama-lamanya, kau lah yang terbaik untukku.”

“Kamu anak padus ya?” pertanyaan Kak Mada itu seakan yakin aku menjadi salah satu anggota paduan suara.

“Bukan, Kak,” jawabku dengan senyum kecut. ikut seleksi aja enggak.

***

CPO unjuk bakat. Sudah kukatakan kan kalau aku kelompok 1, itulah mengapa kini mempersiapkan tampil pertama. Ada berkahnya juga, karena sebelumnya belum ada standar penampilan, jadi bagaimanapun hasilnya nanti tetap akan mendapat komentar bagus dan tepuk tangan meriah.

“Jangan lupa ya, aturannya kalian gak boleh hadap belakang,” Kak Ratih sebagai MC kembali mengingatkan ucapannya di awal tadi. Entah apa alasannya, mungkin agar sama-sama menghormati penampilan dari kelompok lain.

“Kamu yang tadi nyanyi, ya,” selagi menunggu Falah menyiapkan laptopnya, tiba-tiba Bomas menatap wajahku lekat.

“Hah?” Apa maksudnya? Oh, apa waktu wawancara sekbid tadi? Sekeras itukah aku nyanyinya? “Iya,” selepasnya dia tidak berkata apa-apa lagi.

Pandanganku kembali ke depan dan tidak sengaja berpapasan dengan Mila. Astaga tatapan jahilnya itu,pasti dia melihat semuanya. Mila menggodaku kalau aku suka Bomas, padahal cuma gara-gara aku bilang Bomas itu lucu karena namanya itu singkatan dari kota asal kedua orang tuanya, Boyolali-Banyumas.

Ku abaikan Mila. Semua sudah bersiap menikmati penampilan kelompok 1.

***

Tidak ada kesalahan fatal dalam penampilan tadi. Kami ber-7 pun kembali ke barisan.

“Kelompok 1, berdiri,” baru saja duduk, Kak Farhan menyuruh kami untuk berdiri lagi.

Kami melakukan kesalahan? Semua di kelompok yang baru saja tampil ini berpikiran sama dengan bertukar pandang satu sama lain.

“Balik kanan grak,” tidak se tegas arahan baris-berbaris biasanya, tapi kami menurut saja, “maju, jalan.”

Di mulai dari Falah, kami berjalan ke arah graha laga melewati lapangan tengah dari tempat CPO unjuk bakat yang dilakukan di balai siswa. rupanya sudah ada Kak Arju dan Kak Aziz di sana. Wajahku tegang. Para kakak OSIS itu mengeluarkan kain hitam dari tas kresek. Sepertinya itu kain yang CPO bawa sebagai perlengkapan seleksi. Bersama lilin dan korek api, kain hitam juga dikumpulkan pada kakak OSIS setelah cek perlengkapan.

“Tutup mata kalian,” kumohon jangan. Ini bukanlah permainan uji nyali, kan. Tolonglah ini di kawasan sekolah. Di manapun itu, yang namanya sekolah pasti ada titik-titik angkernya.

Kumerasakan kain menutupi mata dan diikat cukup kencang agar tidak terlepas. Selepasnya, kedua tangan kami masing-masing diarahkan untuk berpegangan pada bahu teman lain. bayangkan saja kini posisi kami layaknya bermain kereta api. Itulah yang aku pikirkan dengan mata tertutup.

“Maju, ikuti teman di depan kalian,” Apakah semua kelompok mendapat giliran seperti ini juga? Sepertinya ini adalah alasan mengapa CPO yang lain dilarang menghadap ke belakang.

Langkah demi langkah ragu menapak berusaha merasakan apakah rumput atau lantai yang dipijak. Angin malam atau daun kecil yang menyentuh kulit membuat suasana horor seketika.

“Wah apa ini?!” suara melengking itu pasti Marsya, aku hafal saat dia bicara.

“Kak ini di mana?” suara Salsabila yang terdengar hampir menangis tak mendapat jawaban. Aku pun tidak berniat menjawab walau ku tahu ini pasti masih berada di dalam sekolah.

KREEET

“AAA!”

“Apaan sih!!”

“Jangan bercanda deh!”

Ayolah, itu pasti salah satu kakak OSIS yang dramatis membuka pintu kelas. Sampai saat ini, selain aku, hanya suara Falah dan Bomas yang belum terdengar. Aku pemberani? Tidak juga, aku hanya terfokus pada langkah kaki agar tidak tersandung.

Beberapa kali suara Kak Farhan yang memperingati agar hati-hati. Kak Aziz pasti yang selalu bilang ‘awas lompat’ dengan alasan ada batu atau selokan kecil. Sedangkan Kak Arju yang diam saja, bisa jadi membawa ranting dan daun untuk di pukul pukul kecil pada tangan adik kelasnya.

Semua itu akhirnya berlalu juga. Kami masuk ke sebuah ruangan karena sepatu pantofelku rata dengan lantai, bukan lagi kerikil,rumput dan tanah. Rasanya ada lebih banyak orang. Udara lebih hangat tapi juga tekanan lebih banyak.

“Duduk,” kini suara cewek. Entahlah siapa, aku hanya menurut menekuk lutut dengan mata masih tertutup kain dan memang ada kursi di sana.

Apa yang akan dilakukan di sini?

“Perkenalkan diri kalian satu per satu.”

Itu menjawab semua tanda tanyaku. Suara yang lebih keras dan tegas mengisi ruangan. Itu bukan ditujukan padaku, karena arahnya agak jauh dari tempat ku duduk. Lalu terdengar suara Falah, diikuti Nesa dan terakhir Marsya menyebutkan nama mereka.

Ini adalah tes wawancara kedua? Tapi dengan suasana yang lebih menegangkan? Haha, lucu. Kau tahu apa yang aku lakukan sekarang? Ikut menjawab pertanyaan yang kakak OSIS itu lontarkan dan menghafalkannya. Seperti alasan menjadi CPO, apa kelebihan dan kekurangan diri dan beberapa pertanyaan lagi yang tak jauh dari yang ku sebutkan. Setidaknya untuk persiapan aku nantinya.

“Berdiri,” suara cewek yang sama dengan yang tadi menyuruhku duduk, kini terdengar lagi. Baiklah, inilah saatnya. Siapkan mental karena kudengar Nesa menangis dan suara Marsya bergetar.

“SStt,” desisan lirih memanggilku dari arah kanan, “sekbid 7 namanya apa ya?” itu suara Bomas. Ia bertanya sangat lirih, tapi masih terdengar samar olehku. Ya, 3 CPO dari kelompok 1 yang sudah selesai diwawancarai itu, tadi disuruh menyebutkan nama sekbid yang dipilihnya.

“Gak tahu,” balasku lirih. Bukan benar-benar tidak tahu, tapi sadarlah jika pertanyaan itu sangat sensitif. Bagaimana jika kakak OSIS mendengarnya? Sudah menjadi bulan-bulanan.

“Duduk. Buka kainnya perlahan,” setelah maju beberapa langkah, perintah pertama itu sama dengan sesi wawancara urutan sebelumnya.

Kulepas ikatan kain hitam ini. Sedikit demi sedikit membuka mata dan menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Bukan lampu sebagai penerangan, hanya lilin yang berjejer di meja penghalang CPO dengan kakak OSIS. Ku tahu sekarang, ini tes wawancara yang berbeda. Bagaimana menyebutnya? Tes wawancara pengurus harian? Karena di depanku sekarang ada Kak Yoga sebagai ketua OSIS, Kak Reza di sebelahnya yang merupakan wakil ketua OSIS, kakak OSIS kembar yang kudengar sekretaris dan bendahara. Lalu Kak Hisbul, pengurus OSIS paling keren menurut banyak orang. Entahlah, kurasa Kak Hisbul bukan salah satu pengurus harian, walau saat PLS, kesan pertama kaliku kukira ketua OSIS nya adalah Kak Hisbul.

“Sebutkan nama dan kelas kalian,” itu permulaannya. Kak Yoga yang duduk tepat di depanku adalah yang membuka suara.

Posisiku duduk di tengah menjawab urutan kedua, “Yusriyyah Adibah, 1 MIPA 1,” terlalu singkat? Tapi itukan yang di tanyakan? Ah, sudahlah, bodo amat.

“Diantara kalian, jika menjadi pengurus OSIS siapa yang akan menjadi ketua?”

Blam.

Ini bukan jenis pertanyaan yang tadi kuhafalkan jawabannya. Lalu bagaimana? Baiklah, diam saja.

“Jawab!”

“Gak ada?”

“Punya mulut gak kalian?!”

BRAK

Si ketua OSIS menggebrak meja. Di saat yang sama, kakak OSIS yang lain kompak meniup lilin serasa kecewa padam.

“Punya, Kak,” jawab lirih kami, kelompok 1 yang tersisa.

“Kamu,” dimulai dengan menunjuk Bomas, ini waktunya ditanyai satu per satu,”lebih milih kerja di lapangan atau jadi pemimpin?”

“Di lapangan, Kak...”

“Kenapa gak mau jadi pemimpin?”

“Eung...”

“Kamu ini cowok loh,” salah satu kakak OSIS yang kembar memotong Bomas yang sama sekali belum memberi alasan.

“Kalo kamu?” Kak Yoga menatap tepat ke mataku. Otomatis kualihkan pandangan dan menunduk.

“Saya milih, di lapangan, Kak...”

“Terus siapa yang mau mimpin kamu?!” sahut Kak Puspa, kakak OSIS terjudes yang baru saja datang saat Bomas ditanyai tadi.

“Kenapa?” mengalihkan kalimat Kak Puspa tadi sebagai retoris, Kak Yoga kembali melempar pertanyaan padaku.

“Saya trauma, Kak,” Hah? Apa?! Aku jawab apa barusan? Yusri, udah gila ya? Aku juga gak tahu kenapa mulut ini malah ngomong kaya gitu, “saya pernah jadi ketua, tapi anggota yang lain menyepelekan saya. Saya ngerasa gak dihargai dan kurang percaya diri,” terserahlah, itu lanjutanku dari hati. Ada masa dimana saat jadi pratama atau ketua OSIS di SMP, aku kurang berpendirian, prinsipku goyah dan malah putar arus pada keinginan mayoritas tanpa memperhatikan yang lain. aku pun tidak berani menegur mereka karena balasan yang kudapat akan balik memojokanku.

Dan bodohnya, aku menangis. Kuulangi, aku sekarang tengah menangis.

Lilin di depanku dinyalakan kembali, pelakunya adalah Kak Yoga. Dia menunggu wajahku terangkat, lalu memberikan tatapan yang lebih lembut,”harusnya kamu buktiin sama mereka, kalu kamu bisa jadi pemimpin yang hebat.”

Tak ada yang menyaut. Apa ceritaku membuat bentakan mereka ciut? Aku tidak peduli. Mendengar suara Kak Yoga membuatku sedikit tenang. Ya, sedikit saja.

“Saya tunggu kamu nyalon jadi ketua OSIS.”

Wait, WHAT?!!

***

Apakah kau suka menunggu?

Jika iya, maka sama denganku. Dalam bayanganku, yang namanya masa depan itu selalu cerah, namun setelah sampai sebenarnya tidak seterang itu juga. Menunggu sesuatu layaknya berjalan di dalam terowongan yang lurus. Menatap satu titik putih yang lama-kelamaan semakin luas.

Lembar cerita berkata lain. kali ini, aku benci. Tidak bisa mengatakan menunggu juga karena aku tidak tahu kapan hal itu akan tiba. Lebih tepatnya adalah digantungin.

Pengumuman CPO. Ya, siapa yang akan terpilih menjadi pengurus OSIS periode berikutnya. Pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS sudah dilaksanakan. Ditetapkan paslon nomor urut 2, Kak Deni dan Kak Lina yang terpilih.

Serangkaian mulai dari Debat Paslon hingga pilkaos online adalah hal baru bagiku. Jika di SMP, terlebih dahulu kegiatan LDK baru pemilihan ketua OSIS. Dulu masih manual menggunakan surat suara, itu terdengar lebih meriah dan demokratis. Apalagi saat dibacakan hasil surat suara dan ketika ada paslon yang jumlah suaranya layaknya sepatu yang tengah di ajak berlari. Itu sangat seru.

Hal lain yang menjadi penyebab pengumuman CPO terpilih hampir satu bulan adalah acara peringatan hari ulang tahun sekolah. Selama 2 minggu, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Asik bukan? Selama itu belajar melalui diskusi kelas, berkarya, mengapresiasi seni, olahraga dan suportivitas.

Sangat beda dengan di SMP, puncak HUT sekolah di SMA dilaksanakan malam hari, kami menyebutnya malam spectanica. Ada panggung megah yang nantinya menyuguhkan penampilan dari bintang tamu.

Sebenarnya yang membuat sibuk bagi CPO itu sendiri adalah, teater Romeo Juliet. Drama musikal sebagai opening malam puncak. Sayangnya, aku tidak ikut serta di dalamnya. Memang dari kakak OSIS tidak mewajibkan semua CPO harus mengikuti, tapi aku mulai pesimis bahwa yang dipilih nanti adalah dari anak-anak yang tergabung dalam drama dibawah arahan Kak Hisbul itu.

***

Akhirnya. Dan akhirnya. Setelah 3 minggu lamanya, ada kabar bahwa sore ini, sepulang sekolah akan ada kumpul CPO untuk pengumuman tahap 1. Tunggu, tahap 1? Ya, aku tidak terlalu memperdulikannya. Lagian, kemungkinan besar juga aku tidak lolos kan. Selama kegiatan CPO saja aku kemana-mana bersama Mila, seperti saat ini.

“Palingan yang lolos yang ikut RomJul,” Mila berani bilang begitu karena aku dan dia duduk agak jauh dari CPO lain. kami tengah menunggu kakak OSIS yang pulang lebih lama satu jam pelajaran.

“Iya,” jawabku mengiyakan. Ekor mataku melirik CPO lain yang sepertinya semakin akrab karena berlatih drama bersama setiap harinya.

“Apalagi yang jadi pemeran utama,” Mila kembali menduga seraya mengikuti arah pandang lirikanku.

Firman kelas 1 MIPA 6 dan Husna kelas 1 IPS 3. Dua nama yang meroket dikenal kakak kelas sejak tampil di malam puncak minggu lalu. Banyak opini bahwa Firman itu anak paling tampan seangkatan. Aku tidak terlalu paham, bahkan tahu namanya gara-gara dia jadi Romeo. Sungguh, Yusri, kau benar-benar gadis yang tinggal di Gua tengah kota.

TENG TENG TENG ~

Melodi intro Mars sekolah menjadi tanda kegiatan belajar mengajar kelas 2 dan 3 berakhir. Tak menunggu lama, kakak OSIS pun datang. Tentunya CPO sudah berbaris rapih. Mereka yang sudah saling kenal dekat akan lebih mudah berkomunikasi. Sedangkan aku dan Mila ikut-ikut saja.

Inilah saatnya. Tak banyak basa-basi, setiap CPO mendapat amplop surat yang berisi pernyataan lolos atau tidaknya mereka. Bagaimanapun juga, aku merasa deg-degan. Sebelum membukanya, mataku dan Mila saling berhadapan. Kami serempak menganggukan kepala untuk menguatkan diri sebelum membuka surat putih yang ditunggu lama itu.

Satu.

Baiklah. Apapun hasilnya, ini adalah yang terbaik.

Dua.

Aku akan menerimanya dengan lapang dada. Dan mesti tersenyum.

Tiga.

‘Yusriyyah Adibah. Dinyatakan LOLOS’

“Eh?”

“Gimana-gimana? Lolos gak?” sepertinya Mila juga sudah membaca hasilnya. Rautnya tidak biasa saja, namun tidak terlihat begitu senang.

“Kamu gimana?” aku membalikkan pertanyaan berharap dia mau menjawab terlebih dahulu.

“Enggak,” jawabnya singkat seraya menggelengkan kepala.

Kau tahu apa yang lebih menyebalkan daripada dinyatakan tidak lolos? Situasi dimana kau lolos, namun temanmu tidak. Kebahagiaanmu serasa runtuh dan memerlukan banyak tenaga untuk menahan senyuman. Perasaan serba salah berakhir kecanggungan setelah kau bicara apa adanya atau diam saja.

***

Keinginanku yang tercapai tidak berjalan sejajar dengan rasa senang. Aku memang terseleksi menjadi pengurus OSIS, namun rekan yang lainnya saja tidak hafal. Hanya tahu Nesa dan Falah, kemudian Hanan, Umam dan Evi karena satu kelas.

Untunglah ada yang namanya LDK. Ya, walaupun tidak benar-benar dapat disebut menguntungkan. Hari Rabu, dengan segala persiapan, pengurus OSIS kelas 2 dan CPO terpilih berkumpul di kelas 1 MIPA 7 untuk mendapat informasi mengenai LDK.

Mengapa aku sebut sebagai segala persiapan? Sehari sebelumnya, kami, kelas 1 diberi wejangan dari pengalaman LDK kelas 2 dulu. Mulai dari harus menghafalkan nama lengkap semua pengurus OSIS, pasang telinga baik-baik dan latihan menulis cepat karena pastinya penyebutan perlengkapan LDK layaknya kaca kereta api yang menyapa.

“HP dikumpulkan ke meja paling depan! Gak usah sembunyiin HP lain buat ngrekam!” mengikuti perintah Kak Nadya, salah satu pengurus OSIS yang kembar, ya aku sudah tahu namanya, pengurus OSIS kelas 3 yang lain mengecek meja, tempat pensil, tas, bahkan sela-sela jendela siapa tahu ada HP tersembunyi di sana.

“Perlengkapan LDK OSIS...” Oh tidak. Tolonglah, tidak bisakah biarkanku bernafas sejenak mengurangi ketegangan.

Tulisanku sangat jelek. Aslinya memang tidak sebagus itu, tapi kini benar-benar membuatku ragu bisa membacanya lagi nanti.

Kutulis di kertas halaman paling belakang buku PKn. Maaf Pak Gunarso, ini adalah buku paling kosong catatannya yang kubawa hari ini daripada buku matematika dan fisika. Aku tidak peduli lagi, dari yang kudengar juga hanya beberapa, aku hanya berhasil menulis seragam OSIS lengkap, sandal, buku kembar emas kemilau, lilin dan apa lagi ini? Kurasa semir sepatu.

“Setelah ini silakan kalian diskusi, maksimal sampai pukul 5,” setelah mengulang daftar perlengkapan LDK sebanyak 2 kali, Kak Nadya menilap kertas dan meninggalkan ruangan diikuti kakak OSIS kelas 3 yang lain.

“Disini siapa yang dapet perkap paling lengkap?” Kak Deni langsung maju ke depan dan memimpin.

“Aku kayanya agak banyak nih, Den,” Kak Ratih mengacungkan jari telunjuk tanpa ragu.

“Bacain, Tih. Lainnya kalo ada yang beda langsung bilang ya,” Kak Deni mempersilakan Kak Ratih berdiri.

Dengan menyimak catatan di bukuku dan menuliskan apa yang belum tertera di sana, ternyata banyak yang kudapat dari yang dibacakan Kak Ratih. Wah, yang sudah berpengalaman memang beda. Aku memang pernah LDK saat jadi pengurus OSIS di SMP, tapi jangan samakan sedikitpun dengan ini. Di SMP, rasanya seperti seminar mendengar materi dari Bapak/Ibu Guru. Dalam ruangan sejuk dan diberi snack makanan serta makan siang.

***

Latihan Dasar Kepemimpinan dilaksanakan 2 hari satu malam, sama dengan seleksi pengurus OSIS kemarin. Awalnya tidak jauh beda dengan SMP. Apel pembukaan, cek perlengkapan dan materi. Itu yang kurasakan hingga matahari mengucap salam tidur.

Semakin gelap langit, wajah kakak OSIS kelas 3 juga semakin jarang tersenyum. Makan malam dengan menu yang dibawa kami. Nasi, tempe dan tahu goreng, serta sayur pare. Aku tidak terlalu suka tahu, apalagi sayur pare. Untungnya kami makan bersama dengan semua bekal peserta LDK yang dibungkus kertas minyak di jadikan satu dalam tampah.

Nyatanya, kurasa keberuntungan itu tidak bertahan lama, baru 3 suap, mengalirlah dari atas air mineral yang ditumpahkan kakak OSIS kelas 3 dengan sengaja. Katanya, biar cepet selesai makannya karena lebih mudah ditelan. Rasanya malah ingin muntah.

Tapi kami tetap diam. Aturan nomor satu saat LDK, panitia selalu benar dan peserta lebih baik diam. Itu yang kulakukan sampai malam dini hari tiba. Sebuah waktu dimana aku sangat lebih bersyukur pada menu makan malam.

“Deni, maju!” Kak Yoga yang jarang bicara itu sepertinya akan mengeluarkan kharismanya.

“Sebutkan kesalahanmu dan anggotamu dari apel pembukaan sampe sekarang!” tidak bernada tinggi bentakan, tapi terdengar tegas menyeramkan. Ditambah udara dingin yang bercampur keringat hasil jalan jongkok tadi.

“Hukuman apa yang akan kamu lakukan atas kesalahan itu?” setelah Kak Deni menyebutkan ‘alasan apapun yang dianggap salah sesuai aturan nomor satu LDK’ Kak Yoga melontarkan pertanyaan yang secara tidak langsung bertujuan agar kami dihukum.

“Tuh, baik banget kan Yoga, disuruh milih mau hukuman apa,” Kak Puspa yang menyahut sebelum Kak Deni yang di tanya membuka suara. Intinya untuk memancing emosi dan melatih kami menahannya.

“Kalo kesalahannya banyak banget gitu sih, harusnya hukumannya...”

“Apa Bul?” Kak Rahul memotong kalimat Kak Hisbul yang membuat suasana memanas.

“Gak mau sebut ah, takut pada minta pulang,” kutarik pujianku yang mengatakan Kak Hisbul keren. Saat ini, dia benar-benar menyebalkan.

Tak jauh-jauh, akhirnya push up lah yang dilakukan. Dengan seragam OSIS lengkap yang kusut dan tidak terlalu rapih akibat dipakai hanya dua menit. Entahlah apa ada sesuatu mengenai angka 2. Kemarin sore, mandipun dihitung 2 menit harus sudah selesai. Jujur, dari semua moment yang paling membuatku takut adalah saat mandi. Alasannya, nanti kalau ada hantu yang terganggu dan aku menjadi korbannya bagaimana?

Sangat cerah melihat mentari bangun. Kegiatan juga menjadi menyenangkan. Makan pagi dengan menu lezat,mandi selayaknya dan permainan seru. Sederhana saja, seperti makan krupuk dan balap karung. Oh iya, tadi malam juga ada permainan. Mencari badge OSIS dan berakhir drama karena banyak yang tidak menemukan. Aku salah satunya. Setelah dipikir-pikir, petunjuk yang aku terima mudah ternyata. Tertulis ‘jika kau melewatiku, aku akan membuatku bersih’ begitu. Kau tahu apa jawabannya? Awalnya aku hanya memikirkan tempat cuci tangan yang ada di depan masing-masing kelas. Mungkin karena panik, aku bahkan tidak memikirkan sebuah benda di depan pintu yang bertuliskan ‘welcome’.

***

Senin, 13 Oktober 2017. Hari pelantikan pengurus OSIS yang baru. Itu adalah esok hari. Aku bahkan sudah membeli sepatu pantofel baru dan tidak lagi meminjam milik Sonya. Oh, aku minta maaf padanya karena sepatu yang kupinjam itu agak rusak.

Berkat LDK seminggu yang lalu juga aku lebih rajin dalam berpenampilan. Kau tahu? Selama aku bersekolah, baru kali ini aku pakai semir sepatu, sungguh.

Sebenarnya aku harus tidur awal agar esok tidak terlambat, tapi Kak Afi, kakak perempuanku yang berkuliah di UNNESS baru saja pulang. Bukan menjadi lupa waktu karena mengobrol melepas rindu, namun setiapdia pulang pasti membawa banyak drama korea baru. Aku, Kak Afi dan sepupuku Kak Ambar suka hal-hal yang berbau negeri ginseng itu sejak SD. Dulu menonton drama korea yang diperankan Lee Min Ho, Boys Over Flowers, lalu drama korea musikal, Dream High di TV.

“Lah, cucuku. Jangan nontonin kaya gitulah... bahasa tak paham artinya kan, cangcongcangcong,” kakekku yang hendak melihat mobil dan motor melintas di jalan depan rumah, menyindir aktivitas ku dan Kak Ambar.

“Gak apa-apa, Kek. Buat refreshing,” jawab Kak Ambar sekenanya. Malas juga menjelaskan apa yang maksud dengan subtitle, kan.

Jarum jam menunjuk angka 9. Aku menuju kamar bersiap untuk tidur. Kak Ambar sudah pulang tadi setelah menyelesaikan satu episode. Rumahnya tidak jauh dari sini. Aku memang serumah dengan kakek dan nenek. Ayahku bukan anak bungsu, tapi kata Budhe Tasilem, Ibunya Kak Ambar, ayahku itu anak kesayangan.

Huh, rasanya tidak bisa tidur. Beberapa jam lagi, rasanya tidak sabar. Menurutku, H-1 adalah menjadi momen yang paling mendebarkan. Bahkan melebihi tanggal yang menjadi momen itu.

Sejujurnya, sudahku bilang kan, di SMA ini aku tidak berniat masuk organisasi, apalagi OSIS. Tetanggaku, Kak Iko dulunya pengurus OSIS dan pernah cerita kalau setiap rapat itu pasti ada aja tuh dimarahin kakak kelas. Terus tak pernah absen evaluasi setelah kegiatan seperti classmeeting. Kak Alma saja,tetanggaku yang pintar dan ranking 1 di kelas semasa SMA, tidak lolos selesi CPO. Lalu, aku? Apakah harus bersyukur atas pilihan ini?

“Yus!” Kak Afi tiba-tiba memanggil namaku tanpa sabar memaksaku agar membuka mata kembali, “Kakek mau di bawa ke rumah sakit,” lanjutnya lirih dengan raut khawatir.

“Hah?! Kenapa?” baiklah ini memang bukan panggilan tanpa alasan. Ini keadaan darurat.

Aku bangun dari tempat tidur dan keluar kamar. Ayah dan ibu tengah memapah kakek untuk naik ke mobil milik Pak Mimik, tetangga depan rumahku. Nenek tak tinggal diam, beliau ikut bersama ayah dan ibu mengantar kakek ke rumah sakit.

Ini bukan pertama kalinya kakek pingsan dan harus di bawa ke rumah sakit. Aku tidak terlalu tahu persis apa penyakit yang di deritanya, tapi itu adalah penyakit dalam yang berhubungan dengan paru-paru, jantung dan otak. Bagaimana aku tahu? Aku melihat hasil ronsen yang menampilkan gambar otak kakek, lalu anak-anaknya yang selalu melarang kakek untuk merokok. Walaupun omongan mereka tidak digubris kakek sama sekali. Katanya ‘lebih baik mati dari pada tidak merokok’ yang manis itu membuat mulutnya yang pahit obat bisa merasa senang di umur tuanya.

“Kamu berani di rumah sendirian gak?” setelah mobil berwarna putih itu tidak lagi terlihat, Kak Afi kembali memandang ke arahku.

“Kak Afi mau kemana?” nada bicaraku bergetar. Rasanya ingin menangis akan semua pikiran pikiran buruk yang muncul tak sopan di otak.

“Aku mau ke rumah Budhe, kamu di rumah aja. Baca surah Yasin, ya,”

Tak membalas kalimat Kak Afi, aku pun kembali ke rumah dan menutup pintu. Langsung ku ambil Al Quran dan membukanya. Mencari lembar dimana letak Surah Yasin dengan tangan bergetar.

Pikiranku kacau. Aku benci merasa tak tenang seperti ini. Air mata pun tak dapat ku bendung lagi.

***

“Innalilllahi...” kabar duka dari mushola depan puskesmas dekat rumahku, semakin menampar harapanku kalau ini hanya mimpi. Aku tidak mau sadar dan menerima kalau kakekku telah tiada, tapi aku harus mengikhlaskannya.

Kakek yang dingin dan sering menyendiri. Sangat suka menonton wayang walau dalam cuaca hujan. Tak jarang mengerjakan PR Basa Jawa ku saat SD karena aku belum paham aksara jawa dan basa krama. Terulang adegan-adengan seperti sejarah desa yang diceritakan kakek padaku saat kecil.

Aku ingin berteriak melepas sesuatu yang membuat dada ini sesak. Aku ingin bernafas normal tanpa ingus dari tangisan. Aku diam tak mampu berfikir apa yang harus kulakukan. Bahkan sesuatu yang kutunggu esok hari tiba pun ku abaikan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi