Aku merangkak keluar dari liangku yang berbatu- batu. Sisikku, yang sebelumnya kurang berkilau, kini berkilau dengan energi yang bangkit kembali. Rasa lapar bergejolak di perutku, memaksaku untuk mencari makanan. Bau calon korban masih tercium di atmosfer, kepastian menggiurkan yang membuat lidahku terbelah.
Saat melanjutkan perjalanan, aku menemukan diriku telah dikelilingi oleh kelompok aneh. Manusia berkumpul dalam lingkaran dekat dengan wajah mereka dihiasi warna-warna cerah. Seorang pawang ular duduk di antara mereka, dengan kaki bersilang dan mata terpejam dalam fokus. Serulingnya memainkan nada yang menghantui, meluncur menembus kerumunan dengan pesona yang mempesona. Nada-nadanya berputar dan aku bergerak mengikuti iramanya.
Aku menggerakkan kepalaku selaras dengan pawang ular saat dia menggerakkan kepalanya. Tubuhku bergerak bergelombang, bereaksi terhadap melodi yang menawan. Penonton tersentak dan bertepuk tangan, pandangan mereka tertuju pada sosok anggunku. Untuk sementara, aku mengabaikan rasa laparku, terpikat oleh pesona momen itu.
Namun, kebosanan menyelinap masuk, tersembunyi dan tidak diinginkan. Musik yang tadinya merdu, kini menggugah indraku. Perutku keroncongan dengan keras, mengalahkan melodi lembut seruling itu. Aku merasa haus dan mendambakan sensasi air yang menyegarkan di tubuhku.
Pawang ular tetap memejamkan mata, diselimuti alamnya sendiri. Jari-jarinya dengan terampil menggerakkan instrumen, mengeluarkan melodi dari strukturnya yang halus. Aku mengamati, terjebak antara minat dan urgensi. Bagaimana bisa dia tidak menyadari rasa sakitku?
Lalu, seolah takdir telah tertulis, matanya tiba-tiba terbuka. Mata kami bertemu dengan intensitas yang menantang seperti predator. Dia memandangku bukan sebagai sesama makhluk, melainkan sebagai pertunjukan, cara untuk menghibur penonton. Kemarahan muncul dalam diriku, didorong oleh campuran rasa lapar dan kemarahan.
Aku bergerak cepat dengan kecepatan kilat dan tiba-tiba melakukan sepak terjang. Spiralku melingkari wujudnya, mengencang, menekan napas yang keluar dari dadanya. Serulingnya jatuh ke tanah, melodi sedihnya terdiam. Mata panik semakin melebar, dan aku bisa merasakan betapa asinnya ketakutannya.
Kulitnya terkelupas di bawah taringku—rasa kemenangan dan pembalasan. Para penonton berteriak keras, namun tepuk tangan mereka berubah menjadi helaan napas kaget. Aku tidak peduli dengan pendapat mereka. Aku perlu memuaskan rasa laparku, dan kebenaran mengalir dalam darahku.
Saat pawang ular itu jatuh pingsan dan nyawanya terkuras habis, aku melepaskannya. Tubuhnya roboh, seperti alat rusak yang dibuang begitu saja. Aku dengan licik melarikan diri, meninggalkan kekacauan di kerumunan. Matahari terus memanaskan kulitku, namun kini ternoda oleh darah.
Aku telah berubah menjadi pemangsa sekaligus mangsa – seekor ular kobra yang bebas, tidak lagi dikendalikan oleh manusia. Setelah aku memuaskan rasa laparku, aku kembali ke dalam bayang-bayang, merasa bahwa kebebasan yang baru saja kudapat adalah hadiah yang mengecewakan. Mungkin hantu pawang ular masih tertinggal, menghantui mimpi burukku, mengingatkanku bahwa setiap lagu ada harganya.
Oleh karena itu, aku menjalani kehidupan sebagai makhluk dengan dua sifat - seekor ular kobra yang ingin membalas dendam, selalu tersiksa oleh kenangan akan hari itu.