Kala itu langit tak begitu kelabu, hanya angin yang berdesir membelah sore.
Hati tak begitu tentram ketika deru motor memacu di jalanan lengang perkampungan.
Hingga kendaraan tua ini berhenti di pelataran sebuah rumah yang tak asing lagi bagiku, rumah bapak.
Kamar berukuran tiga kali tiga kala itu sangat suram, selain karena penerangan yang minim, namun juga mata ini terfokus pada sesosok lelaki yang teramat kucintai dalam diam.
Lelaki yang dulu begitu ceria, selalu gembira, penuh canda tawa, kini hanya meringkuk di sebuah ranjang yang tak begitu lebar.
Tak lantas ku sapa, isi kepalaku hanya memutar film lama yang membuat mataku tergenang.
Kenangan-kenangan bersamanya begitu menghantam-hantam hingga rindu akan masa yang telah lalu mencengkeram begitu erat.
"Nana." Lirih suara itu menghentikan lamunanku.
"Pak." Segera ku hampiri dan ku kecup punggung tangannya.
"Kenapa baru menengok Bapak?" Tanya bapak dengan wajah layu.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memaksakan senyum, "Maaf Pak." Itu saja yang terlontar dari mulutku untuk mewakili sejuta alasan.
"Apa yang sakit Pak?" Aku mengusap lengan yang dulu gempal namun kini hanya lengan kurus yang terkulai lemah.
"Lemas saja, kaki Bapak terasa lemah." Matanya tertutup.
Obrolan kami tak begitu banyak, aku lebih banyak menatap bapak yang terbaring lemah. Hingga aku lihat bapak berusaha bangkit dari ranjang, dia duduk bersandar pada dinding yang dingin.
"Bapak ingin sembuh lagi, ingin kuat jalan lagi, ingin jalan-jalan lagi, ingin ke pantai lagi." Begitu lirihnya.
Seperti ada ganjalan di kerongkonganku, wajahku mulai memanas, namun segenap kemampuanku ku tahan air mata ini.
"Ya nanti Bapak sembuh lagi kok." Aku begitu mengamini perkataanku dalam hati.
Bapak menurunkan kakinya hendak berdiri. "Mau kemana Pak?" Tanyaku.
"Mau wudhu."
"Ayo." Aku membantunya berdiri.
"Badanmu itu kecil, mana kuat gandeng Bapak." Katanya lalu bapak meraba dinding kamar, berpegangan untuk berjalan, aku hanya bisa menjaganya dari belakang agar dia tidak terjatuh.
Ya betul, rupanya aku begitu lemah, aku tidak sanggup membopong bapak yang sudah sebegitu kurus.
Rasa bersalahku membakar dada, dahulu bapak yang menggandengku, tak pernah melepaslan tanganku, selalu yang mengulurkan tangan ketika aku terjatuh.
Kini?
Aku menyesal karena keterbatasanku.
"Mau langsung shalat Pak?" Tanyaku.
"Nanti saja, rasanya pergi wudhu saja Bapak cape sekali, mau istirahat dulu." Bapak mengusap dadanya.
Sore kian jauh menuju petang, aku memutuskan untuk pulang meninggalkan bapak yang menatapku dengan mata sayunya.
"Hati-hati" Katanya.
Aku berpamitan sekali lagi, hingga kakiku berhenti di teras rumahnya, aku teringat bapak belum menunaikan shalat dan aku ingat bapak akan kesulitan mengambil sajadahnya, aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati bapak masih duduk di tempat semula.
"Nana kenapa kembali lagi?"
Aku tak menjawab, hanya tersenyum tipis, lalu segera mengambil sajadah yang letaknya sulit bapak jangkau, setelah ku hamparkan sajadah aku kembali berpamitan untuk terakhir kalinya.
Hingga esok hari tiba, kabar itu datang meluluh lantahkan duniaku, bapak sudah pulang, bapak sudah tiada, dan kemarin adalah hamparan sajadah terakhir bapak dariku.