Penguntit

Aku menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa. Hening. Kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling tempat itu. Sepi.

Sudah pukul satu pagi, dini hari dimana orang-orang terbaring nyenyak di bawah selimut. Wajar saja tidak ada orang.

Jalanan yang kulalui lengang, tak ada satupun kendaraan yang melintas. Hanya penerangan redup lampu jalan yang memberikan cahaya untukku.

Aku tidak terbiasa pulang lewat tengah malam dari bengkel. Namun, sebuah mobil memerlukan pengerjaan cepat. Pemiliknya membayar upah extra agar bisa diselesaikan tepat waktu. Membuatku harus bekerja lembur tiap hari, karena harus mengawasi langsung pekerjaan tersebut.

Ini sudah hari ke empat dan perasaanku sama. Aku diikuti, tapi dia bersembunyi dalam kegelapan. Menatap tajam dengan seringai di mulutnya. Dia tak bersuara, langkah kakinya pun dibuat ringan dan menjaga jarak denganku.

"Aku tahu kau di sana! Keluarlah!" Pekikku kencang di gelapnya malam. Mataku melebar waspada, kulebarkan kedua kakiku membentuk kuda-kuda siap, kedua tanganku terangkat di udara, tubuhku sedikit membungkuk ke depan.

"Keluarlah! Kau datang kemari, atau aku yang akan ke sana dan menerjangmu!" pekikku lagi.

Sedetik kemudian dugaanku benar, ia keluar, berlari dan menerjang ke arahku. Gonggongannya menggema di kegelapan malam, seiring tawa yang keluar dari bibirku karena kami berdua sudah jatuh ke trotoar.

Tanganku membelai bulunya, seekor Golden Retriever berbulu cokelat. ia kembali menggonggong.

"Stttt ... jangan ribut, sekarang kuizinkan kau diam. Silent. Jangan mengganggu orang tidur, Bruno."

7 disukai 6.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction