Tidak ada yang lebih konsisten di hidup Arga selain dua hal: Rambut kriwilnya yang wujudnya seperti hasil eksperimen gagal, dan keberadaan Nayla, sahabatnya sejak zaman SMA yang sampai sekarang belum bosan mengganggu rambut itu.
Pagi itu, di depan rumah Nayla—yang ironisnya hanya terpisah pagar rendah dari rumah kos Arga—Nayla berdiri sambil memegang segelas kopi susu.
“Gar,” katanya sambil menyipitkan mata, “gue mau nanya serius.”
Arga yang sedang mengikat sepatu menoleh. “Kalau nada lo gitu, biasanya nggak serius.”
Nayla mendekat, meneliti rambut Arga dari jarak sangat dekat, sampai Arga refleks mundur setengah langkah.
“Menurut lo,” Nayla berkata pelan, “kalau rambut lo diseduh air panas tiga menit, terus dikasih bumbu, bisa jadi mie keriting nggak?”
Arga menatapnya datar. “Pagi-pagi udah pengen mati ya, Nay?”
Nayla tertawa keras. “Gue serius! Soalnya teksturnya mirip banget.”
“Ini rambut alami, bukan produk instan.”
“Ya justru itu,” Nayla nyengir. “Mie instan aja kalah alami sama rambut lo.”
"Gar, serius nih, gue laper!"
"Makan tu, Lee Kuan Yew!" ujar Arga sambil menunjuk tanaman yang menjulur di sebelah Nayla. Tanaman Curtain Creeper yang entah kenapa dijuluki seperti nama mantan PM Singapura.
"Tega ya."
Seperti ribuan hari lainnya, Arga memilih ngelus dada kalau harus menghadapi Nayla tetangga lima langkahnya itu. Sudah bertahun-tahun, percakapan mereka selalu dimulai seperti ini. Dan entah kenapa, dia tidak pernah benar-benar keberatan.
***
Di kampus, semua orang tahu dua hal: Arga dan Nayla hampir selalu barengan, kayak tali dan sepatu tak bisa dipisah, dan Nayla hampir selalu mengganggu Arga.
Mereka duduk di bangku panjang dekat kantin fakultas, tempat favorit mereka sejak semester awal. Arga membuka laptop, Nayla merebahkan kepala di meja.
“Gar,” kata Nayla tanpa membuka mata, “lo sadar nggak sih kita ini kayak paket combo?”
“Combo apa?”
“Lo—rambut kriwil, pendiem. Gue—mulut cerewet, gangguan mental.”
“Gangguan mental apaan?”
“Gangguan pengen ngeganggu lo.”
Arga terkekeh kecil. “Pantesan nggak sembuh-sembuh.”
Nayla membuka mata, menatap Arga. “Eh, kemarin anak teknik nanya ke gue.”
Arga mengangguk. “Nanya apa?”
“Katanya, ‘itu cowok lo ya?’”
Arga berhenti mengetik. “Terus?”
“Gue jawab, ‘bukan’. Terus dia bilang, ‘oh, kirain soalnya lengket banget.’”
Arga pura-pura kembali fokus ke layar. “Emang lengket.”
“Kayak lem fox.”
“Lo yang nempel.”
Nayla tersenyum, senyum kecil yang biasanya muncul kalau ia sedang merasa… nyaman. Terlalu nyaman malah.
Ada jeda hening di antara mereka. Bukan hening yang canggung, tapi hening yang sudah terbiasa. Seperti mereka tidak perlu bicara untuk saling tahu bahwa yang satu ada di sana.
***
Sore harinya, mereka duduk di kafe langganan dekat kampus. Kafe kecil dengan lampu kuning dan playlist lagu lama.
Nayla mengaduk minumannya. “Gar.”
“Hmm?”
“Lo pernah mikir nggak, kita ini aneh.”
Arga mengangkat alis. “Dari dulu juga aneh.”
“Maksud gue,” Nayla menatap lurus ke arahnya, “aneh karena kita nggak pernah pacaran tapi juga nggak kayak temen biasa.”
Arga terdiam.
“Kayak,” lanjut Nayla cepat-cepat, “kalau gue ilang sehari, lo pasti nyari. Kalau lo nggak bales chat, gue kesel. Tapi kalau ada yang nanya status, kita kompak jawab: temen.”
Arga menyandarkan punggung. “Lo pengen apa, Nay?”
Nayla mengangkat bahu. “Gue cuma pengen lo jujur.”
“Jujur soal apa?”
“Lo pernah nggak sih… kepikiran gue lebih dari temen?”
Arga menatap rambut Nayla yang diikat asal, wajahnya yang terlalu familiar, terlalu dekat dengan hidupnya.
“Pernah,” katanya pelan.
Nayla membeku.
“Tapi,” Arga melanjutkan, “gue takut kalau gue ngomong, terus semuanya berubah.”
Nayla tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tertawa. “Kita udah berubah, Gar. Dari lama.”
***
Malam itu, listrik di lingkungan mereka padam.
Arga duduk di teras rumah Nayla, membawa dua lilin. Nayla keluar sambil membawa cemal-cemil.
“Kayak acara survival ya,” Nayla berkata.
“Kurang api unggun.”
Mereka duduk berdampingan. Jaraknya dekat. Terlalu dekat untuk dua orang yang mengaku hanya sahabat.
“Gar,” Nayla berkata pelan, “kalau nanti kita pacaran sama orang lain… lo masih mau duduk kayak gini nggak?”
Arga menoleh. “Lo mau?”
Nayla menggigit bibir. “Gue nggak tahu. Tapi gue nggak bisa bayangin lo jauh.”
Arga menatap langit gelap. “Gue juga.”
Nayla menyenggol bahunya. “Rambut lo kelihatan makin mie kalau kena cahaya lilin.”
Arga tertawa. “Lo konsisten banget.”
“Karena gue suka.”
“Hah?”
Nayla terdiam. “Suka… gangguin.”
Arga menatapnya lama. “Nay.”
“Iya?”
“Kalau rambut gue beneran mie instan…”
“Kenapa?”
“Lo yang gue pilih buat nyeduh.”
Nayla terdiam satu detik, lalu tertawa sambil memukul lengan Arga. “Gombal lo jelek.”
“Tapi lo senyum.”
Nayla berhenti tertawa. Matanya bertemu dengan mata Arga. Tidak ada yang bergerak.
Untuk pertama kalinya, jarak itu tidak diisi candaan.
***
Mereka tidak langsung jadian. Tidak ada deklarasi besar. Tidak ada status.
Yang ada hanyalah perubahan kecil: Arga lebih sering menunggu Nayla pulang. Nayla tidak lagi menggoda rambut Arga setiap hari—kadang hanya memandangi.
Sampai suatu sore di kampus, Nayla berkata, “Gar.”
“Hmm?”
“Kalau gue ngajak lo pacaran… lo nolak nggak?”
Arga tersenyum. “Gue kira kita udah lama pacaran, cuma pura-pura temenan.”
Nayla tertawa. “Dasar.”
Arga berdiri, mengacak rambutnya sendiri. “Nih, mie instan lo.”
Nayla berdiri di depannya. “Gue nggak mau nyeduh.”
“Kenapa?”
“Takut habis.”
Arga tersenyum lembut. “Tenang. Gue stoknya banyak. Seumur hidup.”
Nayla memukul dada Arga pelan. “Ih, berisik.”
Tapi tangannya tidak ditarik.
Dua sahabat lama itu akhirnya memilih berhenti bersembunyi di balik kata teman.