Erin tertawa sinis atas kalimat terakhir itu, dan dengan cepat mengangkat kamera dan menjepretnya. KLIK!
FADE TO
INT. KANTOR AGENSI BRANDING - PAGI
Blitz putih membawa kita ke sebuah kantor yang tidak jauh berbeda dari yang tadi. Kita sedang berada di salah satu kubikel, dengan Erica sudah duduk di depan sebuah komputer yang memperlihatkan sebuah desain setengah jadi di aplikasi Adobe Photoshop.
Kita melihat Erin duduk di sebelahnya, kameranya dilepas dari lehernya dan diletakkan di meja.
Erin belum menanggapi. Erica pun melanjutkan, kali ini nadanya lebih lembut dan mengajak.
Erica memandang Erin. Matanya menyiratkan harap, kesan mengguruinya sudah berkurang.
Tiba-tiba tangan Erica menyambar kamera Erin sebelum Erin bisa mencegahnya.
Erin tidak memedulikan itu dan berusaha mendapatkan kameranya dari tangan Erica.
Namun perempuan kembarannya ini sangat cekatan dengan tangannya.
Tangan Erin yang meraih dengan liar tidak sengaja mencakar muka Erica. Mereka berdua pun dengan cepat terlibat dalam pertarungan fisik untuk merebut kamera: Erin yang meraih dengan membabi buta, dan Erica yang entah kenapa tangannya cukup panjang untuk menghindari jangkauan Erin.
Entah bagaimana, Erin kemudian berhasil menangkap tangan kiri Erica yang menggenggam kamera, dan kamera tidak berdosa itu pun terjebak dalam dua pasang tangan yang saling memperebutkan. Baik Erin dan Erica sebenarnya sudah cukup lelah dan marah, terutama Erin.
Sementara itu, kamera mulai basah oleh keringat tangan mereka. Salah satu jari mereka pun membuat kamera menyala. Dan Erin pun berusaha membuka jari Erica yang menutupi tombol shutter.
Dengan dengan seluruh tenaganya, Erin akhirnya berhasil menyingkirkan jari Erica dan menekan tombol shutter tanpa berpikir panjang lagi.
KLIK! Blitz putih pun memenuhi pandangan...
FADE TO:
EXT. TAMAN REKREASI - SIANG
Blitz putih membawa kita ke tengah-tengah sebuah taman rekreasi yang sedang cukup ramai. Sejauh mata memandang, kita melihat beberapa wahana permainan, anak-anak kecil bersama ortunya yang berlalu lalang, membeli makanan, dan melakukan piknik santai di atas rumput, beralaskan kain lebar.
Cuacanya cerah dengan angin semilir dan pohon-pohon rindang yang membuat terik matahari bersinar tak terlalu menyengat.
Di sana juga terlihat dua badut yang menjadi maskot dari taman rekreasi tersebut. Keduanya berbentuk dinosaurus lucu dengan dua warna berbeda, merah bata dan kuning, lengkap dengan ekor panjang dan tangan kecil.
Kita zoom ke dua badut itu, yang bergerak kurang terarah. Mereka bukannya menghibur, tapi malah seperti berargumen tanpa henti, tanpa memperhatikan sekitarnya. Di sebelah mereka, di sebuah bangku kecil, tampak sebuah tas dan kamera dengan talinya bertuliskan BENO.
Kemudian kita mulai mendengar apa yang dibicarakan oleh dua orang di dalam kostum dino ini. Mereka berbicara dengan cukup keras sehingga suaranya menembus kostum masing-masing.
Tidak ada orang di dekat mereka, sehingga dari kejauhan, tidak ada yang tahu mereka sedang bertengkar hebat; mereka malah terlihat seperti dua dino yang menggerak-gerakkan tangannya dengan aneh ke satu sama lain. Ironisnya, dari jauh mereka justru terlihat lucu.
Saat disadarinya suaranya bergetar, Erin mengambil jeda sejenak untuk mengatur napas dan emosinya, menahan tangisnya untuk tidak pecah. Dengan sekuat tenaga ia memalingkan tubuhnya agar tidak menghadap si dino merah. Tak lama kemudian,
Erin menoleh ke arah bangku, dan segera berjalan secepatnya untuk meraih kameranya.
Respon Erica menyulut sesuatu dalam diri Erin, membuatnya berhenti dan menatap Erica dengan tajam. Ia pun mengambil kameranya, tangan dino yang kecil membantunya menggenggam. Sebelum ia berubah pikiran lagi, Erin segera menekan tombol shutter. KLIK.
FADE TO:
INT. KANTOR PEMERINTAHAN PROVINSI - SIANG
Shutter kamera dan blitz putih pun membawa kita ke ruang kerja di sebuah kantor pemerintahan. Desain interior model lama, meja-meja kayu berlapis kaca, komputer yang seragam, meja yang hampir semua dilengkapi printer, beberapa barang personal, dan satu-dua jajanan memenuhi pemandangan.
Di salah satu meja yang tidak berbeda dengan yang lain, kita melihat Erica dan Erin duduk berhadapan. Wajah mereka masih tegang, amarah dan kelelahan memenuhi. Tidak ada yang terlihat ingin memulai omongan.
Tak lama, Erin menarik napasnya.
Erica terdiam sejenak, sebelum merespon.
Erin yang ingin merespon lagi langsung kaget begitu nama keluarganya disebutkan.
Belum selesai Erin memproses emosinya, Erica tiba-tiba merogoh ke salah satu kotak di meja itu dan mengeluarkan beberapa lembar foto lawas. Ia menunjukkannya ke Erin.
Itu adalah foto-foto ibunya saat remaja, mungkin sekitar usia SMP, yang dibalut kostum balerina putih cantik, sedang beraksi. Banner di atasnya tertulis "Kompetisi Balet Tingkat Kota tahun 1977".
Foto lainnya tidak jauh berbeda. Masih dengan ibunya dalam baju balet sedang latihan, di rumah, dan sedang memasang tali sepatu baletnya.
Erin tidak bisa menahan jatuhnya air matanya. Ia tidak pernah melihat foto ini, tidak pernah tahu ibunya pernah punya mimpi, pernah punya kesempatan untuk meraihnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi dengan banyak sekali hal dalam pikirannya, yang hanya bisa terungkap lewat air matanya.
FADE TO:
INT. RUANG TAMU RUMAH ERIN - SORE
Kita melihat Erin di posisi yang sama memegang foto-foto yang sama di depannya, kali ini terduduk di depan salah satu kotak yang berbaris di lantai.
Erica telah menghantamnya. Hatinya hancur, pertanyaan demi pertanyaan dan kekecewaan yang tidak semua bisa ia jelaskan tumbuh subur di kepalanya.
Erin takluk. Ia membenci Erica. Ia benci fakta bahwa Erica telah menggores luka sedikit demi sedikit dalam dirinya dan kemudian membakarnya. Ia benci Erica, ia tidak mau melihatnya lagi.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Erin pun menjatuhkan foto-foto itu kembali ke kotak, lalu berdiri dan bergegas ke kamarnya.
CAMERA FOLLOW
INT. KAMAR TIDUR ERIN - SORE
Erin menyambar tas kameranya, membukanya dengan membabi buta, dan langsung menyalakan kamera itu. Begitu layar menyala, langsung dibukanya folder berisi foto-foto yang ia ambil selama ini. Dilihatnya foto-foto itu, yang semuanya dihiasi wajah Erica. Bukan dirinya, tapi Erica.
Saat ia menggeser foto demi foto, meski dengan cepat, Erin masih bisa melihat dengan jelas wajah Erica yang tersenyum. Erin bersumpah pada dirinya ia melihat bibir Erica di dalam foto-foto itu bergerak dan mengembangkan senyumnya sambil menatap Erin tepat di matanya. Ini membuat kebenciannya pada Erica mencapai titik puncak.
Dengan penuh amarah, Erin pun segera melakukan select pada foto-foto itu, semuanya, dan memilih opsi DELETE. Dialog box muncul, menanyakan "Delete ALL photos?", dan jarinya pun menekan YES. Loading bar bergerak dengan cepat, dan layar pun menunjukkan "Delete Success".
Dilemparnya kamera ke ranjangnya, dan terjatuhlah dirinya, terduduk di lantai.
Erin hanya bisa menangis, mengutuk Erica, mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Pada hilangnya harapannya untuk mengikuti lomba dan memenangkannya. Ia tidak tahu harus apa selain terus membiarkan air matanya mengalir dan tubuhnya meringkuk, memeluk hatinya yang remuk dan pikirannya yang pecah berkeping-keping.