Simpang

Hal yang paling romantis dari hujan adalah kita berdua. Kita yang tengah berjalan tanpa arah membuat definisi hujan semakin indah. Aku memegang erat tanganmu dan kamu juga begitu.

"Tanganmu selalu menjadi tangan yang paling hangat ketika hujan. Aku suka itu." Kalimat yang tak sengaja keluar dari mulutku itu membuatmu tersenyum.

"Bukan tanganku yang hangat, tapi tanganmu." Kamu melepaskan genggaman tanganku. "Bahkan tidak hanya tanganmu yang hangat. Semuanya tentangmu itu hangat. Pelukmu, senyummu, kalimatmu..."

"Sudah, sudah. Jangan membuatku terus tersenyum. Kenapa kamu suka sekali membuatku salah tingkah?" Aku tertawa kecil lalu menggenggam tanganmu lagi. Namun, kamu melepaskannya.

Kita terus berjalan tanpa arah hingga kita tersesat. Aku menghentikan langkahku, tapi kamu tidak begitu. Setelah beberapa langkah lebih jauh dariku, kamu berhenti lalu membalikkan tubuhmu. Kamu tersenyum.

"Berbalik arahlah. Kamu sudah berjalan terlalu jauh."

Aku berjalan ke arahmu, tapi kamu segera menghentikanku. "Aku akan ikut denganmu. Jadi, berbaliklah," katamu.

Aku membalikkan tubuhku, berjalan beberapa langkah lalu berhenti. Aku menoleh ke belakang, tapi kamu sudah hilang. Mungkin aku yang selalu lupa kalau kamu itu pandai berbohong. Kamu bilang akan kembali, tapi kamu tidak. Tidak heran jika kamu bilang akan ikut denganku, tapi kamu tidak juga.

Aku menatap tanganku yang tadi kaugenggam. Tanganmu bahkan masih tetap hangat, meskipun tidak sehangat saat kita masih satu alamat. Sekarang tempat kita pulang sudah berbeda, tapi setidaknya kita masih saling ada, rasa kita masih sama. Dirgantara, sampai jumpa. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.

7 disukai 1 komentar 6.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
baper jadinya
Saran Flash Fiction