Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
1,732
Paman itu Dijuluki Abu Ubaidah
Aksi

Aku, Hashim. Nafasku tercekat oleh debu yang pekat. Itu membuatku sulit sekali untuk bernafas. Aku tidak bisa melihat siang dan malam lagi. Yang kudengar disekitarku hanyalah suara ledakan yang beruntun dan begitu seterusnya hingga beberapa hari terakhir ini. Kurasa semua bangunan sudah hancur. Yang kuingat terakhir kali adalah ledakan dahsyat yang merobohkan bangunan ini dan aku terjebak didalamnya. Jemari-jemari kecilku sudah mati rasa, begitu juga dengan kakiku. Aku terhimpit diantara reruntuhan ini dengan posisi badanku yang telungkup. Entah berapa hari lagi aku bisa bertahan disini. Entah mereka bisa menemukanku atau tidak. Beberapa kali kurasakan nyawaku hendak keluar. Mungkin itu lebih baik daripada hidup bertahun-tahun dibawah teror para Zionis.

Disini, kita tidak harapan untuk tumbuh dewasa menjadi remaja. Kebanyakan akan mati di usia muda. Sekali lagi, mungkin itu lebih baik. Tetapi siapa yang akan menjaga Masjid Al-Aqsa kalau bukan kami? Dimana bangsa Arab? Dimana para muslimin? Percayalah, kita masih hidup, justru kalianlah yang telah mati. Hati dan iman kalian.

Aku dulu pernah bertanya kepada ayahku, "Kenapa aku dilahirkan? Mereka terus membantai kita, ayah."

Ayahku menjawab, "Kamu dilahirkan .... untuk hidup, bukan untuk mati."

Itu kata terakhirnya di masa-masa kritisnya. Kemudian, keesokan harinya waktu zuhur, ayah menyusul ibu ke surga. Darah di kepalanya masih belum kering. Perawat langsung masuk ke ruangan dan berusaha mengembalikan nyawa ayahku. Di detik yang nyaris bersamaan, tujuh orang meninggal di ruangan putih yang sesak ini. Masih ada ceceran darah ayahku di lantai keramik. Setiap hari pasien bertambah diruangan ini. Beberapa dari mereka bertahan atau pindah ke liang lahat.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah orang-orang disusul suara reruntuhan yang digeser. Samar-samar kudengar seseorang berteriak, "Ada tangan disini! Ada anak kecil tertimbun disini!" Kemudian suara gemuruh langkah kaki itu bertambah ramai. Badanku terasa semakin ringan dan kurasakan seseorang meraih badan mungilku kepelukannya. Ia berlari membawaku menuju mobil ambulance secepatnya. Dengan sisa tenaga yang ada aku berkata, "Tolong ...... selamatkan ..... adikku .... dia disebelahku."

Tak lama kemudian terdengar suara dari kejauhan, "Satu balita meninggal!"

Beberapa hari di rumah sakit, kondisiku semakin membaik. Aku sudah bisa bangun dari tempat tidur tipisku dan mulai berjalan tertatih tatih. Aku sebatang kara sekarang, tidak ada lagi keluarga. Semua telah shahid mendahuluiku. Nanti sore jadwalku untuk diganti perbannya. Lukaku masih belum kering. Mereka sudah kehabisan obat anestesi. Jadi para dokter melakukan bedah dan jahit tanpa anestesi. Itu yang kurasakan beberapa hari yang lalu.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara gemuruh langkah kaki mendekat. "Ya Allah, Ya Rab, Ya Rab, Ya Rab," kata orang-orang. Mereka membaringkan seorang bocah laki-laki disebelahku dengan kaki yang bersimbah darah. Kaki kirinya hancur sampai ke lutut. Ia menjerit kesakitan. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya, aku berusaha untuk menguatkannya. Matanya memandang kearahku dengan tatapan yang sangat pilu. Ia menggenggam tanganku dengan sangat erat. Dokterpun melakukan amputasi saat itu juga, tanpa obat bius.

Beberapa hari kemudian. Aku mulai terbiasa mendengar teriakan dan suara kesakitan dari para pasien. Namun tanganku masih sering gemetaran ketika melihat darah atau daging yang berceceran. Bocah disebelahku sedang tidur pulas. Terkadang terbangun kaget saat mendengar suara ledakan. Kita semua masih trauma disini. Di rumah sakit ini dipenuhi oleh pengungsi karena rumah mereka sudah hancur semua.

Beberapa hari yang lalu setelah bocah disebelahku selesai melakukan amputasi, kuserahkan kasur tipisku untuknya sedangkan aku tidur di lantai keramik ini. Kita tidur bergandengan tangan. Ia masih merintih kesakitan dan tangannya bergemetar. Aku menguatkan genggaman tanganku padanya, mengisyaratkan bahwa 'aku bersamamu. Kamu tidak sendirian. Ayo kita kuat bersama.'

"Abu Ubaidah datang! Abu Ubaidah datang!" Semua orang langsung keluar dan berjajar ditepian jalan. Mataku berbinar-binar terharu melihat pasukan Allah itu. Tentara Hamas yang berseragam dan wajah mereka yang ditutup oleh sorban, terlihat sangat keren bagiku. Orang yang berjalan paling depan itu adalah Abu Ubaidah. "Mereka akan pindah markas setelah beberapa hari lalu berhasil menghancurkan 30 tank Israel," kata orang berbisik-bisik.

Abu Ubaidah tidak melihat badan kecilku. Ia berjalan begitu saja didepanku. "Abu Ubaidah!" teriakku sambil berlarian kecil karena kakiku masih sangat sakit. Ia menoleh dan langsung berlari menangkap badanku yang nyaris terjatuh. "Hati-hati, lukamu belum kering," dengan lembut ia mengecek kakiku. Melihat Abu Ubaidah yang berhenti, anak-anak lainnya berlarian mendekat. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Maukah kau menjadi ayahku?" kataku dengan suara yang lemah.

"Tentu, nak. Aku ayahmu sekarang. Siapa namamu?" Kulihat sorot mata hijaunya yang tersenyum. Terlihat bekas luka pada alis kirinya. Kemudian ia mengecup keningku dan memelukku. Ia bergantian memeluk anak yang lainnya juga.

"Bersiaplah, kita akan sholat di Masjid Al-Aqsa secepatnya, inshaallah. Kita akan merdeka. Kuatkanlah teman-temanmu ini, Hashim," katanya padaku. Tanpa ragu aku mengangguk mengiyakan. Mataku masih berbinar-binar memandang sosoknya yang gagah. Ia mengelus lembut kepalaku lalu ia bangkit berdiri dan memimpin pasukan untuk berjalan lagi. Suatu hari nanti aku ingin seperti Abu Ubaidah. Berjuang darah dan nyawa untuk mempertahankan tanah kami.

Selama Abu Ubaidah baik-baik saja, kita akan baik-baik saja.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi