Same Sky Different World
11. BAGIAN SEBELAS

80. EXT. PENJUAL NASI GORENG TEPI JALAN – MALAM HARI

Aroma nasi goreng menggoda hidung. Beberapa orang tampak sedang makan, atau menunggu pesanan.

Andra dan Ale duduk bersebelahan di salah satu bangku kosong, menunggu pesanan nasi goreng.

ALE

Makasih,ya udah menepati janji.

ANDRA

Aku nya juga kangen kamu, makanya cepat balik.

ALE

(tertawa) Gombal banget. Habis ini ketemu cewek-cewek di kantor pusat udah beda lagi.

ANDRA

(tertawa) Emang cewek-ceweknya gimana?

ALE

Mulai penasaran, kan? (PAUSE) Mereka itu, yaa, kira-kira gayanya mirip pas aku pertama kali datang ke kantor di Jogja. Dan ternyata saltum banget.

ANDRA

(tertawa lagi) Tapi, kamu cantik banget waktu itu. Pemandangan langka kalau di kantor Jogja.

ALE

Dan yang seperti itu, pemandangan biasa kalau di Jakarta. Lebih heboh lagi, sih.

ANDRA

Tapi, laki nya juga pasti keren-keren.

ALE

Hmm, tapi herannya, kok malah aku jatuh cintanya sama kamu ya. Kok, disana hatiku adem ayem saja.

ANDRA

Mungkin, aku lebih ganteng dari mereka. Cuma kurang keren aja.

ALE

(tertawa terbahak) Karena di sana, enggak ada yang nganterin burung dara goreng sambil hujan-hujan.

Andra ikut tertawa. Mereka sedang berusaha tertawa di sisa waktu yang mereka punya. 

Penjual nasi goreng meletakkan dua porsi nasi goreng pesanan mereka, lalu mereka memakannya dengan lahap.

ALE

Nanti kalau kamu kangen nasi goreng ini, aku kirim pake ekspedisi kesana. (menyendok nasi goreng)

ANDRA

Tapi, kamu juga ikut dikirim di ekspedisinya.

Mereka tertawa lagi. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak meratapi apa yang terjadi. Ale menatap Andra yang sedang memakan nasi gorengnya dengan lahap. Dia merekam sebanyak mungkin ingatan tentang laki-laki ini, karena dia mengikuti apa yang Bara ucapkan semalam padanya.

CUT TO FLASH BACK

81. INT. RUMAH MINIMALIS ALE – TERAS BELAKANG – MALAM HARI – FLASH BACK

Ale duduk di kursi yang berada di teras belakang. Memandang dedaunan yang tampak hijau meski lampu penerangan tidak terlalu terang.

Bara muncul dari dalam dengan membawa cangkir berisi coklat peppermint panas.

BARA

Ini coklat untukmu. Untuk memperbaiki mood-mu. (Mengulurkan cangkir pada Ale)

ALE

Thanks. (menerima uluran cangkir dan menggenggamnya. Rasa hangat menjalar di tubuh)

Mereka lalu saling diam. Bara sesekali menoleh pada Ale yang masih sibuk menghapus airmatanya yang menetes, sambil sesekali menarik napas panjang.

ALE

Kamu bilang, Zoe meninggal karena sakit? (menoleh pada Bara) Bagaimana kamu bisa bersiap dengan semua itu? Maksudku, kamu tidak tahu kapan dia akan meninggalkanmu.

BARA

(terdiam sejenak. Dia menghela napas panjang) Aku tahu Zoe mengidap cardiomyopathy sejak sebelum menikah dengannya. Dan keputusanku untuk menikahinya adalah karena aku tidak ingin membuang kesempatan yang sudah Tuhan berikan padaku, meski aku tahu, mungkin tidak akan lama.(PAUSE) Maafkan aku mengatakannya, Le.

ALE

Kalau saja, kamu mengatakannya waktu itu, aku tidak akan sebenci itu padamu, Bar.

BARA

(tersenyum tipis) Sudah berlalu, Le.

ALE

Berarti kamu bersiap dengan perpisahan waktu itu?

BARA

Tidak ada yang bersiap dengan perpisahan, Le. Aku malah hidup dengan ketakutan setiap hari. Aku takut dia tidak akan bangun lagi setelah pagi. Aku takut dia pergi saat aku sedang tidak bersamanya. Banyak yang aku takutkan.

ALE

Dan yang terjadi?

BARA

Tuhan memilihkan waktu yang indah untuknya. Dia menghembuskan napas terakhirnya setelah kami berdua mengulang masa pertemuan kami pertama kali, di sebuah bar di New Haven. Hal terakhir yang dia bilang waktu itu adalah ‘first snow is like a first love’.

ALE

Kalian memiliki kisah cinta yang indah.

BARA

Karena kami menghargai waktu kebersamaan yang sebentar itu, dan menjalaninya seolah kami tidak akan punya waktu besok.

Ale menunduk. Dia mengusap-usap pelan cangkir coklat mint yang dipegangnya.

BARA

Kamu sendiri bagaimana dengan Andra?

ALE

(menoleh sesaat, lalu menunduk lagi) Dia akan ke Jakarta sabtu ini.

BARA

Jakarta – Jogja juga bukan jarak yang jauh.

ALE

Masalahnya tidak hanya di jarak. Kami berdua tidak akan bisa bersama, Bar. Kami terlalu berbeda.

Bara mengerutkan kening. Mempertanyakan ucapan Ale.

ALE (CONT’D)

Kamu kan sudah dengar obrolan Papa dan Andra, kamu pasti juga tahu apa yang membuat kami berbeda. Kami pergi ke tempat ibadah yang berbeda.

BARA

Om Osman menentangnya?

ALE

Ibunya Andra juga. Aku juga tidak ingin memaksa Andra untuk menyeberang ke duniaku. Begitu juga Andra.

BARA

Lalu, kalian akan berpisah begitu saja?

ALE

Tidak begitu saja juga. Kami akan menyimpan semuanya baik-baik di dalam hati. Biarkan saja Tuhan yang mengaturnya untuk kami.

BARA

Kamu terlihat tegar saat mengatakannya. Tapi, kamu menangis parah tadi.

ALE

(tertawa kecil) Kamu tahu sendiri kan, mengucapkannya lebih mudah daripada merasakannya sendiri.

BARA

Itulah kenapa orang yang patah hati tidak butuh motivasi atau nasehat-nasehat. Mereka hanya butuh waktu untuk berdamai dengan kenyataan dan dirinya sendiri.

ALE

(mengangguk) Benar sekali. (PAUSE) Menurutmu, apa yang bisa aku lakukan sekarang?

BARA

Lakukan banyak hal dengan Andra. Lupakan kalau kalian akan berpisah sabtu depan. Manfaatkan sebanyak mungkin waktu untuk bersama, tertawa dan mengatakan apapun yang mungkin belum sempat kalian katakan. Karena dengan begitu, kalian tidak akan menyesal saat perpisahan itu terjadi.

Ale tersenyum. Dia setuju dengan ucapan Bara. Ale meminum coklat mint-nya yang sudah kehilangan panas. Namun, rasa manis dari coklat cukup menenangkannya.

FLASH BACK CUT TO

82. EXT. DALAM PERJALANAN PULANG KE RUMAH ALE – DI DALAM MOBIL ANDRA – MALAM HARI

Terdengar alunan musik dari band Herman’s Hermits menyanyikan lagu ‘The End of The World’ di dalam mobil.

Andra dan Ale saling diam. Larut dalam suara sendu Peter Noone.

ANDRA

Besok aku jemput ke kantor ya, Le?

ALE

Iya, dong. Sampai jumat kamu harus mengantar jemputku. Sepulang kerja, kita makan di nasi goreng langganan, burung dara goreng langganan juga, sama gudeg pedas waktu itu.

ANDRA

(tertawa) Udah nge-list kamu?

ALE

Yup.

Ale kemudian melepaskan seatbelt, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Andra.

ANDRA

Kenapa dilepas, Le? Kan bahaya.

ALE

Udah deket rumah juga. Aku pengen melakukan ini sejak dulu. Bersandar di pundakmu pas kita lagi semobil. Sedikit bermesraan lah.

ANDRA

(tersenyum lebar. Lalu, menepuk pipi Ale lembut dengan satu tangannya yang tidak memegang stir mobil) Lakuin apa aja, Le yang ingin kamu lakukan. Aku akan memenuhinya.

ALE

Kalau kita bolos besok gimana? Kita jalan-jalan ke ratu boko, atau ke Pok Tunggal?

ANDRA

Le, kamu tahu sendiri, kan aku masih punya banyak pekerjaan.

ALE

(cemberut) Tadi bilang gitu.

ANDRA

Gimana kalau jumat?

ALE

Kamu cuti, aku kerja.

ANDRA

Marketing kan bebas, asal angkanya keluar.

ALE

(tertawa) OK. Jumat kita jalan-jalan, ya. Tapi, aku aja yang jemput kamu di kost. Enggak lucu juga kamu jemput aku dikantor. Nanti ketahuan kita pacaran.

ANDRA

Emang mereka pada enggak tahu?

ALE

Emang mereka tahu?

ANDRA

Tahu lah. Kamu suka peluk-peluk aku di kantor.

ALE

Yee!! Kamu juga diem aja dipelukin.

Andra tertawa, Ale pun juga tertawa. Ale masih bersandar di pundak Andra sampai berada di depan rumah.

Sebuah mobil sedan berwarna biru gelap terparkir di depan rumah.

ANDRA

Ada tamu di rumahmu?

ALE

(terdiam sejenak) Abimana.

ANDRA

(raut wajah berubah tegang) Ada apa?

ALE

Enggak tahu. Turun, yuk! Sekalian aku kenalin ke dia. (menarik tangan Andra)

ANDRA

(melepaskan tangan Ale dari tangannya dengan lembut) Aku pulang saja. Besok aku jemput kamu.

ALE

Kenapa?

ANDRA

(terdiam sejenak, tersenyum) Aku percaya sama kamu, kok.

Ale berpikir sejenak, lalu dia memahami ucapan Andra. Dengan cepat, Ale mencium pipi Andra lalu melangkah turun dari mobil.

83. EXT. TERAS RUMAH ALE – MALAM HARI

Ale tidak langsung masuk, dan masih berdiri di pagar. Menunggu Andra menjalankan mobilnya, meninggalkan halaman rumahnya. Pandangan Ale masih tertuju ke arah mobil Andra, meski mobil sudah tidak terlihat, karena berbelok di tikungan

84. INT. RUMAH MINIMALIS ALE – RUANG TAMU – MALAM HARI

Abimana duduk di sofa ditemani Papanya Ale. Mereka sedang berbincang serius. Ale melangkah masuk dan hanya tersenyum sekilas pada Abimana.

PAPANYA ALE

Le, ini Abimana mau ketemu kamu.

Ale menghentikan langkah, lalu menoleh pada Abimana. Menunggunya mengatakan sesuatu.

PAPANYA ALE (CONT’D)

Kamu ajak ngobrol di teras belakang saja, ya. Supaya enak ngobrolnya.

Ale hanya menuruti saja. Dia berjalan menuju ke teras belakang dengan diikuti Abimana.

85. EXT. TERAS BELAKANG RUMAH ALE – MALAM HARI

Ale dan Abimana duduk bersebelahan dengan hanya berbatas meja kecil. 

ALE

Kamu mau minum sesuatu?

ABIMANA

Tidak usah, Le. Tadi sudah minum kopi sama Om Osman.

Ale mengangguk-angguk.

ABIMANA

Kamu baru keluar sama pacarmu?

ALE

Iya. Tadi pulang kerja sekalian jalan.

ABIMANA

Kalian berniat serius.

ALE

Iya. Tapi, takdir Tuhan tidak semudah itu.

ABIMANA

Om Osman sudah cerita.

Ale langsung menoleh. Dia terkejut karena Papanya mengatakan hal semacam itu pada orang asing seperti Abimana.

ABIMANA (CONT’D)

Kamu tidak perlu khawatir, Le. Aku juga bukan orang yang senang mengambil kesempatan dengan keadaan seperti itu. Om juga ceritanya secara netral, sama sekali tidak menyudutkan kekasihmu. Om Osman justru bercerita kalau laki-laki yang jadi kekasihmu itu adalah laki-laki yang sangat baik.

ALE

Andra memang sangat baik. Aku bahkan sering heran bagaimana bisa dia sebaik itu.

ABIMANA

Dan kalian beruntung bisa memiliki satu sama lain.

ALE

(tersenyum tipis) Andai, aku dan dia memang bisa memiliki satu sama lain dalam waktu yang lama.

ABIMANA

Tapi, kalian pernah memiliki waktu itu. Bukankah itu adalah sesuatu yang bisa disyukuri daripada mengeluhkan sesuatu yang tidak bisa kita miliki?

ALE

(mengangguk pelan) Kamu benar.

Abimana kemudian tertunduk. Dia memainkan jarinya sendiri.

ALE (CONT’D)

Tadi, kamu mau bicara apa, bi?

ABIMANA

(Terdiam sejenak,lalu menoleh pada Ale) Aku cuma ingin memastikan satu hal, tapi apa yang baru saja kamu katakan, sudah menjawabnya.

ALE

(mengerutkan kening) Aku bilang apa? Yang mana?

ABIMANA

Aku sudah yakin sekarang, Le. Kalau hatimu cuma untuk Andra itu. Tidak akan kamu berikan pada orang lain.

ALE

Maksudmu bagaimana, bi?

ABIMANA

Awalnya, aku pikir aku bisa mendekatimu dan bersabar dengan sikap dinginmu. Tapi, lama kelamaan aku sadar, hatimu sulit tersentuh lagi karena kamu punya orang sehebat Andra di dekatmu. Jadi, aku pikir, lebih baik aku mundur.

Ale terdiam. Dia menatap wajah Abimana yang tampak sedih, meski berusaha tersenyum.

ABIMANA

Jadi, mulai sekarang, aku tidak akan mengganggumu lagi, Le. Maaf, kalau selama ini, aku membuatmu kurang nyaman.

ALE

Bi, aku…

ABIMANA

Kamu juga tidak perlu minta maaf. Aku yang memaksa masuk ke duniamu melalui Om Osman.

ALE

Setidaknya, aku harus minta maaf karena sikapku atau kata-kataku yang menyakitimu.

ABIMANA

(tersenyum) Aku pulang dulu ya, Le. (beranjak dari kursi) Salam buat Om Osman ya, sepertinya sudah tidur.

Abimana berjalan masuk ke dalam rumah, terus berjalan hingga sampai di pagar rumah. Ale mengikuti di belakang.

86. EXT. TERAS RUMAH ALE – MALAM HARI

Abimana menghentikan langkahnya saat di ujung pagar. Dia berbalik.

ABIMANA

Tapi, aku tetap akan meneruskan kreditku di tempatmu. Aku masih belum punya modal untuk melunasinya.

ALE

(tersenyum lebar) Awas aja kalau tiba-tiba dilunasi! Kita masih bisa jadi teman, kan?

ABIMANA

Tidak ada yang benar-benar teman pada dua pasang lawan jenis, Le. Tapi, kita akan menjadi mitra kerja.

ALE

(mengangguk) OK. Hati-hati ya.

Abimana mengangguk, lalu berjalan menuju ke mobilnya. Ale masih berdiri di dalam pagar, melihat mobil sedan biru melewatinya.

Mungkin, memang seperti ini yang terbaik.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar