Disukai
0
Dilihat
1,605
Ulang Tahun di Tanggal 6 Oktober
Drama

Bulan Oktober adalah sesuatu yang tidak akan Emma lupa. Ada satu tanggal di sana yang membuat bintang pun minder akan sinar binar mata cokelat Emma. Itulah dahulu kala. Omong kosong cerita dongeng sebelum tidur. 

Emma kini benci tidur. Bukan karena takut tidak akan pernah bangun, dia malah kecewa akan realita setelah bangun. Sesuatu yang kau jaga di genggaman tangan dalam mimpi, tak akan pernah hadir di kehidupan nyata setelah mentari menyapa.

Huh, sekarang si bundar kuning menyala itu pun bersembunyi. Menghindar kah dari amukan Emma?! Perjalanan ke Danlira, desa kecil yang bahkan tak ada petani. Rumput hijau biasa yang di banggakan bagai permadani. Ya, sepertinya waktu kecil Emma menjadi salah satu dari penggemar desa asri ini. Ketahuilah, sekarang tidak lagi. Usia Emma mau masuk tujuh belas tahun. Membuang semua fantasi petualangan yang bersinar di tempat kayu kayu ini. 

Di kursi belakang, Emma tersenyum kecut mengingat rasa kesal setelah menonton Terabithia. Menyesal pernah menyia - nyiakan waktu untuk menangis semalaman. Kakeknya waktu itu bilang kalau seorang putri tidak menangis, lalu Emma menjawab, bagaimana putri tidak menangis ketika ratu pergi.

Beribu ribu hari dilalui, Emma menjadi anak ceria yang seolah – olah mengikuti tutur kata kakeknya. Cukup tidak menjadi tidak terlihat, tidak juga menjadi pusat perhatian yang setiap minggu jalan jalan bersama sahabat. Jangan kaget, Emma itu tidak punya teman. Lucu, tapi ya benar dia pasti punya teman, tapi bukan teman yang seperti itu. 

Dia duduk sendiri. Sekolahnya memang memberlakukan seperti itu. Dia cukup pintar, namun terlihat bodoh di sekolah yang terbaik itu. Jika ada alur dalam drama berkata sekolah elit isinya anak anak berotak kosong berdompet tebal, nyatanya tidak demikian. Bayangkan. Hanya bayangkan sejenak. Orang tua yang mencapai titik sukses, pasti berpendidikan. Wawasan mereka tentu mampu memukul palu kayu untuk memupuk otak putra mereka bukan.

Begitulah siswa siswi di sekolah Emma. Hm, mungkin harus dikatakan sekolah yang dulu karena sekarang Emma sudah sampai ke halaman sekolah yang baru.

Mengikuti kedua orang tuanya yang sangat ramah mengantarkan ke sekolah antik ini, Emma membuka pintu mobil yang sama nuansanya dengan jalan menuju bangunan di depan mata itu. 

Ruang di pikiran Emma, putri seorang detektif kota yang menutupi identitasnya, menggambarkan tabel tabel perbandingan. Dua manik mata cukup menangkap sebagai kamera dan langsung di simpan untuk disandingkan dengan potret sekolah menengah atasnya yang dulu.

Kau pernah menonton kartun drakula dengan latar mansion penuh sarang laba labanya? Bandingkan penampakan itu dengan sekolah internasional tiga lantai modern ber lapangan luas. Ada kesamaan, di sini halaman hijau juga, namun sangat tidak terawat. Seratus delapan puluh derajat bedanya. Emma memohon bagaimana pun juga, tolong manusia, ya orang – orang yang normal.

BRUK

“AW!” sial. Emma jatuh duduk di aspal. Matanya tertutup sebal bersiap mengutuk siapa saja yang berani menambah buruk kesannya di pagi hari ini. Sekali pun dia adalah sang kepala sekolah, Emma tidak akan peduli seperti kedua orang tuanya sekarang yang sepertinya sudah berjalan jauh di depan sana. Ya, tidak terdengar suara khawatir ibu melihat anaknya jatuh. Emma jadi teringat nasihat ayah yang menyadarkannya agar berjalan agak lebih cepat.

“KAU-“

“Kau baik baik saja?” 

Makian akan Emma bukan terpotong oleh kalimat laki laki yang berjongkok di depan Emma sekarang. Emma benar benar menghentikan katanya dan masih menganga.

Ada pangeran di sekolah ini. Atau mungkin dia adalah vampire yang tinggal di mansion tua. Tidak heran tempat pelosok masih ada beberapa orang yang mau tinggal. Lihat saja tampan bermata cemas itu.

“Emma?”

“WAA!!” yang dipanggil itu berteriak.

Jika kalian berpikir itu suara tanda Tanya ibu nya Emma, salah besar. Orang tua Emma kini baru berbalik badan mengetahui tak ada lagi langkah kaki yang mengikuti mereka di belakang.

“Emma kamu kenapa?” ya, itu baru kekhawatiran seorang ibu. Membantu anaknya berdiri. Sebenarnya juga bisa sendiri, lihatlah tidak ada cacat lecet sama sekali.

“Kamu apakan putri saya?” sorot tegas ayah Emma bertanya pada laki laki berseragam kemeja putih rompi coklat tua yang senada dengan celana kainnya.

Ayolah, jangan berpikir yang macam macam, “Emma baik baik aja, Ayah. Dia mau bantuin Emma kok…” suara Emma melemah. Masih ragu apakah uluran tangan tadi benar benar ingin bermaksud membantunya.

“Saya Elvis, siswa disini, tingkat 2. Sebenarnya akan mengantarkan Emma, putri bapak untuk berkeliling sekolah karena- Emma sudah besar dan tidak perlu di antar masuk asrama.”

“Jadi, kamu semacam ketua OSIS disini?” ayah Emma masih curiga meneliti anak laki laki bernama Elvis ini dari ujung rambut hitam tertata rapih itu hingga bawah sepati yang berwarna hitam pula.

“Kami menyebutnya perwakilan siswa. Dan, ya- saya semacam ketua OSIS,” senyum manis Elvin tidak hanya membuat Emma bersemi dan meleleh, namun juga meluluhkan orang tua gadis berumur 16 tahun itu luluh dan sepenuhnya percaya.

“Tunggu!” banyak yang akan Emma tanyakan. Banyak sekali, namun sekarang dia hanya akan protes mengenai satu hal, “ini sekolah asrama?!”

“Emma-“

“Kok ayah gak bilang?!” mengabaikan ibunya yang seperti akan menjelaskan dengan lembut, Emma lebih memilih melontarkan tanda tanya pada Ayahnya yang berjalan ke pintu mobil hendak pergi begitu saja.

“Kalo ayah bilang, kamu bakal kabur.”

“Ya! dan tanpa ayah bilang pun, Emma bakal kabur!” tak heran harus membawa dua koper di bagasi mobil. Emma cukup bodoh diperdaya jika koper itu bukan miliknya, padahal di hari kemarin ibunya yang mengepakkan untuknya.

“Emma!” sekarang yang bersusah payah menata pakaian ke dalam koper itu memanggil nama putrid satu satunya lagi. 

“Saya akan menjaga Emma selama dia disini. Jangan terlalu khawatir,” kalimat itu tentu saja masih menyisakan rasa cemas. Namun, mampu membuat sang ibu tidak mengejar langkah terhentk keras itu dan memilih masuk mobil bersama suaminya.

BRUM BRUM

“Aku rindu hidup yang membosankan,” Emma sangat yakin kedua orang tuanya benar benar ingin membuangnya. Dan kalau boleh member saran, sediakan kotak yang besar.

“Emma!” telinga Emma sangat mampu mendengar itu.

Baik. Itu tidak cukup menghentikan aspal yang tak bersalah dihentak hentak. Menuju pepohonan yang menutupi jurang sebenarnya membuat Emma ragu. Dan ada satu tempat kosong lagi yang menjadi tempat di pikirannya untuk mengadakan tukar tanda Tanya mengapa sudah pukul 8 bel sekolah ini belum berbunyi. 

“AAA!!” kaget Emma yang menengok hendak meneliti apakah masih ada siswa berkeliaran malah menemukan cowok bernama Elvis ini sudah berjalan beriringan di sampingnya dan itu sangat dekat, “permisi! Aku tahu kamu ganteng, tapi jangan seenaknya dong!”

“Maat,” jawaban yang singkat. Kemudian kaki Elvis bergeser ke kanan dua langkah.

“Kamu anak bayaran ayahku?” kaki Emma berhenti bersama dua koper besarnya, “oke itu pertanyaan yang salah. Kau hanya anak baik baik yang pasti langsung dipercaya semua orang tua untuk menjaga anak mereka,” lirih Emma menunduk bicara pada diri sendiri, “kalau ayahku saja tidak tahu kau, mengapa kau tahu namaku?”

“Aku membaca jahitan nama di atas saku seragam mu.”

“Oke, itu lebih tidak sopan dibanding kau benar benar ketua OSIS yang disuruh menjadi bodyguard anak baru,” Emma memutar bola matanya.

“Aku? Ya. Memang benar apa yang kau maksud itu,” melipat dua lengannya di depan dada, wajah Elvis serius membuat Emma terdiam. Sungguh dia pemeran utama yang sempurna.

“Dan sekarang?” pertenyaan tiba tiba Elvis menyadarkan Emma, “kenapa kau diam?” dua langkah tadi kini sudah dihilangkan.

“Bu-bukankah kau senang?” balas cepat Emma sedikit gugup.

“Lebih baik kau cerewet seperti burung.”

Dua pasang mata itu bertemu. Perlahan raut Emma berkerut ingin melempar granat pada sekolah di belakang sana yang sepertinya tidak memiliki aliran listrik untuk menyalakan bel masuk.

“CREEPY!!”

Tanpa kata kata, seorang Elvis mampu membawa kabur Emma untuk meletakkan dua koper besarnya ke tempat seharusnya. Cukup di depan gerbang kecil asrama perempuan. Tidak benar benar digeletakkan begitu saja, ada penjaga wanita paruh baya yang sangat tidak suka mengeluarkan suara itu. Atau mungkin dia bicara tapi terlalu kecil.

“Jika kau bertanya kapan dimulai masuk kelas, itu pukul 7 pagi,” akhirnya Elvis membuka suara dan berhasil membuat Emma menoleh ke arahnya, “hari ini adalah awal semester baru, jadi siswa belum masuk kelas.”

Itu menjawab mengapa tidak ada bel dari tadi. Atau mungkin memang tidak ada listrik?

“Sistem disekolah ini adalah- em, kau mungkin menyebutnya moving class. Satu hari ini siswa mengatur sendiri kelas apa yang ingin diambilnya selama satu semester ke depan. Begitu pun dengan kau,” Elvis memberikan buku kecil berwarna biru gelap mendekati donker pada Emma.

“Bagaimana?”

“Ada 12 kelas yang harus kau tempuh di tingkat dua. Matematika, sains, sejarah, ilmu sosial, hukum, ekonomi, seni-“

“Kau bilang tadi aku memilih-“

“Yang kau pilih adalah waktunya,” masih berjaga jarak berdiri, Elvis sedikit susah payah mengulurkan tangan kanannya untuk menunjukkan kotak kecil kecil yang tergambar di samping nama mata pelajaran.

“Ada kelas di malam hari?” setelah meneliti sekilas, Emma menangkap perbagian waktu yang menjadi 5 itu. Pukul pagi, 7 dan 10, siang pukul 2, 5 sore dan 8 malam di pilihan kotak kecil bertiliskan nama hari.

“Jika kau nocturnal.”

“Apa semua orang di sini aneh sepertimu? Atau kalian semua bukan manusia?” 

“Berapa umurmu?”

“16.”

Walau melenceng jauh, Emma tetap menjawab pertanyaan Elvis. Jika kau berhadapan dengan cowo bermata cokela cerah itu juga pasti akan terbawa arus.

“Kau cukup muda.”

“Bukankah kita berusia sama? Kau bilang lima belas menit yang lalu kau kelas 2 kan?”

“Aku 18 tahun.”

“What?!”

“Semua yang masuk sekolah Danlira harus berusia 17 tahun.” Tangan Elvis terulur ke belakang kepala Emma.

“Dan aku?” Emma tidak sepenuhnya berbalik untuk melihat apa yang diraih jari Elvis karena apapun itu rambut Emma saja tidak tersentuh.

“Kau spesial, Emma.” Terdengar jentikan jari dan telapak tangan Elvis muncul bersama sebuah kalung.

Tidak. Elvis tidak mencurinya dari Emma. Anak perempuan berambut hitam sepunggung itu tidak suka memakai perhiasan. Ya, ini kan sekolah.

“Haha, itu untukku?” secara tidak sadar Emma tersenyum kecil. Akan memperlihatkan deretan giginya jika tidak ditahan.

“Hahaha, kau mau?”

“Hah?” Emma bingung. Tidak heran akan betapa anehnya orang di depannya ini, namun kini ada pikiran lain yang mengisi otaknya.

“Maka kau akan bersamaku.”

“Jadi,” kedua lengan Emma terlipat di depan dada seraya tersenyum kecut, “kau sedang memanfaatkanku untuk berlatih melamar pacarmu?”

“Pacar?”

“Ya, seseorang yang-“

“Ya, aku tahu seseorang yang apa. Dan tidak,” kalung berliontin batu bening cerah memantulkan cahaya layaknya prisma itu masuk ke saku rompi Elvis, “aku hanya menunjukkanmu sebuah trik.”

Sungguh aneh. “apakah ini sekolah sihir?”

“Hahahahaha… buku apa yang baca, Emma?”

“Stop! Awalnya aku disuruh mengisi ini. Dan kau mengajak otakku bersepeda untuk melihat taman berisi batu bercahaya dan berakhir membaca sebuah buku? Ya! Berhenti.”

“Aku hanya Elvis. Hm, seseorang yang meluangkan waktu untuk siswa baru. Dan berakhir akan memberikan ini,” entah dari mana, mungkin di balik rompinya, Elvis memberikan buku lain yang ukurannya cukup lebar, “selama 16 tahun kau belajar dan pasti sudah bisa membaca bukan?”

Semuanya berakhir. Emma ditinggalkan di lorong koridor. Untunglah tidak kosong karena siswa lainnya juga berlalu lalang. Sepertinya mereka mencari tempat kelas untuk dijadikan jadwal pilihan mereka sesuai rute yang satu arah. Itu alas an yang paling logis.

Baik. Emma, tidak secantik itu. Dia selalu jadi tidak terlihat dan dia ahli akan itu. Emma tidak kesal pada Elvis karena dia masih melempar senyum manis tadi. Dan jika dipikir piker lagi, percakapan Elvis dengannya, hm, tidak sebanyak itu. Dan Emma yang berpikir terlalu liar. Dia tidak pernah memiliki teman bicara sejak taman kanak kanak, jadi, jangan salahkan Emma kalau merasa berdialog pada tema petualangan bersama si tampan Elvis.

“Kau butuh bantuan?” suara itu membuyarkan lamunan Emma dan membuatnya berbalik untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara, “mengapa ada di tengah jalan?” baik, wajah itu tidak seramah Elvis. Bersama dua teman yang sama cantiknya, sekilas Emma berpikir mereka kembar, perempuan itu mengisyaratkan agar Emma menyingkir dari hadapannya.

“Aku-“ nada awal dari Emma cukup bersemangat, “maaf,” selanjutnya mempasrahkan diri. Dia tidak tahu apakah kembali berhadapan dengan orang penting di sekolah ini atau bagaimana.

Tidak ada obrolan lagi, Emma berjalan tak tahu tujuan yang penting berjalan normal seperti yang lain. Walaupun seragamnya yang sangat mencolok karena berbeda itu cukup untuk mengundang perhatian. 

Lupakanlah. Emma tidak secerah gadis lain disini. Jika berada dalam sebuah cerita, Emma tidak yakin siapa si pemeran utama perempuan disini. Semua yang dia lewati selama berjalan sejauh ini, seakan akan bersinar. Bukan karena lorong ini gelap, ya memang gelap. Akan tetapi mereka semua sangat cantik. Bahkan Emma yakin, kakak kelas keren yang muncul di mimpi Emma kemarin malam akan rela berpasangan dengan siapa saja siswi di sekolah ini. Mereka berdua akan saling menutupi dengan bayangan cerah.

Tunggu. 

Oke jangan berhenti berjalan atau Emma akan ditegur lagi.

Dia tidak melihat siswa laki laki disini. Sungguh, hanya Elvis kah laki laki disini? 

Tidak tidak. Mungkin itu alas an logis mengapa Elvis pergi. Kelas untuk perempuan dan laki laki berada di gedung yang berbeda. Sama seperti dipisahnya asrama.

“Sekolah Danlira…” Emma mulai membuka buku yang terasa seperti profil sekolah ini setelah bertemu pada teman yang menerimanya, sebuah bangku, “benar.” Ada peta di sana. Dua gedung besar sejajar untuk pembelajaran 9 kelas. 

“Apakah tiga lantai berarti untuk setiap tingkatan kelas?” mata Emma melihat gedung di depannya yang berbata warna biru tua seperti buku kecil di sakunya. 

Lorong yang dari tadi menjadi lintasan sepatu pantofel Emma adalah latar gedung besar belantai tiga. Dan menurut peta, ada gedung kembar di belakang sana, diperuntukkan siswa laki laki. Beberapa gedung berkode, mengelilingi sekitar dua gedung yang paling besar. Entah kebetulan aatu disengaja, dihitung oleh Emma jumlah semua bangunan di sekolah ini ada tujuh belas. Dan ada satu gedung yang ukurannya lumayan besar. Disebut seni, tempat kelas seni terapan nanti. 

“1, 2, 3, 4, 5… 11,” pantas saja gedung berlantai 3 ini hanya ada 11 kelas. 

Untuk kelas di tingkat dua sama seperti yang dikasih tahu Elvis tadi, ada dua belas mata pelajaran, “matematika, akan ku taruh di hari akhir sendirian, begitupun untuk biologi, kimia dan fisika. Untuk senin, kugabungkan yang menyenangkan, sastra, seni, etika, serta teknologi informasi dan komunikasi. Selasa untuk yang berhubungan yaitu, sejarah, ilmu sosial, ekonomi dan hokum,” Emma mengeluarkan buku kecil yang sepertinya untuk identitas karena warnanya sama dengan seragamnya nanti dan tembok gedung.

Emma tidak terlalu menyukai sejarah karena dia hanya harus focus pada masa depan bukan. Namun, dia menyempatkan waktu untuk membaca halaman berikutnya.

Cukup lama, satu dari banyak hal yang membuat Emma terganggu. Bukan dengan kecurigaan sekolah ini mengajarkan sihir atau sulap yang dipamerkan Elvis tadi, namun kecil hal hal yang perlu kecermatan. Ternyata mata pelajaran selama 3 tahun di sini akan berjumlah tujuh belas. Di tingkat satu, siswa akan belajar matematika dasar, sains dasar dan ilmu sosial dasar. Di tahun akhir, hanya dua hal. Praktik dan ujian. Selain tingkat tiga tidak ada jadwal ujian. Jadi semua anak dipastikan naik kelas? Walau membolos sekalipun.

Ketahuilah itu tidak membuat Emma berpikir aneh. Dia merasa paling normal di sekolah ini jika siswa yang lain se aneh Elvis atau bahkan lebih buruk. 

Selain jumlah tentang tadi, ada jumlah lain yang juga berangka sama. Setiap bulan, hanya terjadi tujuh belas hari belajar. Dilakukan setiap tanggal awal. Apakah selanjutnya libur? Atau bisa pulang ke rumah? Ya, bisa. Namun, sebelum itu ada acara siswa tengah bulan, setiap tanggal 17.

Benarkah semua di sekolah Danlira, di Desa Danlira ini berkaitan dengan angka tujuh belas sama seperti masuk ke sekolah harus tujuh belas tahun? 

“ASTAGA!!”

Bagaimana dengan ulang tahun Emma ke tujuh belas?!

Bisakah izin kalau sudah diberi libur panjang setiap bulan? Satu hari saja. Lagian, Emma tidak akan terlalu menyesal melewatkan acara siswa yang entah bagaimana wujudnya itu. 

Tunggu dulu. Lalu, Emma tidak bisa mengajak teman, ya sekedar teman untuk dating ke sweet 17 party nya? 

Pertama karena di sekolah ini tidak ada kelas resmi. Kedua, jika mengundang satu angkatan, berarti akan terhitung tragedi membolos paling buruk. Ketiga, Emma tidak cukup dekat dengan mengundang teman sekelas di sekolah lamanya, yang mana jarak ke desa Danlira ini tidak dekat juga.

“Kau harus makan siang di kantin. Ini sudah masuk waktunya.”

Mulut Emma yang mengaga sedih terpaksa tertutup karena ada nada ramah duduk di sampingnya.

“Aku, Lova. Namamu?” yang duduk tanpa permisi itu mengulurkan tangan ke arah Emma.

“Emma.” Sebuah perkenalan biasa, tangan Emma membalas.

“Aku Rere,” wajahnya menggambarkan tidak seramah temannya, perempuan terlihat sangat rapih itu merasa tak perlu mengulurkan tangan menyapa.

“Kurasa kau perlu mengambil seragam mu.”

“Oh, iya! Dimana aku bisa mengambilnya?” Emma jadi teringat, ada petunjuk untuk mengambil buku buku dan seragam biru di tempat semacam koperasi siswa.

“Akan aku antarkan nanti ke koperasi siswa. Tapi sekarang, kita harus ke kantin atau hanya menerima sisa sayuran dan nasi.” Jadi namanya sama seperti sekolah pada umumnya.

“Kau 18 tahun?” Emma ceria ada yang akhirnya mengajak anak bebek tersesat ini bicara. Lupakan Elvis karena mereka beda spesies.

“Iya,” Lova yang diikuti langkahnya oleh Emma ini menuju kantin sepertinya tidak penasaran usia Emma. Atau dia pasti mengira kalau kita seumuran.

“Kau pasti lebih muda,” Rere bisa tersenyum juga ternyata. Emma tarik kata katanya mengenai perempuan sangat bersih ini yang terlihat tidak ramah.

“Bagaimana kau tahu?” Emma melempar senyum seraya bertanya balik agar obrolan tidak terdengar membosankan. Ya, jika mereka akan baik baik saja, cukup bagi Emma mengundang 2 teman ke acara ulang tahunnya nanti.

“Kau terlihat kecil.”

“Apanya?” Tanya Emma berhati hati.

“Otak.” Jawaban singkat dari Rere membuat Emma sangat syok.

WHAT?!

“Ayolah, Re. Kau tahu sifatmu buruk, tapi tidak seburuk itu,” yang ditegur Lova mendahului berjalan di depan dan sudah berbelok.

“Kau sakit hati?” tanya pelan Lova pada si anak baru.

“Aku?” Emma sungguh masih terkejut, “ti-dak,” kalimatnya terbata bata, “aku baik baik saja.” Lanjutnya setelah menghela nafas.

“Bagus. Kau tidak akan punya teman jika mencari yang sempurna.”

“Ya,” sekarang Emma cukup tenang, “tidak ada manusia yang sempurna.”

“Ada kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan.”

“Waw.”

“Waw sekali lagi setelah kau melihat ini.”

Mereka berdua menyusul Rere yang berbelok.

“Waaaaw.” Benar. 

“Semua orang kurasa akan bereaksi sama. Kau setuju?” menanggapi kekaguman Emma, Lova kembali meminta persetujuan.

“Iya,” lihatlah itu. Bangunan terbuka, tidak juga masih ada atap. Sangat indah bersama semua siswa berada di dalam bayangan kayu berpilar itu. Sangat luas, dan Emma rasa memang sudah seharusnya mengapa Lova mengajaknya ke kantin untuk makan siang pukul dua belas siang ini.

“Kau bisa memilih lauk yang kau mau. Itulah mengapa jika terlambat hanya sayuran dan nasi kau kau dapat.” 

“Lova, ada rapat perwakilan siswa. Sekarang,” Rere datang membawa sebuah nampan makanan, ya satu. “ini untukmu. Maaf.”

Entah maaf untuk yang tadi atau sekarang karena meninggalkan Emma di sini sendirian demi semacam rapat OSIS. Di tempat sangat ramai ini Emma tegaskan. Sungguh semua siswa ada di kantin yang melebihi restoran ini. Tidak hanya dari gedung berbata biru, ada juga siswa laki laki. Bayangkan, dan itu terhitung 3 angkatan.

Pelan pelan Emma berjalan. Ada beberapa kursi tersisa. Sepertinya memang jumlahnya pas sesuai jumlah siswa. Dan tidak ada aturan perempuan dan laki laki pisah seperti mosi Emma di awal. Ada siswi berseragam biru dan siswa berseragam cokelat seperti Elvis. 

“Siapa mereka?” mata Emma menemukan seragam lain saat menyapu kursi kursi kosong. Jumlahnya terlihat sedikit. Atau karena tersebar dan berbaur jadi seragam merah itu langka. Jujur seragam mereka yang paling cantik.

“Elvis?” semakin matanya bergerilya, sosok lain ditemukan.

Pertama yang mengherankan, bukankah Elvis ketua perwakilan siswa, mengapa dia tidak ikut rapat bersama Lova dan Rere? 

Walau itu menjadi jalan cerah bagi Emma. Lebih baik bergabung dengan orang yang sudah di kenal kan daripada harus permisi bertanya bolehkan duduk di bangku dan nantinya akan terlontar banyak tanda tanya mengenai nama dan usia berapa.

“Elvis!” suara Emma kini keras.

Ada empat orang di meja depan Emma berdiri. Salah satunya Elvis yang berwajah datar tak langsung menjawab sapaan Emma, “Emma?” astaga, dimana senyum manis tadi?

“Masih adakah kursi yang kosong?”

“Banyak.” Itu bukan jawaban Elvis. Perempuan yang duduk di sampingnya lah yang melontarkan kata sarkar. Oh! Emma ingat. Dia adalah gadis yang mengusir Emma. Tidak dikatakan mengusir juga, intinya menyuruh Emma minggir dari jalan. Jujur, Emma tidak berdiri di tengah tengah sekali juga.

“Duduklah disini,” Elvis melirik kursi di sampingnya. Kode mempersilakan duduk.

“Elvis. Kita ada rapat perwakilan siswa. Sekarang,” baru saja Emma duduk, dua orang di sebelahnya itu berdiri dan pergi tanpa pamit.

Percayalah. Emma tidak peduli bahkan untuk menatap kepergian punggung mereka yang semakin mengecil. Sudah mendapat kursi untuk makan, itu cukup bagi Emma. Dia juga tidak mau berhubungan lagi dengan orang bernama Elvis itu.

“Ku kasih tahu. Tidak pernah ada yang duduk di samping Elvis selain Elvena.” Oh! Emma melupakan dua anak laki laki yang duduk semeja dengannya. Salah satu dari mereka membuka suara. Tidak terdengar maksud jahat apa apa, dia ramah. Emma tahu itu.

Informasi tambahan, jadi nama gadis itu Elvena. Sungguh cocok dengan Elvis dan Emma yakin seratus persen kalung cantik tadi adalah untuk Elvena.

“Aku tidak bermaksud apa apa. Aku siswi pindahan dan baru kenal Elvis. Oke, sebenarnya ada dua anak yang berbaik hati mengajakku berkenalan tadi, tapi mereka ada rapat perwakilan siswa, hm… sama seperti Elvis. Untuk masalah aku menyapa Elvis, ku katakan sekali lagi, tidak ada maksud apa apa. Jangan salah paham. Aku hanya mencoba mencari kursi untuk duduk dengan tidak harus susah payah berkenalan dengan siswa lain yang mana karena aku adalah siswi baru. Tolong katakan pada El-vena,” Panjang lebar dari Emma hampir satu tarikan nafas, “siapa Elvena itu kalau aku boleh tahu?” jangan salah paham untuk kau, Emma hanya penasaran. Sekali lagi, jangan berpikir yang tidak tidak.

“Oke. Ku kasih tahu juga, Elvis tidak sehebat itu,” yang satunya kini membuka mulut sama ramahnya. Dilihat lihat tidak hanya siswi cantik di sini. Walau tidak se tampan Elvis tapi semua siswa yang terlihat di kantin ini juga good looking. Sungguh tidak adil, “dia putra kepala sekolah dan- Elvis menjadi siswa nomor satu-“

“Kupikir Elvis tidak curang, dia sangat sportif di lapangan. Dia hebat,” kini berubah hanya dua anak laki laki yang tidak diketahui namanya itu yang mengobrol. 

Menjadi teman Elvis, seorang ketua perwakilan siswa, peringkat 1, mungkin anak hebat di olahraga lapangan dan putra kepala sekolah. Apakah membuat mereka tidak apa apa dengan tidak memasang badge nama? Oh! Emma lupa, semua siswa disini memang tidak memasang itu seperti sekolah yang lain. Guru di sini tidak sehebat itu juga untuk menghapal karena satu angkatan di sekolah Danlira ini paling hanya 50 siswa saja. Emma mengatakannya karena ada 10 baris meja di kantin dengan tiap baris berisi 3 kolom. Setiap meja ada 5 kursi.

“Ya, Elvis hebat.”

“Oke, hebat.”

“Dia hebat.”

“Jadi, siapa Elvena?” Emma teringat pertanyaannya tadi belum di jawab.

“Elvena? Dia manusia.”

“Aku tahu.”

“Perempuan.”

“Kau mau mati?”

“Tentu tidak!”

Hening. Hanya di meja kolom 2 baris ke 12.

“Elvena? Gadis yang aku suka.” Tidak sampai 5 detik berikutnya, anak laki laki yang pertama membuka suara pada Emma sekarang pertama juga mengungkapkan perasaan.

“Kau merebut kekasih temanmu?” Emma merasa aneh.

“Apa?” yang ditanya Emma itu merasa bingung, “Hey kau jadian dengan Elvena?!” dan setelah itu terlihat marah pada orang di sampingnya.

Satu hal yang pasti, Emma tahu, Elvis adalah siswa tampan yang masih sendiri.

Setelah itu semua hal yang terjadi di sekitar Emma benar-benar dihiraukannya. Dia kini berdiri di depan ruang sekretariat perwakilan siswa setelah bertanya pada dua anak laki-laki yang belum juga Emma tahu namanya siapa, dimana letak seperti markas OSIS itu.

Ada sebuah pikiran setelah terbayang kalung indah hasil aksi sulap Elvis tadi. Emma hanya ingin melakukan satu hal disini, di sekolah ini, yaitu berteman dengan Elvis. Dia menimbang kebimbangan tentang pertanyaan mengapa harus Elvis. Jawaban singkatnya adalah karena Elvis menyebut Emma spesial.

“El-“ panggilan Emma terjeda saat melihat Elvis keluar ruangan sebesar kelas tanpa jendela kaca itu bersama ELvena, “-vis.” Kemudian berlanjut dengan nada sangat lirih.

“Emma?” suara itu cukup manis di telinga Emma walau dia tahu bukanlah sapaan hangat.

“Sampai jumpa nanti malam, Elvis,” kalimat perpisahan serasa pengingat dari Elvena sebelum dia pergi dulu tanpa ada niatan mengganggu pertemuan Elvis dan si anak baru.

“Kau mencari Lova dan Re-“

“Tidak!” jawab tegas Emma.

“Oh, ku kira. Kau tadi terlihat akrab dengan mereka.”

“Jangan bahas orang lain, bicaarakan saja tentang dirimu. Kau ada acara mala mini?” hati kecil Emma sangat berharap Elvis berkata tidak.

“Ya, acara yang dihadiri semua anak sekolah ini,” Elvis terlihat tidak bersemangat mengingat acara itu.

“Benarkah?” raut Emma berakting senang juga penasaran, “apakah aku juga harus dating?”

“Jika kau nanti malam tidak ada janji.”

“Aku ada,” Emma memberanikan diri, “bukan janji, tapi lebih seperti-“ Emma diam sejenak, “nanti malam aku ada acara tiup lilin, dan… itu bersama kedua orang tuaku.”

“Besok aku berusia 17 tahun,” kalimat dari Emma itu menjawab raut bingung Elvis.

“Wah,” kaget Elvis itu sangat tidak natural, “kalau begitu selamat ulang tahun-“

“Besok.”

“Ya! Untuk besok.”

Lalu diam. 

Emma ingin melontarkan beribu-ribu kata, tapi dia pikir dia tidak akan bisa.

“Bolehkah aku dating ke pestamu?”

Pertanyaan itu mengirimkan matahari cerah pada Emma, “tentu saja!” seketika senyumnya pudar, “tapi, bukankah kau ada acara nanti malam?”

“Aku tidak perlu hadir, lagipula itu acara yang dibuat oleh ayahku.”

“Baiklah. Sampai jumpa nanti, Elvis,” Emma merasakan kalau mukanya merah sekarang. Dia buru buru melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan dan berlari menjauh dari Elvis, “Aku menunggumu pukul 6 malam. Orang tuaku sengaja memulai pesta 6 jam sebelum hari ulang tahunku karena tanggal kelahiranku adalah 6 Oktober,” Emma sadar dia bicara belepotan.

Elvis tersenyum, “Sampai nanti.”

“IYA. SAMPAI NANTI,” Balas Emma, berteriak.

Perlu kau ketahui, semua itu hanyalah bualan. Ingatlah kembali kalau Emma berada di sekolah asrama. Tapi dia tidak peduli. Sekarang Emma berjalan pulang ke rumah. Ketahui juga bahwa jaraknya sangat jauh dari sekolah Danlira ke rumah. Yang Emma tahu jalan beraspal ini hanya lurus dan ketika ada papan besar di samping kanan jalan bertuliskan “Rumah kucing”, di depan itu lah rumah Emma.

Karena tidak ada kelas, pukul 3 ini siswa sudah boleh kembali. Untunglah langit belum gelap.

“AWAS KUCIIING!!” tanpa pikir panjang Emma berlari ke tengah jalan untuk meraih kucing pincang yang ketakutan hendak ditabrak truk besar.

TIIIN!!

Emma menutup mata.

Menghembuskan nafas. Tidak ada lagi suara. Matanya kembali terbuka. Terlihat truk tadi sudah menjauh.

“Hai. Apakah kau berasal dari rumah kucing depan rumahku?” Emma menggendong kucing berbulu hitam lebat itu, “aku akan membawamu pulang. Tenang saja, ya.”

Lanjut melangkah. Langkah demi langkah yang diambil Emma seakan-akan membuat langit satu per satu menggelap.Satu hal yang membuat Emma sedikit senang adalah ketika bersama kucing ini, menandakan rumahnya sudah dekat. 

Benar, kan.

“Elvis?” di depan teras ada sosok yang Emma baru kenal hari ini, “AW!!” kucing yang dibawa Emma tiba-tiba memberontak dan mencakar punggung tangan Emma.

“Untung tidak berdarah. Oh iya, kenapa Elvis sudah sampai?” Emma masuk melewati gerbang dengan langkah lemah. Semakin dekat dia kembali dikejutkan oleh hadirnya satu orang lagi yang dia kenal baru hari ini, “kenapa ada Elvena?!”

“El-“

“Mengapa kau harus merasa sedih di hari ulang tahunmu?”

Tunggu, APA?!

Emma terdiam setelah mendengar kalimat dati Elvena itu. Jadi, hari ini Elvis berulang tahun? Dan acara yang dihadiri semua siswa itu, adalah pesta untuknya?

Ada suara tangisan.

Emma berlari ke hadapan kursi teras yang diduduki Ibunya.

“Ibu kenapa menangis?” pertanyaan Emma tidak mendapat jawaban sama sekali. Lalu Emma sadar kalau Ibunya tidak pernah menghiraukannya. Tidak pernah, kecuali jika suara Emma saat ini tidak terdengar, bahkan kedatangan Emma tidak dirasakan sama sekali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
cerpen yang bagus kak, sampai aku berfikir kalo emma meninggal tertabrak truk. 🥺
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi