Diary Indira
11. Kematian Wisesa (Scene 47-48)

Setelah seminggu di Bandung, Indira kembali ke Jakarta dijemput oleh Wisesa.

Tiga bulan setelah acara syukuran di Bandung, tepat saat usia kandungan Indira memasuki bulan ke 7, sebuah kejadian menyedihkan menimpa Indira.

47. INT. KAMAR WISESA - MALAM

Wisesa baru selesai mandi, ia sudah selesai makan malam dan hendak melaksanakan sholat Isya berjamaah dengan Indira, karena sudah jam 9 malam.

Ia sudah siap dengan sarung berwarna coklat kotak-kotak besar dan baju kokonya yang berwarna putih.

Indira sudah memakai mukena warna hitam berbahan katun rayon yang lembut bercorak bunga tulip warna ungu.

Namun Wisesa merasa pusing dan agak sesak nafas. Ia duduk sebentar di tepi ranjang dan meminta Indira mengambilkan air hangat sebelum mulai sholat berjamaah.

INDIRA

Kenapa Abi?

(Indira terlihat cemas dan mendekati suaminya yang kini ia panggil Abi )

WISESA

Pusing dan agak sesak.

(Wisesa menjawab dan mencoba mengatur nafasnya)

INDIRA

Harusnya tadi mandi air hangat saja Bi, kalau ngerasa gak enak badan.

(Indira memijat-mijat bahu suaminya)

WISESA

Iya, tolong ambilkan air hangat dulu ya sayang!

(Wisesa terus mengatur nafasnya dengan tangan kanan memegang dadanya)

INDIRA

Iya Bi.

(Indira segera mengambilkan air hangat dari dispenser dan menyerahkannya pada Wisesa)

WISESA

Makasih sayang.

(Wisesa meneguk air hangat itu perlahan)

INDIRA

Gimana udah enakan?

(Indira mengambil gelas yang disodorkan Wisesa)

WISESA

Alhamdulilah...

Indira kemudian menyimpan gelas itu di meja dan kembali duduk disamping suaminya.

WISESA

Gimana junior Abi hari ini, nakal gak sama ummi?

(Wisesa mengusap perut buncit Indira yang tersembunyi di dalam mukenanya tapi tetap terlihat menonjol karena sudah 7 bulan)

INDIRA

Iya nih Abi, dedek nendang-nendang perut ummi terus hari ini.

(Indira menjawab selalu terlihat manja pada suaminya)

WISESA

Sabar ya sayang, semoga kesabaranmu dalam mengandung menjadikan ladang pahala buatmu ya. Aamiin...

(Wisesa mengelus kepala Indira dan menatapnya dalam sekali seperti tatapan kosong dan sedikit tertegun)

INDIRA

Bi..Abi..ih! kenapa ngeliatinnya kaya gitu banget sih? Ayok mulai sholatnya!

(Indira bertanya-tanya dalam hati dari tadi pulang bekerja, suaminya terlihat agak pucat dan sering diam seperti melamun)

WISESA

Iya sayang, gapapa...Jaga anak kita baik-baik ya sayang! Abi sayang banget sama kalian berdua. Ia kembali mencium perut buncit Indira agak lama.

Wisesa kemudian berdiri dan menggelar sajadah, begitu juga Indira menggelar sajadah dibelakang suaminya.

Mereka segera melakukan sholat berjamaah dengan khusyu. Namun di saat sujud terakhir, Indira merasa sudah sangat lama, tapi Wisesa tidak terdengar mengucap takbir. Indira berpikir mungkin ia tidak mendengar, akhirnya ia bangkit dari sujud. Tapi melihat Wisesa masih sujud tak ada suara, Indira merasa ada yang aneh, dalam kecemasannya ia melanjutkan membaca tasyahud akhir lalu salam.

INDIRA

Assalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh

(Indira menoleh ke kanan dan ke kiri)

Ia segera menyentuh suaminya yang masih bersujud, berpikir mungkin kelelahan dan tertidur. Namun saat di sentuh dan menepuk tubuh suaminya. Tubuh itu tersungkur lemah, wajahnya pucat tapi terlihat terpejam dan tersenyum manis,seluruh tubuhnya terasa dingin.

INDIRA

Astagfirullah..Abiii...Abiii...

(Indira mengguncang tubuh suaminya yang sudah tak bernafas dengan deraian air mata)

Ustadz Abdurrahman dan istrinya yang baru saja memasuki kamar mereka seketika keluar mendengar teriakan Indira dan langsung memasuki kamar Wisesa yang tak terkunci.

USTADZ ABDURRAHMAN

Kenapa nak?

(Ustadz Abdurrahman terlihat panik melihat Indira memeluk suaminya sambil menangis )

INDIRA

Aa, Ayah...

(Indira tetap memeluk suaminya sambil menangis)

FX: Cinta by Melly Goeslaw

INSERT LYRICS

"Cinta tegarkan hatiku

Tak mau sesuatu merenggut engkau

Naluriku berkata

Tak ingin terulang lagi

Kehilangan cinta hati

Bagai raga tak bernyawa"

Ustadz Abdurrahman segera memeriksa denyut nadi anaknya yang sudah terkulai dipelukan Indira.

USTADZ ABDURRAHMAN

Innalillahi wainna ilaihi roji'un...Suamimu telah tiada Nak. Ikhlaskan dia!

(Ustadz Abdurrahman tak kuasa menahan tangis dan mencium kening putra kesayangannya)

INDIRA

Innalillahi wainna ilaihi roji'un...

(Indira kembali menangis)

IBU IRMA

Gak mungkin yah, ini gak mungkin. Anak kita sehat ayah, tadi kita baru makan bersamanya.

(Ia memeluk anaknya yang sudah tak bernyawa)

IBU IRMA (CONT'D)

Bangun nak!!Bangun!!Ini Ibu..

(Ibu Irma memeluk jenazah anaknya sambil terus menangis dan mengguncang-guncangkan tubuh anaknya)

USTADZ ABDURRAHMAN

Ikhlaskan bu! Anak kita telah pergi dengan cara yang indah.
“Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang diambilnya dan milik-Nyalah apa yang Dia berikan. Setiap orang di sisi Allah memiliki ajal yang telah ditentukan, maka hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”

(Ustadz Abdurrahman memeluk istrinya dan mencoba menenangkan istrinya dengan membaca sebuah hadits)

Ustadz Abdurrahman segera menelpon dokter untuk datang memeriksa anaknya, memastikan keadaannya apa betul sudah tiada. Dan ternyata memang sudah tiada karena serangan jantung.

Setelah dipastikan Wisesa meninggal, Ustadz Abdurrahman langsung mengabari keluarga Indira dan keluarga yang ada di Jakarta juga kepada Pak RT. Ustadz Abdurrahman segera mengurus jenazah Wisesa agar besok bisa segera di makamkan.

FADE TO BLACK.

48. EXT. PEMAKAMAN - PAGI

Terlihat Indira bersama keluarganya dan keluarga Wisesa masih di samping makam Wisesa yang bertabur bunga. Abah Sidiq dan Umi endah yang ada disamping kanan dan kiri Indira berusaha menguatkan anaknya.

ABAH SIDIQ

Ikhlaskan suamimu Nak, dia sudah tenang dan meninggal dengan keadaan husnul khatimah, kematian dalam keadaan menyembah Allah. Kematian yang diharapkan oleh semua umat muslim yang beriman. Sesungguhnya semua yang kita miliki pada hakikatnya milik Allah dan akan kembali padaNya.

(Abah Sidiq memeluk putrinya sambil menitikkan air mata, merasa pilu melihat anak sulungnya yang sedang hamil kini tanpa suami disisinya. )

UMI ENDAH

Yang sabar ya Nak, Ikhlas, tabah...kamu harus kuat demi calon jabang bayi.

(Umi Endah terus mengelus-elus punggung Indira juga tak kuasa menahan air matanya)

Indira mengangguk tanpa bersuara, kemudian dipeluk oleh Ibunya yang ikut terisak.

Indira sangat shock dengan kematian Wisesa yang mendadak. Ia tak tahu bagaimana nasibnya ke depan membesarkan anaknya tanpa ayah. Jika bukan karena keimanan, rasanya ia ingin menangis meraung-raung meratapi kepergian suaminya. Namun ia selalu ingat pesan Abah Sidiq, bahwa seorang wanita tak boleh terlarut meratapi kematian orang yang di cinta.

"Dua perkara yang terdapat pada manusia dan hal itu merupakan bentuk kekufuran adalah mencela nasab dan meratapi mayit." (HR Muslim).
"Seorang Muslimah yang terus meratapi mayit pun terancam dipakaikan celana dari timah cair dan baju dari kudis pada hari kiamat (HR Muslim)."

INSERT

Disudut lain terlihat Askara di pemakaman, namun tak berani menemui Indira. Ia hanya menatap dari kejauhan, memperhatikan perempuan yang sebenarnya masih ia harapkan. Ia ingin menguatkan, namun tak mungkin rasanya. Akhirnya ia hanya bisa mendoakan semoga Indira diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi ujiannya.

Setelah Wisesa meninggal, Indira memohon ijin pada mertuanya untuk kembali ke rumah orangtuanya di Bandung. Karena ingin melahirkan disana.

FADE OUT

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar