Same Sky Different World
10. BAGIAN SEPULUH

71. INT. RUMAH MINIMALIS ALE – KAMAR ALE – DINI HARI

Lampu kamar hanya menyala remang-remang. Sunyi. Tidak ada suara apapun, kecuali detak jam dinding yang menunjukkan pukul 2 dini hari.

Ale duduk bersimpuh di atas sajadahnya dengan mengenakan mukena. Kedua tangannya terangkat. Matanya terpejam, namun meneteskan air mata. Mulutnya menggumamkan doa yang khusyuk. Dia sedang meminta pada Sang Maha Pembolak-balik Hati manusia, agar diberikan jalan yang terbaik untuknya ataupun Andra.

CUT TO

72. INT. GEREJA – PAGI HARI

Gereja tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang sedang khusyuk berdoa, salah satunya Andra.

Dia duduk di bangku nomor tiga dari depan. Tangannya mengepal, matanya terpejam dan kepalanya tertunduk. Mulutnya menggumamkan doa yang nyaris tidak terdengar. Dia berdoa dengan khusyuk, berharap Tuhan akan menjawab keraguannya dan menunjukkan kepastian yang membawa kebaikan padanya ataupun Ale.

73. INT. KANTOR TEMPAT ANDRA BEKERJA – BAGIAN HUMAN CAPITAL – SIANG HARI

Andra duduk di sofa dengan cemas. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk sofa. Menunggu memang sangat melelahkan. Sesekali, dia menatap Fandy yang sedang berada di ruang pimpinan.

Andra menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam dia menunggu. Andra langsung bangkit dari sofa setelah melihat Fandy keluar dari ruang pimpinan cabang.

Fandy berjalan menghampirinya dengan wajah lesu. Isyarat gelengan yang ditunjukkan Fandy, membuat semangat yang tadi berusaha dibangunnya, luluh lantak.

FANDY

Sorry ya, Ndra. Pimpinan Cabang sudah berusaha menghubungi Kepala Bagian Human Capital di Kantor Pusat, tapi tidak bisa.

ANDRA

Pending, mungkin?

FANDY

(menggeleng) Kamu harus berangkat ke Jakarta sesuai jadwal. Posisimu di sana harus segera terisi, dan penggantimu juga akan datang.

ANDRA

(menghela napas panjang) OK. Makasih ya.

Andra kemudian berjalan meninggalkan ruangan Human Capital, menuruni tangga menuju ke ruangannya sendiri. Apakah ini jawaban dari Tuhan atas keraguannya?

74. EXT. WADUK SERMO – SIANG HARI MENJELANG SORE

Waduk sermo tidak terlalu ramai di hari kerja seperti ini. Hanya ada beberapa orang yang sedang bersua, atau melakukan foto pre-wedding.

Andra dan Ale duduk di kursi camping yang dibawa Andra, menghadap ke arah danau.

ANDRA

Masih ingat saat kita pertama kali ke sini?

ALE

Ya. Kamu tiba-tiba menjemputku saat subuh. Ternyata kesini.

ANDRA

Sebenarnya, aku ingin mengajakmu besok subuh. Tapi, aku harus pulang ke Solo.

ALE

(menoleh, menatap Andra) Kenapa tiba-tiba?

Andra tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Dia memainkan jemarinya sendiri.

ANDRA

Aku tahu, kamu sudah membaca surat itu.

Ale yang sekarang ganti diam. Dia memalingkan wajahnya dari Andra.

ANDRA (CONT’D)

Maafkan aku, Le. Aku tidak bisa menepati janjiku. Dulu, disini, aku bilang kalau kamu bisa mempercayaiku. (PAUSE) Tapi, aku malah harus meninggalkanmu saat kondisimu seperti ini.

Ale masih diam. Sesekali, dia mendongak untuk menghalau airmatanya yang hendak menetes.

ANDRA (CONT’D)

Aku juga yang bilang padamu kalau akan bertahan, meskipun kita sama-sama tahu ada tembok besar diantara kita. Tapi, siapa yang akhirnya menyerah duluan? (PAUSE) Maafkan aku, Le. Aku memang pengecut.

ALE

(suaranya serak) Kamu tidak salah, Ndra. Kita kan sudah memutuskan untuk menjalaninya. Kalau pada akhirnya harus berujung di sini, kita juga harus siap, kan?

ANDRA

Kalau saja, ini bukan ujungnya, Le. Kalau saja, aku masih bisa bertahan sedikit lagi.

ALE

Andra, kamu sudah berusaha. Aku tahu kamu sudah mencoba menundanya. Mungkin, memang harus seperti ini.

ANDRA

Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja.

ALE

Kamu tidak meninggalkanku begitu saja, Ndra. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku. (PAUSE) Kamu masih ingat, kamu membelikanku burung dara goreng, sampai harus basah kuyup? Kamu juga menemaniku berjalan sepanjang malioboro, basah kuyup karena memayungiku, lalu menemaniku semalaman di pinggir jalan, hanya karena aku tidak ingin pulang. (berhenti sejenak, menarik napas panjang) Kamu menjagaku semalaman di rumah sakit dan pulang setelah subuh, lalu pagi sampai sorenya kamu mengerjakan pekerjaanku sambil menyelesaikan pekerjaanmu sendiri. Apa yang sudah kamu lakukan padaku itu sangat luar biasa, Ndra.

ANDRA

Tapi, apa artinya semua itu, kalau pada akhirnya aku harus pergi bahkan sebelum hubungan kita mencapai satu tahun?

ALE

Tidak penting kuantitas. Kamu sudah memberikan kualitas hubungan yang mungkin tidak akan aku rasakan lagi.

ANDRA

Tidak, Le. Kamu pantas dicintai dengan sangat baik. (PAUSE) Jika suatu saat nanti, ada laki-laki yang mencintaimu dengan tulus, jangan pernah menyisihkannya dari hidupmu.

ALE

(tertawa) Kamu berpikir terlalu jauh, Ndra. Yang harus kita pikirkan bukan tentang dengan siapa kita pada akhirnya nanti, tapi bagaimana kita bisa membuat kenangan sebanyak mungkin dengan sisa waktu kita.

ANDRA

Apakah menurutmu, kita bisa melanjutkannya lagi? Aku bisa datang dua minggu sekali.

ALE

(menggeleng) Kamu tahu kan, masalah kita tidak hanya tentang jarak Jogja – Jakarta?

ANDRA

Ya, aku tahu.

ALE

Mungkin, memang ini pertanda dari Tuhan untuk kita. (PAUSE) Dua orang yang, mungkin, tidak seharusnya bertemu dan mencinta, tidak akan pernah bisa bersama meski kita memaksanya. Takdir kita sepertinya hanya bersinggungan sesaat. (berusaha tersenyum)

ANDRA

Kamu sudah bersiap, Le?

ALE

Siapa yang bersiap untuk berpisah, Ndra? Tidak ada. Aku hanya berusaha untuk berdamai dengan kenyataan.

Andra menggerakkan tangannya, meraih tangan Ale, dan menggenggamnya.

ANDRA

Aku tidak menyangka, kamu akan lebih kuat daripada aku.

ALE

(menoleh pada Andra, menatapnya dengan teduh) Aku melakukannya untukmu, Ndra. Hal terbaik yang bisa aku lakukan untukmu, ya begini, menjadi kuat.

ANDRA

Kenapa kamu berpikir begitu?

ALE

Karena aku ingin kamu pergi ke Jakarta dengan hati yang tenang. Karena kamu yakin, perempuan yang kamu tinggal di sini, tidak tumbang setelah kamu tinggal.

ANDRA

Le, kamu harus tahu satu hal. Meskipun aku pergi, bukan berarti cintaku berhenti di sini.

ALE

Aku juga, Ndra. Kamu tetap berada di sini (menyentuh dada), tidak berkurang sedikitpun.

Bibir Ale mengulum senyum, meski matanya berkaca-kaca. Dia tahu, bagaimanapun dia berusaha untuk tersenyum, matanya masih akan menunjukkan luka yang sangat dalam saat dihadapkan dengan perpisahan.

75. INT. DALAM PERJALANAN PULANG KE RUMAH ALE – DI DALAM MOBIL – MALAM HARI

Mobil bergerak pelan, menembus keramaian. Andra fokus pada jalanan, sementara Ale hanya duduk diam di sampingnya. Pandangannya menerawang ke luar jendela mobil. Sementara tangannya menggenggam erat tas tangannya, berusaha menahan perasaannya sendiri.

Terdengar alunan suara Peter Noone menyanyikan lagu ‘The End of the World’ dari music player mobil.

DISSOLVE TO

76. EXT. DEPAN RUMAH ALE – MALAM HARI

Mobil berhenti tepat di depan rumah Ale. Andra menoleh pada Ale yang memejamkan mata.

ANDRA

(mengatakannya dengan lembut) Le, sudah sampai.

Ale masih tidak merespon. Andra kemudian menyentuh pundak Ale dan menepuknya pelan.

ANDRA (CONT’D)

Le, sudah di depan rumah.

ALE

(masih dengan wajah yang berpaling dari Andra) Tidak bisakah berputar lagi? Ke kulon progo lagi, mungkin?

Andra terdiam. Dia tahu Ale sejak tadi menyembunyikan perasaannya, berusaha tegar.

ANDRA

Le, kamu harus pulang. Papamu sudah menunggu di dalam. Aku juga harus ke Solo.

ALE

Sebentar saja, Ndra.

ANDRA

(berusaha tersenyum) Besok aku akan langsung pulang dan menjemputmu di kantor. Kita makan nasi goreng langganan.

ALE

(menoleh, menatap Andra dengan mata sembab) Kamu janji?

ANDRA

Iya. (mengacungkan jari kelingkingnya)

ALE

Awas kalau bohong! (membuka pintu mobil, lalu melangkah turun dari mobil)

Ale langsung masuk ke dalam rumah, tanpa menoleh lagi pada Andra. Sementara Andra masih menatap pintu rumah yang menutup itu. Hatinya pun sama hancurnya dengan Ale.

77. INT. RUMAH MINIMALIS ALE – RUANG TAMU – MALAM HARI

Setelah menutup pintu, Ale tidak langsung melangkah masuk. Dia masih berdiri di balik pintu dan menyandarkan tubuhnya. Napasnya naik turun tidak teratur dan mulai terdengar isak tangisnya. Airmatanya mengalir bebas dari kelopak mata. Suara tangisannya semakin kencang, setelah terdengar suara mobil meninggalkan depan rumahnya.

Ale sampai menutup mulutnya karena takut membangunkan Papanya.

CUT TO

78. INT. KANTOR TEMPAT ALE BEKERJA – RUANG MARKETING – PAGI HARI

Kantor ramai seperti biasanya. Terdengar suara tawa, obrolan yang cukup keras, atau barang terjatuh. Dari semua kebisingan itu, Ale memilih diam di mejanya sendiri.

Dia menutup kedua telinganya dengan earphone. Sementara jari-jarinya sibuk mengetikkan sesuatu di keyboard. Sesekali, Ale menoleh pada bangku yang kosong di sebelahnya. Bangku itu sudah bersih.

Membiasakan sesuatu memang tidak mudah, tapi dia harus mulai terbiasa dengan kekosongan itu. Tidak akan ada lagi laki-laki yang menggumamkan lagu outdated, atau membawakannya kopi dan sandwich setiap pagi. Dan Ale, harus terbiasa dengan semua itu.

CUT TO

79. INT. RUMAH ANDRA DI SOLO – PAGI HARI

Terdengar suara alunan musik dari gramophone di pojok ruang tamu. Andra duduk di sofa. Secangkir kopi yang sudah kehilangan panasnya diletakkan di meja.

Ibunya Andra muncul dari dalam rumah.

IBUNYA ANDRA

Kamu tidak tidur, Nak? Kamu kan baru sampai.

ANDRA

Enggak bisa tidur, bu.

Ibunya Andra lalu duduk di samping Andra. Pandangannya tertuju pada wajah putranya yang tampak murung.

IBUNYA ANDRA

Ada yang membebani pikiranmu?

ANDRA

Aku dipromosikan ke Jakarta.

IBUNYA ANDRA

(terdiam sejenak) Kamu berat di Ale?

ANDRA

(mengangguk) Tapi, aku tidak punya pilihan lain.

IBUNYA ANDRA

Lalu, kalian bagaimana? Jakarta – Jogja juga tidak terlalu jauh.

ANDRA

(menggeleng) Kami memutuskan berpisah.

Ibunya Andra tidak mengatakan apapun. Dia hanya menyentuh punggung anak laki-lakinya, menepuknya pelan.

ANDRA

Tapi berat. Rasanya, jauh lebih berat daripada melepaskan Rachel.

IBUNYA ANDRA

Kalau kamu serius sama pasanganmu, pasti akan sangat berat, Ndra.

Andra hanya diam.

IBUNYA ANDRA (CONT’D)

Tapi, Ibu yakin kamu pasti bisa melewatinya. Kamu pernah terluka sebelumnya, dan kamu bisa bangkit lagi, mencintai lagi. Sekarang pun, kamu pasti bisa.

ANDRA

Aku tidak yakin, bu.

IBUNYA ANDRA

Jangan pesimis, Nak. Biarkan Tuhan membantumu. Kamu cukup berusaha semampumu dan berdoa.

Andra tidak menanggapi lagi. Kedua tangannya tertangkup menutupi wajahnya. Bayang-bayang wajah Ale masih terngiang-ngiang di pikirannya.

IBUNYA ANDRA

Lalu, kamu mau berangkat kapan?

ANDRA

Akhir pekan ini, bu. Senin depan sudah bekerja di sana?

IBUNYA ANDRA

Cepat sekali. Ini kamu cuti berapa hari?

ANDRA

Nanti sore balik Jogja.

IBUNYA ANDRA

Kalau begitu, Ibu bantu beres-beres barang, ya.

ANDRA

(menoleh pada Ibunya) Terimakasih, bu. Terimakasih sudah mendukung semua keputusan Andra.

IBUNYA ANDRA

(tersenyum) Apa sih, Ndra? Semua orang tua pasti akan menghargai keputusan anaknya, selama itu tidak melanggar agama.

Andra tersenyum, namun ada kepahitan dari ucapan Ibunya. Ya, dia tidak akan pernah melanggar agamanya, meski hatinya terus terluka.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar