“Kamu adalah calon raja.”
Crrss!
“Kamu adalah satu-satunya harapan kerajaan ini.”
Crrss!
“Mulai sekarang kamu adalah Sol, putra mahkota yang akan meneruskan tahta Yang Mulia Raja Helios.”
Crrss!
Aku mencoba mengabaikan lautan rambut emas yang berserakan di lantai, betapa perih hatiku ketika tak lagi merasakan keberadaan rambut panjang di punggung, padahal surai emasku yang indah adalah kebanggaanku.
Ibunda memegang pundakku, sekilas terasa hangat sampai ia meremas dengan kuat seakan memberi peringatan. Dari sudut mata bisa kulihat dayang-dayang yang sibuk membuang isi lemari, mengganti gaun-gaun favoritku dengan setelan baju dan celana.
“Jangan sampai gagal,” bisik Ibunda di telingaku. “Kamu tidak boleh gagal.”
Aku mengerjapkan mata, menahan air mata yang mengancam akan keluar. Baru tadi siang sebuah kabar duka membuatku bersedih, lalu sekarang aku terpaksa menerima tanggung jawab yang tidak seharusnya ada padaku.
Meski begitu, kuusahakan untuk tetap terlihat tegar dan kuat, demi menghapuskan derai air mata Ibunda ketika sadar ambisinya hampir pupus bersama kepergian putra kesayangannya.
“Baik, Ibunda.”
Ada seorang lelaki muda yang menatapku balik di cermin, rambut emasnya pendek bergelombang, kedua matanya cokelat bercahaya entah karena air mata atau tekad yang kuat. Dia adalah Sol, saudara kembarku.
Aku adalah saudara kembarku, mulai saat ini.
***
Bagi masyarakat Kerajaan Matahari, Stella sang putri kerajaan sudah meninggal di usia yang muda bertahun-tahun yang lalu. Sedangkan Sol sang putra mahkota sebentar lagi akan menjadi raja yang baru, menggantikan Raja Helios yang sudah sekarat karena sakit yang dideritanya.
Itulah skenario yang Ibunda buat, demi menjaga posisinya sebagai seorang ratu bahkan setelah pergantian raja terjadi. Jangan sampai seorang anak selir, atau saudara lelaki Raja Helios, mendapatkan kesempatan untuk merebut tahta.
Aku adalah pion utama Ibunda dalam melakukan rencana ini, maka aku tidak diperkenankan gagal. Aku harus menjadi calon raja terbaik sehingga semuanya berjalan mulus.
Aku mempelajari semuanya, dari ilmu politik hingga keahlian berpedang, semua kulakukan sebaik-baiknya agar orang-orang mengakui kemampuanku sebagai penerus tahta yang sepantasnya.
Entahlah sampai kapan kebohongan ini akan bertahan. Setiap kali aku menyampaikan keraguanku kepada Ibunda, beliau selalu meyakinkanku bahwa semuanya sudah terencana, aku cukup bergerak di bawah perintahnya.
Namun aku tidak bisa diam saja ketika topik perjodohan mulai diungkit. Aku menolak mentah-mentah, bagaimana bisa aku mempertahankan sandiwara ini jika aku harus menikah?
Kukira Ibunda akan mendukung penolakanku, tetapi beliau berkata lain.
“Calon pasanganmu adalah seorang putri dari Kerajaan Bulan, kita tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk memperbaiki hubungan antar dua kerajaan besar. Tidak perlu membuka rahasiamu, yang kita butuhkan hanyalah hubungan pernikahan tanpa harus saling mencintai.” Begitu jawaban Ibunda, meninggalkanku dengan perasaan yang masih gundah.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya, maka aku menunggu dengan resah sampai tamu dari Kerajaan Bulan datang bersama putri yang akan dinikahkan denganku.
Putri Luna namanya, seseorang yang cantik, baik hati, dan anggun. Aku semakin merasa bersalah akan menyeretnya ke dalam situasiku yang rumit, ia pasti tidak menyangka akan menikahi calon raja yang penuh kebohongan.
Namun, apa yang bisa kulakukan? Jika aku membongkarnya sekarang, tentu nasibku dan Ibunda tidak akan jauh dari hukuman isolasi, atau bahkan hukuman mati, karena telah menipu satu kerajaan.
Maka aku hanya bisa percaya pada rencana Ibunda, hanya bisa melakukan yang terbaik yang kubisa. Hanya saja, kami berdua tidak pernah menyangka akan muncul seseorang yang dapat mengubah semuanya.
“Selamat pagi, Pangeran Sol, apa yang sedang Anda lamunkan?” Sapanya di suatu pagi dengan suara yang lembut dan merdu.
Aku yang tengah tenggelam dalam pikiran seketika tersentak kaget, lalu menoleh untuk mendapati salah satu tamu dari Kerajaan Bulan yang akan singgah selama beberapa minggu ke depan. Mata birunya teduh dengan senyum menghiasi wajah.
“Apa yang kau lakukan di sini, Pangeran Chandra?” Aku balik bertanya, berusaha tersenyum kepada pangeran termuda Kerajaan Bulan, adik bungsu Putri Luna.
“Kerajaan Anda sungguh indah, saya tergerak untuk berjalan-jalan menikmati taman cantik ini,” jawabnya sopan sambil berkeliling memandangi taman bunga tempatku biasa melamun.
“Terima kasih, saya yakin Kerajaan Bulan juga tidak kalah indah.”
“Oh, tetapi di kerajaan kami matahari tidak pernah bersinar begitu terang dan cuaca tidak pernah sehangat ini, tanaman dan bunga yang ada pun terbatas karena iklim dingin.” Pangeran Chandra berkata, rambut hitamnya terlihat kebiru-biruan di bawah cahaya matahari.
Mendengar penuturannya aku menjadi tertarik, selama ini deskripsi Kerajaan Bulan hanya bisa kubaca dari buku. “Kalau begitu apa yang indah dari kerajaanmu?”
Pangeran Chandra tertawa, “Percayalah, rambut emas Pangeran Sol bahkan lebih indah bagiku daripada tumpukan salju yang hampir tidak pernah absen di kerajaan kami.”
Aku tersipu mendengar ucapannya, sudah lama tidak kudengar pujian mengenai mahkota kebanggaanku.
“Saya iri dengan kakak saya yang akan tinggal di sini,” lanjut Pangeran Chandra, tersenyum tipis dan entah kenapa sendu. “Saya bosan dikekang dalam kerajaan yang dingin. Saya ingin mengelilingi dunia, bebas menghampiri wilayah-wilayah yang ada.”
Ucapannya membuat jantungku berdegup, ada perasaan haru yang kurasakan ketika mendengar mimpinya. Aku mengerti, terlampau mengerti.
Lalu Pangeran Chandra gelagapan berkata, “Ah, maaf saya malah ….”
“Saya juga merasa begitu, ingin bebas menjalani hidup yang saya pilih sendiri,” ucapku hampir berbisik, takut ada yang mencuri dengar. “Mimpimu bagus, saya iri karena tidak akan pernah bisa bermimpi seperti itu.”
“Kenapa tidak bisa? Jika Anda juga bermimpi demikian, akan saya dukung sepenuhnya.” Pangeran Chandra memberikan senyum yang membuat wajahku terasa panas, senyum tulus dengan tatapan yang lembut.
Pagi itu, aku telah berbuat kesalahan fatal. Aku tidak seharusnya jatuh cinta.
***
Beberapa minggu kemudian, tepat sebelum penobatan raja baru dilakukan, Kerajaan Matahari dibuat gempar oleh berita hilangnya sang calon raja itu sendiri. Ratu memerintahkan pencarian dilakukan, beliau terlihat begitu terpukul akan nasib pangeran yang entah berada di mana.
Oh, tapi aku tahu maksud kepanikan Ibunda. Beliau takut rencananya gagal.
Ada rasa sesal telah berbuat seenaknya saja, tetapi aku tidak mau kembali lagi. Aku sudah lelah dan sesak menjalani hidup sebagai orang lain, kali ini akan kumulai hidup yang baru dengan memeluk kembali diriku yang lama.
“Stella, ayo kita pergi.”
Aku tersenyum, mengambil tangan Chandra yang terulur dan menggenggamnya erat. Kini kupercayakan hatiku kepada lelaki yang juga rela meninggalkan kerajaannya demi mimpi kami, lelaki yang mampu menerima diriku yang sebenarnya.
Chandra tersenyum padaku, senyum yang sama seperti pagi itu.
“Kita mau ke mana dulu?”