Disukai
0
Dilihat
38
501 : When We Meet Again
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pernahkan punya teman rahasia? Teman yang menjaga dan memperhatikan kita tanpa tahu identitasnya. Melakukan semuanya secara diam-diam. Orang lain sering menyebutnya dengan manito.Siapa yang menyangka bahwa Airin akan punya teman rahasia di usianya yang sekarang ini. Kegiatan melarikan diri yang dilakukannya lima tahun lalu membuatnya kehilangan semua teman yang dimilikinya.

Sebenarnya Airin enggan punya hubungan istimewa dengan orang lain. Hanya igin menjadi sekedar kenalan atau sebatas rekan kerja. Sayangnya rasa ingin tahu tentang tetangga yang tinggal di unit sebelah itu melebihi batas pertemanan yang dibuatnya. Yang perlu digarisbawahi adalah Airin sama sekali belum pernah bertemu dengan teman rahasianya ataupun tahu bagaimana tampangnya. Mereka hanya berkomunikasi lewat post it yang di tempel di depan pintu atau sepucuk surat yang diselipkan lewat lubang pintu.

Semua berawal dari 'pertemuan' mereka di toserba dekat apartemen bulan lalu. Airin biasa menghabiskan waktu malam minggunya dengan makan mie cup dan merenung berjam-jam. Saat itu cuaca sedang tidak berpihak padanya, rintik gerimis yang awalnya bisa ditembus Airin berubah menjadi hujan deras yang menusuk pori-pori. Sebenarnya bukan masalah besar bagi Airin, ia hanya perlu membeli beberapa sosis dan roti lapis untuk menemani kegiatan merenungnya yang terpaksa diperpanjang. Saat Airin kembali ke tempat duduknya ia menemukan payung hitam tertinggal disana dengan catatan kecil diatasnya.

“Pakai ini untuk pulang”

Airin mengangkat sebelah alisnya, memikirkan siapa saja yang mungkin melakukan hal 'romantis' semacam ini. Topik utama yang ada didalam kepalanya sekarang adalah 'siapa yang memberikan payung ini?’ kemungkinan besar adalah salah satu orang dari masa lalunya yang tahu betul kebiasaan Airin pergi tanpa membawa payung.

“Tidak! Bisa jadi ini perbuatan salah satu dari sekian banyak orang baik yang ada di muka bumi. Mungkin dia melihatku masuk tanpa membawa payung.” Airin berkeras untuk menyingkirkan kemungkinan yang terbersit di benaknya. Karena hujan tak kunjung reda setelah semua sosisnya habis Airin terpaksa pulang dengan membawa payung itu sembari berharap bahwa apa yang dipikirkannya sama sekali tidak benar.

“Pakai ini untuk pulang, jangan sampai terkena demam.”

Sekeping ingatan dari masa lalu itu muncul kembali, dulu seseorang juga pernah mengucapkan hal itu, membuatnya teringat kenyataan bahwa Airin masih menyimpan rindu untuk seseorang di ingatannya itu.

***

Airin mengikat tali sepatunya sambil duduk, agendanya pagi ini adalah berlari sejauh mungkin. Saat keluar pandangannya tertuju pada secarik kertas yang tertempel di pintu apartemennya.

“Aku adalah penghuni apartemen sebelah. Unit 501 yang meminjamkan payung padamu kemarin. Jika tidak keberatan aku ingin kau mengembalikan payungku. Gantungkan saja didepan pintu.”

“Aaaa! Yessss!” Teriak Airin keras. Suara berisik yang memenuhi kepalanya sejak semalam lenyap seketika. Sekarang sudah habis kemungkinan bahwa penghuni unit 501 adalah seseorang yang ia kenal. Airin bergegas mengambil payung hitam tersebut dan menggantungnya di gagang pintu unit sebelah dengan catatan kecil di kertas merah muda yang siap di tempel di pintu.

“Terima kasih untuk payungnya. Berkat anda saya bisa pulang sampai rumah dengan selamat.”

Pemilihan kata ganti anda dan saya dipilih Airin karena ia sama sekali tidak tahu tentang identitas penghuni unit sebelah. Apapun itu intinya Airin sangat berterima kasih padanya.

Sepertinya ia bertemu dengan Bu Wina—Wanita yang bertanggung jawab atas apartemen— di waktu yang tepat tanpa basa-basi Airin langsung bertanya tentang penghuni unit 501.

“Kebetulan bertemu Bu Wina disini, ada yang ingin saya tanyakan.”

“Apa, Airin.”

“Tentang orang yang tinggal di unit 501, sebelah saya. Kalau boleh tahu siapa yang tinggal disana? Saya punya sedikit utang budi dengannya tapi tidak tahu harus memberi apa untuk tanda terima kasih.”

“Sebenarnya saya juga tidak tahu banyak tentang pemuda itu, hanya bertemu sebulan sekali saat dia mengajukan keluhan bulanan. Usianya mungkin dua tahun lebih tua dibanding kamu. Pindah kesini setahun yang lalu, mungkin kamu sudah pernah melihatnya, hanya tidak sadar saja. Dia juga yang membantu saya membersihkan apartemen kamu waktu kamu di luar kota, waktu itu ibu sedang sibuk, jadi sesekali meminta bantuannya.”

“Ah begitu ya, sepertinya saya memang berhutang banyak padanya. Terima kasih sudah memberi tahu tentang hal ini, Bu. Maaf jika saya mengganggu waktu Bu Wina.”

Satu lagi fakta baru yang Airin tahu tentang unit 501—begitu Airin memanggilnya mulai sekarang— orang yang meninggalkan lampu tidur berbentuk bawang itu adalah unit 501. Rasa ingin tahunya terhadap unit 501 semakin besar.

Saat pulang ke rumah Airin mendapati payung itu telah menghilang dari gagang pintu. Menyesal sekali ia tidak pulang lebih cepat, mungkin saja Airin bisa bertemu dengannya hari ini. Bukan apa-apa, sebenarnya Airin hanya ingin menyapa dan berterima kasih padanya. Rasanya ingin memencet bel dan menyapanya sekarang tapi Airin takut jika hal itu membuatnya tidak nyaman. Akhirnya Airin hanya bisa meletakkan cupcake itu didepan pintu.

“Sebagai tanda terima kasih. Kuharap kita bisa berteman baik”

Lagi-lagi Airin harus berucap lewat secarik kertas, terlihat seperti tindakan pengecut tapi Airin merasa bahwa ia harus mengerti bahwa setiap orang pasti punya dinding yang tidak bisa ditembus.

Airin menjatuhkan dirinya di ranjang empuk miliknya mencoba mengistirahatkan seluruh tubuh dan pikirannya. Memutuskan untuk tidur siang dan berdiam diri di kamar maka dengan begitu waktu akan berlalu lebih cepat dari yang sseharusnya.

Dan benar saja, hari sudah berubah menjadi gelap saat Airin terbangun, tubuhnya menggeliat, tangannya meraba sekitar mencoba mencari keberadaan ponsel miliknya. Pukul tujuh malam dan Airin tertidur dengan tubuh yang penuh keringat tadi

“Kau memang tidak pantas disebut sebagai manusia, Airin.” Rutuknya sambil melihat kearah cermin. Tidak ada waktu bermalas-malasan, ia harus segera mandi busa sekarang.

Setelah merasa ‘terlahir kembali' usai ritual mandi busanya selesai Airin pergi ke balkon bawaan penuh di tangan, roti lapis, kentang goreng dan dua kaleng soda. Sudah 5 tahun ia menetapkan disini, tapi Airin masih tidak punya teman untuk minum atau sekedar mencurahkan perasaan.

Cesss

Kaleng soda milik Airin medesis, ia meneguk sodanya cepat. Saat menoleh terlihat siluet pemuda berkacamata di jarak yang tidak begitu jauh disana. Unit 501, ia ada di 'samping' Airin sekarang. Wajahnya sama sekali tidak terlihat karena lampu balkon mereka sama-sama tidak menyala. Hanya sorot cahaya bintang sumber penerangan Airin sekarang.

Syungg

Sebuah pesawat kertas mendarat di kaki Airin, sepucuk surat dari unit 501.

“Terima kasih untuk cupcake nya. Rasanya luar biasa! Teman? Kuharap aku bisa berteman denganmu juga, seperti yang kamu tahu, ada sedikit masalah dengan kepribadianku. Jika tidak keberatan kita bisa menjadi teman seperti ini. Tidak perlu tahu nama, pekerjaan, usia atau apapun. Kita hanya perlu bertukar surat, memberi hadiah kecil dan bertemu di balkon yang gelap. -unit 501

Senyum Airin merekah, siluet itu kini menghilang dari tempatnya. Airin memang tak tahu apa-apa tentang unit 501 tapi yang jelas Airin punya teman sekarang. Efek dari sel cinta nya yang sudah lama mati, hubungan sebatas teman saja membuat jantungnya berdebar.

***

Pagi Airin terlalu sibuk, sama sekali tidak ada waktu untuk sarapan. Seperti biasa Airin menyambar salah satu roti lapis kemasan andalannya dari lemari pendingin sampai kemudian Airin menemukan sesuatu tergantung di gagang pintunya, tas kecil berisi bekal makanan dan sup hangat beserta kertas yang sudah tidak asing lagi baginya.

“Kuharap pemberianku ini tidak berlebihan, semoga harimu menyenangkan -501”

Ya, sejujurnya berlebihan untuk sebatas teman, tapi siapa yang peduli? Mereka juga bukan teman biasa yang memutuskan untuk menjaga satu sama lain. Rasanya sudah lama sekali Airin mendapat perlakuan istimewa dari seseorang. Entah kenapa Airin terus melihat dirinya di siluet 501, ada yang sama dari mereka, hanya saja Airin tidak ahu apa itu.

Pekerjaan Airin sebagai seorang illustrator sebenarnya tidak mengharuskannya pergi ke kantor setiap hari, jika ingin ia bahkan bisa bekerja dari rumah kecuali hari-hari meeting dengan penulis atau client yang lain, hanya saja Airin tidak ingin terlihat seperti pengangguran atau perawan tua yang hanya berdiam diri di apartemen.

“Selamat pagi, Airin! Kamu terlihat lebih cantik hari ini, apa ada hal baik yang terjadi di akhir pekan?” tanya Stella yang menyadari perubahan gaya Airin. Bagaimana tidak? Airin yang selalu menggulung rambutnya hari ini membiarkannya tergerai, Airin bahkan memberikan pemerah pipi di wajahnya.

“Ya, ada hal yang sangat baik terjadi di akhir pekanku yang membosankan itu, Stella.”

“Wow! Apa kamu pergi kencan buta?”

“Tentu saja tidak.”

“Ayolah, mau sampai kapan kamu menutup hati? Jangan pikir aku tidak tahu bahwa selama ini kamu berusaha melakukan hal-hal yang tidak disukai lelaki.”

“Apa aku harus memberimu hadiah atas penilaianmu yang akurat itu?”

“Tidak, tidak, aku hanya berharap hidupmu bisa sedikit lebih menyenangkan.”

“Terima kasih atas perhatianmu, tapi sebaiknya kita berhenti membahas kehidupan percintaanku yang menyediakan dan jawab proposal apa yang ada di mejaku.”

Kening Airin berkerut saat membaca proposalnya. Kenapa akhir-akhir ini hidupnya hanya dipenuhi dengan orang aneh akhir-akhir ini.

“Kemampuan membacamu sangat bagus untuk mengerti apa maksud proposal tersebut, bagian mana yang tidak bisa dimengerti, Airin?

“Penulis mana yang menolak bertemu dengan illustrator yang dipilihnya sendiri? Dan label merah disini tertulis bahwa aku harus menyetujui permintaannya. Benar-benar tidak masuk akal” Dengus Airin kesal.

“Itu permintaan dari Jay, Airin. Aku yakin matamu tidak buta. Dia memang penulis novel yang tidak menunjukkan dirinya dihadapan siapapun, apalagi illustrator sepertimu. Dan juga, siapa illustrator gila yang menolak proposal dari seorang Jay.”

“Aku bahkan belum membaca seperti apa tulisannya. Lalu bagaimana aku bisa memutuskan menolak atau menerimanya, dan satu lagi, apa konsep misterius sangat populer akhir-akhir ini?”

Stella menepuk dahi. Siapa yang tahu kalau gadis gua itu belum membaca karya yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Ternyata selera Airin lebih kuno dari yang ia kira. “Ya ya, apapun masalahmu, apapun pendapatmu kamu harus tetap menerimanya. Ini bagian dari perintah atasan, pegawai sepertimu sama sekali tidak punya kuasa untuk menolak.

Skak mat! Airin tak bisa membantah lagi. Sekalipun disini ia adalah illustrator andalan tapi tetap saja statusnya adalah seorang pegawai yang tidak bisa menolak perintah atasan. Meskipun menyebalkan tapi Airin suka punya status sebagai 'pekerja kantoran' daripada harus bekerja seorang diri.

Airin memakai kacamatanya dan mulai membaca novel milik penulis yang katanya sedang naik daun itu.

PUTUS

Membaca judul singkat yang ditulis dengan huruf kapital itu menggugah semangat baca Airin. Ia suka sekali dengan judul singkat yang tidak banyak babibu

Bukankan butuh hubungan lebih dari teman untuk bisa berkata putus? Kami bukan sepasang kekasih, tapi kenapa dia minta putus? Ralat! Bahkan tidak ada kata putus darinya, dia pergi dengan membawa seluruh isi lemarinya tanpa sepatah katapun. Rumput yang bergoyang pun tak tahu apa alasan kepergiannya itu, apalagi aku.

“Sialan!”

Airin mengumpat dalam hati, bagaimana bisa di Jay ini menulis kisah yang menyindir dirinya? Hanya ada dua kemungkinan sekarang. Itu hanya kisah yang mirip atau memang Airin adalah orang yang dimaksud si toko utama.

“Hah! Princess wannabe sekali aku ini. Memangnya kamu siapa Airin? Sampai harus jadi tokoh utama di tulisan orang lain.”

Lagi-lagi Airin bicara pada dirinya sendiri, mencoba menepis kemungkinan gila yang sekarang sedang terbayang di otaknya.

Airin kemudian melanjutkan kegiatan membacanya.

San dan Sania, dua sejoli yang memutuskan menjadi sahabat sehidup semati itu kedatangan anggota baru saat duduk dibangku SMA. Sunny, siswi pindahan dari kota itu punya kegemaran dan kebiasaan yang sama dengan mereka berdua. Gemar membolos sekolah dan berbakat di bidang seni. Seni rupa, seni musik dan seni tari. Mereka selalu jadi siswa siswi andalan kelas dan sekolah.

Kursor Airin kembali berhenti. Tangannya benar-benar basah karena keringat dingin, jantungnya berdetak lebih cepat karena gugup. Sania dalam kisah itu benar-benar dirinya. Dan Jay adalah San yang menulis kisahnya sendiri. Airin dengan cepat mengemasi barang-barangnya, ia ijin pulang cepat hari ini atau Airin benar-benar kehilangan kendali. Harinya benar-benar buruk, ia bahkan kehilangan imajinasi romansanya tentang bekal yang dibuat unit 501 untuknya tadi pagi.

Aku ada urusan mendadak, jadi harus membaca naskahnya dirumah. Dan mungkin akan absen selama seminggu kedepan. Tidak perlu khawatir, draft akhir akan ku serahkan minggu depan.|

Begitu pesan singkat yang dikirimnya pada Stella. Airin kabur saat jam makan siang, agar tidak terlihat seperti orang yang mengendalikan diri.

Ia benar-benar berusaha sekuat tenaga menyeret kakinya untuk pulang. Jarak kantor dan apartemennya yang sebenarnya tidak jauh terasa seperti 100km hari ini, seluruh tenaganya habis dibuat gugup dan gemetar.

Airin masuk dengan langkah gontai, persembunyiannya selama 5 tahun ini rasanya seperti terbongkar. Kenapa orang itu harus muncul saat Airin mulai membuka hatinya untuk orang baru?

Ini nomor telepon ku, kau bisa mengirim pesan saat butuh teman bicara, atau sekedar mengrim pesan saat ingin menemuiku di di balkon.

Pesan yang diselipkan dibawah pintu itu terinjak sepatu Airin. Benar, ia bahkan masuk tanpa melepas sepatunya.

“Lagi-lagi dia muncul disaat yang tepat. Aku sangat butuh teman untuk bicara.”

Sebelum benar-benar pingsan Airin memutuskan untuk makan bekal pemberian dari unit 501. Perutnya kosong sejak pagi.

Nasi putih dengan telur gulung, udang goreng dan tomat ceri dilengkapi sup yang sudah dingin, tidak banyak tapi cukup untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Setelah membersihkan meja makan, Airin beranjak menuju ranjang dan berusaha memejamkan mata.

Tengah malam, Airin terbangun dari tidurnya.

Satu lagi hal diluar rencananya terjadi, Airin demam tinggi, kepalanya berdengung seperti hampir pecah. Ia mengambil ponselnya di atas meja dengan sisa tenaganya menekan panggilan cepat nomor 2. Unit 501, setelah menyimpan nomornya Airin menempatkan unit 501 di panggilan cepat miliknya tadi siang.

Tut..Tut..

Ponsel Airin berusaha menyambungkan panggilan.

Halo

Unit 501 menerima panggilan diujung sana

Halo

Airin menjawab dengan suara parau.

Apa kamu baik-baik saja?

Tidak, kepalaku rasanya mau pecah

Unit 501 memutuskan panggilannya segera, keluar dengan kotak p3k miliknya. Menggedor pintu dengan panik. Bodoh! Siapa yang menyuruhnya menutup telpon jika tidak tahu apa password masuknya. Unit 501 menyambungkan panggilannya kembali.

Katakan padaku apa password masuknya

990114

Berhasil! Unit 501 masuk ke apartemen Airin. Sekarang ia sudah tak peduli lagi jika Airin melihat wajahnya. Lelaki itu duduk ditepi ranjang membawa segelas air putih dan obat penurun panas. Unit 501 mendudukkan Airin dengan hati hati kemudian memberinya obat penurun panas. Setelah memastikan Airin meminum obatnya, unit 501 mengambil handuk dan baskom berisi air dingin. Mengompres Airin, berharap demamnya akan turun.

***

Malam panjang Airin sudah berlalu, berkat unit 501 ia selamat dari kematian. Handuk basah itu masih tertempel di dahi Airin.

“Jadi dia disini semalaman?

Saat turun dari ranjang dan menuju meja makan Airin mendapati semangkuk bubur tersaji diatasnya

“Masih hangat, jadi kapan dia pergi?”

Kali ini Airin benar-benar tersentuh. Ia ingin bertemu dengan unit 501 dan mengucapkan terima kasih secara langsung padanya. Setelah menghabiskan bubur dan meminum obatnya Airin mengirim pesan pada unit 501

Terima kasih, aku berutang banyak padamu.|

Tidak perlu sungkan.| Apa sudah lebih baik?|

Berkatmu.|

Boleh aku tanya apa yang terjadi padamu kemarin?|

Bukan apa-apa, aku hanya bertemu dengan seseorang di masa lalu, jadi sedikit terkejut.|

Apa dia seseorang yang amat sangat kamu benci?|

Ya.| Sebenarnya tidak.| Aku hanya marah pada diriku karena masih menyimpan rasa untuknya.|

Ah, aku mengerti.| Jaga kesehatanmu.|

Sekali lagi terima kasih.| Aku akan menghubungimu lagi nanti.|

***

Airin menghela napas berat, ia tak bisa menghindar lebih lama lagi. Mau tak mau Airin harus tetap bersikap profesional. Jika diambil sisi baiknya, lewat naskah novel milik Jay ia bisa tahu bagaimana kabar ‘San dan Sunny' setelah 'Sania' pergi.

Membacanya benar-benar membawa Airin terbang ke masa lalu, saat semuanya masih baik-baik saja. Bab-bab awal rasanya seperti membaca novel teenlit bergenre romance yang dipenuhi hal-hal menyenangkan.

Konflik mulai muncul saat tokoh utama sudah beranjak dewasa dan menyadari kemudian Sania menyadari cintanya pada San bertepuk sebelah tangan.

“Memangnya tahu apa dia tentang Sania? Berani-beraninya menulis hal seperti ini?”

Airin sesekali mengomentari plot dari kisah yang ia baca. “Jika dia bisa menulis serinci ini, kenapa dulu harus pura-pura bodoh dan tak tahu perasaanku.

Pergi

Hari itu aku tak tahu bahwa itu akan jadi hari terakhir aku melihatnya. Saat ia lenyap dari pandanganku, seharusnya aku tahu, Sania tidak akan pernah kembali.

Airin bisa merasakan kepedihan San saat membaca tulisan Jay. Saat itu Airin benar-benar mengira bahwa kepergiannya hanya luka untuk dirinya sendiri dan sebatas kekosongan sesaat untuk orang yang dicintainya.

Seharusnya aku tidak mencintai salah satu dari mereka. Bodoh memang karena aku berpikir bahwa Sania akan senang jika mengetahui Sunny dan aku resmi menjadi sepasaang kekasih.

Aku menggenggam tangan Sunny erat. “Beri selamat atas perubahan hubungan kami.”

Sania memaksakan senyumnya. “Wah, bagaimana kalian berdua bisa mengkhianatiku?” Sania memeluk kami berdua. “Selamat, semoga kalian selalu bahagia.”

Airin menyeka air matanya yang jatuh. Rasa sakit itu menyeruak, seketika perasaan benci terhadap dirinya sendiri muncul kembali. Hari yang dimaksud dalam kisah itu sebenarnya adalah hari pertunangan dua sahabatnya. Hari itu juga Airin pergi jauh tanpa sepatah katapun.

Kemudian ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju balkon. Airin benar-benar menghabiskan harinya untuk membaca sebagian naskah milik Jay tanpa sadar waktu berlalu.

Aku ada di balkon.|

Airin mengirim pesan pada teman rahasianya.

Maaf, aku tidak bisa keluar karena lampu balkon milik penghuni yang lain menyala hari ini.|

Sebenarnya apa yang membuatmu enggan bertemu denganku.|

Bukan karena aku enggan.| Aku hanya tidak ingin membuatmu kecewa setelah bertemu denganku.|

Kita bertemu kemarin.| Aku sudah melihat wajahmu dan kita masih berteman sekarang.| Jadi apa masalahnya?|

Kamu tidak mengingat wajahku.| Jika ingat pasti sekarang kita tidak mungkin masih berteman sekarang.|

Aku tidak sejahat itu.|

Anggap saja aku adalah si buruk rupa yang ingin menyembunyikan wajahku.|

Baiklah.|

Jadi apa masalahmu?|

Tahu darimana aku sedang punya masalah?|

Hanya menebak saja.|

Ingat tentang seseorang dari masa lalu yang diceritakan padamu.| Aku ingin bertemu dengannya, tapi tidak punya keberanian.| Takut melihatnya terlalu bahagia dengan orang lain.|

Tahu darimana kalau orang itu bahagia?|

Hanya menebak saja.|

Bagaimana jika tebakanmu salah?|

Unit 501 benar, kisah patah hati Airin ditengah, bukan di akhir kisah. Airin bahkan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Aku berharap tidak.| Maaf aku harus masuk sekarang.| Terima kasih untuk percakapannya.|

Selamat tidur.|

Selamat tidur.|

Airin masuk dan menutup pintu balkon, ia kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan kisah San, Sunny dan Sania yang belum usai. Airin harus tahu apa maksud PUTUS dari judul novel Jay.

“Sebenarnya kemana Sania pergi?” San mengacak rambutnya frustasi.

“Sekarang aku tahu,” Ucapan Sunny terhenti sejenak. “Dia benar-benar menyukaimu, San. Sania menyukaimu.”

“Bagaimana bisa? Kami adalah teman, Sunny.”

“Aku bisa melihat bahwa Sania menyukaimu, hanya saja aku berpura-pura bodoh dan berusaha menepis kenyataan.”

San terdiam. Kenapa ia tak pernah tahu kalau Sania menyukainya. Jelas-jelas itu bukan kasih sayang seorang sahabat.

Tangan Airin bergetar, bab-bab berikutnya hanya dipenuhi dengan pertengkaran San dan Sunny atau usaha-usaha yang dilakukan keduanya untuk memperbaiki hubungan mereka yang sudah retak.

“Kita putus.” Akhirnya kata itu keluar dari mulutku. “Aku sudah bicara dengan Ayah dan ibu.”

“Apa alasannya, San?”

“Karena aku, persahabatan kita hancur. Kita berdua kehilangan Sania.”

“Bukan kita, tapi kau yang kehilangan Sania. Harusnya kau bilang padaku dari awal, bahwa kau juga mencintai Sania. Jadi kita semua tidak akan berakhir seperti ini.”

“Bukan cinta, ini adalah rasa bersalah.”

“Jika kau benar-benar mencintaiku, seharusnya tidak akan pernah ada kata putus.” Sunny melepas cincin pertunangan mereka dan berbalik pergi.”

PUTUS. Kata itu harusnya yang jadi penyebab sakit hatinya, tapi ada hal yang lebih sakit dari itu. Seseorang yang kupikir tidak akan mengucap kata PUTUS padaku justru memberi rasa sakit yang lebih besar. Hari ini aku benar-benar tahu bahwa menjadi teman sama sekali bukan jaminan bahwa kita akan bersama selamanya.

Bersambung di Novel Pertemuan Kembali

Tahu darimana kalau orang itu bahagia?|

Pesan dari unit 501 itu terbayang kembali.

Pakai ini untuk pulang

Pesan yang bertengger di payung hitam itu seperti milik orang yang amat Airin kenal.

Jika ingat pasti sekarang kita tidak mungkin masih berteman sekarang.|

Airin masih terisak. Tidak ada orang baru sejak awal. Unit 501, Jay, San, dan Aiden, mereka semua adalah orang yang sama. Orang yang sampai saat ini masih sangat ia cintai.

***

Pukul lima pagi, Airin masih terjaga di depan meja kerjanya. Monitornya masih menyala. Airin telah menyelesaikan ilustrasi cover novel milik Jay.

Airin meraih ponselnya, mengirim file yang digarapnya semalaman kepada nomor yang disimpan dengan nama unit 501.

Tak lama kemudian ponsel Airin bergetar. Panggilan masuk dari unit 501

“Halo..” Airin berucap lirih

Hanya terdengar suara isakkan diujung sana.

Airin pergi ke balkon, dan benar saja, ia mendapati Aiden menangis, punggungnya bergetar hebat. Airin masih diam sampai akhirnya mata mereka bertemu.

“Aku merindukanmu, Airin.”

Kalimat itu pertama kali diucapkan saat ia bertemu sebagai Airin dan Aiden setelah sekian lama.

“Aku merindukanmu, Aiden. Sangat.”

Mata mereka berdua basah. Tidak ada kata lain yang diucapkan dalam panggilan itu. Mereka hanya menyalurkan rindu satu sama lain. Pada akhirnya hal yang ingin mereka ucapkan saat bertemu lagi adalah 'aku merindukanmu.’ Kata itu berarti banyak hal. Maaf, cinta, dan terima kasih. Semuanya mereka ucapkan lewat sebatas kata rindu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi