Same Sky Different World
9. BAGIAN SEMBILAN

62. INT. RUMAH SAKIT – KAMAR TEMPAT ALE DIRAWAT – SORE HARI

Ale merebahkan tubuhnya di tempat tidur, namun matanya tidak terpejam. Dia menatap ke jendela kaca, menerawang ke langit yang mulai gelap. Mendung menggantung gelap di luar sana, padahal siang tadi matahari bersinar sangat cerah, seolah hujan tidak akan berani turun hari ini. Tapi, begitulah semesta, segalanya bisa berubah dalam waktu yang sangat cepat, tanpa bisa diprediksi.

Pintu tiba-tiba terbuka, Ale menoleh sesaat dan melihat Abimana yang berdiri di daun pintu sambil tersenyum.

ABIMANA

Aku tidak mengganggu istirahatmu, kan?

Ale hanya menggeleng, lalu menatap langit lagi. Abimana berjalan mendekati Ale, lalu meletakkan box kue yang dibawanya di meja nakas.

ABIMANA (CONT’D)

Kamu sudah baikan?

ALE

Lumayan.

ABIMANA

Syukurlah. Kamu sudah makan?

ALE

Masih belum lapar.

ABIMANA

(mengambil kursi, lalu duduk di dekat Ale) Papa tadi bilang kalau tidak akan bisa menemanimu malam ini. Jadi, memintaku untuk menjagamu.

ALE

Andra akan datang nanti.

ABIMANA

Kalau begitu, aku akan menemanimu sampai dia datang.

Ale hanya tersenyum tipis, berharap Andra akan segera datang. Abimana memandang Ale yang masih menatap langit melalui jendela kamar.

Hujan akhirnya turun cukup deras, membuat jendela kaca mulai berembun.

ABIMANA

Kamu kenapa melihat langit terus-terusan?

ALE

Tidak apa-apa. Kadang aneh saja, semesta cepat sekali berubah pikiran.

ABIMANA

Semesta pun berproses, Le. Apa yang terjadi pada semesta juga hasil proses itu. Hujan tidak datang tiba-tiba. Langit pun juga tidak tiba-tiba mendung.

Ale hanya diam, tidak menanggapi.

ABIMANA

Segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya, tidak berubah secara tiba-tiba. Itu menurutku.

ALE

Apa kamu tidak pernah berpikir kalau sesuatu bisa saja terjadi tanpa alasan?

ABIMANA

(menggeleng) Di dunia ini, semuanya terjadi karena sebab. Semesta kita ini pun terbentuk karena ada alasan yang bisa dijelaskan secara science, The Bigbang.

ALE

Bagaimana dengan hati manusia?

ABIMANA

Tentu saja sama. Manusia adalah makhluk paling berperasaan, tapi diberkahi logika. Jika seorang manusia berubah, kalau tidak perasaannya yang terlibat, berarti logikanya.

ALE

Termasuk saat melukai seseorang?

ABIMANA

(tidak langsung menjawab, berpikir sejenak) Ini menurutku ya, Le. Seseorang bisa melukai orang lain, kalau bukan karena logikanya lebih mendominasi daripada perasaannya,karena dia punya alasan kuat melakukannya. Mungkin, menurutnya, lebih baik melukai sekarang, daripada lukanya lebih dalam jika tidak dilakukan sekarang.

ALE

Mungkin. (berucap lirih)

Perawat tiba-tiba masuk ke dalam kamar, membawa nampan berisi makanan dan obat. Abimana menerimanya lalu meletakkannya di pangkuan Ale yang sudah duduk bersandar pada bantal.

ABIMANA

Kamu bisa makan sendiri?

Ale mengangguk, lalu mulai menyendok bubur. Abimana mengambil minuman lalu meletakkannya di meja nakas samping ranjang Ale.

Dia menatap Ale yang sedang berusaha menelan makanannya. Kentara sekali dia tidak suka makanan rumah sakit.

63. INT. RUMAH SAKIT TEMPAT ALE DIRAWAT – SELASAR VIP – MALAM HARI

Andra berdiri di balik pintu kamar Ale, menatap ke dalam kamar melalui kaca kecil yang berada di pintu. Matanya merekam semua hal yang terjadi di kamar. Menimbulkan rasa sakit yang luar biasa di hatinya.

64. INT. RUMAH KOST ANDRA – KAMAR ANDRA – MALAM HARI

MONTAGES

Kamar dibiarkan gelap. Tidak ada suara apapun. Hanya keheningan. Andra duduk melantai, bersandar pada tempat tidur. Kedua kakinya menekuk. Tatapannya kosong pada karpet. Pikirannya sedang berkelana ke berbagai peristiwa yang terjadi padanya.

Andra melihat ke layar ponselnya yang menunjukkan fotonya bersama Ale. Dia menggeser-geser layar dan melihat setiap foto yang mereka ambil saat bersama.

Jarinya berhenti saat melihat foto pertamanya dengan Ale di Waduk Sermo. Ingatannya membawanya kembali pada peristiwa itu.

CUT TO FLASHBACK

65. EXT. PINGGIR WADUK SERMO – SUBUH – FLASH BACK

Meski masih sangat pagi, tapi sudah ada beberapa orang yang bersiap menyambut matahari pagi di tepi waduk Sermo.

Andra dan Ale duduk bersebelahan dengan kursi camping.

ALE

Kamu sudah pernah kesini sebelumnya?

ANDRA

Sudah.

ALE

Aku yang asli Jogja saja, baru pertama kali. Aku tidak tahu waduk sermo jadi tempat sebagus ini.

ANDRA

Hidupmu terlalu serius, Le.

ALE

(menggeleng) Karena aku terlalu lama melarikan diri dari Jogja.

ANDRA

Kenapa?

ALE

Masa lalu yang tidak bagus.

ANDRA

Masih memikirkan masa lalu sampai sekarang?

ALE

(mengangkat bahu) Kadang.

ANDRA

Lepasin saja, Le. (PAUSE) Mau melihat masa sekarang dan masa depan denganku?

Ale diam. Dia menatap Andra dengan bertanya-tanya.

ANDRA (CONT’D)

(menatap ke dalam mata Ale) Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba aku berkata begitu. Tapi, aku serius.

ALE

Tapi, kamu tahu kan apa yang jadi tembok besar di antara kita?

ANDRA

(mengangguk) Kita bisa mengabaikannya. Selama kita memiliki perasan yang sama. Kamu sendiri, bagaimana? Mau melihat masa depan mulai sekarang denganku saja?

Ale tidak langsung menjawab. Dia memalingkan wajahnya dari Andra, menatap ke arah danau yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Gelapnya langit malam, perlahan digantikan oleh terangnya sinar matahari pagi.

ANDRA (CONT’D)

Langit saja tidak mau selamanya dalam gelap, Le. Kamu mau bertahan seperti itu sampai kapan?

ALE

Aku hanya takut, Ndra.

ANDRA

Takut apa?

ALE

Takut kalau pada akhirnya hati kita sama-sama terluka kalau berjalan terlalu jauh.

ANDRA

(berdeham) Kenapa harus takut pada sesuatu yang belum terjadi? Siapapun yang berani jatuh cinta harus berani terluka. Yang terpenting, kan, perasaanmu sekarang. Kamu memiliki perasaan yang sama denganku atau tidak? Aku ingin kamu jujur.

ALE

(menoleh pada Andra, menatapnya dengan dalam, senyum mengembang di bibirnya) Menurutmu, kenapa aku mau kamu ajak kesini kalau aku tidak memiliki perasaan apapun denganmu? (PAUSE) Hatiku sudah bereaksi sejak awal bertemu di kantor.

ANDRA

Pertemuan kedua?

ALE

(tertawa) Oh ya, kita bertemu pertama kali di kafe. Kamu menawariku payung.

ANDRA

Suka hujan tapi tidak untuk membuatmu basah.

ALE

Mau jatuh cinta tapi takut terluka.

ANDRA

(meraih tangan Ale, menggenggamnya erat) Aku akan menghilangkan takutmu, Le. Kamu hanya perlu percaya padaku.

Ale menggerakkan tangannya, menggenggam balik tangan Andra. Tangan mereka saling menggenggam, mengalirkan aliran perasaan yang menggebu. Seiring dengan matahari yang memberikan terang pada danau yang semula gelap.

FLASH BACK CUT TO

66. INT. KANTOT BANK -RUANG MARKETING - PAGI HARI

MONTAGES

Ale berjalan menuju meja kerjanya. Dia meletakkan tas tangan dan berkas kredit di meja. Dia menoleh pada meja di sampingnya yang kosong dan rapi seperti tidak berpenghuni.

Ale menarik kursinya lalu duduk, membuka notebook-nya. Pandangannya tertuju pada layar notebook yang mulai menyala, namun pandangannya kosong. 

Setelah layar benar-benar menampilkan homescreen, Ale menggerakkan mouse-nya, mengetikkan beberapa kata di keyboard, hingga akhirnya tampil berkas kredit nasabah. Sudah satu minggu dia tidak masuk kerja, dan ada banyak pekerjaan yang tertunda.

Mata Ale membulat saat melihat paket kredit yang ditinggalkannya satu minggu lalu sudah selesai. Dia mencoba mencari file lain dan ternyata semua pekerjaannya yang tertunda sudah diselesaikan.

Bibir Ale mengulum senyum. Sesuatu terbersit di pikirannya.

Ale melihat ke arah jam tangan. Sudah hampir siang, namun Andra tidak juga datang. Ale mengambil ponsel, mengetikkan beberapa kata, lalu mengirimkan pesan itu pada Andra. Dia meletakkan ponselnya lagi di meja, lalu beranjak menuju meja Andra. Membuka notebook Andra dan menyalakannya. Dia ingat kalau beberapa waktu lalu mengirimkan file pada email Andra.

Tangan Ale menggeser-geser kursor, lalu membuka gambar email. Dia mengetikkan beberapa huruf lalu terbukalah office mail Andra. Matanya menatap layar dengan seksama, meneliti semua email yang masuk di office mail Andra untuk mencari file-nya. Namun, tatapannya terhenti pada sebuah email yang masuk beberapa hari lalu. Tangannya meng-klik mouse lalu membaca isi email.

Seketika tubuhnya lemas. Ale hanya duduk mematung di kursi Andra. Dia bahkan mengabaikan ponselnya yang terus berdering karena telepon dari Andra.

67. EXT. ROOFTOP KANTOR – SORE HARI 

Angin bertiup cukup kencang sore ini. Langit sedang tidak menawarkan senja yang indah di sore hari ini. Mendung memenuhi langit.

Ale melangkah keluar dari pintu, rambut panjangnya langsung terhempas angin setelah menginjakkan kaki di lantai rooftop. Jauh di depannya, dia melihat Andra sedang berdiri di dekat pagar pembatas. Andra langsung menoleh ke arah Ale saat mendengar suara sepatu yang berjalan ke arahnya.

ANDRA

Sudah aku duga kalau kamu akan naik ke sini. (bibirnya menunjukkan senyum yang lebar)

Ale tidak mengatakan apapun. Dia terus berjalan hingga tepat berdiri di belakang Andra. Dia meletakkan kepalanya di punggung Andra.

ANDRA (CONT’D)

Kenapa, Le?

ALE

Sebentar saja.

Andra pun hanya diam mematung, membiarkan Ale bersandar pada punggungnya.

ALE

Aku kangen kamu.

ANDRA

Maaf ya, pekerjaanku sedang banyak. Tapi, kamu sudah baikan, kan?

ALE

(menelan ludah) Ya, aku tahu. Kamu juga mengerjakan pekerjaanku.

ANDRA

Kamu sudah melihatnya?

ALE

(berucap lirih) Sudah semuanya. (napasnya naik turun teratur, matanya terpejam, menutupi matanya yang mulai berair)

ANDRA

Kamu enggak apa apa kan, Le? Kenapa tiba-tiba begini?

ALE

Kan aku sudah bilang kalau aku kangen kamu.

Andra berbalik dan membuat Ale menegakkan badan. Kedua tangan Andra menggenggam pundak Ale. Matanya menatap pada kedua mata Ale yang tampak berair.

ANDRA

Kamu yakin?

Ale hanya mengangguk. Dia kemudian menggerakkan tangannya, melingkarkannya di pinggang Andra, lalu menyandarkan kepalanya pada dada Andra.

ALE

Bolehkan sebentar? Seperti ini akan membuatku merasa nyaman dan kuat.

Andra tidak menyahut. Dia hanya menepuk-nepuk pelan punggung Ale. Mereka berpelukan cukup lama. 

68. EXT. HALAMAN PARKIR KANTOR – MALAM HARI

Ale melangkah keluar dari kantor menuju ke halaman parkir. Sebuah mobil SUV putih sudah menunggunya di sana. Ale berjalan mendekati mobil, lalu membuka pintu.

BARA

Aku tidak telat, kan?

Ale menggeleng, lalu duduk di kursi penumpang, memakai seatbelt.

BARA

Dimana pacarmu?

ALE

Namanya Andra.

BARA

Ah, iya. (menginjak pedal gas, menjalankan mobil keluar dari halaman kantor)

CUT TO

69. INT. KANTOR BANK – RUANG MARKETING – MALAM HARI

Andra duduk di kursinya sendiri. Terpaku menatap notebook-nya yang sudah berpindah posisi, begitu juga dengan mouse. Dia tahu, apa yang Ale lakukan tadi pasti ada alasannya.

Alasannya adalah Ale pasti sudah membaca email-nya.

CUT TO

70. EXT. DALAM PERJALANAN PULANG KE RUMAH ALE – DI DALAM MOBIL BARA – MALAM HARI

Ale menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, sembari menoleh pada jendela mobil di sampingnya. Dia melihat deretan penjual kaki lima dan juga jalanan yang cukup ramai.

BARA

Andra tidak mengantarmu?

ALE

Dia sibuk.

BARA

Tapi, dia kelihatan banget sayang sama kamu.

ALE

Sok tahu kamu!

BARA

Aku bilang gitu karena aku lihat, Le. Tiap malam dia pasti datang ke kamarmu pas kamu tidur, begadang sampai subuh, lalu pergi.

ALE

(menoleh pada Bara) Benarkah?

BARA

Ya, tentu saja aku tidak salah. Dia juga datang pas ada anak teman Papa itu. Tapi, dia cuma berdiri di pintu lalu pergi.

ALE

(mengusap wajahnya) Bisa balik ke kantor lagi enggak?

BARA

Ya ini udah jauh banget. Harus puter balik lagi, dong. Andra juga pasti sudah pulang.

ALE

Aku merasa bersalah banget sama dia. Aku sudah berpikir buruk padanya saat dia tidak datang ke rumah sakit.

BARA

Kamu telepon dia. (PAUSE) Dia juga sepertinya lagi banyak pikiran.

Ale memalingkan wajahnya dari Bara, menatap kembali pada jendela mobil di sampingnya. Matanya sudah berair, namun dia buru-buru menghapus airmata yang terlanjur menetes.

BARA

Kalian ada masalah? (mengulurkan tissue pada Ale)

ALE

Sepertinya waktunya sudah tiba.

BARA

Maksudnya?

ALE

Kami sudah sampai di ujung jalan.

BARA

(terdiam sejenak) Aku bukannya mau ikut campur ya, Le. Tapi kalau aku boleh memberi saran, kamu harus menggunakan sedikit waktu itu untuk bersama.

ALE

Aku tidak tahu bagaimana aku akan menghadapinya.

BARA

Kamu pasti bisa, Le. Atau, kamu harus bisa walaupun pasti berat. Perpisahan yang bisa dihitung hari memang berat, tapi paling tidak kita bisa menyiapkan banyak hal sebelum itu benar-benar terjadi.

Ale tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menatap kosong pada butiran-butiran air yang mengalir di jendela mobil. Langit tiba-tiba menurunkan hujan.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar