Pagi itu Nayla terbangun karena aroma sedap yang menggelitik hidungnya.
"Hmm ... enak sekali," katanya sambil memejamkan mata. Ia membayangkan sebentuk makanan yang tak pernah ia makan.
Gadis belia itu bergegas keluar dan mendapati sang ibu sedang menghidangkan berbagai masakan di meja. Rendang daging, sate, empal goreng, bakso, semuanya tampak nikmat dan lezat.
"Sudah bangun, Nak?" tanya Ibu sambil tersenyum. Senyum yang sudah lama menghilang dari wajah keriputnya. Kesulitan hidup yang mereka lalui telah menghilangkan keceriaan keluarganya.
"Ayo, sarapan dulu," ajak Ibu. Ia menyendok nasi putih ke piring putrinya.
Nayla duduk dan mengambil sepotong daging rendang. "Enak, Bu," katanya sambil mengunyah.
"Makan yang banyak, Nak. Jarang-jarang kita bisa makan enak seperti sekarang," jawab Ibu.
"Bapak sudah makan, Bu?" tanya Nayla ketika tidak melihat sosok sang ayah di rumah.
"Sudah. Sekarang Bapak ke rumah Pak Ali," jawab Ibu.
"Wah, rupanya Bapak dapat rezeki banyak ya, Bu. Sampai bisa beli daging sebanyak ini dan bayar hutang ke Pak Ali," kata Nayla senang. "Hutang di Bu Susi juga sudah dilunasi ya, Bu?"Gadis itu bertanya lagi setelah melahap empal goreng.
Ibu tersenyum. Jawaban yang Nayla dengar berikutnya, seketika membuatnya mual dan ingin muntah.
"Sudah. Kemarin Bapak sudah membunuhnya, sehingga kita bisa makan daging hari ini."