Rou dan Pipin di Ujung Hari

"Kemari gembrot sayang... sini..."

Biasanya suara Win yang memanggilnya penuh cinta, langsung melunakkan geraman sebal Rou. Mendistraksinya dari pejantan-pejantan tetangga yang sok tampan dan pemberani, yang gemar mengejeknya tidak eksotis (walaupun kenyataannya si gembrot berbulu lebat itu memang bukan primadona di pemukiman situ). Begitulah suara majikan, selalu dikenali dan dipatuhi, demikian jika lelaki berusia lanjut itu sudah memanggilnya.

Rou tak lama-lama langsung menggesek-gesekkan dirinya ke kaki Win. Menggeliat-geliat di dekat Win. Dan mulai berisik tak sabaran jika Win sedang menyiapkan makan malam.

Tapi di suatu senja yang agak sendu, Rou tak menyahut panggilan Win. Tidak biasanya. Win mencari kelimpungan. Dicarinya buntalan abu-abu itu kesana kemari, memancingnya dengan menu istimewa, tuna asap premium. Radar Rou di luar kendali. Tak ada sinyal.

"Rou!" pekik Win akhirnya di seberang beranda samping rumah. Sisi rumah yang semestinya terlarang untuk dijumpai.

Si pemuda yang tidak atletis itu hanya menyahut sekali. Tapi, tak mau pulang.

Win melongok dan muntab. Melihat Rou duduk santai di bangku taman rumah sebelah. "Rou, pulang sekarang!"

Win jadi melupakan fakta bahwa Rou adalah krepuskular.

"Sudah kubilang berapa kali, kau dilarang pergi ke sana! Ayo pulang!"

Mau tak mau, dengan geraknya yang kurang gesit, Rou bangkit. Dengan enggan, ia melompati pembatas antar rumah, dan masuk ke beranda tempat tinggalnya lagi. Seperti anak yang main di senja hari, kepergok, dimarahi, dan diperintah pulang. Orang tua sangat menyebalkan, begitu pikirnya.

Untuk terakhir kali senja itu, ia menatap kembali pada sosok yang baru muncul. Sosok yang sedari tadi ia tunggu. Gumamnya, "Maaf, aku harus pergi dulu."

***

Sudah beberapa hari kejadian itu terus berulang. Rou melanggar batas. Win mulai panik. Ia meracau setiap sore.

"Kau tahu, banyak betina cantik dan molek di komplek ini. Kenapa kau malah pilih ke tempat sialan itu?! Apa karna tak satu pun dari mereka tertarik padamu?!"

Rou tidak suka itu. Ia tersinggung. Menggeram. Win sama saja dengan para pejantan-pejantan sok tampan di luar sana. Mungkin badannya semok, tapi wajahnya tak jelek-jelek amat. Good looking, kata wanita tua di sebelah rumah. Lagi pula dia termasuk sosok yang setia dan tidak garong.

Rou ganti meracau, "Kau boleh mengatur tempat tidur dan menu makanku, menyuruhku menemanimu, membuatku mendengarkan setiap omelan dan cerita membosankanmu, sampai kau mendengkur sumbang. Tapi, kau tidak berhak menentukan kemana perasaanku berlabuh!"

Tentu saja Win tidak memahami raungan Rou. Lelaki berkacamata itu malah tertidur pulas di sofa tuanya.

Rou seperti biasa, pergi menyelinap lewat lubang keluar masuknya di dasar pintu depan. Mempercepat langkah lambatnya, menuju rumah tetangga sebelah.

Pipin, pujaan hatinya sudah duduk manis di bangku beranda. Salah satu primadona di komplek. Bulu emasnya yang mengkilat lebat, membumbungkan hasrat Rou. Mereka saling berdempetan dengan ekor melengkung saling berpadu. Suara mereka bersahutan mesra, melengking.

"Pipin, cantik, cuma kau yang mengerti aku. Terima kasih," kiranya begitu.

Pipin tak lagi peduli dengan sosok-sosok lain yang lebih rupawan dan gagah. Baginya Rou lebih hangat dan nyaman. Klik sudah. Setiap senja, ia bermanja ria dan bergulat mesra dengan Rou. Sampai langit tak lagi bermega, tak peduli sahut-menyahut geraman yang cemburu di luar sana, ia tak berpaling dari Rou yang ia kenal sejak dulu.

Ya, dulu, saat mereka satu rumah. Sebelum rumah dipisah jadi dua. Sebelum tanah terbagi. Sebelum mereka jadi tetangga.

Wanita tua majikan Pipin membuka jendela. Mengintip sebentar ke arah mereka. Ia bersiul.

"Sudah selesai, Pipin?" Ia tersenyum.

Pipin turun, sesekali menoleh ke arah Rou, belum rela beranjak.

"Maaf Rou, kalian jadi tak serumah lagi. Tapi, aku tak akan menjadi keras kepala seperti si Win."

Rou dan Pipin menyahut kalem.

"Kalian masih boleh bersama, anak-anak. Sampai nanti muncul anak-anak yang baru."

Wanita itu memandang sekejap ke rumah sebelah. Melihat siluet lelaki yang tertidur di sofa di balik jendela. Terkadang ia merindukannya, tapi krisis paruh baya menjadi gencatan senjata. Sampai akhirnya tak tahan, ia memilih berpisah.

"Kuharap kalian tak seperti itu," bisiknya lagi.

3 disukai 6 komentar 2.5K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@katakharisma : 😊 makasih lho udah baca
Gemessss, sambil bayangin sosok Rou dan Pipin beneran..
@donnymr waah makasih ya kak sudah dibaca 😊🙏
Enak bacanya. 😀 welldone!
@semangat123 makasih banyak ya kak supportnya 😊. Ati-ati kalau terdeteksi kucing garong lewat 😆
Covernya menggemaskan dan ceritanya lucuuuuu. Wkwkwk, ada kata "garong", jadi teringat kucing garong :)
Saran Flash Fiction