Flash Fiction
Disukai
9
Dilihat
1,213
PERJAMUAN PENAGIH HUTANG
Drama
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah warung kopi yang tak terlalu ramai oleh pengunjung, di sebuah siang yang terik, di pinggir jalan alternatif yang dikepung hamparan pesawahan, seorang lelaki berjaket hitam duduk sendiri termenung. Segelas kopi yang beranjak dingin di depannya membisu-menemani. Beberapa kali lelaki itu menengok layar smartphone-nya. Nampaknya ada panggilan atau pesan yang sungguh dinantinya.

Perempuan paruh baya pemilik warung menengok sebentar ke arah lelaki itu. Sadar kalau sedang diperhatikan, lelaki itu menunjukkan layar smartphone-nya; ia memberi tanda bahwa belum ada perkembangan seperti yang diharapkan. Bibir yang mencibir masam segera tercetak di wajah perempuan pemilik warung itu.

Suasana beranjak lengang. Hanya suara penyanyi dangdut dari kotak hitam di sudut atas warung yang berjuang mati-matian mengusir kesunyian.

Tak berselang, dua motor dengan empat penunggangnya cepat berhenti tepat di depan warung kopi. Empat penunggang itu kesemuanya laki-laki. Tiga di antara mereka memakai jaket hitam mirip dengan milik lelaki yang itu. Sedang satunya mengenakan baju putih lengan panjang.

Tawa lebar segera meloncat dari wajah lelaki berjaket hitam yang telah lama duduk sendirian di warung kopi itu. Nampak sekali, ia sejak tadi memang menunggu kedatangan mereka. Mungkin sekali, apa yang menjadi harapannya sekian lama akan terkabul seiring dengan kedatangan mereka.

Sementara wajah perempuan pemilik warung pun segera mencetak keceriaan. Bertambahnya pengunjung warung akan diikuti bertambahnya pundi-pundi pemasukkan hari ini. Setelah melihat mereka berjabat tangan dan duduk semeja dengan trengginas perempuan pemilik warung itu pun menghampiri dan bertanya tentang pesanan. “Sial! Kena kutuk apa saya hari ini?!” gumam perempuan itu dalam hati. Ternyata mereka semua hanya memesan kopi. Tak ada yang memesan makan nasi. Seraut wajah masam kembali tercetak mengiringi langkahnya ke dalam warung. Langkahnya terlihat lunglai.

“Gimana kantor? Ada kebijakan?” kejar lelaki berjaket hitam yang lebih dulu tiba di warung kopi itu. Dua dari empat lelaki yang baru datang menggelengkan kepala.

Sembari mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil satu dan menyalakannya, lalu menaruhnya di meja, lelaki berbaju putih lengan panjang bergumam tegas, “Apa karena nasabah ini perempuan? Kamu kasihan? Dalam pekerjaan ini, tak boleh ada kemurahan hati!”

“Ia janda. Tak ada yang membantunya mencari uang. Mana anaknya masih sekolah semua,” sahut lelaki berjaket hitam yang lebih dulu tiba di warung kopi itu sembari mengambil sebatang rokok milik lelaki berbaju putih lengan panjang. Ia pun dengan segera menyalakannya. Asap putih kemudian mengepul dari sela bibir hitamnya. “Saya tahu nasabah ini sudah berkali dapat kebijakan..”

“Dan, hasilnya tetap sama...” potong salah satu lelaki berjaket hitam yang baru datang.

“Angsurannya bermasalah...” timpal lainnya.

“Nunggak berkali-kali....” sigap satunya yang lain juga menimpali.

Wajah lelaki berjaket hitam yang lebih dulu duduk di warung kopi itu memerah. Ia merasa dikeroyok dan dipojokkan. Lantas ia memandangi wajah lelaki lainnya satu per satu, “Apa kalian nggak pernah punya ibu?”

“Lho.... Kok bawa-bawa ibu? Nasabah ini janda! Masih muda! Anaknya masih kecil-kecil! Jika kamu kasihan, mengapa tak sekalian kamu kawini biar ada yang menafkahi?!” balas salah satu dari mereka dengan nada tinggi.

“Anak dan istrinya sendiri saja nggak terawat, mana berani dia merawat satu perempuan lagi!” timpal lainnya dengan sedikit mengejek.

“Cukup Si Agus yang punya lakon nagih nasabah janda lalu angsurannya dia bayar karena nasabah itu bohay dan mau diajak ngamar!” gurau lelaki berjaket hitam yang baru datang lainnya.

“Saya kasihan. Benar-benar kasihan! Saya nggak punya motif mesum kayak Si Agus!”

“Sudah-sudah! Sekali lagi, dalam pekerjaan kita tidak boleh ada kemurahan hati. Kita dilarang kasihan! Kalau kita kasihan, siapa yang mengasihani anak dan istri kita?! Siapa yang mengasihani kantor kita?” suara tegas lelaki berbaju putih lengan panjang memutus perdebatan.

Nampan dengan empat gelas kopi bergoyang pelan seiring langkah perempuan paruh baya pemilik warung. “Ada nasabah yang nunggak ya?” tanyanya sok peduli percakapan mereka. Lelaki berjaket hitam yang lebih dulu tiba di warung kopi itu itu mengangguk mengiyakan.

“Biasa, Bu...” jawab lelaki berbaju putih lengan panjang sembari tersenyum.

“Maaf, tadi saya ikut nguping,”

“Nggak pa-pa, Bu. Santai saja..” jawab salah satu lelaki berjaket hitam yang baru datang.

“Biasa saja, Bu..” timpal lelaki berjaket hitam yang baru datang lainnya.

“Jadi, nggak ada kebijakan?” mereka berlima memberi isyarat tidak. “Kalau tidak ada, bagaimana saya bisa bijak melihat catatan hutang anda-anda?! Sudah berapa gelas kopi, bungkus rokok, dan piring makan yang belum kalian bayar selama ini?!” suara menggelegar perempuan pemilik warung itu membuat wajah para lelaki berjaket hitam memerah malu.

“Memangnya mereka semua punya hutang di sini?” tanya lelaki berbaju putih lengan panjang.

“Iya. Setiap hari mereka di sini. Mereka makan dan ngopi di sini. Ada yang langsung bayar, tapi yang hutang yang paling sering!!” wajah para lelaki berjaket hitam itu kian memerah.

“Aduh, gimana ini?” gumam lelaki berbaju putih lengan panjang sembari menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Para lelaki berjaket hitam itu menunduk menyembunyikan wajah. “Hmmm.... Mungkin harus ada kebijakan nampaknya,” lelaki berbaju putih lengan panjang itu berbisik lirih.

Wajah perempuan paruh baya pemilik warung itu kembali mencetak kemasaman.

 

****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi