Rintik hujan telah membasahi lahan luas yang di tanami bunga lafender. Sosok gadis tengah berdiri diam dalam guyuran. Menatap pria di depannya penuh dengan pesona.
"Kamu tampan," ujar Jesi dengan keras agar pria di depannya mendengar suaranya yang saling bersautan dengan hujan.
"Gue tau," Jeno menjawab sembari menggenggam tangan Jesi.
"Kamu egois."
"Gue juga tau."
"Aku suka sama kamu."
Ucapan spontan Jesi membuat tubuh Jeno diam terpaku dalam hujan. Ia tidak menyangka ada cewek yang mau mengungkapkan perasaanya lebih dulu.
Tiba-tiba hujan terhenti di gantikan dengan langit cerah yang di hiasi pelangi.
Jesi tersenyum dengan tulus yang tersirat penuh dengan bahagia.
"Lihat, Jeno." tangan Jesi menunjuk pelangi di langit cerah, "Alam pun bisa tau kalau hati ini sedang bahagia." lanjutnya maju satu langkah ke arah Jeno. Membuat jarak mereka semakin dekat.
"Gue ngga bisa menerima cinta lo, Jesi. Karena gue sudah jadi milik orang lain."
Jesi tersenyum sendu, "Kamu memang egois. Setelah ngasih banyak harapan padaku, lalu kamu memilih bersama dengan yang lain. Tanpa melihat bagaimana perasaanku."
"Lo yang terlalu baper. Perhatian segitu saja, lo anggap serius."
Jesi terkekeh miris. Ia seakan menjadi wanita bodoh di hadapan pria brengsek seperti Jeno.
"Terima ngga terima. Gue akan menikah dengan pasangan hidup gue. Lo ngga usah deket sama gue lagi."
Jeno meninggalkan Jesi di sendirian dengan di temani bunga lafender. Jesi menangis. Menangis dalam kesendirian menerima kenyataan. Menerima bahwa sosok yang selama ini ia tunggu dan dinanti, akan menjadi milik orang lain.
"Cinta macam apa sampai membuat hati terluka. Ini sangat menyakitkan ya Tuhan," batin Jesi memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.
Malam yang penuh dengan bintang. Serta cahaya bulan yang menyinari wajah cantik Jesi yang sedang tiduran di atas rerumputan. Ia memejamkan matanya menikmati angin malam yang menerpa kulit putihnya. Sesekali ia membuang nafas dengan kasar kala ingatannya tertuju pada kejadian tadi siang.
Ia bukan wanita yang selalu menangis meraung-raung karena kehilangan cinta. Justru ia akan diam dan berjuang untuk mendapatkan cinta itu kembali. Walau harus membuat seseorang menderita.
Ia tau, ia egois. Jangan salahkan ia yang memilih seperti ini. Karena pada dasarnya, sosok Jeno yang mengajarkan tentang Ke egoisan.
Jesi membuka matanya secara perlahan. Lalu ia duduk kan tubuhnya menghadap kolam renang, "Apa aku harus membuat kerusuhan di acara pernikahan Jeno?" monolognya berpikir.
"Ngga boleh gitu," kesal Jesi pada diri sendiri.
"Egois boleh saja. Asal jangan menghancurkan kebahagiaan orang lain."
Jesi mengelus puncak kepalanya bangga. Sungguh, baru kali ini dia berfikir dengan benar.
"Tapi kebahagiaan sendiri hancur," lirih Jesi.
"Akan ku buat Jeno menyesal dengan perbuatannya. Ingat, ngga semua cewek yang disakiti itu pendendam. Aku hanya ingin Jeno minta maaf telah membuatku baper."
Jesi menaiki sepedanya untuk menuju kafe tempat ia bekerja. Ia memilih bekerja di kafe milik orang tuanya. Dari pada harus berhadapan berkas-berkas di kantor.
"Selamat pagi," sapa Jesi saat bertemu salah satu pekerja saat ia memarkirkan sepedanya.
"Good morning," Jesi menyapa orang yang lewat saat ia masuk ke dalam kafe dengan sangat ceria.
"Annyeong haseyo, eonni." Jesi mencium pipi yang di sebut eonni dengan santainya. Membuat orang itu menjitak sayang kepala Jesi.
"Cepetan ganti baju. Hari ini ramai banget."
Jesi mengangguk dan segera berganti pakaian.
Ia membawa nampan berisikan makanan dan melangkahkan kakinya menuju meja nomor sebelas. Terdapat satu keluarga yang sedang berbincang-bincang untuk menunggu makan siang.
"Maaf tuan, nyonya. Pesanan anda sudah siap. Maaf menunggu lama," ujar Jesi sopan.
Ia harus propesional dalam menjalankan pekerjaanya. Walaupun yang sedang ia layani adalah keluarga Jeno. Tentu saja disitu ada Jeno dan calon istrinya.
"Nak, Jesi."
Ibu Jeno menyapa dengan lembuat saat Jesi menaruh makanan di meja yang mereka tempati.
Jesi tersenyum dan menyalimi kedua orang tua Jeno. "Iya ibu, ini Jesi."
"Sudah lama Jesi ngga main sama Jeno. Kenapa? padahal ibu kangen."
Jesi melirik ke arah Jeno sebentar. Matanya tidak sengaja menatap wanita di sebelah Jeno yang terlihat gelisah.
"Apa wanita itu takut, kalau ibu Jeno menyukai ku?" Jesi tertawa geli saat batinnya mempertanyakan hal yang menggelikan.
"Jeno yang menjauh ibu. Katanya, Jesi ngga boleh deket-deket Jeno lagi."
Jesi menjawab begitu santai tanpa melihat Jeno yang menegang kala Ayah nya menatap tanda tanya pada putranya.
"Jeno?" Ibu Jeno menatap putranya yang diam tanpa mau merespon.
"Wajar, bu. Sebentar lagi kan Jeno menyandang status suami."
"Jesi ngga papa kok bu. Hanya saja hati ini tidak baik-baik saja." batinnya di akhir kalimat saat melihat tatapan ibu Jeno yang menyesal.
Hari telah berlalu. Hari pernikahan yang di tunggu berjalan dengan lancar. Bahkan Jesi ikut hadir melihat orang yang dicintainya menikah dengan orang lain.
"Selamat ya," Jesi menyalami tangan besar Jeno dengan senyuman penuh luka. "semoga kamu bahagia dengan pilihanmu." lanjutnya memeluk Jeno.
Tanpa semua orang tau. Jesi menangis di balik punggung Jeno. Hatinya seolah tidak tahan dengan semua ini. Hatinya seolah berontak ingin menjerit. Melampiaskan rasa sakitnya yang ia pendam.
Jesi beralih ke mempelai wanita. Sebelum itu ia sudah menghapus air matanya. Agar semua orang tidak menganggapnya lemah. Memeluk mempelai wanita dengan ketulusan. "Titip cinta pertamaku ya?"