Same Sky Different World
7. BAGIAN TUJUH

47. EXT. HALAMAN RUMAH ALE DI KALIURANG – SIANG HARI

Rumah dua lantai dengan konsep modern tampak sangat mewah. Dominasi warna putih dan beberapa aksen kayu membuatnya semakin terlihat menarik. Taman depan juga terawat rapi dengan rumput hijau yang terhampar, juga beberapa pohon palem. Pot-pot bunga tertata rapi di sepanjang jalan setapak menuju teras.

Ale melangkah turun dari mobilnya, melangkah masuk ke dalam melewati pintu yang dibiarkan terbuka. Pak Arif (50TH) sudah menyambutnya di dalam. Pria sepuluh tahun lebih muda dari Papanya Ale itu, menyambut Ale dengan senyuman lebar.

ALE

Gimana kabarnya, Pak?

PAK ARIF

Baik, Mbak. (PAUSE) rumahnya sudah saya rapikan semua.

ALE

(tersenyum) Semoga kali ini benar-benar laku.

PAK ARIF

Amin.

Ale melangkah semakin ke dalam.

48. INT. RUMAH ALE DI KALIURANG – DAPUR – SIANG HARI

Di dalam tak kalah mewah. Sebuah kolam renang besar langsung terlihat dari ruang tengah, yang hanya berbatas pintu kaca besar.

Ale melangkah menuju dapur, membuka lemari pendingin, lalu mengambil satu botol air mineral. Tangannya berusaha memutar penutup botol yang rapat.

BARA

Alessandra…

Ale menoleh ke arah suara. Meski empat tahun sudah berlalu, dia tidak akan pernah melupakan suara ini.Dia melihat seorang laki-laki dengan balutan kemeja. Wajahnya tidak berubah meski waktu empat tahun sudah berlalu. 

Bara (35th) berdiri beberapa meter dari Ale, tengah tersenyum.

ALE

Bara…

Air mineral yang digenggaman Ale, terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. Membuat air menggenang di lantai keramik, tepat di bawah kaki Ale.

Bara berjalan cepat mendekati Ale, mengambil botol air mineral, dan menarik Ale agar menjauh dari genangan air. Sementara Ale masih mematung dengan tatapan yang tidak lepas dari Bara.

Tangan Bara yang semula menggenggam pergelangan tangan Ale terlepas perlahan. Mereka masih saling mematung dengan tatapan yang dalam.

 CUT TO

49. EXT. DEPAN RUMAH ALE DI KALIURANG – DI DALAM MOBIL – SIANG HARI

Sebuah mobil SUV hitam terparkir tepat di seberang rumah modern dua lantai. Andra duduk di kursi kemudi. Sejak Ale masuk ke dalam rumah, Andra tidak melepaskan pandangannya dari rumah itu. Apalagi, saat dia melihat seorang pria dengan setelan kemeja juga ikut masuk.

Ada yang terasa tidak enak di dalam hatinya, namun dia tidak tahu apa.

CUT TO FLASH BACK

50. INT. RUMAH MINIMALIS ALE – MALAM HARI – TIGA TAHUN YANG LALU – FLASH BACK

Di ruang tamu, Bara sedang duduk berhadapan dengan Papanya Ale. Sementara Ale memilih berdiri sedikit lebih jauh. Matanya bengkak karena lelah menangis, bahkan sekarang pun, masih terdengar isak tangisnya.

BARA

Maafkan aku, Pa. Aku tidak bisa melanjutkan ini. (bangkit dari kursi, berlutut setelah meletakkan cincin pertunangan di meja)

PAPANYA ALE

Kamu yakin dengan keputusanmu?

BARA

Aku yakin, Pa. Sejak awal, aku hanya menganggap Ale sebagai adikku.

Ale yang sejak tadi berdiri di sudut, berjalan cepat ke arah Bara, ikut bersimpuh di samping Bara sambil menarik-narik kemeja Bara.

ALE

Kenapa kamu melakukannya, Bar? Kenapa kamu tega padaku? (airmata mengalir deras, suara parau karena tangisan)

BARA

Maafkan aku, Le. (menoleh dan menatap Ale dengan dalam. Tangannya menepuk pelan punggung tangan Ale)

ALE

(menampik tangan Bara) Kamu jahat, Bar! Aku tidak akan memaafkanmu selamanya. Kamu lebih memilih perempuan itu daripada aku.

BARA

Aku tahu, Le. Apa yang aku lakukan padamu sangat kejam, tapi aku tidak punya pilihan. Maafkan aku. (PAUSE) Maafkan aku, Pa. Aku harus pergi sekarang.(bangkit dari lantai, lalu berjalan pelan keluar dari ruang tamu)

ALE

(menatap nanar pada Bara) Jangan pergi, Bar. Aku mohon, Bar… Jangan pergi! (berteriak histeris)

Papanya Ale langsung beranjak dari kursi, menghampiri Ale, mendekapnya erat agar tidak semakin histeris melihat Bara yang berjalan pergi.

Malam itu, menjadi malam paling mengerikan bagi Ale. Luka yang diciptakannya sangat dalam, hingga sulit sekali disembuhkan dan terus saja membekas.

FLASH BACK CUT TO

51. EXT. MALIOBORO – SEPANJANG TROTOAR – MALAM HARI

Sabtu malam. Malioboro selalu penuh sesak dengan orang. Ada yang menjajakan barang dagangannya, ada yang menawar, atau hanya sekedar berjalan-jalan.

Ale berjalan di trotoar tanpa tujuan. Dia hanya terus berjalan dengan mata yang terus berair. Sesekali, dia menabrak orang yang berpapasan dengannya. Namun, dia terus berjalan. Berada di ratusan orang seperti ini adalah cara paling ampuh untuk menyembunyikan luka dan airmata.

52. EXT. TITIK O KM – MALAM HARI

Malam beranjak semakin larut. Namun, keramaian masih sama. Beberapa orang tampak bercengkerama di titik O KM. Ada yang duduk di bangku taman, ada yang sedang sibuk berfoto.

Ale duduk sendiri di salah satu bangku. Pandangannya tertuju pada langit malam yang sangat gelap. Satu bintang pun tidak terlihat. Langit sangat mendung, dan angin kencang mulai terasa. Sepertinya hujan akan turun.

Langit seakan menjadi perlambang hatinya sekarang. Satu tetes air menerpa wajahnya. Berawal dari satu, hingga menjadi butiran yang cukup deras.

Orang-orang mulai berhamburan mencari tempat berteduh. Namun, tidak dengan Ale. Dia masih duduk di tempat yang sama, menunduk. Bukankah hujan juga cara yang ampuh untuk menyembunyikan airmata?

Namun, tiba-tiba air berhenti menerpanya. Pandangannya tertuju pada sepasang sepatu lalu bergerak pada celana jeans, bergerak naik lagi ke kemeja flannel, hingga akhirnya Ale bisa melihat wajah Andra yang sedang berdiri di depannya sambil memayunginya.

ANDRA

Kenapa kamu sendirian di sini dan hujan-hujan?

ALE

(menatap dengan sedih) Bagaimana dari semua kemungkinan, kamu malah berdiri di sini?

ANDRA

Karena aku tahu, kamu akan membutuhkanku. Dan, kamu benar-benar membutuhkanku sekarang, untuk menyelamatkanmu dari hujan. (tersenyum lebar)

Andra meraih tangan Ale, lalu mengajaknya pergi dari bangku besi itu. Payung yang dibawanya condong ke arah Ale, sehingga membuat kemeja flannelnya basah di bagian pundak hingga lengan.

53. EXT. SEKITAR TITIK 0 KM – TERAS BANGUNAN TUA – MALAM HARI

Hujan masih turun, namun tidak terlalu deras. Tetesan-tetesan air mengalir dari atap bangunan tua.

Andra berdiri di teras bangunan, bersebelahan dengan Ale yang bersedekap karena mulai merasa kedinginan.

ANDRA

Kamu kedinginan, ya? Apa aku perlu ambil mobil, lalu kembali ke sini? Tapi nanti kamu sendirian di sini.

ALE

Tidak apa-apa, Ndra. Kamu yang seharusnya lebih kedinginan karena kemejamu lebih basah.

ANDRA

(melihat bajunya yang basah kuyup, lalu tersenyum bangga) Bukankah kamu sudah tahu kalau aku tidak akan sakit hanya karena air hujan?

Ale tertawa,terlihat aneh karena matanya bengkak. Namun, Andra bahagia, karena akhirnya perempuannya di depannya tertawa.

ALE

Terimakasih ya, Ndra. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau kamu tidak mengikutiku sampai kesini.

ANDRA

Aku kan sudah berjanji untuk menjagamu, apapun yang terjadi.

ALE

(mencebik, airmata mengalir lagi dari matanya) Andai kita tidak berada pada posisi sekarang, aku ingin sekali menghabiskan hidupku denganmu.

ANDRA

(mendekati Ale, lalu meletakkan tangannya pada pundak Ale, menepuk-nepuknya pelan) Kita akan bertahan selama kita bisa. Dan selama itu, kamu bisa selalu mengandalkanku.

Mereka saling menatap, tanpa ada suara yang keluar dari mulut. Hanya tatapan yang menjadi bahasa untuk suara hati mereka. 

DISSOLVE TO

54. EXT. TEPI JALAN DEPAN MINIMARKET - DI DALAM MOBIL ALE – MALAM HARI

Hujan sudah berhenti, menyisakan genangan di sisi-sisi jalan. Jalanan pun sudah cukup sepi karena sudah nyaris tengah malam.

Mobil Ale berhenti di tepi jalan, tepat di depan sebuah minimarket. Ale duduk di kursi penumpang, menyandarkan kepalanya yang mulai berat, namun matanya sedang mengawasi Andra yang sedang berada di dalam minimarket.

Tidak lama kemudian, Andra keluar dari supermarket dengan membawa dua cup mie instan. Dia melangkah cepat menuju ke mobil. Ale membukakan pintu dan menerima cup mie instan dari Andra.

ANDRA

Tunggu. Aku ambil kopinya dulu.

Andra berjalan kembali ke minimarket, lalu keluar lagi dengan membawa dua paper cup berisi kopi panas.

ALE

Aw, panas! (menerima papercup dari Andra)

ANDRA

Hati-hati, Le. (masuk ke dalam mobil, lalu duduk di kursi kemudi)

Aroma mie instan langsung menguar di dalam mobil, saat penutupnya dibuka.

ALE

Udah kaya camping, tapi di mobil. (mengaduk mie instan)

ANDRA

(tertawa) Ya, anggap saja begitu, Le. Kita lagi camping yang kekinian.(menyeruput kuah mie instan yang masih panas)

Lalu, tidak ada lagi yang bicara. Mereka sama-sama sibuk dengan mie instan di tangan mereka.

ALE

Kamu enggak tanya, apa yang terjadi padaku?

ANDRA

(menatap Ale) Kamu akan cerita kalau aku seharusnya tahu. Kamu pernah berkata begitu.

ALE

Dia adalah alasanku menahan sakit selama bertahun-tahun, sebelum kamu datang. Aku tidak menyangka dia berani kembali lagi.

Andra hanya diam mendengarkan Ale.

ALE (CONT’D)

Kami berdua bersama sejak kecil, sampai akhirnya bertunangan, tepat sebelum dia berangkat ke New Haven untuk melanjutkan sekolah dokternya. Setelah kembali dari sana, dia mulai berubah. (PAUSE) Ternyata dia bertemu perempuan lain di sana. Perempuan yang dia yakini dan ingin dinikahi.

ANDRA

Semua orang pasti punya alasan.

ALE

Aku tahu. Tapi dia melakukannya dengan cara yang salah. Dia seharusnya sudah tahu kalau dia sudah mengikat komitmen denganku. (PAUSE) Kenapa dia membiarkan hatinya jatuh cinta lagi?

ANDRA

Apa yang dikatakannya waktu itu?

ALE

(menarik napas panjang) Dia bilang hanya menganggapku adiknya. Konyol! Setelah sekian lama, kenapa dia baru bilang.

ANDRA

Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing, Le. Kamu dan dia. Mungkin, memang jalan kalian ditakdirkan untuk tidak terus bersinggungan lagi, sehingga jalanmu bisa bersinggungan denganku entah sampai kapan, dan setelah itu kamu bisa bersinggungan dengan siapa saja. Kita tidak pernah tahu, kan? Aku mengatakannya sebagai orang lain yang melihatnya dari perspektif luar, tanpa membela siapapun.

Ale diam. Tatapannya menerawang pada jalanan yang sepi.

ANDRA (CONT’D)

Aku pun pernah berada di posisimu, dipaksa pisah padahal kami sudah bersama cukup lama. Awalnya, aku marah. Marah pada kenyataan. Marah pada Tuhan. Tapi, akhirnya aku sadar satu hal. Kita tidak bisa memaksakan apa yang bukan menjadi takdir kita. (PAUSE) Yang harus dilakukan selanjutnya adalah berdamai dengan masa lalu. Itu akan membuatmu lebih baik saat bertemu dengannya lagi.

ALE

Tapi, itu tidak mudah.

ANDRA

Memang. Tapi, kamu akan bisa kalau sudah berusaha. (PAUSE) Bukankah kamu punya aku? Harapanmu? (tersenyum nyengir)

ALE

(menggerakkan tangan, menyentuh pipi Andra) Aku bersyukur karena aku punya kamu. Hujan waktu itu, membuat takdir kita bersinggungan.

ANDRA

(menyentuh punggung tangan Ale yang sedang menyentuh pipinya) Kita bersyukur, karena kita punya satu sama lain.

Kedua mata mereka saling menatap, mengisyaratkan cinta yang hangat dan dalam. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar