Jendela Bidik
7. Kulminasi
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Erin tertawa sinis atas kalimat terakhir itu, dan dengan cepat mengangkat kamera dan menjepretnya. KLIK!

FADE TO

INT. KANTOR AGENSI BRANDING - PAGI

Blitz putih membawa kita ke sebuah kantor yang tidak jauh berbeda dari yang tadi. Kita sedang berada di salah satu kubikel, dengan Erica sudah duduk di depan sebuah komputer yang memperlihatkan sebuah desain setengah jadi di aplikasi Adobe Photoshop. 

Kita melihat Erin duduk di sebelahnya, kameranya dilepas dari lehernya dan diletakkan di meja.

ERICA
Oh dan satu lagi, kamu belum nangkep inti dari maksudku selama ini. Passion bukan cuma sekedar kepinginan, kepingin A maka melakukan A. Pada akhirnya, passion itu cara kita dapetin fulfilment dalam hidup kita.
(beat)
Pernah gak kamu mikir atau bertanya ke dirimu sendiri kayak gini: aku ini sebenernya ngapain ya di hidup ini? Apa ya tujuanku? 
ERIN
Pernah, lah. Dan itu normal, semua orang mengalaminya.
ERICA
Tau gak kenapa ada pertanyaan itu di kepala kita? Karena belum ada destinasi yang kita tentukan. Inget kataku di tempo hari kan, passion itu destinasi. 
(beat)
Kita bangun tidur, kerja, aktivitas, tidur lagi, hidup berlalu gitu aja. Kalo kamu melakukan itu tiap hari, every single day, tanpa ada destinasi akhirnya, yang ada cuma bingung dan jadi autopilot. Dan itu gak bagus.
(beat)
Dan pas ada masalah datang, silih berganti, semangat kita jatuh dengan mudahnya, bahkan gak bisa kita balikin lagi. Kenapa? Gak ada visi yang jauh di depan, gak ada alasan untuk terus berjalan.

Erin belum menanggapi. Erica pun melanjutkan, kali ini nadanya lebih lembut dan mengajak.

ERICA
Dan sekarang, mumpung opsinya ada, aku harap kamu bener-bener pertimbangkan profesi Desainer Grafis ini, Rin. 
(beat)
Sangat bisa dipelajari, seru, dan skill ini prospeknya bagus banget untuk masa depan. Kamu gak bisa lagi pake alasan susah, ribet, atau apalah itu.

Erica memandang Erin. Matanya menyiratkan harap, kesan mengguruinya sudah berkurang.

ERIN
Oh wow... Aku mencium aroma desperate dari seorang Erica... Udah kehabisan ide, ya??
ERICA
Eh, emang kamu lupa kamu yang lagi nyari passion di sini...?
ERIN
Oh, omong-omong soal itu. Apa passion-mu, Erica...??? Dari kemarin ngomongnya panjang kali lebar kali tinggi, kamu sendiri nggak kasih tau apa.
ERICA
Hmh. Aku berencana ngasih tau kalo kamu udah nentuin apa passionmu. Biar kamu nggak keganggu.

Tiba-tiba tangan Erica menyambar kamera Erin sebelum Erin bisa mencegahnya.

ERICA
Sekarang, coba kamu jajal bikin desain, simpel aja.

Erin tidak memedulikan itu dan berusaha mendapatkan kameranya dari tangan Erica.

ERIN
Er, balikin kameraku, gak? Sini--

Namun perempuan kembarannya ini sangat cekatan dengan tangannya. 

ERICA
Coba dulu bikin desain, baru aku kasihin! Aw--

Tangan Erin yang meraih dengan liar tidak sengaja mencakar muka Erica. Mereka berdua pun dengan cepat terlibat dalam pertarungan fisik untuk merebut kamera: Erin yang meraih dengan membabi buta, dan Erica yang entah kenapa tangannya cukup panjang untuk menghindari jangkauan Erin.

ERIN
Kamu makin keliatan desperate, tau nggak?!
ERICA
Dan kamu udah nyerah sebelum nyoba!

Entah bagaimana, Erin kemudian berhasil menangkap tangan kiri Erica yang menggenggam kamera, dan kamera tidak berdosa itu pun terjebak dalam dua pasang tangan yang saling memperebutkan. Baik Erin dan Erica sebenarnya sudah cukup lelah dan marah, terutama Erin.

ERIN
Bisa stop gak sih, Erica?? Aku udah capek. Just stop!! Ini kamera pinjeman!!

Sementara itu, kamera mulai basah oleh keringat tangan mereka. Salah satu jari mereka pun membuat kamera menyala. Dan Erin pun berusaha membuka jari Erica yang menutupi tombol shutter.

ERICA
Padahal kamu tinggal nyoba sebentaaar aja lho, Rin--

Dengan dengan seluruh tenaganya, Erin akhirnya berhasil menyingkirkan jari Erica dan menekan tombol shutter tanpa berpikir panjang lagi. 

KLIK! Blitz putih pun memenuhi pandangan...

FADE TO:

EXT. TAMAN REKREASI - SIANG

Blitz putih membawa kita ke tengah-tengah sebuah taman rekreasi yang sedang cukup ramai. Sejauh mata memandang, kita melihat beberapa wahana permainan, anak-anak kecil bersama ortunya yang berlalu lalang, membeli makanan, dan melakukan piknik santai di atas rumput, beralaskan kain lebar.

Cuacanya cerah dengan angin semilir dan pohon-pohon rindang yang membuat terik matahari bersinar tak terlalu menyengat.

Di sana juga terlihat dua badut yang menjadi maskot dari taman rekreasi tersebut. Keduanya berbentuk dinosaurus lucu dengan dua warna berbeda, merah bata dan kuning, lengkap dengan ekor panjang dan tangan kecil.

Kita zoom ke dua badut itu, yang bergerak kurang terarah. Mereka bukannya menghibur, tapi malah seperti berargumen tanpa henti, tanpa memperhatikan sekitarnya. Di sebelah mereka, di sebuah bangku kecil, tampak sebuah tas dan kamera dengan talinya bertuliskan BENO.

Kemudian kita mulai mendengar apa yang dibicarakan oleh dua orang di dalam kostum dino ini. Mereka berbicara dengan cukup keras sehingga suaranya menembus kostum masing-masing.

ERICA (DINO MERAH)
Oh, really, Rin?? Badut maskot, sekarang?? Sengaja menghindar ya kamu.
ERIN (DINO KUNING)
Karena aku capek tau nggak sama kamu, Erica. Kamu terus maksa aku nemuin passion, kayak nggak ada hari esok!
ERICA
Erin, aku cuma mau bantu kamu nentuin apa passionmu, tapi kamu malah gak mau dibantu dan denial terus. Kamu bahkan gak mau coba.

Tidak ada orang di dekat mereka, sehingga dari kejauhan, tidak ada yang tahu mereka sedang bertengkar hebat; mereka malah terlihat seperti dua dino yang menggerak-gerakkan tangannya dengan aneh ke satu sama lain. Ironisnya, dari jauh mereka justru terlihat lucu.

ERIN
Karena kamu, itu karena kamu, Er. Kamu bikin hal yang harusnya seru, menyenangkan, jadi penuh tekanan. Kamu sendiri bilang have fun, tapi kamu yang bikin ini sama sekali gak seru.
ERICA
Karena kamu gak dengerin aku. Kamu bingung terus sama realita yang keras, bla bla bla, sok skeptis, padahal sebenernya kamu gak teges memilih. Kamu percaya dan kepengen nemuin passionmu, Rin, aku tau. Kamu hanya gak berani memilih.
ERIN
Dan aku gak pernah minta kamu untuk dateng dan sok ngasih nasehat lah, mau bantuin lah. Gak pernah... 

Saat disadarinya suaranya bergetar, Erin mengambil jeda sejenak untuk mengatur napas dan emosinya, menahan tangisnya untuk tidak pecah. Dengan sekuat tenaga ia memalingkan tubuhnya agar tidak menghadap si dino merah. Tak lama kemudian,

ERIN
You know what, aku udah gak peduli lagi. Why do I even bother? [tertawa sinis, menyesal-menyerah]

Erin menoleh ke arah bangku, dan segera berjalan secepatnya untuk meraih kameranya. 

ERICA
Oh, nyerah sekarang?? Di saat list tinggal satu biji kamu nyerah? Wow.

Respon Erica menyulut sesuatu dalam diri Erin, membuatnya berhenti dan menatap Erica dengan tajam. Ia pun mengambil kameranya, tangan dino yang kecil membantunya menggenggam. Sebelum ia berubah pikiran lagi, Erin segera menekan tombol shutter. KLIK. 

FADE TO:

INT. KANTOR PEMERINTAHAN PROVINSI - SIANG

Shutter kamera dan blitz putih pun membawa kita ke ruang kerja di sebuah kantor pemerintahan. Desain interior model lama, meja-meja kayu berlapis kaca, komputer yang seragam, meja yang hampir semua dilengkapi printer, beberapa barang personal, dan satu-dua jajanan memenuhi pemandangan.

Di salah satu meja yang tidak berbeda dengan yang lain, kita melihat Erica dan Erin duduk berhadapan. Wajah mereka masih tegang, amarah dan kelelahan memenuhi. Tidak ada yang terlihat ingin memulai omongan.

Tak lama, Erin menarik napasnya.

ERIN
Aku sebenernya gak mau nyoba yang ini karena di profesi ini aku gak akan berkembang, tapi--
ERICA
Kenapa masih dicoba? Bukannya udah nyerah?
ERIN
Cuma buat menyelesaikan apa yang aku mulai, dan bilang 'NGGAK' langsung di depan mukamu, dan segala pidato panjang lebarmu nyatanya gagal.

Erica terdiam sejenak, sebelum merespon.

ERICA
Kamu tau kan, yang dirugikan di sini kamu? Dari awal niatku bantu kamu, dan itu gak berubah.
ERIN
Aku cuma mau nyari inspirasi dan dapet foto yang bagus untuk lomba foto ini, Erica. Aku cuma butuh menang lomba ini, selesein skripsi, lulus. Itu aja. Tapi kamu--
ERICA
Aku tau, Rin, tapi kamu sendiri yang menolak kubantu, padahal opsi banyak dan list itu dari kamu sendiri. Momen kayak gini gak dateng dua kali, dan kamu. Cuma. Tinggal. Pilih!
ERIN
Mungkin aku bisa milih kalo kamu gak maksa, padahal yang ikut lomba tuh aku--
ERICA
Oh my God, Erin. Ini buat kebaikanmu sendiri! Kamu gak sadar, apa?? Tau nggak, kalo mindset kayak gini yang bikin situasi keluargamu sekarang begini?

Erin yang ingin merespon lagi langsung kaget begitu nama keluarganya disebutkan.

ERIN
What?
ERICA
Tau nggak, kalo ibumu ngelepasin passionnya sebagai balerina dan for some reason [entah kenapa], memilih jadi ibu rumah tangga?? Dan entah apa passion ayahmu? 
ERIN
Jangan bawa-bawa orang tuaku, Erica. Jangan berani-berani. Mereka nggak seperti yang kamu duga...

Belum selesai Erin memproses emosinya, Erica tiba-tiba merogoh ke salah satu kotak di meja itu dan mengeluarkan beberapa lembar foto lawas. Ia menunjukkannya ke Erin.

Itu adalah foto-foto ibunya saat remaja, mungkin sekitar usia SMP, yang dibalut kostum balerina putih cantik, sedang beraksi. Banner di atasnya tertulis "Kompetisi Balet Tingkat Kota tahun 1977". 

ERICA
Pernah ngebayangin nggak, kalo misalnya mereka coba kejar passion mereka, mungkin hidup kalian bisa berbeda??

Foto lainnya tidak jauh berbeda. Masih dengan ibunya dalam baju balet sedang latihan, di rumah, dan sedang memasang tali sepatu baletnya.

ERICA
Kamu sendiri yang pengen ngikutin jejak mereka, Erin. Yang aku lakukan cuma mencoba untuk mengubahnya.

Erin tidak bisa menahan jatuhnya air matanya. Ia tidak pernah melihat foto ini, tidak pernah tahu ibunya pernah punya mimpi, pernah punya kesempatan untuk meraihnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi dengan banyak sekali hal dalam pikirannya, yang hanya bisa terungkap lewat air matanya.

FADE TO:

INT. RUANG TAMU RUMAH ERIN - SORE

Kita melihat Erin di posisi yang sama memegang foto-foto yang sama di depannya, kali ini terduduk di depan salah satu kotak yang berbaris di lantai. 

Erica telah menghantamnya. Hatinya hancur, pertanyaan demi pertanyaan dan kekecewaan yang tidak semua bisa ia jelaskan tumbuh subur di kepalanya.

Erin takluk. Ia membenci Erica. Ia benci fakta bahwa Erica telah menggores luka sedikit demi sedikit dalam dirinya dan kemudian membakarnya. Ia benci Erica, ia tidak mau melihatnya lagi.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Erin pun menjatuhkan foto-foto itu kembali ke kotak, lalu berdiri dan bergegas ke kamarnya.

CAMERA FOLLOW

INT. KAMAR TIDUR ERIN - SORE

Erin menyambar tas kameranya, membukanya dengan membabi buta, dan langsung menyalakan kamera itu. Begitu layar menyala, langsung dibukanya folder berisi foto-foto yang ia ambil selama ini. Dilihatnya foto-foto itu, yang semuanya dihiasi wajah Erica. Bukan dirinya, tapi Erica. 

Saat ia menggeser foto demi foto, meski dengan cepat, Erin masih bisa melihat dengan jelas wajah Erica yang tersenyum. Erin bersumpah pada dirinya ia melihat bibir Erica di dalam foto-foto itu bergerak dan mengembangkan senyumnya sambil menatap Erin tepat di matanya. Ini membuat kebenciannya pada Erica mencapai titik puncak. 

Dengan penuh amarah, Erin pun segera melakukan select pada foto-foto itu, semuanya, dan memilih opsi DELETE. Dialog box muncul, menanyakan "Delete ALL photos?", dan jarinya pun menekan YES. Loading bar bergerak dengan cepat, dan layar pun menunjukkan "Delete Success".

Dilemparnya kamera ke ranjangnya, dan terjatuhlah dirinya, terduduk di lantai. 

Erin hanya bisa menangis, mengutuk Erica, mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Pada hilangnya harapannya untuk mengikuti lomba dan memenangkannya. Ia tidak tahu harus apa selain terus membiarkan air matanya mengalir dan tubuhnya meringkuk, memeluk hatinya yang remuk dan pikirannya yang pecah berkeping-keping.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar